Sangkring Art | Retropektive NYOMAN MANDRA Kamasan
239
post-template-default,single,single-post,postid-239,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Retropektive NYOMAN MANDRA Kamasan

Nyoman Mandra – Empu Seni Lukis Klasik Bali

Oleh Nyoman Mandra

Essai
Oleh I Nyoman Gunarsa
Sebagai seniman tradisional, Nyoman Mandra dengan teguh mengikuti panggilan jiwanya. Pengabdiannya kepada pekerjaan seorang seniman tradisional adalah sesuatu yang dikejarnya dengan sepenuh hati sejak kecil. Inilah tugas yang diwarisi dari para pendahulunya, misalnya pamannya, Nyoman Dogol, dan melanjutkan kerja yang telah ditekuni selama bergenerasi-generasi, sampai hari ini, di Desa Kamasan. Komitmennya kepada karier telah mengangkatnya menjadi tokoh penting, dan dia bahkan layak disebut Maestro, seniman paling unggul dalam seni lukis klasik di Pulau Bali kita tercinta. Kita semestinya bersyukur dan berterima kasih kepada Nyoman Mandra, karena darinya kita masih dapat belajar tentang makna keluar-masuk tradisi, menyaksikan karya-karya unggulnya, dan mengapresiasi seni rupa Bali gaya klasik.

I.Seni rupa klasik Bali yang saat ini dapat kita amati di Desa kamasan, Klungkung, adalah warisan masa lalu yang berkembang dan mencapai zaman keemasannya sepanjang abad 16, ketika Bali diperintah dari Gelgel oleh Raja Dalem Waturenggong, leluhur dinasti yang berlanjut turun-temurun ke keluarga kerajaan Klungkung pada masa kini. Seni lukis klasik ini adalah puncak dari seni rupa Bali yang telah menanggalkan pengaruh seni rupa Hindu di Jawa Timur, terlebih lagi realisme plastis seni rupa Jawa Tengah, di mana pengaruh seni rupa India, yang diilhami seni rupa Yunani, sesungguhnya masih berkuasa. Pada masa kekuasaan Raja Udayana, sekitar abad 8, kecil bedanya antara seni rupa Hindu kuno di Bali dan Jawa, sebagaimana dapat kita saksikan dalam sisa-sisa peninggalannya di Goa Gajah, atau di Pura Puseh Jagat di Bedulu, Gianyar. Dalam apa yang dapat kita saksikan dari peninggalan seni rupa Hindu-Budha di Borobudur dan Prambanan, pengaruh India masih kuat.Dalam perkembangannya kemudian, kesenian Hindu di Jawa Timur mengalami perubahan yang disesuaikan dengan selera Indonesia. Simbol-simbol yang bertampilan realistik digayakan menjadi bentuk-bentuk yang lebih abstrak, sehingga pahatan dan relief candi di Jawa Timur menjadi lebih penuh-sesak dan lebih dekoratif. Dalam gaya ini berkembang aneka motif dan elemen baru, seperti figur punakawan Semar, atau Malen dan Merdah, yang mendampingi para pahlawan satria dari kisah Ramayana dan Mahabharata. Pola-pola setempat juga muncul pada masa ini, misalnya desain “pecah daun” dan “mekar daun”. Semua ini diwarisi dalam tradisi Bali. Di Bali, seni rupa Hindu telah berkembang mencapai titik kesejatian dan keunikan, terbebas dari pengaruh pendahulu Jawa, terlebih lagi India. Itulah sebabnya seni rupa klasik Bali sangat unik coraknya.

