Sangkring Art | Art Review | 6 in 1: Rangkulan Bersekat Tunjukkan Taji Generasi
21410
post-template-default,single,single-post,postid-21410,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Art Review | 6 in 1: Rangkulan Bersekat Tunjukkan Taji Generasi

17966822_10209567687529661_5363552614079136160_o

Sejak awal, membaca frasa “pameran tunggal kolektif” yang membayangi publikasi pameran ini sudah mengundang rasa ingin tahu. Maka jika biasanya paska datang ke pameran, entah tunggal atau kolektif, pengunjung akan membawa pulang satu gagasan besar mengenai karya-karya yang baru ia nikmati, pameran “6 in 1” ini menawarkan enam gagasan seniman secara utuh. Enam seniman tergabung dalam pameran ini, mereka adalah: Putu Sutawijaya, Bunga Jeruk, Anggar Prasetyo, Feintje Likawati, Bob Yudhita Agung, dan Yustoni Volunteero.

Tak seperti pameran kolektif yang dari satu kuratorial atau penulis, ada satu benang merah yang merangkul karya-karya dengan berbagai pendekatan gagasan dan material, “6 in 1” tidak. Enam seniman, masing-masing punya ruang sendiri, penulis sendiri, bahkan poster pamerannya sendiri-sendiri. Bale Banjar Sangkring, tempat pameran ini berlangsunglah yang menjadi kunci konsep ini. Galeri ini punya konsep yang jarang ditemui di Yogyakarta. Satu atap, namun terbagi-bagi dalam beberapa ruangan yang dipisah melalui sekat-sekat tanpa pintu. Galeri ini seperti enam white cube yang terhubung, sekaligus mandiri.

  17966856_10209567525125601_1009718399935280401_o

Hari itu saya berkeliling Bale Banjar Sangkring dengan rute melawan arah jarum jam. Dua lukisan realis berisi wajah-wajah anak-anak terpajang di ruangan sebelah kanan pintu masuk. Ruangan ini milik Feintje Likawati. Dengan cat minyak, seniman perempuan ini menonjolkan ekspresi anak-anak, hanya itu. Bahkan tak ada lanskap mencolok di belakang figur anak-anak yang ia lukis. Namun saya berandai-andai mengapa Feintje tak menggoreskan detil pada ekspresi itu. Seri “On Uniform” untuk saya lebih menarik karena menghadirkan satu figur dalam ekspresi yang berbeda, terlihat lebih dinamis. Masuk ke ruang berikutnya, saya dikepung oleh 9 lukisan seri “Anonim” berukuran cukup besar dan tulisan pengantar yang diletakkan di lantai tengah galeri. Secara ukuran dan pengalaman visual, karya Anggar Prasetya ini adalah salah satu favorit saya. Permainan persepsi yang digunakan Anggar lewat teknik lukisnya menghasilkan efek pencahayaan bak fotografi tekstur permukaan benda. Sekilas kita akan dibuat bingung dengan dimensi karya-karya tersebut, dan dengan kombinasi displaynya yang seolah mengurung penonton, ruang pamer Anggar Prasetya ini saya rasa berhasil.

Ruang berikutnya adalah pameran “Hijau Royo-Royo” dari Putu Sutawijaya. Jika dulu karya Putu Sutawijaya sempat didominasi obyek figur-figur anonim yang menonjolkan gestur, lalu beralih ke objek-objek bangunan batu berupa candi, kali ini nampaknya ia punya muse baru. Hijau Royo-Royo menampilkan 10 lukisan panorama bukit-bukit di Indonesia. Sempat terbersit untuk mengaitkan dengan gerakan mooi indie, namun tidak. Lukisan-lukisan Putu Sutawijaya ini tak menyoal eksotisme alam. Dominasi warna hijau dan coklat di lukisan-lukisan tersebut seolah tak sedang bersuka cita atas kesuburan, tapi juga kehancuran alam. Di sebelahnya, Bob Sick yang mungkin lebih dikenal sebagai aktivis tato bereksperimen dengan teknik automatisme –begitu yang tertulis di catatan pengantar oleh Apriadi Ujiarso. Yang paling menarik untuk saya adalah sebuah lukisan berjudul “ Mother Hand”. Seorang perempuan muda berkaos merah muda tengah memegang tas tangan warna merah. Yang membuatnya jadi unik adalah teks-teks yang muncul di sekitar figur itu, tulisan “Valentine!”, “Bunda Maria” dan beberapa lagi menjadi konteks atas narasi lukisan ini. Lukisan-lukisan Bob Yudhita yang lain cukup segar dengan pemilihan warna-warna neon mencolok.

