Sangkring Art | [Exhibition] Journey of Friendship
22260
post-template-default,single,single-post,postid-22260,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

[Exhibition] Journey of Friendship

Friendship in Art; Bridges We Build

Terlanjur dunia percaya bahwa Vincent van Gogh kesepian. Selama hidupnya.

Tentang perasaan itu, pernah dia mengakuinya dalam surat kepada Theo van Gogh pada 1 Desember 1883. ”I say loneliness, and not solitude, but that loneliness – which a painter has to bear, whom everybody in such isolated areas regards as a lunatic, a murderer, a tramp, etc. etc.

Meskipun mengalaminya, tapi cerita kesepian Vincent van Gogh itu tak sepenuhnya benar. Sebagai seniman, van Gogh justru punya banyak hubungan dengan sesama pelukis. Dia bekerja dengan beberapa dari mereka. Bahkan di hari-hari terpuruk yang dialaminya, dia dikelilingi teman-teman yang mendukungnya.

Kalau pun ada kesepian, barangkali yang benar adalah kesendirian. Apalagi seniman bukan golongan orang yang kesepian. Yang benar, mereka menikmati kesendirian.

Ada beda dengan keduanya. Kesepian bisa terjadi saat seseorang dalam keadaan depresi dan kebingungan mengambil yang terbaik untuk dirinya sendiri. Sementara kesendirian bisa terjadi dan berhubungan dengan kondisi terbaik yang seseorang butuhkan. Seperti seniman yang membutuhkan keheningan untuk berkarya. Agar kreativitasnya tercurahkan. Menjadi karya seni.

Masih dalam suratnya kepada Theo van Gogh pada Januari 1876, Vincent van Gogh menggambarkan bahwa teman adalah salah satu jalan keluar yang menuntun seseorang keluar dari masalah. ”We feel lonely now and then and long for friends and think we should be quite different and happier if we found a friend of whom we might say: ’He is the one’. But you, too, will begin to learn that there is much self-deception behind this longing; if we yielded too much to it, it would lead us from the road.”

Vincent van Gogh benar dalam hal ini. Dalam seni, persahabatan sangat penting. Ia dapat mengubah hidup. Terbangun seperti ’jembatan-jembatan’ yang menghubungkan dengan banyak hal. Yang paling terdekat tentu saja untuk memahami diri kita sendiri. Lantas orang lain.

Persahabatan membawa seseorang melihat ke dalam dan mendengarkan suara hatinya sendiri. Menyadari siapa kita. Persahabatan mampu menghubungkan kita dengan pikiran, perasaan, persepsi, dan realitas, serta pengalaman di luar diri.

Sebagai seniman, penting untuk mengelilingi diri kita dengan sahabat-sahabat itu. Apalagi persahabatan yang diciptakan bersama dalam koridor seni. ’Jembatan’ semacam itu akan menuntun kita pada serangkaian pengalaman dan ide baru yang mungkin belum pernah kita saksikan sebelumnya.

Pengalaman ini memungkinkan kita untuk memutuskan apa yang kita lihat dan rasakan berdasarkan hubungan emosional yang kita miliki dalam persahabatan. Pilihan itu membuat kita bersemangat, menyadari apa yang kita pedulikan, dan apa yang kita perjuangkan. Ketika menyadari hal ini, kita cenderung lebih bahagia dan lebih sehat sebagai individu karena tahu tujuan hidup berjalan ke mana.

Dalam dunia termutakhir, pemahaman kita tentang persahabatan kian tertantang dan diuji. Salah satunya apakah persahabatan virtual adalah termasuk persahabatan sejati yang selama ini kita agungkan dengan cara yang mendasar; bertemu dan berinteraksi tanpa perantara.

Sementara di abad ke-20 hingga awal abad ke-21, persahabatan menjadi penting sebagai warga dunia. Terkadang lebih penting dari keluarga atau agama. Dukungan yang orang temukan pada persahabatan menjadi penting karena membantu mereka bertahan di masa-masa sulit. Maka bersahabat menjadi lebih berharga dari sebelumnya.

Tapi abad baru membawa ancaman baru dalam persahabatan. Ketika ada beberapa pasal yang menganggu jalinannya. Terkadang sulit membina hubungan dengan orang-orang dari berbagai negara lain karena –minimal- dihadang oleh konflik kepentingan politik dan teritorial. Regulasi yang berbeda antarnegara membuat batasan dan menciptakan garis dukungan yang harus berpihak jelas. Padahal masalah-masalah dunia butuh ditangani secara global tanpa sekat.

