Sangkring Art | Adu Domba #7, Endang Lestari vs Jenny Lee
21481
post-template-default,single,single-post,postid-21481,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Adu Domba #7, Endang Lestari vs Jenny Lee

ADU DOMBA #7

IMG_6190

Pergeseran seni keramik kita,  demikian Sujud Dartanto (2011), yang pada mulanya kepatungan semakin menjadi instalatif dan bermedia-campur. Sejumlah karya Jenny Lee dan Endang Lestari bergolak di dalam kecenderungan genre yang demikian, meski masing-masing membawakan beberapa ciri pembeda sendiri. Ekspresi metaforis Jenny Lee dibangun dari dunia keseharian perempuan yang terbiasa menatap ke dalam Diri (The Self) – intim dan personal. Dunia ini terwakili oleh objek-objek seperti bunga, pohon (kayu), dan mungkin pula ragam-ragam objek vegetatif yang lain. Repetisi objek-objek ini merupakan variasi dari sebuah tema, yakni ke-hidup-an itu sendiri. Di dalam sebuah karyanya yang lebih kompleks, “Spirit in My Cups”, dapat kita temukan repetisi cangkir-cangkir. Selain menghasilkan irama visual, cangkir-cangkir ini menjadi metafora bagi wadah atau wadag yang menampung jiwa. Jenny menampung figur dan wajah, kupu-kupu dan kaktus di cangkir-cangkir ini. Selain fragmen-fragmen kata yang padan atau justru beroposisi dengan medan makna yang disebutnya sebagai “spirit”, antara lain: love, hug, enjoy, work, money, pray, karma, dst. Meskipun begitu, segenap nama dan rupa ini tiada abadi. Per-tumbuh-an dan per-kembang-an pada akhirnya akan ber-buah kehilangan. Pada waktunya semua akan lepas, terbang bak kupu-kupu – sebuah metafora yang maknanya, di dalam konteks budaya feminin, niscaya berasosiasi dengan bunga. “Fly Away”, ujar Jenny. “Panta rei,” imbuh Heraclitus.

Sementara itu, Endang Lestari membawa serangkaian karya bertajuk tunggal “Making Imaginary Objects Which Placed Me to Industrial Culture”. Alih-alih mengeksplorasi ke dalam, menjalin dialog-dialog internal, Tari lebih berefleksi ke luar, ke dunia sosial di luar Diri (the not-self), yakni pada pengalamannya ketika bersentuhan dengan dunia industrial urban yang melahirkan produk-produk budaya popular. Pilihan stilistiknya lebih cenderung “keras” atau, katakanlah, maskulin. Objek-objek imajiner yang menjadi opsinya, entah sebagai metomini atau metafora dominan, adalah saklar (tombol on/off), roda gigi (gear), jerrycan, dan botol berasap (cerobong pabrik?). semua ini mewakili budaya industrial – termasuk juga gedung-gedung pencakar langit yang mewakili kota sebagai konteks bagi medan makna yang sama. Diksi warnanya pun cenderung lebih panas, yang masih diracik dengan inskripsi-inskripsi yang terkesan acak dan nyaris tak terlacak konteksnya – dipungut olehnya dari serpih-serpih surat kabar. Karakteristik Endang Lestari ini secara umum tampak berkontras dengan Jenny Lee, padahal dalam beberapa aspeknya mereka berdua kompak bertemu dalam sebuah perbincangan di ranah keramik yang disandingkan dengan kayu atau kemungkinan media alternatif lain. Mereka bertekun dalam representasi bergender dengan terutama menggunakan sarana repetisi dan pararelisme visual yang ritmis sehingga, menyimak karya-karya mereka di ujung tahun, rasanya seperti sedang menikmati lantun pastoral yang ditingkah oleh musik industrial.

Kris Budiman

Mari Berbagi