Sangkring Art | Pameran ROMANSA 9 satu
173
post-template-default,single,single-post,postid-173,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Pameran ROMANSA 9 satu

kk

Pameran “ Romansa “ 9 satu

Pameran                              : “Romansa” 9 satu

Oleh                                      : 9 satu ( Amir Hamzah, Anggar Prasetya, Bob ‘ Sick’   Yudhita Agung, Bunga Jeruk  Permata Pelerti, Didit Sukmara, Dwi Setyanto, Feintje Likawati, Haty Nuraini, Imam Nurofiq, Jufri Naldi, Kaji Habib, Liestiyanti Purnomo, Nanang Warsito, Nur Wahid, Pramono Agus, Putu Sutawijaya, Surya Wirawan, Tommy Tanggara, Toto Juharto, Triyono, Yustoni Volunteero)

Pembukaan                        : 14 Februari 2010, Jam 19.00 wib

Pameran di buka oleh    : Drs. M Agus Burhan, M.Hum

Performance                     : Jasmine

Pameran berlangsung    : 14 Februari – 7 Maret 2010

Ini bukan pameran seni rupa romansa. Ini pameran seni rupa tentang romansa—dan untuk itu, perkenankan saya memulai pengantar ini dengan sepotong ilustrasi dari penyair Goenawan Mohamad—yang termaktub dalam buku Catatan Pinggir 1 (1982: 198)—berikut ini:

“Pronocitro jatuh cinta dan mati bersama Roro Mendhut, mereka toh tidak bertanya, ‘buat apa’. Layonsari mengikuti Jayaprana dan akhirnya fatal, tapi tidak pernah ragu, ‘apa gunanya’. Kita sering tepekur oleh kisah-kisah tentang passion yang begitu nekat, tapi begitu indah dan tidak palsu: mereka ternyata bisa memberi harga pada sesuatu yang sia-sia.”

Ilustrasi tersebut tidak hanya mengingatkan saya, tetapi juga menghablurkan makna, akan kata-kata seorang perempuan yang tegar dan mandiri bernama Pilar di bawah ini:

“Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.”

Pilar adalah tokoh utama dalam novel Paulo Coelho yang sohor itu, By the River Piedra I Sat Down and Wept—yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia 4 tahun lalu oleh Rosi L. Simamora dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Dengan dua kutipan itu saya ingin menegaskan bahwa pameran seni rupa bertajuk “Romansa” ini adalah sebuah ikhtiar yang belum-sudah untuk memberi arti pada sesuatu yang dianggap sia-sia: pertemuan kembali sejumlah orang untuk merayakan ikatan persahabatan yang telah dirangkai sejak tahun 1991 di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Kata orang, sakit-rindu itu tak ada obatnya kecuali bertemu—dan dengan begitu, pertemuan dalam perhelatan seni rupa ini boleh dibilang semacam penawar atas jarak-waktu yang membentang di antara mereka selama 19 tahun terakhir ini. Tapi lebih dari sekadar nostalgia, pertemuan ini mengisyaratkan bahwa tidak ada kesia-siaan selain harapan akan kekerabatan dalam menghayati masa lalu.

Masa lalu itu memang telah menjadi sederet panjang kenangan bercampur lupa—dan sebab itu menjadi bisa dimengerti jika pameran ini menggemakan pengalaman-pengalaman masa lalu yang tak dapat digantikan lagi; pengalaman-pengalaman yang boleh jadi remeh dan biasa-biasa saja, tapi sudah barang tentu tak bisa dianggap sia-sia.

Dengan menabalkan “Romansa” sebagai tajuk pameran ini mereka seolah-olah hendak berkata: Ini kali kami ingin mencari yang indah, yang mesra, yang cinta, di antara bentuk dan warna—sebab, hidup bukan hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta perguruan tinggi, dan tahu, ada yang tetap bisa diucapkan sebelum pada akhirnya tenggelam dalam kesunyian masing-masing.

Maka “Romansa” merupakan tanda-waktu yang bersifat simbolis di mana kita bisa mendapatkan pengetahuan dari Bunga Jeruk dan kawan-kawan tentang yang indah, yang mesra, yang cinta—dalam karya-karya seni rupa mereka pada pameran ini.

Pengetahuan itu boleh jadi menampakkan—untuk memparafrase kata-kata Albert Camus—kesaksian yang membingungkan atas kenangan-masa lalu: perjuangan yang gigih melawan lupa, ketabahan dalam suatu ikhtiar kreatif yang dianggap sia-sia.

Boleh jadi pula—memparafrase kata-kata Albert Camus lagi—pengetahuan itu tidak mempunyai bobot yang lebih besar dalam dirinya sendiri daripada di dalam ikhtiar yang dikehendakinya dari seorang manusia-perupa dalam kesempatan yang diberikan kepadanya untuk menghayati masa lalu dan menghampiri sedikit lebih dekat lagi kenangannya yang terpendam, yang mengharap dan yang melepas.

Di sinilah, dalam ikhtiar membaca kenangan dan masa lalu pada bentuk dan warna, kita bisa meletakkan tafsir: sebuah pekerjaan merdeka—seperti kata Leila S. Chudori—untuk memberikan jalan hidup kepada karya-karya seni rupa itu—dan dengan demikian, dengan pesimisme atau tidak,  kita berkemungkinan menghirup hidup di dalamnya.

