Sangkring Art | Art Review | Adu Domba #5: Gugatan Atas Warna yang Kurang Berwarna
21399
post-template-default,single,single-post,postid-21399,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Art Review | Adu Domba #5: Gugatan Atas Warna yang Kurang Berwarna

17904373_10212185208255482_2907783585180991763_n

Beberapa waktu lalu, saya dan teman jadi korban serbuan klason di sebuah perempatan jalan padat di Yogyakarta. Kami tidak melakukan kesalahan apa-apa kecuali bahwa teman saya telat menarik gas motor setelah lampu berganti hijau 5 detik lalu. “Aku itu sebenarnya nggak bisa bedain lampu merah dan hijau,” ujarnya malu-malu. Setelah sekitar dua tahun berteman, baru siang itu saya tahu ia adalah penderita daltonism alias buta warna.

Dengan fakta bahwa 1 dari 10 orang di dunia menderita kelainan ini, buta warna bukanlah kasus yang langka. Tak perlu kaget kalau ada teman atau kerabat yang menderita kelainan ini. Buta warna adalah keadaan dimana retina tidak mampu membedakan warna-warna tertentu. Pada jenis paling parah, penderita hanya bisa melihat dunia dalam warna monokrom. Padahal tak bisa diingkari, warna membentuk persepsi kita tentang dunia. Merah, kuning, hijau, biru, dan ratusan warna lain tak pernah hanya sekedar nama, ia telah menjelma simbol untuk hampir segala hal dalam tataran personal maupun publik. Bahkan bukan tak mungkin warna turut berkontribusi terhadap perubahan di bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi.

17951812_10209567799612463_7061190643959241524_n

Warna-warna tertentu menyimbolkan sesuatu atas hasil dari konsensus publik, ia menjelma bahasa untuk menyampaikan pesan tertentu. Misalnya merah untuk pedas, biru untuk perasaan sedih, hijau untuk kesuburan, putih untuk hal-hal suci dan seterusnya. Lalu bagaimana jika seseorang tidak bisa melihat warna-warna tertentu? Bagaimana kalau langit tak selalu biru dan pisang tak kuning seperti yang kita tahu selama ini? Hal inilah yang digugat oleh Sekar Jatiningrum dan Sinta Carolina dalam pameran Adu Domba #5 di Sangkring Art Project.

Memasuki galeri Sangkring Art Project yang lapang, saya memulai rute dari bagian Sekar Jatiningrum. Enam buah neon box beragam ukuran terpajang di dinding, di atasnya huruf-huruf disusun dari lingkaran-lingkaran warna kecil tak beraturan, huruf-huruf Ishihara. Huruf-huruf ini akan mengingatkan kita pada sebuah praktek medis di ruang periksa mata, oleh dokter berbaju putih yang menanyakan “angka berapa yang anda lihat di sini?”. Tes Ishihara adalah salah satu metode paling mudah untuk mendeteksi gejala buta warna pada seseorang. Angka atau huruf tertentu dicetak dalam warna yang berbeda, warna-warna sensitif untuk penderita buta warna.

17990895_10212185208615491_4292497031370936036_n

Di tembok sebelah kirinya Sekar memajang karya yang hampir sama, walaupun tanpa neon box. Sementara di sisi setelahnya, huruf-huruf Ishihara lagi-lagi muncul dalam bingkai kaca. “Dari penggalan-penggalan huruf itu saja sudah bisa memancing perdebatan tentang mana yang benar dan mana yang salah, sebagai visualisasi situasi saat ini. Di mana pertentangan perebutan makna kebenaran begitu viral di jagat maya dan memperburuk hubungan sosial di dunia nyata.” Begitu Ida Fitri menulis mengenai karya ini dalam kuratorial. Namun sayangnya saya tak mendapat kesan itu. Mungkin karena kebetulan saya bukan penderita buta warna, jadi huruf-huruf acak tersebut dengan mudah bisa terbaca sebagai kata “ADU DOMBA” yang tak lain adalah judul dari pameran ini.

Secara visual pun, karya ini tak terlalu memancing penonton –atau setidaknya saya— untuk bermain anagram mencari kata atau kenyataan lain di karya tersebut. Selain tentu saya mempertanyakan alasan Sekar memilih judul pameran sebagai obyek karyanya, alih-alih kata lain yang mungkin akan lebih atraktif misalnya. Karya lain yang berjudul “Red Queen” juga menimbulkan kesan yang kurang lebih sama untuk saya. Dua lukisan sang ratu merah dari film Alice in Wonderland itu didominasi oleh warna merah-hijau dan biru-kuning-hitam, kombinasi warna yang paling awam bermasalah dari kasus daltonism. Lukisan ini seperti menyentil, bahwa untuk sebagian orang Red Queen bisa jadi Green Queen atau Yellow Queen. Namun lagi-lagi, karya ini tak berbicara banyak selain memberikan sensasi seolah simulator penglihatan ala penderita buta warna terhadap film kartun.  

