Sangkring Art | [Exhibition] Putu Sutawijaya’s Solo Exhibition “Guru-Giri”
22568
post-template-default,single,single-post,postid-22568,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

[Exhibition] Putu Sutawijaya’s Solo Exhibition “Guru-Giri”

PUTU SUTAWIJAYA’S SOLO EXIBITION

GURU GIRI

Oleh: Agus Noor

Giri, dalam Jawa Kuno, ialah nama atau penyebutan untuk “Gunung”. Ia juga mengandung makna keagungan, kebesaran dan kemuliaan.  Pada banyak kebudayaan di pelbagai belahan dunia, gunung memang memiliki makna khusus dan penting. Catatan tertua dari era Sumeria (5 SM) menyebut gunung memiliki keterkaitan dengan Dewi Ninshursag, Dewi Ibu Pegunungan, tempat kuil bertingkat Ziggurat, yang dengan Surga sangat dekat.  Kita bisa menambahi banyak kisah mitologis terkait gunung, seperti Gunung Olympus dalam mitologi Yunani. Dalam konteks spi spiritualisme, Gunung Kailash di Himalaya. Gunung Kunlun, Gunung Buzhou, dan Gunung Penglai (China), Gunung Fuji dan Gunung Osore (Jepang)

Khasanah kebudayaan Nusantara pun menyimpan banyak kisah yang terkait dengan gunung. Pada epos La Galigo dari Bugis, kisah gunung tak bisa dilepaskan dari perjalanan dan pergulatan batin tokoh utama Sawerigading. Legenda yang berkaitan dengan gunung pun ada di banyak tempat. Sumatera, Bali hingga Papua. Setiap gunung memiliki kisah-kisah misterius sekaligus aura mistisnya sendiri-sendiri. Gunung dengan dimensi natural, kultural juga sakral.

Pada seni rupa dunia, kita juga akan bersua dengan bermacam imaji gunung  Vincent van Gogh melukis “Mountains at Saint-Rémy”. Ada  87 lukisan Paul Cézanne bertema “Mont Sainte-Victoire”. Kita bisa menyebut nama-nama pelukis (dunia) lainnya yang juga  menggarap tema gunung. Thomas Cole, dengan “Lake with Dead”. Katsushika Hokusai dengan seri “Thirty-Six Views of Mount Fuji”. Thomas Moran dengan “In The Teton Range”. Atau Albert Bierstadt dengan “Among The Siera Navada Mountains”. Lukian gunung yang sedang meletus juga “pernah menjadi trend’ di kalangan pelukis Eropa, seperti bisa kita lihat pada lukisan J.M.W. Tumer yang melukis letusan Gunung Soufrière atau lukisan gunung  Vesuvius karya J.C.C Dahl, guru Lukis Raden Saleh ketika ia belajar di melukis di Dresden, Jerman. Gununng bahkan banyak muncul dalam lukisan klasik Thiongkok  atau Jepang. Lukisan-lukisan tradisional Bali pun kerap kali menghadirkan gunung, dengan beragam simbolismenya.

Sejarah seni rupa Indonesia modern juga banyak “dihiasi” imaji gunung. Sejak Frans Wilhelm Junghuhn, yang pada mulanya meniatkan diri menggambar aneka ragam hayati flora fauna untuk  keperluan botanis dan geologi. Kemudian lanskap gunung menjari ciri khas yang tak terhapuskan dalam lukisan-lukisan bergaya Mooi Indie. Bahkan pernah, pada suatu masa, lukisan dua gunung dengan matahari dan hamparan sawah menjadi imajinasi yang melekat kuat pada gambar-gambar yang dibuat anak-anak.

Gunung menjadi imaji yang menginspirasi. Begitu pun Merapi, banyak mengispirasi para seniman. Puisi dan lukisan. Raden Saleh, Affandi, Basoeki Abdullah,H. Widayat (untuk menyebut beberapa nama) melukis Merapi.

Dengan lanskap seperti itu, menjadi menarik untuk melihat dan memahami bagaimana Putu Sutawijaya tergerak melukis Merapi. Pada pemerannya kali ini, Putu Sutawijaya memilih Gunung Merapi sebagai subject matter yang semiotis. Gunung Merapi tak hanya semata representasi nama dan tempat, tetapi menjadi hamparan makna yang berlapis-lapis.

Putu mulai menggarap tema Merapi ketika terjadi pandemic Covid 19. Merapi mejadi caranya membebaskan diri dari kegelishan, sekaligus sebagai upaya penemuan diri secara spiritual. Ia tak menempatkan meraka berada di kejauan, tetapi “sesuatu” yang mesti ia datangi dan pahami dari dekat. Itulah yang membuatnya memutuskan untuk melakukan on the spot. Cara ini ia pilih bukan hanya karena alasan teknik dan artistik, tetapi lebih sebagai laku dan penjelajahan sekaligus proses dan penghayatan spiritual. Maka, pada lukisan Putu, Merapi tak hanya merepresentasikan nama dan tempat. Ia menjadi imaji yang melimpahkan ruang tafsir Kita bisa merasakan Merapi dengan banyak lapis: dari arkeologis, ekologis, historis hingga mitologis. Kita bahkan amerasakan Merapi yang mistis sebagaimana dalam  garis imajiner “spiritualisme” Jawa, terkait Merapi, keraton dan Laut Selatan.

Dengan caranya yang sugestif, karya-karya Putu memikat kita untuk dengan penuh kesadaran kembali “berguru pada gunung”. Guru Giri, sebagai “sumber pemaknaan, pengetahuan dan kebajikan”.Gunung sebagai puncak spiritualisme.

Bukankah Musa mesti mencapai puncak Gunung Sinai untuk bisa bertemu Yahweh dan menerima dekalog berisi Sepuluh Perintah-Nya? Muhammad, menerima wahyu pertamanya, ketika ia berada dalam sunyi Gua Hira yang berada di ketinggian bukit. Di puncak Golgota, Kristus menerima penyaliban: penderitaan sekaligus penebusan dosa manusia. Usai Baratayuda, setelah tetes darah terakhir mengering di lebuh debu Kurusetra, Yudhistra  berjalan menuju puncak gunung, ditemani seekor anjing, untuk moksa mencapai Nirwana.

Gunung penuh kisah-kisah agung. Kesanalah Putu Sutawijaya mengajak kita berguru dan merenung.  Karena, seperti dalam puisi “Lereng Merapi” karya Sitor Situmorang: “Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini….Aku akan rindu balik pada semua ini…”

Agus Noor, penulis

Mari Berbagi