Dengan kata lain, kenangan dan masa lalu yang diam-sendiri, cerita dan peristiwa yang berlalu-beku, sosok dan pokok yang hampir tak menghampiri, dibangkitkan-dicairkan-didekatkan oleh imajinasi dalam sebuah pekerjaan merdeka. Pada titik ini tidak ada salahnya kita membayangkan para perupa-peserta pameran ini sebagai sosok-sosok bahagia antara yang menyaksikan bisa, yang melibatkan diri dan menjadi dirinya sendiri dalam karyanya, yang hidup dua kali untuk menjaga kesadarannya dan untuk menetapkan petualangan-petualangannya—seperti kata Chairil Anwar tentang penyair, seperti cakap Albert Camus akan seniman dan pemikir.

Itu sebabnya mengapa Yan Martel dalam novel Life of Pi—yang memenangkan penghargaan Man Booker Prize 2002—merasa perlu berujar-seru seperti ini:

“Kalau kita, para warga negara, tidak memberikan dukungan kepada seniman-seniman kita, berarti kita telah mengorbangkan imajinasi kita di altar yang kejam, dan pada akhirnya kita jadi tidak percaya pada apa pun—dan mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti.”

Sampai di sini, karena tidak seharusnya seorang kurator memberikan interpretasi atas karya-karya seni rupa dalam sebuah pameran yang diampunya; kalau tidak, ia akan mendahului kesan dan penilaian para penatap akan karya-karya seni rupa itu, maka izinkanlah saya mengatakan mengapa dan bagaimana pameran ini dibuat.

Baiklah, dalam bahasa teknis, pada dasarnya pameran ini  dibuat untuk mempertunjukkan kehadapan publik seni rupa perihal “cara pemahaman” (mode of comprehension)—yaitu sarana percobaan perupa menerjemahkan romansa dalam bahasa rupa sebagai kehendak memahaminya berdasarkan kadar interpretasinya, “cara perhubungan” (mode of communication)—yaitu sarana perupa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapannya atas romansa, dan “cara penciptaan” (mode of creation)—yaitu sarana penciptaan kembali romansa dalam karya seni rupa sesuai dengan pengetahuan dan imajinasi perupa.

Dengan demikian, pameran ini sudah tentu akan menggelar karya-karya seni rupa. Secara praktis, setiap perupa yang diajakserta dalam pameran ini dipersilakan mencerap dan menafsir tema tersebut sesuai dengan pengalaman personal mereka. Selanjutnya, mereka diharapkan dapat mengejawantahkan hasil pencerapan dan penafsiran itu secara konkret dalam bahasa visual yang berkesesuaian dengan kecenderungan bentuk, teknik, ide berkarya seni rupa yang mereka geluti selama ini.

Dari situ dibayangkan mereka mampu memberikan refleksi dan perspektif banding yang beragam kepada khalayak seni rupa dalam melihat dan menyikapi tema tersebut sebagai bukan saja persoalan estetika, tapi juga persoalan eksistensial manusia. Selain itu, dengan bayangan tersebut, pameran ini berikhtiar membincangkan tema tersebut dalam bahasa seni rupa yang sesuai dengan kecenderungan praktik wacana budaya yang berkembang belakangan ini.

Dengan begitu, secara konseptual, dapat saya katakan bahwa—pinjam penjelasan Marcia Hafif dengan sedikit variasi dari saya, antara lain menempatkan frasa “karya seni rupa” sebagai pengganti frasa “lukisan”—karya seni rupa dapat dipahami paling tidak dalam empat level penting. Pertama, karya seni rupa mengada secara fisik, sebagai sebuah objek di dunia yang dapat direspons secara langsung; ia taktil, visual, retinal. Kedua, faktor-faktor teknis yang mengada dalam penciptaan karya seni rupa; termasuk kualitas materi yang menentukan pemilihan metode yang akan dipakai; aspek-aspek formal karya seni rupa yang dapat diuji dan dipahami—dan dengan demikian karya seni rupa sudah seharusnya berdiri di atas kriteria yang jelas. Ketiga, sebuah karya seni rupa juga mengada sebagai sebuah statemen historik; ia dibuat pada masa tertentu dan merepresentasikan pandangan perupa akan kedudukan karya seni rupa pada masa tertentu itu, dengan sadar atau tak. Keempat, karya seni rupa merepresentasikan sebuah bentuk pemikiran—secara tidak langsung merefleksikan pandangan-dunia, persoalan waktu, transmisi filosofis, dan pengalaman spiritual, perupa.

Pada hemat saya, tanpa pretensi untuk mengesankan diri sebagai sok pintar, penjelasan teoritis di atas bisa diterapkan dengan sangat baik untuk mengapresiasi karya-karya seni rupa milik perupa ISI Yogyakarta Angkatan 91 dalam pameran ini—dan dengan demikian, sepakat atau tak, saya persilakan Puan dan Tuan penatap yang budiman mengamalkannya sendiri.

Yogyakarta,

Hari Valentin 2010

WAHYUDI

Karya Dari Romansa 9 satu

Mari Berbagi