ADU DOMBA #1 by I Made Agus Darmika vs Putu Sastra Wibawa @SAP
Pameran : Adu Domba #1
Oleh : I Made Agus Darmika & Putu Sastra Wibawa
Pembukaan : Selasa, 25 Agustus 2015 Jam 19.30 wib
Penulis : Ida Fitri
Pameran berlangsung : 25 Agustus – 8 September 2015
Adu Domba –sebuah simulasi
Ida Fitri
simulasi/si·mu·la·si/n1 metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya
Seri Pameran Adu Domba adalah rangkaian simulasi mengadu dua orang perupa dalam satu arena.Sebagai sebuah simulasi, pameran ini merupakan peragaan sesuatu dalam bentuk tiruan, mirip dengan keadaan yang sesungguhnya. Yang dimaksud dengan hal ini adalah sebuah tiruan dari situasi adu domba, yaitu Sangkring Art Project seolah-olah membuat arena untuk mengadu dua orang perupa melalui karya-karya visualnya.
Tema ini berangkat dari kesadaran bahwa dunia seni rupa tidak berbeda dengan bidang-bidang lain, di mana perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan tidak bisa dihindari. Perbedaan yang beragam itu merupakan bibit persaingan, kontestasi, perpecahan bahkan konflik. Suasana terbelah dan perilaku mengelompok yang kuat, jika tidak disikapi dengan baik akan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain dengan menggunakan mekanisme adu domba.
Aduan –apalagi adu domba, berkonotasi negatif, sebab digerakkan secara diam-diam dan licik oleh pihak ketiga dengan motivasi melemahkan dua pihak. Seperti pada zaman penjajahan, ketika adu domba dijadikan alat untuk memecah Indonesia. Saat itu kesatuan bangsa ini menjadi ancaman bagi kekuatan kolonial. Namun seri pameran ini justru bermaksud memunculkan karakter dan kualitas pengkaryaan yang tangguh. Sebab dalam satu pameran, dua perupa akan mengasah konsep, menguji kemampuan teknik dan mempertaruhkan karya visual masing-masing untuk dipertandingkan dalam ruang pameran yang terbuka.
Dalam simulasi adu domba ini, keragamantetap dibiarkan tumbuh subur. Perbedaan tidak dimatikan dengan perlombaan, yang melahirkan satu peserta menjadi pemenang tetapi peserta lainnya harus mengakui kekalahan. Selain itu, semua pihak yang terlibat sepakat dan bersedia untuk bermain dalam sebuah simulasi untuk memahami bagaimana mesti berperilaku dalam situasi adu domba.Asumsi bahwa situasi tenang, damai dan serasi cenderung membuat keadaan menjadi statis dan apatis, sehingga suasana bersaing dan berkontestasi harus selalu dipelihara untuk menyuburkan sikap kritis dan laku kreatif.
Adu Domba #1 – Hikayat tentang Permulaan
Darmika dan Sastra, adalah dua perupa muda yang sedang menerjemahkan permulaan. Tidak hanya karena mereka sedang memulai langkah di arena seni rupa, tetapi karena mereka meyakini bahwa pencapaian hanya bisa dimulai dengan bertekun pada yang paling mula-mula atau paling mendasar. Dengan caranya masing-masing, keduanya bergelut dengan hal-hal elementer. Jika permulaan bagi Darmika adalah tanah –seperti seorang ibu, dari mana sebuah kehidupan berawal dari rahimnya. Sementara Sastra, begitu teguh dengan titik dan garis sebagai unsur mendasar sebuah permulaan.
Karena ini mengenai permulaan langkah perupa muda yang bertarung dengan unsur-unsur paling mula-mula pula, maka menjadi tepat jika Seri Pameran Adu Domba yang diselenggarakan oleh Sangkring Art Project dimulai oleh Darmika dan Sastra.Sebuah pameran yang memberikan ruang bagi potensi yang laten bernama persaingan, kontestasi atau kompetisiuntuk dimanifestasikan dalam bentuk visual.
