Sangkring Art | [Pameran] MengAlir
22168
post-template-default,single,single-post,postid-22168,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

[Pameran] MengAlir

MengAlir: Memori atas Jejak Historis yang Majemuk

MengAlir secara praktis dapat diartikan sebagai ihwal apapun yang tak statis, jika itu gerak maka ia dinamis, jika itu air maka ia dapat turut menerobos merasuk pada tiap bagian ruang, ruang dalam konteks imajinasi dalam kerja-kerja seni lukis cat air. Lebih jauh lagi menjadi spirit upaya praktik berkarya yang memiliki bentang panjang, terus mengalir sampai jauh, tak enggan menilik ke belakang, memunculkan memori-memori personal tentang identitas kebudayaan dan sejarah sebagai upaya melihat, merasakan, atau bahkan dengan kemampuan artistik dan estetiknya, perupa dalam praktiknya sebagai laku mengkonservasi warisan kebudayaan lewat goresan-goresan cat air.

Empat pelukis cat air, Made Sutarjaya, Ngurah Darma, Nanang Widjaya, dan S. Yadi K hadir menggunakan cat air sebagai medium yang paling fundamental dalam praktik berkarya. Praktik melukis cat air sendiri telah menangkap imajinasi para pelukis selama berabad-abad. Menilik ke belakang, di Mesir cat air mendapat popularitas yang luas yakni pada praktik melukis pada media kertas papirus, sementara di Cina pada media kain sutra kemudian secara bertahap berkembang menjadi media kertas. Di Eropa lukisan cat air muncul selama periode Renaissance seiring dengan perkembangan teknologi kertas.

Sekiranya pada tahun 1700-an cat air menjadi populer dan mapan sebagai media artistik dalam seni rupa Barat. Misalnya, J.M.W. Turner, Thomas Girtin, hingga Paul Cezanne. Di Indonesia kita mengenal pelukis Mohammad Toha yang pernah menggunakan cat air sebagai medium dokumentasi visual yang saat itu terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda ke-II di Yogyakarta yang sempat menggunakan teknik lukis cat air on the spot untuk membuat dokumentasi visual peristiwa bersejarah tersebut. Selain itu Wakidi, Kartono Yudokusuma, Lee Mang Fong sebagai seniman yang kerap mengeksplore cat air dan kertas, hingga Bung Karno muda pun turut memproduksi lukisan cat air semasa kuliah sekiranya pada tahun 1926 berjudul Lanscape in West Java.

Sebagaimana sketsa, pada awalnya melukis dengan cat air banyak digunakan seniman sebagai sarana gambar studi tentang anatomi manusia, flora, fauna dan alam. Pada saat yang sama, Penggunaan media cat air juga kerap dijadikan media yang praktis untuk melakukan on the spot, maupun on the studio oleh keempat pelukis cat air pada pameran MengAlir ini.

***
Sutarjaya pada 4 seri Purnama misalnya, lewat visual tarian Legong Condong dan Tari Oleg ia menyodorkan perasaan ingin melestarikan budaya salah satunya adalah tarian, tarian menjadi hiburan yang dekat dan inklusif pada diri Sutarjaya sebagai masyarakat bali. Figur-figur anatomis menjadi penanda bagaimana logika bentuk terjadi, lekuk dan lenggam bentuk tubuh, ekspresi keindahan, kencantikan, dan ketenangan pada paras perempuan. Bulan purnama keemasan tidak seterik matahari sebagai penanda kehidupan yang penuh keteduhan dan kedamaian. Perempuan menjadi figur dominan yang sangat ekplisit tampak pada seluruh karya-karya Sutarjaya, pemaknaan lebih intim terjadi pada representasi dari figur perempuan sebagai memori atas seorang ibu baginya.

