Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

[Exhibition] Kembali ke Akar

[ArtWork] Dona Prawita Arisuta – INFIN#8 YAA2023

Konsep berkarya :

Palimpsest secara literal adalah kertas (perkamen) yang pernah ditulis, kemudian ditimpa dengan tulisan baru, di mana tulisan lamanya belum terhapus sepenuhnya. Istilah “Palimpsest” dipilih untuk menggambarkan proses penanaman moral secara berulang dengan pendekatan cerita yang diceritakan secara berulang-ulang dengan semua embel-embelnya: penafsiran, perubahan konteks dan lingkungannya.

Cerita-cerita relief Jataka di Candi Sojiwan bukan khotbah moral; plot dan gaya penceritaannya tidak memberikan arahan moral yang verbalistis dan langsung; orang yang mendengarkan dan menceritakan ulang diberi kebebasan untuk menangkap keluasan nilai kebijaksanaan dalam setiap cerita. Apalagi cerita-cerita dalam relief Candi Sojiwan menggambarkan nuansa kehidupan yang sangat manusiawi bahwa kebaikan bukan satu-satunya isi dari kehidupan. Kebaikan bukan suatu yang sudah ada pada setiap orang, tapi sebuah perjuangan yang lurus, di mana kadang kebaikan kalah oleh kejahatan, dan kemudian setelah proses panjang kebaikan diraih kembali.

Karya adaptasi terhadap relief Candi Sojiwan ini menegaskan efektivitas cerita dan posisi cerita sebagai wadah pengajaran dan pendidikan moral dalam kehidupan, terutama bagi anak-anak.

Cerita relief Candi Sojiwan  memiliki aspek pengajaran dan pendidikan moral yang merupakan pengembangan dari sepuluh unsur Paramitha dalam ajaran Budha.  Diantaranya :

  1. Relief kera dan buaya memiliki aspek  pelajaran tentang kelicikan yang dibayar dengan kelicikan pula; Semua tindakan sebaiknya berdasarkan pada pertimbangan akal pikiran; Ukuran dan bentuk  fisik bukan segalanya; Orang yang mau mendapatkan pencerahan tidak takut akan kesulitan dan memiliki keberanian menghadapi kesulitan.
  2. Relief singa dan lembu jantan: Saling mencurigai tanpa alasan berakibat tidak baik; Harus saling mempercayai dengan sahabat dan saudara; Membuang buruk-sangka; Perkataan tidak benar dan fitnah akan merusak persahabatan.

[will update soon]

[Exhibition] Monotone, R. Wisnu. D

Rute Imajiner dan Sebuah Metafora

Siang itu, di dalam studionya, R. Wisnu. D bertutur tentang perjalanan-perjalanan yang pernah dia lakoni ke pelbagai tempat dan negeri, yang sekian tahun kemudian, yakni: pada saat ini menjelma sebagai rangkaian di atas kanvas. Kami coba mengamati lukisan-lukisan itu, sambil mendengarkan kisah lukisan cat minyak perjalanannya. Pikiran pun ikut mengembara, menjelajahi lokasi-lokasi yang mempertautkan praktik perjalanan, pengalaman estetik, dan penciptaan artistik.

Sepotong rute imajiner terpicu oleh sekian nama seniman-pelancong (traveler artists) yang mendadak sembul di benak: sejak dari Claude Monet, Vincent van Gogh, Edward Hopper, Affandi, Rusli, hingga Putu Sutawijaya. Fragmen-fragmen gagasan bersijingkat di tengah jalanan licin, lalu seperti semaunya saja singgah di ranah musikal, sosiologi tempat (sosiology of place), dan seterusnya, hingga pada akhirnya kembali ke dalam praktik perjalanan dan seni visual.

