Sangkring Art | Apa Kabar Kawan by kelompok CAPING @ Sangkring Art Project
705
post-template-default,single,single-post,postid-705,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Apa Kabar Kawan by kelompok CAPING @ Sangkring Art Project

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pembukaan :Kamis, 15 September 2011, Jam 19.00
Diskusi : Jumat, 16 September, Jam 15.00 wib
Pembicara : Bpk. Kiswondo, Yustoni Volunteero, Wahyudin
Pameran berlangsung : 15 – 29 September 2011
Kisah sebuah caping

Caping adalah semacam alat penutup kepala atau bisa disebut topi yang secara tradisionil dipakai oleh petani pada umumnya. Terutama dipakai oleh petani di daratan Asia. Dengan bentuk lingkaran simetris meruncing ke atas atau bulat setangkup kepala orang dewasa, dengan bagian bawah melebar, melebihi besar kepala. Menjadi semacam payung yang ‘nemplok’ di kepala. Biasanya terbuat dari anyaman serutan halus bambu, atau ada juga yang terbuat dari daun pandan, atau sejenis rumputan, bisa juga, daun kelapa atau anyaman bambu.

Caping. Kata tersebut berasal dari bahasa Jawa. Pada tahun 1999, di Yogyakarta, dipakai untuk menamai sebuah kelompok mahasiswa seni yang mendirikan sebuah sanggar. Mereka cukup beragam keberasalannya. Ada yang dari mahasiswa ISI dengan berbagai jurusan, mahasiswa pendidikan seni rupa Unversitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, bahkan mahasiswa APMD dan umum. Jumlah mereka cukup banyak. Berdasarkan data dari ingatan mereka, jumlah anggota sewaktu masih aktif mencapai 40-an orang. Jumlah anggota yang cukup besar untuk kuantitas sebuah kumpulan orang yang belajar seni dengan wadah sebuah sanggar pada waktu itu.

Caping atau lengkapnya Sanggar Caping. Cerita seorang anggotanya yang bernama Budi, “Caping, kata ‘caping’ dipilih karena bermakna melindungi, mengayomi”. Dan, menurut dia, terpilihnya kata tersebut karena kesan yang luar biasa ketika caping dipakai sebagai salah satu item yang harus dipakai oleh mereka sewaktu menjadi mahasisiswa masih baru dan harus menjalani masa OSPEK, semacam masa proses orientasi dan inagurasi mahasiswa baru di ISI. Menurut Budi dan Bayu, Caping; ada nilai kerakyatan yang terkandung di dalamnya. Perlu diketahui kebetulan Budi dan Bayu pada waktu itu juga eksponen aktivis Komunitas Taring Padi yang dulu masih bertempat di Gampingan, eks kampus ISI-seni rupa. Kelihatannya pengaruh Taring Padi dalam awal pembentukan serta pada perjalanan aktifitas kesanggaran mereka cukup kuat hidup mewarnai. Bahkan menurut pendapat Kampret Caping AD/ART sanggar tersebut banyak yang mengacu atau mengadopsi-mencangkok dari AD/ART Komunitas Taring Padi (pada waktu itu masih bernama Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi), walau visi dan misi berbeda. Oleh mereka, Sangar Caping pada awal pembentukan kelompok tersebut memilih bentuk kesanggaran karena dengan sanggar dimaksudkan untuk mengatasi atau mehilangkan sekat-sekat primordial; baik asal kedaerahan, perguruan tinggi mereka berasal, bermacamnya cabang keilmuan, dan multi dimensinya ekspresi seni yang akan disampaikan di antara mereka. Sanggar Caping ini mempunyai struktur yang jelas sebagai organisasi, terlihat mereka mempunyai ketua, bendahara, sekretaris, dan sebagainya. Bahkan mereka pun membentuk divisi-divisi menurut perhatian mereka pada bidang-bidang seni yang ada, semisal divisi seni rupa, divisi film, divisi band, dan divisi performent dan teater. Mereka berkarya bebas dan berkeinginan membuat perubahan di dunia seni rupa Indonesia. Semangat avant gardanisme yang patut kita apresiasi. Namun yang menjadi jelas, salah satu cri khas mereka pada awal waktu pembentukan adalah ciri khas berambut gimbal, bertato, dan ber-perching. Ini menjadi trademark mereka dan menjadi identitas populis di antara mereka pada umumnya.

