Sangkring Art | “Satu natah tiga langit, LANGIT GEMILANG ” @ Sangkring Art Project
912
post-template-default,single,single-post,postid-912,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

“Satu natah tiga langit, LANGIT GEMILANG ” @ Sangkring Art Project

 

Group Exhibition

“Satu natah tiga langit, LANGIT GEMILANG ”

-ida bagus putu purwa, v dedy reru, wayan paramartha, Made Dollar Astawa, Wayan Anyon Mullastra, Made Budi Adnyana, Anak Agung Ngurah Paramartha, Made Romi Sukadana, Apel Hendrawan, Ketut eja astawa-

Opening : Tuesday, Juni 18 2013  19.30 wib
Exhibition current until : Juni 27 2013

 

 

“Satu natah tiga langit, LANGIT GEMILANG ”

Natah sebagai suatu ruang sosial melahirkan sistem kekerabatan yang diwujudkan
dalam konsep “nyama satu natah”, saudara satu halaman. Sebab orang Bali zaman
dulu menetap di dalam keluarga besar yang disatukan oleh natah dan sanggah/
merajan (tempat suci keluarga). Dalam konteks yang lebih luas, natah menjadi
teritori atau wilayah. Natah bisa juga bermakna tanah kelahiran atau pun domisili.
Sanur adalah natah bagi orang Sanur. Begitu juga Bali adalah natah bagi orang
Bali. Dunia seni rupa adalah natah bagi kaum perupa. Ten Fine Art adalah natah
bagi para anggotanya. Tentu saja, natah perlu dibela jika ada yang ingin
menghancurkannya. Namun, natah juga perlu dikritisi (autokritik).
Pameran “Satu Natah, Tiga Langit” ini mengacu pada konsep natah di atas. Meski
berbeda karakter karya, para perupa yang berpameran berasal dari satu natah,
yakni natah Ten Fine Art, natah yang telah ditata dan dihuninya dengan suka dan
duka sejak 2004. Di satu natah itu mereka tumbuh bersama, bermain, berkarya,
berdiskusi, berdebat, dan saling menjajal kemampuan masing-masing dalam arena
seni rupa. Mereka berada dalam ikatan keluarga besar dengan solidaritas yang
kuat dan saling menghargai satu sama lain.
Pameran ini tidak hanya digelar di Sanur di bawah naungan “gemintang”, namun
juga menyambangi Jakarta yang “benderang” dan Yogyakarta untuk meraih
“gemilang”. Berangkat dari satu natah, mereka merasakan dan menghayati tiga
langit. Dalam konteks ini, langit adalah atmosfir, suatu konsep yang berbeda
dengan natah yang merujuk pada tanah kelahiran atau pun teritori. Atmosfir sosial,
seni, dan budaya di Bali tentu berbeda dengan di dua tempat tersebut. Adalah
menjadi tantangan tersendiri bagaimana mereka mampu berinteraksi, beradaptasi,
dan menyerap atmosfir yang berbeda itu, untuk melahirkan karya-karya yang lebih
tangguh.

 

Mari Berbagi