Sangkring Art | Solo Exhibition mem’O’ria personal by I Made Mahendra Mangku @ Sangkring Art Project
860
post-template-default,single,single-post,postid-860,single-format-standard,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Solo Exhibition mem’O’ria personal by I Made Mahendra Mangku @ Sangkring Art Project

 

Solo Exhibition I Made Mahendra Mangku
Mem’O’ria Personal
Opening : Friday, April 12 2013  19.30 wib
Writer : Apriadi Ujiarso
Exhibition current until : mey 12 2013

 

Memòria Personal I Made Mahendra Mangku

I

Sewaktu Piodalan Pura Dalem Sukawati pada 27 Maret 2012, saya berkesempatan menemani  I Made Mahendra Mangku, akrab disapa Mangku, tangkil di Pura besar itu untuk sembahyang sekaligus meminta ijin kepada para Dewa dan Leluhur sebelum  merias wajah dan memakai kostum seorang penasar. Wajahnya yang semula serius berubah menjadi sangat kocak. Bersama Pan Dabdab, seorang legenda hidup lawak Bali Klasik, Mangku memainkan perannya, menghibur dan mencerahkan masyarakat melalui banyolan mengena di dalam konteks cerita Calon Arang. Tahun itu, mereka berdua bersama para pengayah Pura Dalem Sukawati lain, memberi energi positif bagi desa beserta dinamika masyarakat di dalamnya. Ngayah atau kerja voluntary adalah praktek umum masyarakat Bali di dalam konteks hubungan sosial dan religi. Para Pengayah tidak menarik bayaran atas kerja yang mereka lakukan pada acara semacam piodalan yang penyelenggaraannya membutuhkan dana besar. Bagi Mangku, pilihan menjadi penasar menyediakan umpan balik yang strategis, yaitu menyediakan ruang untuk menengok keklasikan Bali sekaligus kesempatan untuk latihan mengolah rasa.

Mangku Lahir di Sukawati – Gianyar, Bali pada 1972, ketika kali pertama diajak sang ayah ke museum Puri Lukisan – Ubud, melihat lukisan – lukisan yang mempesona hatinya, seketika memimpikan dirinya menjadi seorang pelukis handal. Sang Ayah yang petani, meski usianya pendek, namun telah menunjukkan bakat juga memberi semangat kepada anak keduanya itu untuk tidak berhenti pada mimpi. Pada usia 8 tahun, Mangku, mulai belajar melukis tradisi kepada beberapa pelukis Bali Klasik tingkat lokal, dia pun sempat belajar kepada Ida Bagus Poleng. Menyadari kekurangan finansial di keluarganya, Mangku selanjutnya belajar – bekerja prada, yaitu sebagai tukang mewarnai lukisan pada art-shop setempat. Mangku kecil mulai fasih dengan pewarnaan gaya lukisan Bali Klasik, semisal gaya Batuan, Pengosekan dan Ubud.

Mangku adalah seorang pembelajar cepat, penuh semangat, taktis, dan rapi menyimpan ingatan visual. Minatnya dalam representasi artistik semakin membuncah, selepas membaca berita pameran tunggal perupa Made Budhiana di The Northen Territory Museum of Arts & Sciences, Darwin – Australia (1989). Mangku menetapkan diri meninggalkan kerja sebagai tukang dan meningkatkan level pendidikan di SMSR, dengan minat khusus kepada seni rupa modern. Di sekolah ini Mangku bertemu dengan para guru termasuk Pande Gede Supada yang banyak memberi arahan dan bimbingan teknis. Mangku juga bertemu dengan teman – teman baru dengan segala keunikan, kelebihan dan kekurangannya. Hingga kini banyak diantara teman itu selanjutnya menjadi sahabat baik Mangku di dalam suka.

Pada masa itu pula Mangku memiliki kesempatan bertemu dan belajar dengan satu seniman yang dikagumi, Made Budhiana yang ternyata adalah inspiratof dari banyak calon perupa muda Bali waktu. Menurut Putu Sutawijaya, di dalam konteks seni rupa Bali yang sarat tekanan, Made Budhiana adalah sosok perupa yang banyak membantu calon seniman muda Bali untuk belajar bagaimana menjadi bebas.

II

Mangku menumbuhkan kepercayaan diri dengan memasuki kota budaya Yogyakarta, juga atas dorongan semangat dari Pak Bengsong, ayah seniman Mantra Ardhana. Mangku menjalani kuliah di Insitut Seni Rupa (ISI), bergabung dengan Sanggar Dewata Indonesia (SDI), menerima beasiswa Supersemar,  mengikuti berbagai pameran, dan meraih beberapa penghargaan sebagai yang terbaik, serta secara diam – diam, pacaran.

