Sangkring Art | Cats Playful Aggression by Pandu Pribadi Ogz Syang art Space @ Sangkring Art Project
836
post-template-default,single,single-post,postid-836,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Cats Playful Aggression by Pandu Pribadi Ogz Syang art Space @ Sangkring Art Project

 

Solo Exhibition Pandu Pribadi
Cats Playful Aggression
Opening : Kamis, February 14 2013  19.30 wib
Writer : Kris Budiman
Exhibition current until : March 2 2013

 

DONGENG SANG KUCING

 

Pada Suatu Sore yang Basah

Ketika diundang untuk bertemu dengan Pandu Pribadi, saya menyambutnya dengan entusias. Peristiwa ini terjadi pada suatu sore yang basah di Syang Art Space, Magelang. Sebelumnya, patut disesali, karya-karya Pandu memang belum pernah saya kenal, walaupun dia telah aktif berpameran tunggal setidaknya sejak pertengahan 90-an. Dalam pertemuan itu tak ada niat sedikitpun pada diri saya untuk melakukan wawancara, sebab saya hanya ingin mengamati karya-karyanya secara langsung dengan lebih saksama. Bukan cuma karya-karya yang hendak dipamerkannya kali ini di Sangkring Art Project, melainkan juga yang tak akan ikut dipamerkan, bahkan karya-karya lamanya. Berdasarkan pengamatan awal ini saya mulai menggagas(-gagas) beberapa segi yang barangkali menarik untuk dituliskan nanti.

Nah, di sela keasyikan saya mengamati karya-karyanya, Pandu sempat menyebut tiga nama yang dia anggap paling berpengaruh di dalam karier kesenimanannya, yaitu Pablo Picasso, Joan Mi, dan Keith Haring. Pada saat itu saya langsung berpikir: lantaran no man is an island, maka tidak perlulah saya terlalu suntuk menelusur soal pengaruh nama-nama ini. Bukan karena secara formal cukup mudah menelusurnya, melainkan juga karena perkara ini tidak relevan lagi untuk dibahas. Sebab tak ada manusia terasing di atas muka bumi ini dan, dengan demikian, perkara pengaruh-mempengaruhi adalah lumrah. Lagi pula, masalah semacam ini, baik di dalam pendekatan-pendekatan kritik seni maupun antropologi seni kontemporer, telah lama ditepiskan melalui sebuah konsep analitis yang lebih cerdas, yakni intertekstualitas yang –sesungguhnya– sama sekali tidak terkait dengan perkara pengaruh-mempengaruhi.

Pergeseran Evolusioner

Melalui pertemuan di Magelang itu saya memperoleh kesempatan untuk mengamati karya-karya Pandu selama rentang waktu yang cukup panjang: sekitar lebih dari 10 tahun. Di dalam lukisan-lukisan yang dikerjakannya pada pertengahan 90-an saya dapat membedakan setidaknya dua golongan. Di satu sisi, pertama, kita lihat karya-karya dengan objek berupa figur-figur yang teridentifikasi dengan relatif mudah, bahkan tanpa pertolongan pemahaman dari judul sekalipun. Misalnya “Seorang Nyonya dan Tanda Panah” (1998), “Menangis dan Tertawa” (1998), dll. Di sisi lain, kedua, terdapat juga karya-karya yang nyaris tak mungkin diidentifikasi objek-objek dan figur-figur yang digambarkannya tanpa pertolongan dari judul-judul. Misalnya “Helm” (1998), “Optimis” (1998), “Habis Keramas” (1998), dll. Akan tetapi, karya-karya yang masuk ke dalam golongan kedua ini semakin lama semakin langka, semakin ditinggalkan oleh Pandu, setidak-tidaknya semenjak memasuki 2010.

Pada segi ikonografis dapat kita simak pula sebuah pergeseran yang evolusioner. Katakanlah bahwa karya-karya Pandu pada tahun 1998 tampak lebih didominasi oleh diksi warna tanah; bidang-bidang tertentu diberi aksen bertekstur; sementara sejak 2010 diksi warnanya tampak lebih variatif, meskipun terutama didominasi oleh warna-warna cerah, bahkan “menyala”. Berkaitan dengan elemen garis, karakteristik yang dengan mudah dikenali adalah munculnya garis-garis tipis yang digoreskan dengan sebuah spontanitas yang seolah dikerjakan oleh tangan kanak-kanak, selain sesekali muncul juga garis-garis hitam tebal yang rapih. (Silakan saja apabila ada pihak tertentu yang ingin mengatakan bahwa karakteristik terakhir ini mungkin “dipengaruhi” oleh Miró dan Haring.)