MonoTONe, sebagai tema pameran tunggal Wisnu di Sangkring Art Project, diadopsi dari ranah musikal mengacu kepada komposisi yang hanya menerapkan satu pitch atau tone. Musik minimalis, ambient, dan chanting adalah beberapa genre yang kerap mengeksplorasi monotoni dengan memaksimalkan repetisi dan kontras elemen-elemen musikal, entah ritme, harmoni, timbre, atau dinamik. Sebagai sebuah metafora, konsep ini sudah tak asing lagi bagi praktik seni visual. Di ranah ini monoTONe mengacu kepada warna atau hue tunggal. MonoTONe dalam sebuah lukisan, misalnya, bisa sangat potensial, memukau dan efektif, untuk menyugestikan suasana dan atmosfer yang dikehendaki. Meskipun begitu, secara umum kita menghindari monotoni lantaran kecemasan akan kebosanan, tetapi mengapa Wisnu justru menghampirinya?

Kita tahu bahwa preferensi pada lingkup warna yang terbatas, katakanlah pada warna “gelap” semata-mata, tetap mampu membuka kemungkinan kreatif dengan menyiasati elemen-elemen visual yang lain. Bisa disimak sebagian besar lukisan Wisnu yang cenderung gelap dan muram dari tiga lukisannya tentang Merapi, hanya satu yang relatif cerah. Akan tetapi, ternyata yang dimaksud sebagai monoTONe olehnya itu bukanlah (sekadar) perkara teknis. Wisnu sangat menyadari bahwa lukisan-lukisan yang dipamerkan sekali ini berorientasi pada suatu medan tematik tunggal, bahkan dalam genre tunggal pula, yakni lanskap. Bagaimanakah genre spesifik ini terbentuk? Apakah hubungannya dengan perjalanan, pelancongan?

Hasrat Perjalanan, Hasrat untuk melakukan perjalanan dan mengunjungi panorama tertentu adalah hasrat yang dikonstruksi secara kultural, bukan sesuatu yang alami. Hasrat kultural (cultural desire) ini, seturut sosiolog John Urry (1995), setidak-tidaknya terdorong oleh beberapa faktor. Yang pertama sudah jelas, yakni ketersediaan lokasi geografis yang dapat dikunjungi, sebagai hasil kemajuan fasilitas transportasi dan komunikasi.

Tak perlu berpanjang-panjang tentang ini, meski kita perlu mengingat pula bahwa tipe lanskap tertentu, semisal alam liar (wilderness), justru diminati orang lantaran kesulitan untuk dijangkau, minimnya fasilitas, serta sukarnya akses.

Faktor lain menyangkut pengelompokan sosial dengan orientasi estetik yang sesuai, misalkan terhadap gaya (style) tertentu atau jenis pemandangan (scenery) tertentu yang biasa disebut sebagai “lanskap”. Sehubungan dengan yang terakhir ini, apa yang barangkali bisa dinamakan “estetika alam” berpotensi sekaligus sebagai sumber penyegaran inspirasi dan kebangkitan rohani bagi kelompok atau kelas sosial tertentu.

 jadi, bukan soal “keindahan” melulu. Katakanlah, sebagai satu contoh, danau yang tenang dianggap orang lebih mendamaikan hati, lebih meleramkan, ketimbang jenis pemandangan lain semisal padang pasir.

Dalam konteks pameran ini, muncul pertanyaan besar: sesungguhnya apa dan bagaimana basis sosial Wisnu sehingga dia memilih orientasi estetik sebagaimana terbaca dalam lukisan-lukisan lanskapnya?

Boleh jadi orientasinya itu dapat dipulangkan ke dalam latar budaya yang lebih umum, yang tersebar melalui pihak-pihak signifikan di tengah masyarakat yang lebih luas. Di dalam perkembangan genre lukisan pemandangan dan bentang alam, pasti terdapat figur-figur yang berpengaruh dan ikut memainkan peran yang tidak kecil dalam menyebar-luaskan preferensi terhadap tipe lanskap tertentu.

Bagi seorang seniman dan penyair Romantik, misalnya, menikmati alam adalah berarti berjalan kaki dalam kesendirian dan kesunyian, dengan suasana kontemplatif, demi menyembuhkan “luka batin” atau mencapai kesadaran spiritual. Maka, pertanyaan berikutnya: adakah sosok-sosok signifikan yang turut berperan atas preferensi Wisnu terhadap lanskap-lanskap tertentu?