Caping- sanggar Caping. Sejak pertama mereka membuat wadah tersebut mereka langsung dengan semangat yang tinggi mereka menggebrak dan terlibat aktif melakukan bermacam kegiatan pameran, performent, dan sebagainya. Sontak mereka menjadi popular di kalangan mahasiswa seni rupa di sekitar Yogya bahkan Jawa Tengah. Dengan ciri khas badaniah mereka yang bertato, bergimbal dan ber-perching.

-Lihat saja pada tahun 2000 mereka membuat pameran kolektif yang pertama di Bilik Marsinah sebuah galeri yang dikelola Taring Padi di Gampingan ketika komunitas tersebut masih di sana.

– Pada tahun 2001 dengan judul ‘Mengikat Hati’ mereka membuat pameran bersama di Bristh Council, Jakarta.

– Pada tahun selanjutnya mereka membuat pameran bersama lagi dengan tajuk ‘Jadikan Aku Pacarmu’ di Benteng Vedenburg Yogyakarta.
Selain itu, mereka juga banyak kerja berkesenian bersama sanggar atau kelompok kesenian yang lain, seperti misalnya Kelompok Seni Nurani Senja Jakarta. Nurani Senja adalah sebuah wadah kesenian dari kelompok urban Jakarta yang terdiri dari para pengamen dan anak jalanan. Mereka menempati sebuat lahan taman kecil dan kolong jembatan di Jl. Blora, Menteng, Jakarta.
Para anggota Caping membuat mural bersama dengan kawan kawan Nurse di tembok bangunan di taman tersebut. Bagi Patub Caping, dia sangat terkesan kegiatan tersebut karena menurut kerja sama kolaborasi berkesenian tersebut membuat dia banyak belajar dari rakyat marjinal yang berkesenian juga. Bahkan menurut dia, dia bisa belajar banyak berorganisasi dengan mereka.

Ada suatu cerita kecil yang berkesan di antara para anggota Caping adalah ketika akan melawat ke Jakarta untuk membuat mural bersama Sanggar Nurani Senja. Dengan romantis semangat mereka berpuluh orang naik bersama kereta api kelas ekonomi karena hanya berbekal setiap orang maksimal 50.000 rupiah! Dan, mereka mau mengirit bekal. Mereka tidak beli tiket dan berencana ‘membayar di atas’ saja. Ketika waktu kondektur menagih tiket dan uang, sebagian dari mereka sembunyi di toilet! Digedor kondektur itu pintu toilet mereka pun bertahan di dalam sampai sang kondektur bosan sendiri dan memaklumi. Karena mereka “membayar di atas’ maka mereka tak dapat tempat duduk dan selama perjalanan berpuluh-berpeluh mereka berdesakan di bordes! Sebuah situasi yang sulit kita temui lagi dari sebuah proses berkesenian di kalangan mahasiswa seni seperti sekarang.

Selain itu, Sanggar Caping juga sering membuat kegiatan bersama dengan kelompok-kelompok kesenian mahasiswa di perguruan tinggi lain semisal di Universitas Muhamadiyah Surakarta dengan tajuk ‘Anti Konsumerisme’. Di Universitas Negeri Semarang, dengan membawa isu ‘Anti Amerika’. Di perguruan ini, mereka punya kejadian yang berkesan karena pada suatu performent mereka diprotes oleh seorang dosen di perguruan tinggi tersebut karena performent tersebut menyertakan ayam hidup yang kemudian dipotong oleh mereka. Si dosen tersebut menuduh mereka tidak mempunyai ‘peri kehewanan’, tidak berkehewanan. Ada juga sebuah performent yang diadakan di ISI yang berkesan bagi mereka secara mendalam. Performent tersebut bertajuk ‘Mashroom Is Good’ sebelum berperforment mereka mencari mashroom dari tai sapi yang banyak ditemui di seputaran tanah lapang ISI. Kemudian, mereka memakan bareng mashroom tersebut yang tentu saja setelah dimasak dulu. Setelah efek mashroom gila tersebut berefek ke tubuh mereka, dengan bertelanjang ria mereka pun mengelilingi antar fakultas di ISI dan di akhir performent, mereka mandi di sebuah sumur di kampus dengan telanjang tubuh bebarengan. Semangat avant garda ini pun yang bersifat eksperimentalis dan adventurisme yang sulit ditemui lagi di mahasiswa seni pada waktu ini karena mahasiswa seni lebih memilih (terjebak) ambil jaur aman kuliah cepat lulus atau secara cepat mengabdi di pasar.

