Manunggaling Kala Desa
Manunggaling Kala Desa
I Wayan Setem Solo Exhibition
Berangkat dari pengamatan terhadap lingga-yoni dan setelah melakukan eksplorasi maka muncul gagasan â€Manunggaling Kala Desa, Melintas Fenomena Ruang dan Waktu†sebagai tema. Manunggaling kala desa berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya waktu dan tempat/ruang. Bila ditinjau dari sudut antropologi, dengan bantuan konsep psiko-analitis Freudian, lingga-yoni merupakan simbol Tuhan yang dipercaya sebagai bapak dan ibu di alam semesta ini. Kemanunggalannya akan melahirkan kehidupan, dalam artian hubungan langit dan bumi menimbulkan ruang tempat kehidupan dan keseimbangan kosmos. Di sinilah lingga dan yoni merupakan kesatuan dinamis, seperti halnya pikiran dan hati yang saling melengkapi. Sulit dibayangkan bumi tanpa langit, ruang tanpa waktu. Pada wilayah ini pula lingga-yoni yang berwujud kelamin menjadi sangat sakral dan suci, sebagaimana adi kodrati-Nya.
Persepsi saya terhadap lingga-yoni yang terkait dengan manunggaling kala desa tidak semata-mata diartikan sebagai kualitas pengindraan, tetapi mengandaikan proyeksi atas nilai-nilai dengan melibatkan interpretasi. Saya dapat menghayati lingga-yoni menjadi bermakna, sehingga dapat menyadari hubungannya dengan ruang (desa) dan waktu (kala). Dalam hal ini, persepsi tidak hanya ditujukan kepada pencapaian pengetahuan kognitif, tetapi membawa muatan pada feeling yang berkaitan dengan nilai-nilai estetik, moral, dan religius.
Perlu dijelaskan, dalam masyarakat Bali kesadaran kolektif tentang dunia dan alam semesta yang kosmo-centris sangat menentukan gambaran mengenai ruang dan waktu yang dianggap sebagai daya kekuatan maha besar mengatur kehidupan penghuni semesta raya ini. Manusia berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber dari pada penjuru mata angin, pada binatang-binatang dan planet-planet. Kekuatan ini dapat menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, atau sebaliknya dapat menimbulkan kehancuran tergantung pada keberhasilan individu, masyarakat atau negara dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatannya dengan jagat raya.
Namun dalam era â€glo-Bali-sasi†masyarakat mengalami benturan kebudayaan. Tabrakan waktu kapitalisme dengan waktu khas agraris Bali terjadi sangat dashyat serta selalu terjadi dualisme antara keinginan untuk mempertahankan tradisi dan menerima modernisasi sebagai tuntutan zaman. Di lain sisi saya merasakan tidak begitu kuasa berhadapan dengan investasi global, ruang dan waktu tidak lagi menjadi bagian utuh penduduk Bali. Dengan demikian akan mengundang berbagai masalah di segala bidang termasuk pula perubahan tatanan ruang dan waktu.
Renungan masalah ruang dan waktu menarik dicermati kembali terutama di dalam dimensinya yang suci atau keramat agar dapat menangkap maknanya sehingga meminimalisasikan tabrakan ideologi. Selanjutnya akan terbuka ruang untuk hibriditas dan dimensi transnasional yang lebih dinamis.
Pada konteks itulah, saya menempatkan eksplorasi kreatif penciptaan karya seni lukis sebagai upaya refleksi kritis melintas fenomena ruang dan waktu dengan tajuk â€manunggaling kala desaâ€. Di dalam ketegangan kreatif serupa itu saya ingin mengkritisi kondisi Bali yang telah menjadi ajang “pertempuran†berbagai ideologi akibat globalisasi.