Dan, pada akhirnya, mungkin kita perlu bertanya dan mempertanyakan pemahaman atas lanskap itu sendiri, sebagai faktor kunci dan sentral dalam menstrukturkan hasrat kultural atas pemandangan alam tertentu. Misalnya saja pengertian dan gagasan lanskap yang individualistis dan visual, praktik memandang (practice of looking) pribadi yang niscaya tidak pernah netral ― dengan memilah subjek (pihak yang memandang, mengamati) dan objek (pihak yang dipandang, diamati) melalui pengutamaan indra visual sang pengamat.

Jika memang konsepsi kita tentang sebuah lanskap pada dasarnya relatif bebas-insan, bangaimanakah prosesnya? Mengapa bisa terjadi demikian? Lanskap dan Dunia Simbolik Gagasan tentang lanskap pada mulanya merujuk kepada sebuah genre yang hendak menangkap pemandangan alam pedalaman/pedesaan (natural inland scenery), lalu mengerucut pada tapak daratan (track of land) tertentu yang ditatap dari sudut-pandang spesifik, dan pada akhirnya ia semata-mata merujuk kepada pemandangan alam (natural scenery) semisal hutan, ladang, pepohonan, gunung, atau pantai (baca: John Barrell, 1972). Dengan mencermati pergeseran pemahaman ini, dapat kita katakan bahwa lanskap bukanlah sekadar soal lingkungan fisik, melainkan sesuatu yang termediasi oleh proses apropriasi kultural.

Alam yang dipahami sebagai lanskap, jadinya, merupakan konstruksi sosial yang terkondisikan secara historis. Pada abad kesembilan belas, taruhlah, definisinya terhegemoni oleh dunia luar (eksternal) seperti pemandangan dan pandangan (views) yang diimbuhi sensasi-sensasi indrawi. Padahal, seabad sebelumnya, para bangsawan Eropa lebih mendefinisikannya dengan mengintegrasikan kelas bawah pekerja ke dalamnya, sebagai bagian terpadu dari lanskap itu sendiri, meskipun posisinya berjarak (in the distance) sebagai elemen visual yang nyaris tidak tampak. Dengan kata lain, kode genre yang khas ini bergeser senantiasa, entah dengan mengedepankan secara maksimal atau malah menentang dan menantangnya. Hal ini dapat kita bandingkan dengan lukisan-lukisam Wisnu yang di satu sisi bersetia terhadap kode, tetapi di sisi lain tampak kecenderungan beringsut darinya.

Telah lama pula kita paham bahwa genre lukisan lanskap sanggup menjangkau geografi imajiner, dunia mungkin (the possible world) yang berada di luar jangkauan nalar empiris. Bahkan di dalam lukisan-lukisan lanskap yang meminjam istilah dari Umberto Eco undercoding sekalipun, kerap kita temukan potensi tafsiriah yang luar biasa dalam menjangkau dunia simbolik (the symbolic world), yang sanggup menyugesti makna-makna emotif tertentu dan melampaui tampakan fisik semata, entah melalui metafora, ironi, hiperbola, dan sebagainya.

Sehampar padang rumput (prairie) di Montana, sebentang danau di dekat Dijon, Prancis, bahkan sepotong sungai di Kediri, menyodorkan makna emotif yang ngelangut. Sebatang pohon yang tegak sendiri menjadi metafora bagi kesendirian dan ketegaran; pun formasi awan di langit kelam menyuguhkan metafora yang dramatis.

Melalui lukisan-lukisan Wisnu, kita dapat meraih makna dan menikmati perjalanan ke dunia simbolik ini.