Pada Pura Taman Ayun dan Memasak Gula di Desa Pegringsingan, Ngurah Darma menyandarkan tema-tema keseharian yang kerap dilihat sebagai gagasan kreatifnya. Ngurah Darma dengan sengaja menyodorkan situasi dan aktivitas dari tampak belakang dari aktivitas keagamaan yang kultural, ia mengambil sudut-sudut yang tidak biasa diambil. Baginya menangkap visual apa yang dilihat dengan cara melukis sebagai ajang dialogis atas situasi, ruang, bentuk, dan objek-objek di depan mata.

Sementara Nanang Wijaya menitik beratkan pada aspek visual dan historis bangunan heritage sebagai jejak sejarah peninggalan kebudayaan indis yang saat ini masih ada, sekaligus popular. Bangunan peninggalan era kolonial di Jawa misalnya, Gedung Monod Diephuis Kota Lama Semarang, Sudut Kota Lama Pasar Pecinan, menjadi gambaran pertarungan politik, pertaruhan identitas, negosiasi kultural, hingga akulturasi budaya dalam konteks Masa Kolonial di Indonesia. Pada Sudut Tugu Jogjakarta, Nanang sandarkan pula bagaimana bangunan heritage bukan saja sebagai bangunan atas hasil persentuhan Belanda di Yogyakarta, tetapi lebih dalam lagi memiliki nilai historis dan magis yang kerap dipercaya  sebagai titik sumbu garis imajiner antara utara pada Gunung Merapi, hingga sisi ujung pantai Selatan.

Sedangkan S. Yadi K, menyoroti masyarakat yang kerap dianggap publik sebagai kelas yang marjinal. Menjadi menarik pada momentum kali ini, tiga dari empat karyanya yakni Tertegun, Ku tertawaiku, Dekapan Kasih, merupakan sosok yang baru kali ini sengaja ia hadirkan, tentu ini merupakan visual yang sama sekali berbeda dari apa yang menjadi visual yang biasa ia ciptakan yakni penari dan objek-objek yang Jawasentris. Sosok itu adalah figur anak Papua, terdapat narasi kemanusiaan di sana. Darinya narasi dan visual atas wajah polos, dan apa adanya memancarkan masa depan yang menjadi hak setiap orang. Sebagai identitas karakteristik karya-karya lukisnya. Lukisannya memiliki bobot secara teknik dan medium yang saling silang, bertumpang tindih, bergelut dengan proses eksperimental. Darinya Yadi menciptaan karya dari hasil pengembangan medium cat air diwujudkan yang tidak saja dari kertas tapi juga ke medium lain seperti kanvas, kaca, akrilik, hingga krayon yang memunculkan efek sumamburat aquarelle cat air miliknya.

Dalam konteks spirit keIndonesiaan, tema-tema yang dibangun keempat pelukis mewujud dalam visual yang dapat ditengarai sebagai identitas local wisdom, selain melukis apa yang terlihat, di saat yang sama pula pemikiran kritis atas keprihatinan terhadap lunturnya kebudayaan, tradisi, hingga jejak-jejak warisan budaya hadir dalam diri seniman.  Jejak itu bagai kolase-kolase kebudayaan yang tak lain adalah hasil dari peran penting pertarungan sejarah bangsa Indonesia, di saat yang sama pula terdapat titik-titik persinggungan baik secara kebudayaan dan juga kepercayaan yang kemudian mampu mewujudkan apa yang disebut adaptasi terhadap pengaruh budaya, akulturasi, hingga inkulturasi yang saling menubuh.

Dengan cat air, visual dan makna menjadi majemuk-menimbulkan makna baru, lebih intim dan kultural, setidaknya bagi masing-masing diri pelukis. Padanya unsur cat, air, dan kertas sudah menjadi segmen-segmen penting bukan saja atas jejak historis, merawat identitas budaya, tetapi juga nilai solidaritas, dan epistemik humanisme melalui praktik seni rupa.

Karen Hardini
Sleman, 8 April 2022

Mari Berbagi