Sangkring Art | 3 Solo shows for Jogja Contemporary Launching @ Sangkring Art Space
744
post-template-default,single,single-post,postid-744,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

3 Solo shows for Jogja Contemporary Launching @ Sangkring Art Space

Sangkring Art Space dan Jogja Contemporary

mengundang Bapak/Ibu/Rekan sekalian pada acara:

LAUNCHING JOGJA CONTEMPORARY

Jumat, 2 December 2011, 19.00 wib

akan menampilkan 3 Pameran Tunggal

 

SOFT

oleh Kow Leong Kiang

Tubuh-tubuh manusia yang bertumpuk didalam ruang sempit melalui seri lukisan terbaru Kow Leong Kiang, merepresentasikan penjelajahannya untuk mencoba lebih jauh bagaimana memandang fenomena tubuh manusia dalam batas tertentu . Gerak yang dinamis dari sejumlah tubuh telanjang – berpasangan lelaki dan perempuan – yang lebih banyak jumlahnya dalam sebuah kotak plastik. Tubuh-tubuh itu saling bergumul, berhimpitan, berdesakan, saling mengait, bersilang, bertumpuk, secara keseluruhan menjadi image kerumunan tubuh bernuansa lirisisme formalistik. Berbeda dengan lukisan-lukisan sebelumnya , dimana tubuh diperagakan secara berpasangan, lebih terkesan ada suatu hasrat yang erotis dan intim. Pada lukisannya sekarang lebih memperlihatkan gestur yang bersilang sengakrut hubungan komunal, ekspresif , bahkan menjadi kusut.

Ada tiga hal yang penting dalam lukisan-lukisannya , terutama bagaimana proses pendekatan dalam membentuk imejnya. Pertama adalah penggunaan stage fotografi ; fotografi yang dipentaskan, disetting atau diatur. Kow mengatur ukuran kotak plastik persegi dan sejumlah modelnya untuk beradegan dengan berbagai gerak dan posisi. Dalam staged photography, peristiwa direkayasa, ditata dan diarahkan, bukan membentuk sebuah peristiwa baru atau peristiwa fiksi, namun untuk memberi tekanan atau dramatisasi. Kedua adalah fotografi performatif, disini seniman merekayasa sebuah peristiwa yang nyaris tidak ada padanannya dalam realitas sehari-hari; membentuk sebuah fiksi atau metafora tertentu sebagai kendaraan atas gagasan yang ingin ia kemukakan. Seniman memiliki kuasa penuh atas obyek-obyek yang ada dalam frame foto. Lalu, ketiga aspek bagaimana ia kemudian memindahkan imej itu ke dalam lukisan-lukisannya, yang melibatkan unsur – unsur teknik melukis, kepekaan kepada penguasaan gambar anatomi, bidang, pewarnaan dan elemen brushstroke. Ketiga aspek ini menjadi kesatuan penting dalam menghasilkan lukisan-lukisannya.
Maka citra tubuh-tubuh yang diperagakan dalam lukisan Kow Leong Kiang, membawa kita pada persoalan pokok hubungan antar manusia dalam lingkup ragawi dalam batasan ruang fisik daripada  psikologis , hubungan tubuh sebagai unsur ekonomikal daripada soal budaya manusia. Tubuh-tubuh dalam lukisannya seperti dikembalikan kepada titik nol, telanjang dan primitif. (Rifky Effendi)

 

PUSARAN EKSPLORASI

oleh Agus Kama Loedin

Dia seorang penjelajah. Latar belakang pendidikannya semula arkeologi di Universitas Gadjah Mada, kemudian memperdalam bidang itu lebih lanjut Rijks Universiteit Leiden, sebelum kemudian menekuni video dan produksi animasi di Open Studio Amsterdam, Belanda. Ia pernah bekerja sebagai guru dan pegawai honorer di Pusat Dokumentasi Arkeologi Indonesia di Rijks Universiteit Leiden. Di Jakarta ia bekerja pada salah satu perusahaan iklan terbesar “Matari”. Dan, di luar itu berkarya bebas; lukis, fotografi, dan belakangan mengembangkan karya-karya trimatra. Semua nampak bersahaja, mengikuti gagasan visual dan citraan yang sebagian besar  memperlihatkan tumpang tindih antara; tafsir visual atas mitologi dan budaya masa kini.