Caping . Sanggar Caping. Pada tahun 2003, anak-anak muda ini yang pada mula lahirnya cepat akselerasi dengan ngos-ngosan cepat pula kehabisan nafas hidup. Sewaktu di bawah Ketua Kampret Caping mereka mengadakan musyawarah anggoa. Yang diadakan di suatu tempat di Pantai Parangkusumo Yogyakarta yang salah satu hasil musyawarah tersebut memutustkan bahwa mereka mevakumkan diri dulu tanpa batas waktu yang tak jelas! Sayang seribu sayang.

Ketika penulis menelusuri lagi apa sebenarnya membuat mereka mempingsan diri atau mematisurikan diri ternyata ada beberapa faktor. Misalnya: munculnya kebosanan yang sangat datang melanda. Tetapi kebosanan ini sebenarnya bahwa mereka tidak menemukan jalan temu terhadap dua friksi besar mereka di tingkat internal mereka, yaitu sebagian anggotanya dari mereka menginginkan Sanggar Caping berkesenian ‘bebas’, bebas dari warna dan grafitasi Taring Padi. Dan, di sisi lain sebagian tetap berkeinginan Sanggar Caping tetap berkegiatan seni seperti sewaktu kemunculannya dan menerima pengaruh Taring Padi (yang kerakyatan, berseni sosial politik, dsb) sebagai keniscayaan sejarah yang alamiah mewarnai gerak langkah berkesenian Sanggar Caping walau tidak sepenuhnya sama tentu saja. Selain itu, mereka pun menemukan masalah klasik yang mereka temuin sebagai mahasiswa, yaitu tidak bisanya menyamakan langkah antara kebutuhan kelancaran studi kuliah dan berkegiatan kesenian di dalam sanggar. Pilihannya maju terus kuliah hingga lulus, bersarjana seni, atau berhenti di tengah jalan kuliah dan tetap melanjutkan proses belajar berkesenian di sanggar. Ini mengakibatkan mulai banyak anggota sanggar yang tidak aktif berkegiatan di sanggar. Juga ada faktor ekonomi untuk melanjutkan menyewa rumah untuk sekretariat sanggar.

Dengan sesal, walau dengan kesadaran pikir, mereka pun menyatakan vakum serta memilih berpingsan yang kemudian menyilahkan para anggotanya berproses dengan diri mereka sendiri-sendiri. Dengan harap, pada suatu hari nanti yang tak tentu waktunya, bertemu kembali untuk berkerja sama dan membuat kejadian berkesenian bersama lagi.
Setelah 8 tahun mereka vakum pada tahun 2011 ada beberapa anggota yang mempunyai ide untuk mencoba mengumpulkan ‘tulang belulang yang terpisah’ dari anggota-anggota Sanggar Caping dengan berpameran di Ruang Proses Galeri Sangkring Yogyakarta. Selain menjadi ajang reunian antara mereka, ini juga untuk mengenalkan kembali keberadaan Sanggar Caping kepada khalayak publik seni di Yogyakarta serta Indonesia bahwa mereka pernah ada dan serta mewarnai proses sejarah seni rupa Indonesia. Juga, walau mereka pada umumnya menyerahkan pada kealamiahan waktu dan ruang, serta kebutuhan untuk mendirikan dan menghidupkan kembali Sanggar Caping, sebagian mereka pun sebenarnya masih menyimpan semangat membara untuk berkeinginan Sanggar Caping bisa bangkit lagi dari kuburnya dengan semangat baru, dengan visi baru dan misi baru. Wadah yang dibutuhkan untuk berorganisasi dan dapat menjadi support bagi kawan-kawan lain yang sedang berproses berkarya dan berkesenian lainnya. Atau, bahkan menjadi temapat untuk saling membantu berkarya, bekerja bagi kawan-kawan anggota Sanggar Caping yang tidak aktif berkarya seni lagi. Walaupun menurut pengalaman penulis sendiri mau berkarya lagi dan memilih berprofesi menjadi seniman harus diimbangi kerja keras dan disiplin, serta berproses yang alamiah.
Jadi, Sanggar Caping mau dihidupkan kembali? Kenapa tidak? Siapa takut? Monggo mawon… Hanya kawan-kawan Sanggar Caping yang bisa jawab sendiri.