# I Made Agus Darmika a.k.a Solar
Mahasiswa Institut Seni Indonesia – Yogyakarta tingkat akhir ini telah menjatuhkan pilihan pada tanah liat sebagai media ekspresi dan eksplorasi bagi energi kreatifnya. Tanah ia yakini sebagai sebuah permulaan, awal dan sumber kehidupan seperti seorang ibu dengan rahimnya. Begitu pula dalam berkarya, tanah merupakan awal kelahirannya sebagai seniman sekaligus rahim bagi sumber inspirasi yang tak kunjung habis.
Tanah yang dianggap benda mati itu, menghidupkan segala sesuatu. Seperti mesin produksi yang menyediakan manfaat tak terbatas bagi setiap makhluk agar bisa hidup. Sehingga daur hidup manusia, tumbuhan dan hewan –lahir, tumbuh dan mati, mutlak tergantung padanya. Dari kesadaran ini, sikap kritis Darmika terbentuk, bahwa manusia tak lebih berharga dari segenggam tanah jika ia tak bermanfaat bagi makhluk lain.
Ibu, adalah sosok yang berperan dalam memperkenalkan tanah padanya. Saat masih kanak-kanak, ia memperhatikan ibunya yang membuat genteng dan barang-barang tembikar.Tanpa disadari ia telah belajar. Tanah menjadi media yang paling dekat dengan dirinya, terutama sejak ia bisa menciptakan ogoh-ogoh kecil bersama teman-teman sepermainan.
Kini, Darmika tak lagi membuat ogoh-ogoh sebagai benda mainan masa kecilnya. Ia menciptakan figur-figur tanah liat dengan melekatkannilai padanya.Narasi ia bangun dengan memindahkan figur-figurtiga dimensi dari lempung itu ke dalam kanvas menggunakan cat dan kuas. Kemampuan dalam memanfaatkan teknik gelap-terang menimbulkan tekstur semu yang seolah nyata sebagaimana tampaknya patung lempung sesungguhnya.
Dalam pameran ini, enam karyanya bisa bercerita secara linear. Diawali dengankarya berjudul “Ibu”, bernarasi mengenai ibunya yang ia anggap sebagai sebuah permulaan nyata membuatnya ada. Ia memberi nilai tertinggi untuk ibu, karena sosok ibu berperan ganda dalam karya-karya Darmika. Pertama, seperti disebutkan sebelumnya, ibu merupakan awal kehidupannya dan selanjutnya, ibu pula yang memperkenalkan pada material tanah di permulaan ia bersentuhan dengan seni.
Kemudian karya berjudul “Evolusi Tanah”, berkisah tentang perubahan yang niscaya. Seperti dirinya dan juga makhluk lainnya yang lahir, tumbuh, berkembang dan berubah dengan bergantung pada manfaat-manfaat tanah. Dalam perjalanan evolusinya, makhluk hidup tidak hanya makan dan minum seturut metabolismenya. Manusia berinteraksi dengan sesamanya dan dengan makhluk lain, yaitu siapapun dan apapun yang berbagi ruang hidup dengannya. Kehidupan bersama yang tidak selalu mudah, seringkali membuat ketegangan dan ketidaknyamanan, seperti karya berjudul “Complicated Connection”. Darmika membuat benang-benang yang terburai dari gulungannya, melingkar-lingkar dan melilit sebagai gambaran hubungan dua figur yang duduk dalam sebuah bangku kayu. Benang yang melilit-lilitrumit merupakan refleksi relasi yang tidak mudah, sehingga komunikasi dibutuhkan, yaitu melalui duduk bersama dan bercakap demi meluruskan hubungan yang kusut.
Dalam dua karya selanjutnya, Darmika melakukan eksperimen dengan menempatkan objek-objek lain selain tanah liat dalam satu bidang kanvas. Jika dalam “Complicated Connection”sebuah bangku kayu dan benang turut menjalin cerita. Namun dalam karya berikutnya, Darmika tidak hendak menceritakan tentang sesuatu. Meskipun selain figur tanah liat bermuka kuning, ia pula masukkan kursi lipat dan celengan ayam yang juga berwarna kuning ke dalam kanvas. Ayam yang menjadi tunggangan tentara itu memancing intrepretasi, tetapi sengaja dipungkas oleh Darmika dengan memberinya nama“Untitled”.