Disimak dari aspek retorik dan tematiknya, karya-karya lama Pandu terkesan membiarkan objek-objek dan figur-figur itu tetap berada dalam dimensi makna literalnya, meskipun sesekali dia memanfaatkan alat-alat retorika visual tertentu, terutama metonimi. Misalnya saja garis bergelombang sebagai elemen visual yang mewakili air, atau garis-garis lengkung menjadi pinggang/pinggul seorang perempuan, dll. Secara tematik karya-karya di tahun 1998 itu juga banyak berkisar pada ranah colloquial, berupa aktivitas-aktivitas kecil di dalam kehidupan sehari-hari, meskipun setidaknya sejak 2010 Pandu mulai gemar memunculkan variasi tema di seputar cinta-erotik (berciuman, kemesraan).

Kehendak untuk Berkisah

Selain bernada semakin komikal, lukisan-lukisannya semenjak 2012 mengalami pergesaran sekali lagi lewat sebuah kecenderungan baru yang mengindikasikan aspek naratif, yang merentangkan sebuah kisah –sebuah gejala yang sebetulnya mulai terbaca samar pada “Adiknya Tiduran” (2010). Kecenderungan terakhir ini, saya kira, mulai betul-betul disuntuki oleh Pandu lewat karya-karya terbarunya yang berformat lebih besar. Kehendak untuk berkisah menjadi sangat mungkin untuk direalisasikan lantaran ruang kanvas yang terhampar luas memberikan peluang yang lebih leluasa. Kita bisa mulai menjajaki karakteristik terakhir ini melalui, antara lain, kehadiran sosok kucing yang merupakan hasil proyeksi retoris personifikasi ke dalam rangkaian fabel (cerita/dongeng bertokoh binatang) –meskipun tokoh kucing sebetulnya juga sudah dimunculkan jauh bertahun-tahun sebelumnya sebagaimana tampak pada lukisan “Kucing” (1998).

 

Sebagai sebuah eksemplar, taruhlah kita ambil “Ditembak dari Belakang” (2012). Di sini, juga di dalam lukisan-lukisan lain di dalam pameran kali ini, sang kucing merupakan figur personifikasi yang dilokasikan di dalam sebuah fragmen fabel. Preferensi tematiknya pun berubah ke arah komentar-komentar sosial yang penuh humor atau komikal, semisal kepengecutan, kelatahan, dan (korban) kekerasan. Secara formal dapat dilihat juga perubahannya, antara lain melalui penghadiran latar keruangan yang jelas: ada dinding, lantai, dan anak tangga. Selain itu, bermunculan pula garis-garis dekoratif (pada bidang yang menggambarkan lantai); garis-garis yang kekanakan (childlike) tadi; juga bidang-bidang yang flat serta kecenderungan kubistik pada deskripsi wajah sang kucing. Pada dimensi retoriknya, dongeng rekaan Pandu ini pun sekaligus menghadirkan aneka properti yang berupa objek seperti senapan/pistol, bola, dan lain-lain, sebagai gejala pars pro toto (part to whole).

Pada lukisan yang lain seperti “Makan Burung” (2012) dan “Hahaha… Ketangkep Lu!” (2012) kecenderungan formal dan tematik di atas tetap dipertahankan, kecuali bahwa di dalam kedua lukisan terakhir ini sang tokoh kucing berbalik perannya, tak lagi sebagai korban kekerasan, melainkan justru sebagai pelaku kekerasan yang agresif. Sementara di dalam “Pemain Bola” (2012), perilaku dan sikap si kucing jelas sangat menonjolkan segi-segi playful dan komikalnya –tentu saja dipandang dari perspektif personal seorang Pandu terhadap sebuah peristiwa atau persoalan sosial. Aspek ini pula yang dipertontonkannya dengan jelas pada karya berukuran besar, “Gang Nam Style” (2012), yang merupakan sebuah komentar sosial yang agak sinis atas gejala kelatahan gayahidup dan tren budaya popular; sementara “Kawin Massal” (2012) pun merupakan komentar sosial yang tetap playful, meskipun barangkali juga sinis, sekali ini terhadap agresi dan perilaku seksual tertentu.

 

Yogyakarta, 2 Februari 2012

Kris Budiman

 

Dokumentasi Display Cats Playful Aggression

 

Tata Display Cats Playful Aggression

 

Opening Cats Playful Aggression

 

Mari Berbagi