17973487_10209567548606188_4218206350108412072_o

Melewati sekat selanjutnya, akhirnya saya menjumpai karya instalasi setelah daritadi didominasi oleh karya 2D. Pameran ini berjudul “Kanvas, Kayu dan Kopi” oleh Yustoni Volunteero. Dikenal sebagai salah satu aktivis Taring Padi, kali ini Yustoni Volunteero menjajal topik yang lebih ringan. Ia mencari ruang antara; antara gagasan dalam karyanya, antara material-materialnya. “Perjamuan yang Tak Pernah Berakhir” memamerkan sebuah bangku kayu panjang yang ditaruh hampir di tengah ruangan, di atas mejanya tumbuh rumput. Di belakangnya deretan obyek sureal yang playful digoreskan pada kanvas dan talenan kayu. Yang paling masif secara ukuran adalah karya berjudul “Sejarah Gula dan Besi” yang menggunakan kanvas sepanjang 10 meter. Ujung satu dipasang di pinggir atas ruangan, memanjang ke bawah. Pameran Yustoni ini yang menurut saya secara bentuk paling melakukan eksplorasi terhadap ruang pamer berkonsep white cube ini.

Terakhir adalah ruang milik Bunga Jeruk. Sebuah penutup manis, karena secara visual lukisan bunga jeruk terlihat sangat ceria seolah catnya diambil dari produk budaya pop masa kini. “Never Ending Journey”, adalah tajuknya. Saya menikmati figur manusia dan hewan di karya Bunga Jeruk digambar dengan rapi lalu ditabrakkan dengan lanskap solid polos. Membangun efek bidang luas pada imaji yang saya dapat paska menoleh dari lukisan itu.

17973713_10209567606847644_3363043238708589679_o

Untuk saya pameran ini tidak bisa mengabaikan wacana tentang ruang publik dan privat. Sekat-sekat yang membagi Bale Banjar jadi enam white cube ini memberikan kuasa pada masing-masing seniman untuk menonjolkan gagasannya. Tak ada konsensus publik, seperti tema pameran atau kuratorial yang harus dipatuhi. Bahkan tak ada konteks tambahan yang berpotensi mendistraksi karya di masing-masing ruang. Saat di ruang publik, dalam hal ini saya andakan sebagai pameran kolektif, tentu banyak negosiasi yang berlangsung antar seniman. Baik di tataran proses, kuratorial maupun display. Sedangkan di konsep pameran tunggal kolektif ini meminimalisir negosiasi tersebut. Tiap seniman justru secara maksimal mengungkapkan gagasan lewat karyanya. Namun cukup disayangkan bahwa dalam program “6 in 1” yang pertama ini, karya-karya terlalu didominasi oleh lukisan 2D. Hanya Yustoni Volunteroo dan Anggar Prasetya yang menurut saya secara maksimal memanfaatkan ruang mereka.

Meski mengadaptasi konsep pameran tunggal di white cube yang seolah meminimalisir konteks karya, pintu-pintu terbuka antar ruang pamer di pameran ini lalu memberikan narasi lain. Membaca latar belakang masing-masing seniman, mereka adalah representasi angkatan seni rupa ’91. Angkatan yang santer terdengar sebagai yang paling menonjol di circa 1990-2000. Meski punya fokus masing-masing, Putu Sutawijaya dan kawan-kawannya ini berhasil membuat beberapa momentum bersejarah di linimasa seni rupa Indonesia. Ketika boom pasar seni rupa meledak tahun 2007, Putu Sutawijaya merupakan salah satu pemicunya. Yustoni Volunteero dan kawan-kawan juga melahirkan geliat seni aktivisme dengan komunitas Taring Padinya. Sampai sekarang pun jejak-jejak peran seniman angkatan 1991 ini masih terasa. Jika diamati secara luas, angkatan-angkatan setelah itu misalnya 1992, 1994, 1996 dan seterusnya bukan tak menonjol, namun karya-karyanya lebih banyak menyoal hal-hal personal.

17973774_10209567639488460_970796570780462473_o

Yang juga menarik dari pameran “6 in 1” ini, adalah bahwa program-program yang diadakan di Bale Banjar Sangkring selalu menghadirkan satu tokoh seni rupa yang jarang bisa ditemui di acara lain. Untuk malam pembukaan pameran ini misalnya hadir  Subroto SM, Mhum. Seorang dosen di ISI Yogyakarta yang sekaligus seniman, dan mentor bagi banyak seniman angkatan 1991 yang ikut pameran ini. Untuk sebuah alasan sentimentil, kehadiran beliau memberi gambaran perkembangan seni rupa Indonesia, sebut saja dalam rentang waktu 25 tahun terakhir ini.

Maka dengan seluruh konsep dan ruang pamer, juga gagasan masing-masing seniman, pameran “6 in 1” ini sekaligus menjadi lubang intip, sedikit biografi karya, atau mungkin bisa diposisikan sebagai petunjuk resep untuk sebuah generasi padat karya yang tetap mau saling berangkulan dan tetap bangga pada perbedaan gagasan dalam karya-karyanya.

17635147_10209567683209553_4314853927426041371_o

Titah AW

Mahasiswa Komunikasi UGM. Reporter WARN!NG MAGZ. Pernah mengikuti program Penulisan dan Kuratorial Seni Rupa yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta 2016.

Mari Berbagi