Demikian pula dengan “Head”. Dalam karya ini, ia tidak hendak menyampaikan kisah tertentu, tetapi ia maksudkan sebagai studi lanjut mengenai teknik dan bentuk yang diterapkan dalam pengkaryaan.Sesuai judulnya, Darmika hanya menampilkan bagian kepala memenuhi hampir seluruh permukaan kanvas. Di karya ini, tekstur khas tanah liat bisa sangat jelas dilihat seperti nyata. Ia melukiskan kepala dengan tanah liat yang terlihat masih basah, sehingga menampakkan bekas tekanan jari, cubitan dan goresan kuku pada wajah yang belum selesai dibuat.
Lima karya Darmika yang berbentuk dua dimensi melalui proses yang sama. Ia membuat bentuk tiga dimensinya terlebih dahulu menggunakan tanah liat yang selanjutnya ia sebut sebagai artefak. Dalam pameran ini, ia membawa serta beberapa figur-figur yang dijadikan model bagi karya-karya lukisnya dengan judul “Artifact”. Dengan menghadirkan patung-patung tanah liat ini berdekatan dengan lukisan-lukisannya, berarti Darmika mengajukan dirinya untuk dinilai, apakah sudah ada cukup kesesuaian antara konsep yang ia pikirkan, eksperimen yang ia rancang dan teknik yang ia gunakan dengan hasil final dari karya-karya visualnya.
# Putu Sastra Wibawa
Permulaan bagi Sastra adalah titik dan garis. Setelah ia menganggap rampung seri wajah wanita yang tersusun dari tebaran alphabet dalam karya-karya sebelumnya, kini ia mantap dengan unsur-unsur yang paling elementer dalam seni rupa: titik dan garis. Titik adalah permulaan dari segalanya. Sebuah bintik yang memulai semua garis, bentuk dan bidang. Dari satu titik, ia menyeret kuas untuk terhubung dengan satu titik lainnya menjadi sebuah garis. Demikian seterusnya. Berawal dari sebuah bintik kecil menjadi jutaan garis untuk melukiskan alam yang dekat dengannya, alam Bali.
Seluruh karya Sastra dalam pameran ini merupakan refleksi atas relasinya dengan alam. Jika ada istilah ‘natura artis magistra’ yang mengatakan bahwa alam adalah guru para seniman, maka Sastra adalah salah satu yang mengakui. Tidak untuk mengikuti seniman-seniman lain yang lebih dahulu mengeksplorasi alam, tetapi karena ia telah mengalaminya dari sangat dekat. Mengenai proses teknis, karena ia adalah perupa muda yang lahir sebagai generasi ‘digital native’ (generasi yang lahir di era digital), maka dapat dimengerti jika ia memilih untuk tidak melukis alam dengan gayamooi indie. Ia menggabungkan antara olahan Photoshop dengan fantasinya untuk memberikan kemungkinan bentuk baru menggunakan titik dan garis dengan yakin dan teguh. Ia membuat lukisan yang tampak grafis, unik dan misterius, seperti alam itu sendiri.
Mahasiswa tingkat akhir dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini lahir dan tumbuh di Bali –sebuah tempat dengan lanskap alam yang tak pernah habis diserap untuk gagasan karya. Sawah dengan sistem pengairan yang unik dan kuno tetapi bertahan ratusan tahun itu menjadi karya berjudul “Cerita Sawah”. Persis seperti subak, air yang ia wakili dengan garis-garis vertikal berwarna biru dihadirkan bersama larik-larik horizontal berwarna hijau yang ia maknai sebagai sawah. Tak ketinggalan pematang-pematang yang menjadi garis pembatas petak sawah satu dengan petak sawah lainnya, seringkali membentuk gelombang yang meliuk, ia hadirkan dengan warna hitam. Dalam kanvas berbentuk bundar, semua itu disajikan dalam keteraturan, sebab ini berkisah tentang sawah yang selalu berpola, tertib dengan musim dan sistem pengairan yang teratur.