– Kris Budiman –

[Residency] Makunyit di Alas

Pengantar Pameran

MAKUNYIT DI ALAS

Perjalanan selalu menawarkan pertemuan baru. Pertemuan selalu menghadirkan ceritanya tersendiri. Pengalaman-pengalaman baru adalah hal yang paling dirasa dalam sebuah pertemuan, bagaimana berinteraksi dengan lingkungan baru maupun individu-individu didalamnya. Jika kita percaya pada filosofi pendidikan yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru, maka setiap petualangan meninggalkan rumah ke berbagai tempat baru yang berbeda dengan lingkungan kita adalah sebuah proses mengalami berbagai hal-hal baru yang ditemui. Hal ini juga sejalan dengan konsepsi pendidikan kontemporer dimana sumber belajar tersebar dimana saja dan bagaimana para pembelajar mampu menyerap dan menformulasi untuk bertemu diri mereka yang otentik. Pengalaman-pengalaman itu idealnya berdampak bagi bertambah lebarnya cakrawala berpikir yang menjadi bekal untuk menapaki berbagai petualangan-petualangan berikutnya serta pengalaman tentang bagaimana beradaptasi dengan suasana, lingkungan dan orang-orang yang ditemui selama berinteraksi di tempat yang baru.

Dalam konteks kesenirupaan khususnya dalam pengembangan kreatif para perupa muda berbagai perjalanan berkarya di lingkungan yang berbeda dengan kebiasaan mereka adalah sebuah pengalaman yang tentu saja berkontribusi bagi perkembangan kekaryaan mereka masing-masing. Inilah salah satu signifikasi dari sebuah program residensi bagi perupa muda yang sedang merintis kekariran mereka dalam medan sosial seni. Sebab selain piawai dalam aktivitas berkarya, perupa juga perlu sebuah aktivitas yang melibatkan interaksi dan pergumulan kreatif dengan berbagai pihak dan medan sosial seni tentu banyak pengalaman yang dapat dipetik dari proses itu. Bertimbang pada hal tersebut Sangkring sebagai sebuah ruang dalam medan sosial seni rupa selalu membuka kesempatan terhadap berbagai kemungkinan terjadinya perjumpaan kreativitas dengan berbagai pihak serta menjadikan ruang tidak terhenti sebagai ruang presentasi yang mempertemukan karya seni dan penikmatnya tapi meluas pada berbagai kemungkinan termasuk sebagai ruang yang terbuka terhadap kolaborasi, ruang untuk tumbuh bersama termasuk bagi para perupa muda. Sebab dalam praktik kesenirupaan hari ini peran sebuah ruang maupun institusi seni rupa menjadi semakin berlapis. Salah satunya sebagai ruang interaksi dan berbagi pengetahuan baik antara sesama pelaku seni maupun antara pelaku seni dengan publik yang lebih luas.

Makunyit di Alas adalah pameran presentasi hasil program residensi yang diinisiasi oleh Sangkring dengan berkolaborasi bersama Gurat Institute sebuah lembaga seni rupa berbasis di Bali yang berdiri sejak awal tahun 2023. Program residensi ini berupa tawaran kepada dua perupa muda yang berbasis di Bali atas rekomendasi Gurat Institute untuk beresidensi di Sangkring selama tiga bulan. Dalam program yang pertama ini menghadirkan I Gede Sukarya dan Gusti Kade Kartika (Gus Ade) sebagai dua orang perupa dengan dua pilihan material yang berbeda. Gede Sukarya dengan eksplorasinya pada medium kulit dan Gus Ade yang mengeksplorasi medium benang sebagai basis kekaryaan mereka. Selama tiga bulan kedua perupa tidak hanya berkarya dalam artian berpindah studio dari Bali ke Yogyakarta melainkan ada berbagai aktivitas seperti bertemu dan berdiskusi dengan sejumlah seniman, mengunjungi berbagai ruang dan mengamati aktivitas dan dinamika dalam medan sosial seni rupa Yogyakarta hingga mengunjungi berbagai situs-situs arkeologis di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berbagai pengalaman dan petemuan tersebut menjadikan mereka memikirkan dan merenungkan lebih jauh tentang makna sebuah pertemuan. Apa yang mereka rasakan ketika berjumpa dengan situs-situs di Jawa Timur, atau informasi dan pengetahuan apa yang ingin mereka gali lebih jauh sebagai seniman visual dalam melihat hamparan artefak-artefak masa lampau tersebut dan sejauh mana mereka terinspirasi dalam karya masing-masing. Atau sejauh mana mereka mendapatkan inspirasi dan pengetahuan yang digali dari pelaku seni yang mereka temui dan ajak berbincang selama di Yogyakarta dan tentu saja berbagai lapisan-lapisan pemaknaan atas sebuah pertemuan.