Caping. Si Caping.
Pada suatu pagi setelah ngopi – ngeteh serta sarapan.
Topi petani itu diambil oleh Pak Toni dan Bu Lely dari tembok rumah bagian belakang. Dan, tak lupa Pak Toni mengambil pula sebuah pacul dan sabit, sedangkan Bu Lely membawa selendang dan keranjang bambu berisi bekal, serta sabit kecil. Berdua pun pergi ke sawah dan kebun kecil mereka. Dua petani sederhana ini mempunyai bermacam pohon sayuran dan pohon buah-buahan. Ada tanaman terong hijau dan ungu, cabai rawit, cabai merah, cabai hijau, sayur kacang panjang, sereh, pandan wangi, jahe, kunir, lengkuas, dan ketela. Juga ada pohon buah-buahan, seperti pohon pisang, pohon pepaya, pohon alpokat, jeruk, durian, dan mangga.
Mereka pun punya kolam ikan lele.
Mereka hidup sederhana dan bahagia dengan ditemani kucing-kucing dan anjing.
Kupu-kupu serta burung-burung pun turut serta menyanyi menghibur
Pagi yang cerah, jelang siang pun memulai
Panas terik matahari mulai merambat menjadi
Tapi tak apa ada Si Caping,
Si pelindung kepala.
Teduh dan mengayomi…

Yustoni Volunteero
(penulis lepas kendali)

 

 

