Post Hybridity by Soulscape @ Sangkring Art Space
Pembukaan : Senin, 19 September 2011, Jam 19.00 wib
POST HYBRIDITY
Wacana post hybridity akhir-akhir ini masuk ke berbagai ranah dan disiplin ilmu. Sebuah kesadaran untuk menggali, mengadaptasi, merancang ulang, dan mempresentasikan nilai-nilai hybrid yang universal. Sebuah eksplorasi konseptual singkat dari isu-isu yang dipertaruhkan dalam pasca-kolonial, literatur global, kanon terus berkembang yang dicuatkan William Gibson yang senada dengan Sujata Massey ‘The Floating Girl’ yang menyatakan bahwa; fungsi buku sebagai cerita detektif yang relatif sederhana dan lurus diceritakan dan bukan sekedar teks ‘sastra’, dan sebuah dedikasi suatu fiksi estetika. Sebagai upaya lebih mendalami risalah struktur dan isinya. Yakni sebuah lokalitas dipindai sebagai sebuah upaya pemberdayaan nilai ‘purity’ puritan, bagaimana sebuah tinjauan hibriditas melepaskan diri dari aspek yang kita sebut sebagai lokalitas dan bagaimana memunculkan nilai-nilai universalitas atas lokalitas puritan bahkan dalam bentuk barunya dari hibriditas yang sejatinya bertumpu pada pengolahan kesadaran lokalitas? Kita hendak menjadikannya instrumen tersebut untuk menemukan relasi-relasi khusus ketika kita menggali sumber gagasan, berhadapan maupun dalam mendedah sebuah karya visual. Bahkan hampir semua karya seni di dunia bertitik tolak dari aspek-aspek tersebut.
Aspek lokalitas (tradisi) dan perkembangan urban cultures serta rangsekkan budaya kontemporer yang perlahan segera menggeser peta kebudayaan menjadi landscape yang menarik untuk tak sekedar mencermatinya namun memesonakan kita semua. Namun, hal tersebut tak menggeser kesadaran kreatif seniman Indonesia terhadap kesadaran nilai-nilai budaya lokal (local genius) yang senantiasa diacu sebagai bagian dari spirit proses penciptaan seni dalam semangat universalitas. Post Hybridity seolah bergerak mengimbangi arus homogenisasi budaya semakin menegaskan bahwa globalisasi, kapitalisme, konsumerisme menimbulkan hilangnya keragaman budaya, pertumbuhan ‘kesamaan’ dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperialisme budaya. Argumentasi ini seputar dominasi suatu kebudayaan atas kebudayaan lainnya yang biasanya disebut dalam konteks ‘lokalitas’ nasional. Robins (1991: 25) menyatakan bahwa hal tersebut muncul karena memproyeksikan dirinya sebagai transhistoris dan transnasional sebagai kekuatan modernisasi, modernitas yang transenden dan bersifat universal. Maka kapitalisme global pada kenyataannya terkait langsung dengan proses ‘pembaratan’ eksport komoditas, nilai, prioritas, dan cara hidup barat. Pada konteks semacam ini dibutuhkan sebuah kesadaran lokalitas dengan menggali problem wisdom dan berbagai persoalan kontemporer yang tengah berkembang deras di sekeliling kita dengan sebuah orientasi membangun kembali sebuah aktivitas-aktivitas kebudayaan hybrid termasuk praktik kesenian yang berdasar kesadaran hybridity. Konteks ini tentu mengacu pada dominasi muatan lokal sebagai referensi seorang seniman merumuskan konsep kritis melalui berbagai penanda formal estetika.
Rusnoto Susanto
Art Work
Opening