Sangkring Art | LOREM IPSUM: SISYPHUS AND THE STONE @Sangkring Art Project
1277
post-template-default,single,single-post,postid-1277,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

LOREM IPSUM: SISYPHUS AND THE STONE @Sangkring Art Project

Pameran: LOREM IPSUM: SISYPHUS AND THE STONE
Oleh: Bibiana lee (Jakarta), Daniel Rudy Haryanto (Jakarta), Dedy Sufriadi (Yogyakarta), Dedy Shofianto     (Yogyakarta), Franziska Fennert (Yogyakarta), Ida Bagus Putu Purwa (Bali), Ismanto Wahyudi (Yogyakarta), Joko ‘Gundul’ Sulistiono (Yogyakarta), M.A. Roziq (Yogyakarta), Safrie Effendi (Jakarta), Suharmanto (Yogyakarta), Wayan Paramartha (Bali)
Penulis: Dedi Yuniarto
Pembukaan: Kamis, 16 Juni 2016
Di buka Oleh: Ronnie S. Haryanto
Pameran berlangsung : 16 Juni – 19 Juli 2016

 

“LOREM IPSUM: Sisyphus and the Stone”

“Tidak ada yang menyukai kepedihan, yang mencarinya dan ingin merasakannya, semata karena pedih rasanya…”

— Marcus Tullius Cicero

         LOREM IPSUM terlanjur dikenal sebagai teks standar yang berfungsi sebagai demostrator elemen grafis atau presentasi visual seperti menyangkut font, typografi serta tata letak. Ia telah menjadi standar contoh teks sejak tahun 1500-an, saat seorang tukang cetak tak dikenal mengambil sebuah kumpulan teks dan mengacaknya untuk menjadi buku contoh huruf. Sementara maksud penggunaan lorem ipsum itu sendiri agar pengamat tidak terlalu berkonsentrasi kepada arti harfiah per-kalimat, melainkan lebih kepada elemen teks serta desain (dummy) yang hendak dipresentasikan.

         Lorem ipsum berakar dari sebuah naskah sastra latin klasik yang ditulis sekitar era 45 SM. Ia berasal dari bagian naskah berjudul “de Finibus Bonorum et Malorum” atau “Sisi Ekstrim dari Kebaikan dan Kejahatan” sebuah karya Marcus Tullius Cicero. Karya sastra ini merupakan risalah dari teori etika yang sangat terkenal pada masa Renaissance. Pada bagian akhir naskah tercantum paragraf yang berbunyi sebagai berikut:

“Neque porro quisquam est, qui dolorem ipsum, quia dolor sit, amet, consectetur, adipisci velit, sed quia non numquam eius modi tempora incidunt, ut labore et dolore magnam aliquam quaerat voluptatem. Ut enim ad minima veniam, quis nostrum exercitationem ullam corporis suscipit laboriosam, nisi ut aliquid ex ea commodi consequatur? Quis autem vel eum iure reprehenderit, qui in ea voluptate velit esse, quam nihil molestiae consequatur, vel illum, qui dolorem eum fugiat, quo voluptas nulla pariatur?”

 

Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia adalah sbb:

“Demikian pula, tidak adakah orang yang mencintai atau mengejar atau ingin mengalami penderitaan, bukan semata-mata karena penderitaan itu sendiri, tetapi karena sesekali terjadi keadaan di mana susah-payah dan penderitaan dapat memberikan kepadanya kesenangan yang besar. Sebagai contoh sederhana, siapakah di antara kita yang pernah melakukan pekerjaan fisik yang berat, selain untuk memperoleh manfaat daripadanya? Tetapi siapakah yang berhak untuk mencari kesalahan pada diri orang yang memilih untuk menikmati kesenangan yang tidak menimbulkan akibat-akibat yang mengganggu, atau orang yang menghindari penderitaan yang tidak menghasilkan kesenangan?”

         Sebagaimana makna naskah Cicero di atas, bisa jadi dunia manusia digambarkan sebagai dunia Sisifus yang dikutuk oleh Dewa Zeus untuk menggendong sebongkah batu berat ke atas puncak gunung, dan tiap kali sampai di puncak, batu itu digelindingkannya kembali ke dasar. Diangkatnya batu ke puncak, dan digelindingkannya kembali. Demikian selama-lamanya. Namun perbuatan yang berulang-ulang itu kian lama justru menumbuhkan semacam hubungan imbal-balik antara Sisifus dengan batu yang digendongnya. Wajah dan seluruh otot-otot tubuhnya yang seraya bekerja keras dan begitu dekat dengan batu itu, perlahan-lahan berubah menjadi sekeras benda yang digendongnya. Sisifus bahkan lebih keras ketimbang batu karang.

         Penderitaan bukanlah lagi semata-mata sebagai ‘beban’ manakala kita berhasil mengabstraksikannya ke dalam alam pikiran sebagai ‘proses’ dari kehidupan. Situasi-situasi tidak ideal bisa menjadi bahan bakar untuk terus kreatif. Penderitaan dan kebahagiaan tidak berdiri sendiri, ia adalah dua kutub aksi dan reaksi yang timbul tenggelam di tengah luasnya samudera abstraksi pikiran-pikiran manusia. Penting artinya untuk berkembang menjadi pribadi yang kuat di tengah-tengah lingkungan yang tidak ideal. Demikian halnya sebagai seniman yang seringkali berada di tengah situasi dunia seni rupa yang melulu tidak ideal.

         Tema pameran yang diangkat kali ini masih memiliki korelasi dengan pameran Jago Tarung Yogyakarta sebelumnya“And the Cocks are Still Fighting” di Syang Art Space, Magelang, tahun 2012 yang lalu. Dimana maksud utamanya adalah menyemangati spirit kreativitas seniman-seniman independent untuk terus kreatif menerabas keterbatasan-keterbatasan dan menjaga profesionalitas kerjanya. Pameran ini sekaligus sebagai perayaan hari jadi Jago Tarung Yogyakarta yang ke-6.

 

Mari Berbagi