Menamai Ingatan atas Sanggar Caping


Sebuah Komunitas para pekerja seni rupa didirikan di antara penghujung tahun ‘90-an dan menyambut tahun 2000 oleh beberapa fasilitator aktivis Gerakan Budaya cum Pekerja Seni Rupa. Oleh mereka, kelompok ini sebermula diberi nama Sanggar Caping. Berdasarkan ingatan saya, para fasilitator yang menginisiasi berdirinya komunitas Seni Rupa Caping tersebut adalah, maaf hanya sekadar menyebut beberapa nama untuk acuan: Budi Santoso, Bayu Wardana, Budiono,…. Pada perkembangan selanjutnya, ketika sanggar ini sudah berdiri dan beraktivitas, para partisipannya mengambil peranan yang aktif, dinamis, dan memberikan sumbangan yang berarti untuk komunitas mereka.
Mengapa Komunitas ini memakai nama CAPING? Mungkin orang yang mendengar nama komunitas ini akan bertanya-tanya, “Ya, mengapa mereka memilih nama Caping?” Apakah anda sama seperti saya, yang ketika pertama kali mendengar nama ini lantas di kepala saya berhamburan pertanyaan mengapa bernama Caping; apa yang hendak diacu sebagai penanda gerak dan arah gerak yang ingin dicapai, sehingga pilihan nama yang diambil semacam itu; makna signifikan apakah yang mau dijadikan referensi atas komunitas ini?
Ketika pertanyaan terkait saya lontarkan dalam suatu kesempatan jagongan bersama teman-teman Komunitas Caping, saya baru mendapatkan secercah harapan agar bisa memaknai pilihan nama ini. Dalam kesempatan yang sama, saya akhirnya juga baru tahu, bahwa nama Caping pertama kali diusulkan oleh Agus Budi Cahyono, yang saat ini banyak berdomisili di Magelang sebagai designer modifikasi motor.
Sanggar Caping, kalau mau dimaknai, akan sangat menarik diletakkan dalam semangat awalnya; yakni komitmen sosial seni rupa. Pengunaan nama Caping mengacu pada ikon petani (kaum tani), beserta segala macam realitas dan problematika peminggiran rakyat kecil dan isu-isu ekologis. Pada awalnya, memang dikesankan oleh para partisipan bahwa sanggar Caping akan melakukan konsentrasi isu-isu tersebut di atas ketika mereka berkomitmen sosial dalam seni rupa. Namun, dalam proses perjalanan waktu, apakah konsentrasi pilihan komitmen sosial ini dapat dijalankan? Secara garis besar pilihan komitmen sosial dan isu pokok itu tercermin dalam pilihan sebagaian besar teman-teman Caping, meskipun ada juga yang memilih pilihan lain.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah mengapa mereka memilih berkomitmen sosial dalam berseni rupa dan -lebih khusus lagi- mengapa memilih isu tersebut di atas? Memang, tak dapat disangkal bahwa kemunculan sanggar ini masih dalam situasi hangat euphoria perlawanan, demokratisasi, dan keterbukaan paska mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan yang telah dipegangnya selama tidak kurang dari 30 tahun. Pada dekade ini, memang kita menemukan semangat yang begitu membuncah akan komitmen sosial dan praksis gerakan budaya keberpihakan kepada rakyat, pembebasan, dan demokratisasi seni rupa dalam artian seluas-luasnya. Dalam tensi sosial yang semacam inilah Caping mulai hadir dan berkiprah. Informasi yang tak kalah penting; tahun berdirinya sanggar ini tak beda jauh dengan berdirinya Taring Padi. Mengapa hal ini dikatakan? Ini menunjukkan bahwa kegelisahan kalangan muda seni rupa memang sedang menemukan momentumnya untuk muncul dan memformulasikan bentuk ucap. Lantas apa hubungannya dengan Taring Padi?
Selain berdekatan tahun berdirinya, sanggar ini boleh dikata memiliki hubungan simbiosis-mutualisme dengan komunitas gerakan budaya Taring Padi, yang pada masa sanggar Caping berdiri komunitas ini masih bernama Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi (LBK-TP). Bahkan salah satu inisiatornya, Budi Santoso, adalah orang yang pernah berproses dan tinggal bersama lembaga ini ketika belum masuk menjadi mahasiswa ISI hingga banyak orang mengatakan bahwa pada masa awal berdirinya Sanggar Caping sangat ke-TP-TP-an, atau kekiri-kirian. Atau, secara netral, dapat dikatakan bahwa ada semburat warna influence LBK TP pada Sanggar Caping di masa awal kiprahnya. Sembari mengatakan hal di atas, sebenarnya, saya menolak untuk bersepakat terhadap anggapan dan penilaian yang mengatakan bahwa Sanggar Caping terpengaruh secara penuh oleh TP pun terhadap anggapan yang mengatakan bahwa Sangar Caping ke-TP-TP-an karena pada proses-proses berikutnya masing-masing individu Caping maupun Caping sebagai komunitas toh mampu mengembangkan pemikiran dan praksis berkeseniannya secara mandiri dan tidak selalu sebangun dengan TP.
Hal ini memang tidak berarti apa-apa. Saya jauh dari tendensi untuk mengatakan bahwa Caping di bawah bayang-bayang Taring Padi dan -karena itu- kualitasnya di bawah TP. Bukan. Bukan itu maksud saya. Toh pada masa itu memang LBK TP merupakan alternatif baru setelah keluar dari pembekuan seni rupa berkomitmen sosial di masa-masa Orde Baru. Maka, wajar saja kalau hal ini mengilhami kalangan pekerja seni rupa muda pada masanya. Pun –mungkin- wajar saja kalau LBK TP pada waktu itu menjadi salah satu referensi dari banyak pilihan acuan yang tersedia ketika komunitas ini memilih pemikiran dan praksis bersenirupanya.
Sebagai orang yang bisa mengamati dari jarak cukup dekat dengan teman-teman Komunitas Caping, yang juga mengamati bagaimana teman-teman dari LBK Taring Padi (sekedar menyebut beberapa nama Toni Volunteero, Surya Wirawan, Aris Prabawa, Hestu A. Nugroho, M. Yusuf, Devi Setyawan, Dodi Irwandi dan Saiful Bahri) cukup intensif berinteraksi dan memfasilitasi teman-teman Sanggar Caping. Saya kira sumbangan pemikiran, gaya berseni rupa dan –bahkan- , dalam skala tertentu, gaya hidup beberapa teman ini meninggalkan tapak tilas dalam diri teman-teman Caping secara pribadi maupun aktivitas komunitas Caping pada fase-fase awal berdirinya, entah kalau sekarang? Apakah saya salah (saya kurang pasti)? Perlu dikatakan di sini Caping tetap memiliki ciri khasnya tersendiri.
Sejak TP pindah dari skretariatnya di Eks-ASRI Gampingan ke Dusun Ngijo, sekretariat Sanggar Caping, menyusul setelah Sanggar Caping memutuskan untuk sementara waktu (yang akhirnya terus berjalan sampai saat ini sehingga tidak lagi menjadi sementara waktu) membekukan diri, menjadikan Sanggar Caping bukan lagi Ke-TP-TP-an, melainkan sebagian besar anggotanya kemudian memang benar-benar melebur bertransformasi menjadi anggota Komunitas TP, bahkan sampai saat ini, mayoritas partisipan aktif TP sebagian besar adalah teman-teman ”eks” Sanggar Caping. Inilah hebatnya Caping. Mereka mampu melanjutkan dan memberi warna baru TP. Barangkali boleh dikatakan juga sebaliknya, inilah hebatnya TP, mampu merekrut dan memfasilitasi pelanjut dari kalangan Sanggar Caping yang secara komitmen sosial seni rupa terdapat sisi visi yang barangkali sejalan. Barangkali, ini hanya sekadar pemaknaan subjektif saya, anda bisa memaknainya secara berbeda.

