Sangkring Art | GESTICULATION by PUTU SUTAWIJAYA
409
post-template-default,single,single-post,postid-409,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

GESTICULATION by PUTU SUTAWIJAYA

GESTICULATION
oleh PUTU SUTAWIJAYA

Pembukaan : Minggu, 20 Februari 2011 Jam 19.00
Penulis : Kris Budiman, Karim Raslan
Pameran berlangsung 20 Februari – 10 Maret 2011

Kris Budiman, esais dan kritikus

Sudah semenjak awal karier kesenimanannya Putu Sutawijaya terus terobsesi dan bersitekun menyodorkan tubuh sebagai tanda-tanda melalui karya-karyanya. Tubuh-tubuh itu direpresentasikan dalam formasi tertentu, bergerak mengisi dan memenuhi ruang, yang kadang memperlihatkan pola tertentu, meskipun lebih sering menunjukkan kecenderungan acak. Kial atau gestur (gesture) menjadi salah sebuah komponen ekspresif utama Putu. Ia menjadi semacam kosakata, di samping postur, pose, gerak, arah, dan irama. Ketika representasi tubuh-tubuh itu keluar dari kanvas, masuk dan melintas ke dalam ruang tiga-dimensional, mereka seperti terlempar untuk mencari konteks-konteks pemaknaan yang berbeda, menggestikulasi diri tidak semata-mata mengikuti perubahan karakteristik materialnya.

Proses dan praktik badani memproduksi tanda-tanda melalui gestur bisa dengan jelas dianalogikan dengan tindakan memproduksi tanda-tanda lingual-akustik melalui seperangkat alat ucap. Jika yang terakhir ini biasa disebut sebagai artikulasi, maka yang sebelumnya dapat dinamakan sebagai gestikulasi (gesticulation). Di dalam gestikulasi segenap anggota badan –bukan hanya tangan, lengan, dan jemari– berubah menjadi wahana makna (vehicle of meanings), instrumen signifikasi. Para penari, aktor, dan pelaku-pelaku seni pertunjukan lainnya, niscaya menyadari hal ini ketika mereka berkomunikasi dengan dan mengekspresikan pesan tertentu kepada audiens melalui berbagai tanda gestural. Begitu pula di dalam ritual-ritual, entah yang bersifat keagamaan, kenegaraan, maupun praktik hidup sehari-hari dengan bermacam konteks situasional dan sosialnya.

Putu Sutawijaya, dengan karya-karya tiga-dimensional (patung dan instalasi) terbarunya, tetap bertahan dengan representasi tubuh dan gestikulasi, meskipun kali ini dia menawarkan konteks yang berbeda-beda demi mencapai pengucapan tertentu yang diinginkannya. “Agar tubuh-tubuh itu dapat berkisah,” ujarnya. Maka dari itu, gestukulasi tubuh-tubuh di dalam serangkaian karyanya ini menjadi lebih variatif dengan lontaran-lontaran gagasan di sekitar tegangan dan ketaksaan (ambiguity) yang menyelubungi proses-proses sejarah, kontinuitas dan diskontinuitas, tradisi dan perubahan, kepatuhan dan resistensi, juga masalah pendefinisian-ulang atas identitas-identitas kultural yang mapan. Putu Sutawijaya menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritisnya dengan kecenderungan gestikulasi yang keras namun rawan.

Karim Raslan, kolumnis

Tanggal 1 Desember 2005, kakek dari Putu Sutawijaya – figur pengayom keluarganya – berpulang. Ketut Mutri adalah sosok yang sangat dicintai dan dihormati di masyarakat, sekaligus orang yang begitu berpengaruh dalam hidup Putu. Setelah mengalami jatuh dan patah kaki, Ketut yang tadinya selalu aktif terpaksa diam di tempat tidur. Karena tidak terbiasa dengan keadaan ini, dalam waktu singkat kondisi Ketut Mutri merosot dan akhirnya meninggal dunia.

Untungnya, Putu (yang baru saja menyelesaikan pameran tunggalnya di Kuala Lumpur) masih sempat terbang ke Bali dan menghabiskan waktu bersama kakeknya.

Tapi, baik Putu maupun istrinya, Jenni, yang berkebangsaan Malaysia, tidak menyadari seberapa besar pengaruh kematian kakeknya ini – dan juga kremasi yang berlangsung lima belas hari kemudian – bagi kehidupan mereka, dan tentunya bagi karya-karya Putu.

Lahir dan besar di keluarga yang sangat nyaman dan berkecukupan – kedua orangtuanya adalah petani yang makmur – Putu tidak pernah terpikir untuk mempertanyakan masyarakat Bali dan segala kompleksitasnya. Seperti yang Putu sendiri bilang, “Saya ingat waktu kecil dulu suka berlari melewati lapak-lapak yang didirikan untuk upacara di kampung. Waktu orang-orang tahu siapa saya, para pemilik lapak bilang, “Dia bisa ambil apa saja yang dia mau. Keluarganya bisa bayar. Orangtua saya orang terhormat.”

Dalam dua minggu setelah kematian kakeknya, Putu merasakan hebatnya tekanan dan ketegangan dalam masyarakat Bali, ketika komunitasnya memilih untuk tidak ikut campur ketika keluarganya mempersiapkan upacara kremasi yang sangat penting .

Terasing dan terkucil, pengalaman ini mengejutkan Putu dan menariknya keluar dari sikapnya yang tak pernah mempertanyakan masyarakat Bali. Sejak itu, kepahitan di masa-masa tersebut tertuang dalam karyanya. Dalam pameran patung dan instalasinya di Bentara Budaya Jakarta, mencuat ketegangan antara ekspresi individual dan kebebasan personal di satu sisi, dengan identitas komunal yang kuat dan didukung secara penuh oleh banjar.

Karya Gesticulation

Opening GESTICULATION@ Sangkring ARt Space

Mari Berbagi