Bingkai Gerak dan Suara, Noella Roos
Selama tanggal 14 hingga 31 Agustus 2015, Sangkring Art Space menggelar pameran bertajuk “Between The Lines” karya seniman Noella Roos. Pada malam pembukaan turut dihadirkan ‘Live Art Performance’. Sebuah pertunjukan hasil kerja tiga wilayah seni: rupa, tari dan musik.
Di galeri seluas 200 meter persegi itu, panggung dan ruang pamer nampak gelap. Perlahan terdengar suara dari gesekan senar contra bass. Terdapat sebuah papan putih dengan memanfaatkan bola sebagai penyangga. Di atasnya, tubuh serba putih meliuk gemulai, menari bebas sembari tetap menjaga keseimbangan. Sementara seorang perempuan tengah menghadap papan gambar berbekal charcoal. Menikmati suara dan memperhatikan penari, ia hanyut dalam momen. Lampu mulai menyala remang, ketiganya saling menghayati satu sama lain.
Pertunjukan tersebut ditampilkan oleh Fendy Rizk pemain contra bass, Ari Rudenko penari, dan Noella Roos penggambar. Live Art Perform merupakan bagian dari pameran tunggal Noella Roos bertajuk “Between The Lines”. Noella Roos (46), adalah perempuan berkebangsaan Belanda yang sudah 5 tahun menetap di Ubud, Bali. Pameran bermaksud mengungkapkan ekspresi, sensualitas, kehidupan dan emosi yang hadir di antara garis pada setiap karyanya. Pameran menghadirkan 20 karya besar berukuran 150cm x 180cm, juga dua film dokumenter mengenai proses pengkaryaan. Ini merupakan pameran tunggal pertamanya selama ia tinggal di Indonesia. Pameran sengaja di kemas dengan tour, sebelumnya ia telah memamerkan di Cemara Galeri, Jakarta pada Juli 2015.
Tari, musik dan gambar adalah tiga wilayah berbeda yang ingin ditampilkan Noella dalam satu karya seni. Karya yang digambar dalam pameran adalah objek bergerak. Seniman ini memiliki cara tersendiri, ia sengaja tidak melakukan kontak percakapan dan tidak mengarahkan gaya apapun. Proses ini sama persis ketika dihadirkan bersama musik. Jadi hasil gambar bukanlah dokumentasi dari tari ataupun musik. Namun karya gambar adalah hasil kerja bersama, baik dengan pemusik maupun penari. Mereka saling berbagai energi dengan porsi yang sama. Jika di Bali kita mengenal Taksu, maka proses pengkaryaannya bisa diibaratkan demikian. Proses menggambar menjangkit wilayah trance untuk beberapa saat. Ketika energi hadir padanya, juga satu sama lain. Semua akan berjalan selaras, jika musik bermain lembut, maka penari bergerak dengan pelan, begitu juga menggambar dengan lebih tenang. Namun di saat musik lebih keras, keduanya akan tampil semakin ekspresif. Uniknya tak pernah dapat di duga kapan momen pelan dan keras akan terjadi. Seolah seperti dikendalikan oleh kekuatan lain.
Perempuan kelahiran Amsterdam ini menaruh ketertarikan khusus kepada dunia tari, terlihat dari karya lukis yang ia kerjakan semenjak tahun 1998. Ia banyak menghadirkan gambar penari, baik tradisional maupun kontemporer. Dihadirkan dalam bentuk potret yang tidak begitu ekspresif. Khasnya, menggunakan background kosong nan gelap. Hal ini menurutnya, dengan tujuan agar ia dapat menjelajahi dunia batin si obyek. Noella sangat merasakan bahwa sebuah tarian menggambarkan kehidupan nyata, ”Ibarat kehilangan seorang kekasih, pasti ada awal di mana ada argumen terlebih dahulu, lalu pertengkaran dan lain sebagainya.” ungkapnya. Bahkan selama dua tahun ia mengikuti kehidupan penari dan turut beraktifitas dalam kehidupan tari. Ia juga belajar menari untuk karya lukisnya.
Menurutnya, arena tari adalah hal personal. Ketika melihat orang menari, Noella merasa sedang berkomunikasi. Gerakan tari sebagai komunikasi yang sangat personal. Ia mengibaratkan “Jika anda menyuruh seseorang duduk, ia akan duduk tegap. Namun ketika seorang penari anda suruh duduk, penari itu akan memberikan arti sendiri lewat cara dia duduk.” Mengenai pengaruh ke-indonesiaan dalam karyanya, ia menjawab “Aku tidak memutuskan menghadirkan tema tentang Indonesia, meskipun beberapa gambar berisi para penari tradisional, aku lebih nyaman untuk menjadikan tema karya sebagai bagian dari personalitas atas tarian.” Sejauh pengalamannya melukis, justru Noella selalu merasa kalau lukisan yang ia ciptakan adalah untuk orang lain.
Proses kerja dari karya yang dipamerkan telah memakan waktu selama dua tahun. Ia menyisihkan porsi waktu selama 4 jam dalam sehari untuk melihat, merasakan, dan kontak langsung dengan penarinya. Dua jam pertama, ia menonton. Dua jam selanjutnya ia berkoneksi, bertukar energi “Taksu” (menggambar). Ketika proses tersebut dihadirkan secara live Ia mendapat banyak kejutan. Bulan lalu pada saat perform di Jakarta, pengunjung sampai ada yang menangis. Respon ini sempat membuat heran kolaborator Fendy Risk. Ia tak pernah membayangkan jika musiknya dinikmati sedalam itu. Lain hal ketika dilangsungkan di Sangkring Art Space. Noella merasa mendapat sebuah kehormatan. Oleh karena dihadiri penari Didik Nini Thowok juga Kartika Affandi. Performance malam itu sempat mengingatkan Kartika dengan sosok maestro Affandi, beliau gemar melukis on the spot dengan begitu ekspresif.
Mengenai pemilihan lokasi pameran di Sangkring Ar Space, Noella menyampaikan pendapatnya bahwa ia merasa senang dapet berpameran di Sangkring. Meski sebelumnya ia belum begitu tahu banyak mengenai Galeri Sangkring. Bahkan ketika berkomunikasi dengan manajemen via Vi Mee Yei, ia sempat menganggap Sangkring sebagai Galeri yang terlalu komersil. Ternyata itu hanya soal miskomunikasi. Justru ketika bertemu langsung dengan pihak-pihak Sangkring ia berubah pandangan kalau Sangkring benar-benar ruang seni seperti apa yang ia harapkan. Noella mengambil kesan, kesempatan pameran di Sangkring dapat membuat karyanya menonjol. Sangkring punya posisi sendiri dalam memamerkan karya. Kinerja bagus dan di bantu tim display yang professional. Noella tidak tahu persis bagaimana pengunjung, khususnya masyarakat Jogja dapat menerima karya-nya atau tidak. Tapi yang jelas gelaran pameran di Sangkring cukup sukses baginya, dan ia merasa puas. (Sangkring/Huhum Hambilly)