II
Caping adalah sebuah Komunitas para pekerja seni rupa yang khas. Komunitas ini memiliki keberagaman karena didirikan oleh beberapa orang yang paling tidak berasal dari dua Universitas yakni ISI dan Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Seni rupa Universitas Sarjana Wiyata – Tamansiswa. Berbeda dari kebiasaan di ISI yang mode pembentukan kelompok atau komunitasnya berdasarkan angkatan masuk ISI. Pembentukan komunitas ini pun lintas bantas jurusan atau bidang studi Seni Rupa yang dilakoni para pendiri dan partisipan atau anggotanya, mereka bukan hanya dari satu bidang studi spesialisasi melainkan dari program studi seni murni (seni rupa) dan juga patung. Malahan di luar itu juga ada para pengiat dan anggota yang berasal dari bidang studi dan Universitas yang tidak berhubungan dengan seni rupa. Semisal ada penggiat yang berasal dari aktivis jurnalistik maupun teman-teman dari Perguruan Tinggi dan bidang studi lainnya.
Di luar itu, juga terdapat keunikan lain, yakni keberagaman asal muasal, pilihan religiusitas, gender, sampai ke keberagaman pilihan media berseni rupa yang ditekuni masing-masing. Hal ini juga sangat unik karena teman-teman Caping ini tidak merupakan pengelompokan berdasarkan etnisitas maupun ikatan primordial lainnya, bukan seperti halnya beberapa sanggar yang basis pendiriannya berdasarkan daerah asal-muasal. Yang lebih penting lagi, -ternyata- dalam pilihan komitmen sosial, kelompok ini pun plural dengan membebaskan para partisipannnya untuk menjalankan pilihan-pilihan masing-masing. Meskipun demikian, sempat juga terjadi tarikan yang kuat atas kecenderungan tendensi komitmen sosial. Dari cerita yang saya dengar dalam obrolan dengan teman-teman Caping, tarik-tarikan ini yang tidak terselesaikan hingga Caping memilih untuk vakum sampai saat ini. Ini berbeda dengan Taring Padi yang disatukan oleh politik komitmen sosial seni rupanya.