Pameran ini berjudul “Makunyit Di Alas” sebagai sebuah ungkapan dalam tradisi berbahasa Bali (Bebladbadan) yang bermakna “bertemu”. Bladbadan adalah salah satu repetorium bahasa Bali yang di dalamnya terjadi transposisi makna dengan menggunakan perangkat emosif. Perangkat emosif yang digunakan dalam pemaknaan bladbadan adalah fonetik, leksikal, dan sintakis, yang didukung oleh kaidah-kaidah pembentukan kata dalam bahasa Bali. Dalam tradisi kebahasaan di Bali makna dari Makunyit Di Alas adalah bertemu. Makna ini merujuk pada kesamaan fonetik atau bunyi dari kunyit alas yang merujuk pada diksi temu (diksi dalam bahasa Bali yang merujuk pada jenis tumbuhan  rimpang) dengan diksi temu yang dalam bahasa Bali juga bermakna berjumpa atau bertemu. Kesamaan bunyi fenotik dari kata temu yang merujuk pada jenis tumbuhan rimpang yang berkembang biak dengan akar yang menjalar di dalam tanah dan kata temu yang bermakna berjumpa ini menghasilkan makna yang jika ditafsir lebih jauh memiliki makna metaforik didalamnya. Tumbuhan rimpang memiliki karakter yang adaptif yang kuat.

Cara rimpang atau rizoma ini bertumbuh adalah dengan jalaran akar-akarnya, bahkan jika akar-akar ini dipotong dan titanam dalam tanah yang berbeda pun akar tersebut tetap dapat bertumbuh dengan cepat. Selain menghadirkan dua orang perupa muda yang beresidensi pameran ini juga menghadirkan karya para perupa yang mereka temui dan ajak berbincang dalam proses residensi ini. Hal tersebut sebagai upaya untuk memaknai lebih jauh sebuah perjumpaan dan pertemuan-pertemuan mereka selama di Yogyakarta.