Sastra memandang alam dengan cara yang tidak biasa. Ia mengabstraksikan alam menjadi kumpulan titik-titik dan tarikan-tarikan garis. Dalam “Irama Alam”, ia menyadari bahwa alam memiliki irama yang teratur meskipun terdiri dari beragam elemen. Setidaknya di Bali, ia masih menyaksikan birunya langit dan laut, batu yang hitam, hijau sawah dan pepohonan, adalah kesatuan yang menciptakan irama indah. Dengan bantuanPhotoshop, Sastra membuat semua itu menjadi semacam gambar grafis yang pecah dan blur. Dengan membuat blur seluruhnya, ia bermaksud untuk tidak menampilkan fokus tertentu. Segala sesuatu menjadi sama –sama-sama penting atau sama-sama tidak penting. Sebab, semua unsur dari alam itu sama penting maka tidak ada titik berat untuk menampilkan salah satu unsur lebih dominan dari unsur lainnya.
“Dunia Haru Biru” adalah karya dari sebuah foto alam yang ia pecah menggunakan olahan digital hingga tampak kabur. Tetap memanfaatkan garis-garis, Sastra membuat efek lukisannya seperti hasil cetak atau print yang rusak. Demikian pula ia mencermati alam, kerusakan pada bumi telah mendekati kehancuran, di mana lautan mengancam dan daratan mengandung bencana. Meskipun bumi semakin tua, tetapi belum terlambat bagi manusia untuk mengubah sikap, mengembalikan kenyamanan bumi atau paling tidak memperlambat laju kerusakan.
Pada karya berikutnya, “Lanscape Yang Hilang”, Sastra membuat garis-garis horizontal berwarna merah muda yang lebih dominan ketimbang garis-garis putih di atasnya dan warna hijau di dasar kanvas. Horizontal adalah garis yang mewakili lanskap, sehingga jenis ini ia gunakan untuk mewakili ladang bunga. Berbeda dengan lima karya lainnya, secara khusus Sastra menciptakan efek bergerak (moving), seperti melihat pemandangan ladang bunga dari atas kereta cepat. Semakin cepat kereta bergerak, maka semakin kabur pula pemandangan hingga menjadi gugusan garis yang tak putus-putus. Pemandangan ini lambat laun menghilang, namun keindahan yang sempat dilihat akan tetap tinggal di ingatan.
Dalam keseimbangannya memandang alam, Sastra membuat karya “Tersudut & Terhimpit #1” dan “Tersudut & Terhimpit #2”. Pada lukisan yang pertama, ia tak hanya menggunakan titik-titik tetapi juga garis-garis untuk menyampaikan ketegasan optimisme, bahwa pada satu sisi alam masih bisa melahirkan hal-hal terbaik meskipun sudah tersudut dan terhimpit oleh ulah serakah manusia. Titik dan garis yang dominan berwarna hijau dengan gradasinya itu, merupakan representasi harapan seperti tunas yang menolak menyerah untuk tumbuh. Sementara lukisan yang kedua adalah paradoks. Sebab pada sisi yang lain, alam telah demikian tersudut dan terhimpit hingga membuatnya menyerah seperti daun yang menguning lalu gugur. Sementara gaya sebar kerusakan yang tak bisa diselamatkan itu seperti gempa yang menjalar dari episentrum.
Demikian Sastra mengabstraksikan alam dengan pola-pola yang detail, garis-garis yang tegas, titik-titik yang tajam serta yakin dengan keteraturan dan perhitungan. Sebab alam sesungguhnya juga digerakkan oleh keteraturan semesta dan perhitungan sebab-akibat yang rigid. Demikian pula dalam pameran ini, Sastra telah berguru pada alam: bagaimana mempersiapkan segala sesuatunya dengan teratur, dilambari kesadaran tentang sebab-akibat atas pilihan teknik dan komposisi, serta ketegasan dalam menerima tantangan adu domba, seteguh titik dan setegas garis.