17951599_10212185208495488_516456333205040105_n

Lain halnya jika mungkin yang menikmati karya tersebut adalah orang yang buta warna. Anagram dari huruf Ishigara tersebut barangkali bisa menjelma jadi sengkarut teka-teki asik yang menantang untuk diselesaikan di tempat saat itu juga. Begitu juga dengan lukisan “Red Queen” yang mungkin akan membuat mereka bertanya-tanya tentang judul karyanya. Tapi bukankah rasanya kurang efektif ketika gugatan terhadap persepsi dengan kasus buta warna hanya bisa dinikmati oleh penderita buta warna saja?

Sinta Carolina di tembok seberangnya mencoba memainkan persepsi kita akan realita terhadap warna-warna ideal yang melekat pada obyek lewat gambar-gambar sureal. Dibuat menggunakan cat air dan pensil warna, dengan teknik gambar yang menyerupai coretan anak-anak, seri lukisan ini terlihat lebih bebas, dan pas untuk menggambarkan imaji sureal yang ingin disampaikan Sinta. Jika berjalan dari sisi selatan, anda akan paham bahwa lukisan tersebut jadi makin sureal semakin ke utara. Lukisan pertama “Welcome to The Jungle” adalah memulai perjalanan dari persepsi paling awam. Narasi sebuah hutan dan hewan-hewannya, dengan warna-warna yang sebagaimana seharusnya kita tahu. Berjalan ke lukisan berikutnya, anda akan menemui satu persatu realita ganjil yang masuk. Seekor singa menonton TV, di lukisan berikutnya mungkin seekor badak tengah berendam air hangat. Begitu terus sampai di lukisan terakhir anda akan menemukan hutan monokrom dengan daun-daun berwarna merah muda dan langit kuning menyala, dan Sinta tak sedang membicarakan musim gugur atau senja.

Permainan obyek dan warna yang tidak sesuai ini untuk saya terasa lebih subtil. Jika warna seolah membicarakan persepsi masalah buta warna secara literal dan praktikal dalam kehidupan sehari-hari, narasi sureal yang dihadirkan Sinta dalam lukisan-lukisannya seolah membawa kita pada angan-angan lebih jauh tentang dunia lain tersebut. Dunia yang satu, tapi tak pernah sama bagi setiap orang. Dua belas lukisan Sinta Carolina untuk saya juga memadamkan tuntutan saya tentang data medis tentang kasus buta warna. Saya tak mengharapkan pameran ini jadi pameran medis, tapi saya tak bisa menghilangkan keingintahunan untuk terlebih dulu memahami apa itu buta warna, atau misalnya lebih detil tahu bahwa ada tiga jenis buta warna, ia hanya menurun pada kromosom X, atau warna-warna apa saja yang jadi masalah untuk para penderita buta warna baru kemudian menikmati pameran yang menyoal buta warna.

17951964_10209567783132051_1533799134689253356_n

Dua seniman dalam satu galeri membahas satu topik, persepsi dunia dalam warna. Warna dalam berbagai persoalan keseharian punya hubungan sangat dekat dengan pengalaman visual. Sedang pengalaman visual adalah salah satu pengalaman yang paling mempengaruhi manusia. Untuk saya, pameran Adu Domba #5 ini masih kurang menghadirkan pengalaman visual yang masif, atau jika tak harus menyoal kuantitas, kurang atraktif. Potensi reaktif atau partisipatoris –mengingat yang dibahas sangat dekat dengan siapa saja— juga tak bisa banyak muncul. Persoalan persepsi dari praktik yang paling literal sampai subtil dan sentimentil harusnya bisa melibatkan eksplorasi yang lebih berlapis-lapis.

Melalui warna, lewat sepasang mata, cerita-cerita bisa menjadi berbeda dan realita tak pernah sama untuk tiap manusia. Di akhir kunjungan saya ke Sangkring Art Project hari itu, saya terpikir untuk kembali lagi esok hari mengajak teman yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Akan seperti apa kesan yang ia dapat ketika masuk ke galeri ini? Apakah dengan dunianya yang telah berbeda, ia merasakan sesuatu dari karya-karya Adu Domba #5 ini?

Titah AW

Mahasiswa Komunikasi UGM, Reporter Warning Magz, pernah mengikuti program Penulisan dan Kuratorial Seni Rupa yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta 2016

Mari Berbagi