III
Ketika diminta oleh teman-teman untuk ikut menulis Pameran Sanggar Caping kali ini, saya sangat antusias. Ini adalah kali kedua saya menulis untuk pameran Sanggar Caping. Saya memberanikan diri untuk menulis meskipun sampai saat masa akhir deadline saya belum melihat karya-karya fisik maupun versi digital. Akhirnya, saya hanya bisa menuliskan tentang Caping sebagai komunitas. Kali pertama saya diminta menulis ketika pameran perdana Sanggar Caping di ruang Ajiaksa Eks Kampus ISI Gampingan tahun 2000-an. Masa itu, semangat gerakan budaya teman-teman komunitas Caping masih menyala berkobar-kobar, tetapi kini masih adakah nyala itu, atau tepatnya, masih perlukah nyala itu? Waktu itu, saya terkesima oleh klebatan warna-warni pelangi impian-impian sahabat-sahabat Caping. Moga-moga impian-impian itu sekarang sudah berhasil direbut dari awang uwung, lalu diberi ruh dan darah-daging serta dihidupkan menjadi kenyataan.
Pameran Caping kali ke sekian ini, disemangati oleh kerinduan untuk kembali bertemu (lebih bermakna sebagai pertemuan ide dan pemikiran, karena walaupun mobilitas sosial teman-teman Caping tinggi, toh secara fisik masih sering ada perjumpaan antar anggota komunitas), setelah masing-masing individu partisipannya melakukan perjalanan jauh dan panjang (baik dalam pengertian harafiah mobilisasi antar kota antar propinsi antar negara bahkan antar benua, maupun perjalanan dalam artian kiasan perjalanan lintas batas budaya, pemikiran, pengetahuan serta praksis sosial dan seni rupanya) menempuh aktivitasnya masing-masing. Perjalanan proses berseni rupa partisipan Caping ini juga menempuh ruang waktu yang panjang.
Kerinduan itu menjadi sebentuk keinginan untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dari hasil kembara spiritual, pemikiran dan proses kreatif. Tentu saja pertemuan ini kali bukan hanya sekadar untuk berkata: ”Halo apa kabar, Kawan?” Namun, apakah yang layak menjadi agenda yang ingin dituju oleh perjumpaan ini? Apalagi hanya untuk sekadar setor karya yang akan dipamerkan bersama. Lebih dari itu, idealnya bermakna sebagai saling berefleksi dan saling mengapresiasi pencapaian masing-masing kawan. Bertukar ide dan gagasan, menyandingkan dan menandingkan pencapaian kreativitas berseni rupa. Selanjutnya, pada tingkat tertinggi, untuk saling belajar dan sepakat melakukan kerja-kerja bersama berseni rupa lain di masa-masa mendatang.
Kesempatan semacam ini menjadi menarik manakala tidak hanya untuk melakukan refleksi dan apresiasi pencapaian visual artistik dan pemikiran seni rupa, namun lebih menarik juga untuk menyoal apa pencapaian budaya yang telah dijalani oleh sahabat-sahabat Caping sebagai individu maupun sebagai kesatuan ide dan impian yang pernah coba dibangun dan dihidupi secara bersama-sama sebagai komunitas. Alangkah baiknya, kalau kebiasaan kumpul lagi dan berpameran bersama ini, bisa ditradisikan menjadi projek rutin yang lebih terencana, melakukan pameran dengan proses bersama secara matang. Semoga harapan-harapan itu terwujud dan kelebat impian-impian makin dekat dengan proses dibumikan, asal jangan cepat-cepat dikebumikan.
Akhirnya Selamat bersua kembali dan selamat berpameran. Selamat dan sukses.
Kiswondo

 

Image ‘Apa Kabar Kawan….’ 

Mari Berbagi