Tim Gurat Institute

Maret 2023

I Gede Sukarya

Menatah Pertemuan

Cerita selama mengikuti program residensi yg diinisiasi oleh Sangkring dengan berkolaborasi bersama Gurat Institute memberikan kesan tersendiri bagi saya. Saya sebelumnya tak pernah menyangka mendapat tawaran dan kesempatan untuk berkarya dan melihat berbagai hal di luar lingkungan saya di Bali. Kesempakatan untuk mengikuti residensi ini juga terjadi dalam momentum yang tak terduga. Bermula dari pertemuan tak terduga lalu berlanjut pada perbincangan santai dengan Pak Putu Sutawijaya ketika kami sama-sama menghadiri undangan upacara potong gigi salah satu teman seniman di Bali. Tanpa pikir panjang lagi saya pun mengiyakan tawaran yang tak terduga ini. Menurut saya program residensi ini adalah sebuah kesempatan yang berharga untuk diri saya sebagai perupa muda yang berbasis di Bali untuk mengenal lebih dekat iklim berkesenian di wilayah lain di luar Bali. Terlebih Yogyakarta, sebagai salah satu basis perkembangan seni rupa Indonesia.
Awal mula memulai kegiatan resindensi di Sangkring pada pertengahan bulan Januari, saya melakukan perjalanan ke seniman-seniman yg ada di Yogyakarta sembari memulai proses berkarya. Cerita-cerita inspiratif, masukan demi masukan soal kekaryaan dan bagaimana berkarier sebagai seniman, saya dapatkan selama pertemuan-pertemuan itu. Selain itu yang juga sangat berkesan adalah adanya kesempatan dari Pak Putu Sutawijaya yang mengajak kami berkunjung ke beberapa situs arkeologis di kawasan Jawa Timur untuk melihat secara langsung bagaimana peninggalan peradaban masa lampau yang terekam dalam candi, arca, dan artefak-artefak di situs yang kami kunjungi. Disana saya memperoleh wawasan baru setelah mengamati langsung ragam ornamen di candi-candi serta artefak di situs yang kami kunjungi. Pengalaman melihat ini sangat berguna dalam pengembangan visual karya saya yang selama ini banyak menghadirkan motif-motif ornamen dari tanah kelahiran saya di Bali Utara pada media kulit yang dihadirkan dengan teknik tatah.
Di Jawa Timur saya melakukan perjalanan selama 4 hari dan kembali lagi ke Sangkring untuk merealisasikan ide-ide yang saya dapat dari pengalaman mengunjungi dan bertemu dengan berbagai situs di Jawa Timur. Saya sangat menikmati perjalanperjalan mencari sesuatu itu dan beberapa hari setelah dari Jawa Timur Pak Putu kembali mengajak saya ke gunung merapi melihat suasana magis indahnya pesona merapi dari aliran sungainya. Demikian cerita perjalanan saya selama mengikuti kegiatan residensi selama dua bulan di Sangkring dan berbagai pengalaman bertualang dan bertemu dengan berbagai hal dan orang-orang yang dengan murah hati mau berbagi cerita dan pengalamannya.
Pengalaman-pengalaman itu akhirnya terakumulasi dan teramu menjadi gagasan yang tertumpah dan terekam dalam tatahantatahan diatas kulit sebagai media. Apa yang hadir serupa catatan perjalanan atas apa yang saya lihat yang memantik imajinasi dan interpretasi saya lebih jauh. Berjumpa dengan candi yang terlilit pohon di sebuah situs di Jawa Timur misalnya, memantik perasaan-perasaan saya tentang ruang hidup, saling menjaga, dan merawat, berbagai pertanyaanpertanyaan berkelindan dalam benak saya. Selain itu pengalaman melihat Yoni tanpa Lingga di situs lainya memantik imajinasi saya tentang bagaimana bentuk Lingga yang telah hilang itu, melalui karya saya mencoba mengkreasikan bentuk bentuk lingga tersebut. Serta ada beberapa catatan-catatan lagi
yang saya rangkai menjadi cerita yang baru pada karya saya berdasarkan pengalaman dan pertemuan-pertemuan yang terjadi antara saya dan situs situs di Jawa timur tersebut.
Pada akhirnya setiap perjalanan adalah kisah, semoga karyakarya yang saya coba hadirkan ini akan membawa saya pada cerita tentang perjalanan-perjalanan berikutnya. Saya ingin menatah semua jejak-jejak perjalanan itu pada karya saya.

I Gede Sukarya
Bulian, Bali, 1995


Contact:
085932233373
Instagram.com/ig.sukarya
Gedesukarya17@gmail.com

Gus Ade
Menyulam Sambil “Minum Air”

Mengikuti undangan program residensi yang diinisiasi oleh Sangkring ini adalah pengalaman yang berkesan bagi saya. Sebagai perupa muda saya hanya bermodal teknis menyulam yang saya tekuni sejak tahun lalu dengan referensi dari karya sulaman Ibu yang dulunya juga penyulam wayang sebagaimana lazimnya aktivitas ibu-ibu di kampung halaman saya di Jembrana Bali. Suasana tempat tinggal saya kini di Kerobokan juga dipenuhi material-material dari pekerjaan
orang tua yang berprofesi sebagai penjahit, hal ini yang mempengaruhi saya dalam mengerjakan karya karya saya kini.
Seperti bagaimana lazimnya proses kreatif perupa, saya juga mengawali gagasan saya dari berbagai eksperimen dengan berbagai material kain, sampai pada suatu kesadaran bahwa hanya benang yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan artistik saya ketika mencoba mengeksplorasi kain sebagai pilihan material karya saya. Akhirnya saya memutuskan untuk belajar dari ibu, bagaimana teknis sulam dan bagaimana menerapkan warna sesuai dengan struktur dan pola warna yang terdapat dalam seni sulam wayang Jembrana.