Sebagai penduduk dunia, penghuni bumi disadarkan betapa pentingnya memiliki persahabatan yang bisa diandalkan. Hubungan yang universal dengan ada empati di dalamnya. Tanpa menghitung timbal balik. Hanya butuh peduli tak perlu berpikir membalas budi.

Maka perlu membentuk persahabatan yang murni. Sebuah jenis hubungan yang dipersatukan di bawah cita-cita yang sama tanpa memandang ideologi seperti sosialisme atau antirasisme. Melahirkan interaksi yang dekat, hangat, emosional, intim, dan bebas dari utilitas.

Di era komunikasi baru, cara menjalin hubungan itu menjadi lebih luas. Orang yang belum pernah bertemu secara langsung menjalin kontak mengembangkan hubungan persahabatan dengan cepat instan. Ponsel dan jejaring sosial telah menciptakan jenis pertemanan baru; pertemanan virtual.

Masih dalam perdebatan apakah teknologi telah menyatukan kita atau justru mengasingkan kita. Tidak ada jawaban pasti atas pertanyaan ini. Yang jelas, bentuk persahabatan baru ini tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah.

Harapannya hanya satu; hubungan itu membagi separo kesedihan dan menggandakan kesenangan kita. A relationship that halves our sorrows and doubles our joys.

Bisakah? Dalam seni, jawabannya; iya!

Sebab seni bisa menyatukan yang terserak. Dengan seni, orang rela dan terbuka berbagi keindahan di ruang publik. Berinteraksi dan melihat visi baru melalui seni. Hadir dengan kegelisahan yang hampir sama, tapi berkumpul karena suatu alasan; menemukan kesenangan dan kegembiraan.

Seni membuka batas budaya dan membantu kita untuk saling mengenal. Semua percaya para seniman memiliki perjuangan yang sama untuk kemanusiaan. Ada keinginan untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Tanpa mempertimbangkan status sosial atau dari mana kita berasal. Silaturahmi membawa karya seni dari tempat yang berbeda adalah pernyataan hidup untuk tidak menambah perbedaan antarmanusia.

Ada pendapat bahwa tanpa orang-orang yang melakukan seni secara kolektif, manusia hanya akan membuang-buang waktu. Ya! Tanpa seni kita memang tidak akan memiliki ruang untuk refleksi kolektif tentang berbagai masalah dunia yang tak habis. Tapi seni, membuat manusia mengomunikasikannya melalui ekspresi artistik yang sangat menantang semangat dan daya hidup.

Tak dipungkiri, setiap seniman selalu bisa melampaui pesan-pesan yang dipampang di ’tembok’ pariwara mana pun. Lewat sesuatu yang mereka ciptakan hingga membuat orang tersentuh. Lewat karyanya, seniman telah mengajak banyak sekali orang menikmati seni keindahan dalam segala bentuknya. Mereka membantu sesama untuk lebih peka sebagai manusia dan menghindari menciptakan lebih banyak batasan yang membelenggu.

Maka sangat penting untuk menjaga dan memelihara ruang-ruang seni yang terbuka di mana pun. Dalam bentuk apa pun. Agar mempertemukan orang baru dan generasi baru tiada henti. Bergerak semakin dekat dengan kebenaran tentang seni yang dapat menyatukan siapa saja dan apa saja  untuk tujuan yang lebih baik. Termasuk menyadarkan pentingnya persahabatan dalam seni itu sebagai ’jembatan’ menuju perdamaian.

Inilah letak kebahagiaan terbesar di tangan seniman itu.

Di tengah kesepian-kesepian yang dialaminya, Vincent van Gogh pun telah menyadari bahwa menjadi seniman atau orang yang bergelut dalam seni adalah sesuatu yang paling menarik dalam hidupnya. ”The artist’s life, and what an artist is, it is all very curious – how deep it is – how infinitely deep.”

Sependapat dengannya, sejumlah seniman dari 10 negara –Indonesia,  Malaysia, Myanmar, Mauritius, Australia, Jepang, Vietnam, Singapura,  Taiwan, dan Thailand- yang terlibat dalam Journey of Friendship telah membuktikan sendiri. Bahwa kehidupan yang paling menarik dalam hidup adalah menjadi seniman. Bersahabat di dalam seni, terutama. Sebab tak terhitung berapa banyak sudah ’jembatan’ dibangun untuk membuat seni berhasil menghubungkan berbagai hal yang selama ini seolah mustahil bertalian. (*)

Oleh: Heti Palestina Yunani

Penulis, tinggal di Surabaya

Mari Berbagi