Pada periode ini Mangku semakin sadar akan kekurangannya dalam hal bentuk dan garis, sebaliknya makin paham potensinya dalam hal warna. Selanjutnya kesadaran itu mengarahkan Mangku untuk mencari acuan bahasa visual non – Bali yang cocok dengan karakternya. Pada level nasional, Mangku mengacu kepada karya – karya Zaini (17 Maret 1926 –  25 September 1977), pelukis asal Pariaman yang pendidikan formalnya hanya kelas V Sekolah Rakyat. Sedang pada tingkat global, Mangku utamanya memilih acuan mula – mula kepada Robert Rauschenberg (AS) hingga kepada Antoni Tapies (Spanyol).

Pilihan acuan bahasa visual, terutama kepada tiga perupa di atas, bukannya tanpa konsekuensi. Saya menduga Mangku telah mengarah kepada pribadi yang anti – akademik. Menganggap ijazah bukan hal penting. Mangku mengambil cuti kuliah dengan alasan ketidakcukupan finansial, memilih fokus berkarya dan pameran, namun tetap dengan diam – diam intens berpacaran.

Terima kasih kepada perupa Sumadiyasa yang agaknya tahu arah perubahan itu, sehingga sebelum terlanjur jauh, secara halus dia telah berhasil “memaksa”, sehingga Mangku membuat karya Tugas Akhir, sebagai cara merampungkan kuliah. Sebagai catatan, hingga kini Mangku tidak pernah menghitung pameran tugas akhir di dalam daftar pameran tunggalnya.

III.

Malam itu, 6 Maret 2012, sekitar 40 hari setelah wafatnya Antoni Tapies (13 Desember 1923 – 6 February 2012), saya  bertandang ke studio Mangku, yang tidak jauh dari jalan raya Sukawati. Studio itu tidak besar namun bersih lagipula terasa nyaman, utamanya bagi Mangku saat bekerja memproduksi karya visualnya. Beberapa kanvas besar tampak tertata rapi pada satu rak tinggi dan lebar disain khusus untuk memudahkan akses penyimpanan karya dan sebaliknya. Selepas tersedia kopi, ditemani Wayan Arnata dan Wayan Santiyasa, saya merekam perbincangan kami berkait perjalanan karir Mangku di wilayah seni rupa. Mulai dari konsistensinya di wilayah abstrak, pengabaian terhadap wacana seni rupa kontemporer, harapan bisa berpameran tunggal lagi di tahun itu dan pengakuannya yang kini lebih mengutamakan rasa di dalam berkarya. Mangku juga mengaku kerap menghentikan proses berkarya apabila akal telah melakukan intervensi apalagi bila telah memanipulasi rasa.

Maka pameran lukisan bertajuk Memòria personal I Made Mahendra Mangku di Sangkring art – space ini adalah pameran tunggalnya yang ke tujuh, sekaligus penanda 21 tahun perjalanan karirnya di dunia seni rupa. Sejumlah 30 karya lukis yang dibuat Mangku di sepanjang waktu 2012 dan awal 2013, itu terdiri dari 22 lukisan di atas kertas dan 8 sisanya adalah lukisan di atas kanvas. ke – 30 karya abstrak dengan komposisi yang khas itu, merupakan buah daripada proses penciptaan Mangku terkini dengan pendekatan yang lebih mengutamakan rasa di dalam penciptaan hingga berakhirnya proses produksi. Namun berdasarkan observasi saya yang sekilas terhadap kemunculan tanda ikonik black cross di beberapa karya, saya menduga Mangku lebih banyak menyandarkan rasa untuk secara personal mengenang Antoni Tapies (dibaca, TAH-pea-ess), perupa abstrak kelas dunia yang lahir dan wafat di kota Barcelona – Spanyol, dalam usia 88 tahun. Bisa jadi cara Mangku mengapresiasi tanda – tanda visual Antoni Tapies itu punya banyak kemiripannya dengan para fans klub Barcelona di seantero dunia.

Ke – 30 karya abstrak Mangku ini mendapat perlakuan display secara rapi dan menarik. tim kreatif Sangkring membaginya ke dalam delapan klaster, dengan 4 bagian karya kertas dan sisanya karya kanvas. Pembedaannya berdasar urutan seri karya arahan  senimannya sendiri. Sedangkan penyajian display dilakukan secara berselang – seling agar lebih  variatif, sehingga enak dilihat dan nyaman. Dengan begitu penikmat secara bebas bisa membuat linearitas kecenderungan rasa yang menjadi dasar – dasar kreativitas Mangku Mahendra, selepas wafatnya Antoni Tapies, dan selepas piodalan Pura Dalem Sukawati 2012, hingga dikirimnya tigapuluh karya abstrak itu ke Sangkring art Space.

 

Apriadi Ujiarso

Dokumentasi Display mem’O’ria personal

 

Dokumentasi Opening mem’O’ria personal

Mari Berbagi