Perkembangan ini menjadi sumber kebanggaan luar-biasa bagi kami orang Bali, bahwa kami memiliki seni adiluhung kami sendiri, seni yang memberi kami pijakan untuk mencapai dunia baru yang kami idealkan. Bahwa orang Bali jelas memiliki budaya adiluhung sendiri selama berabad-abad, adalah sesuatu yang menggugah kami untuk bertindak menciptakan masa depan yang lebih cerah sebagai insan berbudaya. Akar filosofis Hindu-Bali tertanam kuat dan dikembangkan dalam epos Ramayana dan Mahabharata, kisah Tantri, teater Gambuh, cerita Angling Darma, sendratari Arja, dan kronik Pararaton, semua yang akan menyinari dunia kreatif generasi muda Bali di masa depan. Mungkin kami bosan dengan berbagai tradisi tersebut, tapi akan tiba saatnya, dan ini bukan hanya “seandainya”, anak-cucu kami akan kembali meminati nilai-nilai para leluhur kami yang melandasi seni ini, dan akan mengembangkan kembali inspirasi darinya.

II.Nyoman Mandra adalah salah satu tokoh penting yang tetap produktif sebagai pelukis sampai sekarang. Kata “klasik” berasal dari kata “kelas”, dan bermakna yang terbaik, puncak, paling sempurna, dengan aturan-aturan baku dalam penciptaan – bukan hanya untuk bentuk atau wondo atau proporsi figur, ikonografi, raut wajah atau tokoh yang halus, kasar, seram dan figur-figur monster; penggunaan simbolis warna untuk membedakan sejumlah tokoh, seperti merah, kuning dan biru, dengan maknanya masing-masing; isyarat simbolis tangan (atau mudra) dari tiap figur, juga gerak kaki, sikap tubuh – semua ini mengikuti peraturan yang harus dipatuhi oleh penganut sejati gaya seni lukis klasik.

Selain berurusan dengan berbagai masalah pada tataran gagasan yang digarap dalam lakon-lakon Mahabrata, Ramayana dan sebagainya, dan melibatkan realisasi tatanan bentuk dan problem teknis, seni lukis ini juga melibatkan tahap-tahap yang harus diikuti di tatanan perilaku, demi mendapatkan hasil “klasik” yang maksimal. Contohnya, untuk menciptakan lukisan berdasarkan kisah Mahabharata, Nyoman Mandra harus mengawali dengan sketsa (ngereka). Dalam membuat figur, dia harus memperagakan penguasaan atas semua unsur bentuk pertunjukan wayang, sampai ke titik di mana ia dapat berkarya secara reflek dari ingatannya yang tajam tentang seperti apa ikonografi tiap tokoh, memakai sapuan yang seksama dan spontan, tapi tepat sasaran, dan tanpa pengulangan dalam mewujudkan tiap figur. Inilah bukti dari keempuannya.

Nyoman Mandra tak tertandingi di Kamasan dalam kepiawaian membuat sketsa figur wayang. Selain karyanya setara dengan karya seniman senior manapun dari seluruh penjuru Bali, penguasaannya atas figur-figur wayang yang sangat ekspresif begitu bagus. Dan ini terlepas dari fakta bahwa dia tidak pernah terlatih di akademi. Dia menguasai proporsi ideal wayang, termasuk kontur keseluruhan yang kemudian diperhalus dengan ketelitian dan perhatian terhadap detail. Nyoman Mandra adalah mahaguru Kamasan. Dia menyediakan sketsa dasar bagi semua orang yang berkarya di studionya, yang kemudian diambil-alih oleh para asisten atau cantriknya untuk diwarnai, lalu ditegaskan dengan garis yang lebih tebal, sebelum dipoles dengan kulit kerang untuk menyelesaikan dan mengilapkan permukaan lukisan.

Di era global, ketika Bali mengalami pergolakan yang melanda keseniannya akibat serbuan budaya luar, pariwisata dan aneka ragam seni yang aktif di Bali, Nyoman Mandra tetap konsisten, yakin dan tegar menjalankan misi budaya dan filosofi Hindu-Bali. Karya-karyanya telah menggugah dunia, dan melambungkan reputasi Bali dan rakyat Indonesia.

Mari Berbagi