Di samping itu, sebagian karya-nya mengingatkan kita  pada pola-pola desain, kolase, dan kriya yang bertumpu pada keterampilan tangan. Semua agaknya didapatkan dari pembauran pengalaman melihat dan meresapi budaya sehari-hari, terutama dari  dua negara yaitu; Filipina dan Indonesia. Dan di dua negara itu pula dengan rentang ribuan kilometer, ia ulang alik  untuk keperluan kerja selaku direktur kreatif pada sebuah perusahaan iklan, dan selaku sosok kreatif bagi dirinya sendiri dengan karya-karya bebas, sebagaimana tersaji dalam ruan pamer ini.

Karya-karya-nya ber-pindah-pindah dari satu media ke media lainnya. Bisa jadi itu tersebab ia tak berlatar belakang pendidikan seni rupa formal yang biasanya bersikap rigid terhadap satu media.  Pada karya-karya-nya kita menemukan sebuah upaya tak menyerah, atau kekaguman berlebih pada teknologi masa kini. Boleh dikata ia bertopang pada keterampilan tangannya sendiri. Pada fotografi misalnya, ia lebih mendekati ruang-ruang konseptual, dan menjauh dari dorongan menggali kemungkinan-kemungkinan teknis dan memamerkan kecanggihan alat. Bahkan, ia tak berparak dengan tema-tema stereotipe fotografi, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh fotografer. Ia menjelajahi citraan optis yang tak bermuara dari efek digital, melainkan dengan cara-cara manual yaitu, proses  tambal-menambal bidang perbidang sebagaimana layaknya kolase. Bagi Agus, aspek kerja tangan yang manual, dan makan waktu lama, itu lebih memungkinkannya meresapi realitas demi realitas yang dihadapinya.

Hal serupa diterapkannya dalam karya-karya dengan media lain. Dalam lukis dan karya-karya trimatra, ia dominan memakai material kawat aluminium dan tembaga.  Material yang baginya memiliki sifat saling berlawanan; mudah dibentuk tapi juga sekaligus keras dan kuat.  Kawat-kawat itu menemukan dirinya serupa garis bebas, atau mungkin tumpukan arsir yang menguasai hampir seluruh bidang lukisannya. Atau ia membuat patung, dengan cara membentuk bidang-bidang cekung, cembung, bergelombang, pipih, dan lain sebagainya dari helai-helai kawat tersebut. Ia tak dipakai hanya untuk keperluan aspek visual, tapi dipilih tersebab antara lain karena sifatnya yang paradoks tadi. Dan, memungkinkan Agus lebih lama meresapi media tersebut, membentuknya dari sesuatu yang semula hanya bayang-bayang imajinasi, perlahan-lahan menjadi sesuatu rupa dan raga, lewat kedua belah tangannya. (Asikin Hasan)

                                                                                  NYANDHI WARA

oleh Pius Sigit Kuncoro

Orang Jawa dibesarkan sebagai orang dengan keyakinan yang teguh. Sehingga akar dari semua konflik yang terjadi senantiasa bersumber dari benturan-benturan keyakinan. (HANACARAKA DATASAWALA).

Orang Jawa tidak mengenal istilah kalah, mengalah bukan berarti kalah, karena kemenangan adalah harga mati. (PADHAJAYANYA MAGABATHANGA)

Hancur lebur dan menderita bersama adalah pilihan yang lebih baik daripada menerima kekalahan.

Dalam kehancuran justru terjadi peleburan, dan dalam penderitaan justru muncul kebersamaan. Kehancuran dan penderitaan adalah dasar yang menyangga bangunan budaya Jawa, Soko GURU yang meleburkan dan menyatukan.

Seperti Punakawan dalam gelar wayang kulit, seperti Srimulat dalam panggung-panggung hiburan, mengalir tanpa plot dan aturan-aturan baku, tapi bisa begitu cerdas dengan yang logika terbalik, justru mampu mengaduk perasaan dari tangis menjadi tawa. Inilah Nyandhi Wara, pada way of life orang jawa.

Nikmati karya-karya dalam pameran ini seperti anda menonton Srimulat atau Goro-Goro pada Wayang Kulit.  Jangan berpikir apapun, jangan menduga-duga, dan jangan dimasukkan hati. (Pius Sigit Kuncoro)

 

 

Pameran akan berlangsung hingga 22 Desember 2011.

 

reservasi:

sangkring@gmail.com

ries@jogjacontemporary.net, ries@vwfa.net


Mari Berbagi