Selama proses eksplorasi tersebut saya mendapati adanya struktur penerapan warna-warna yang saling berkomplemen dalam sebuah karya sulam Jembrana. Misalnya motif yang berwarna merah ditempatkan di sebelah motif berwarna hijau sehingga garis yang dihasilkan dari penyandingan warna-warna kontras ini menjadi jelas terlihat. Tidak lama setelah saya berproses mengeksplorasi dan meriset struktur dan aspek warna dalam sulam wayang Jembrana sampai saya memutuskan untuk menghadirkan karya personal yang lebih abstraktif, bergerak dari struktur visual sulam wayang Jembrana yang figuratif. Memori visual dan pengalaman
membuat karya sulaman ini saya bawa pada program residensi ini. Tujuanya untuk melihat dan menghadirkan kemungkinan lebih luas, sejauh mana memori dan pengalaman visual saya pada karya-karya sulaman ini bisa dikembangkan.
Dalam kegiatan residensi ini saya mendapatkan kesempatan dan diajak mengelilingi candi-candi dan situs yang ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah oleh Pak Putu Sutawijaya.
Pengalaman ini lalu coba saya maknai lebih jauh dalam karya sulaman saya. Pengalaman ini seperti menyulam diri saya kini dengan memori historis saya sebagai orang Bali yang memiliki ikatan historis dengan peradaban Jawa Timur di masa lampau. Dalam catatan sejarah masing-masing soroh atau klan di Bali banyak ditemui catatan perjalanan para leluhur yang berasal dari Jawa khususnya Jawa Timur pada masa Majapahit. Pada puing-puing reruntuhan atau serpihan
bata purba yang saya temui di situs-situs yang saya kunjungi menjadi pemantik dalam pengembangan gagasan kekaryaan saya kini yaitu karya sulaman yang berangkat dari pembacaan dan interpretasi saya tentang memori masa lampau melalui seri karya serpihan. Saya mewujudkan gagasan tersebut dengan menyulam sisa-sisa kain kanvas yang terpecah-pecah menjadi ukuran kecil dan saya sulam dengan beralaskan kertas untuk memenuhi kebutuhan artistik atas gagasan tersebut.
Pada momen mengunjungi beberapa candi itu juga, saya merasakan energi yang kuat, khususnya di Candi Bangkal, sampai sekarang saya tidak menemukan alasan atas pengalaman personal saya tersebut. Masuk ke dalam candi Bangkal untuk berdoa dan saya merasa pulang ke rumah tempat dimana saya berasal, detak jantung terasa berdebar lebih kencang ketika saya di dalam candi, ini menunjukkan betapa kuatnya tarikan energi didalamnya. Pengalaman berdoa di candi Bangkal juga menjadi dasar saya membuat karya sulam pada spon busa yang dilapisi kanvas, bertujuan untuk menghadirkan sampai mana saya bisa merasakan kuat tarikan benang yang disulam pada spon busa yang lembut.
Pengalaman lainnya ketika di sela-sela kegiatan keseharian saya menyulam menyelesaikan karya di studio residensi terkadang saya berhadapan dengan waktu luang, hal ini membuat saya belajar memanfaatkan waktu-waktu tersebut dengan memaknainya lebih jauh dengan melakukan aktivitas lain selain menyulam seperti membuat sketsa, melukis, menggambar, sehingga hal ini menjadi rutinitas keseharian saya selama residensi, hal yang saya lewatkan selama saya memutuskan untuk menekuni media benang dan teknik sulam. Ditambah adanya kegiatan on the spot bersama Pak Putu Sutawijaya, melalui perbincangan dan mengikuti proses tersebut saya mendapatkan pemahaman bahwa kegiatan on the spot bukan sekedar melukis di tempat, melainkan ada momentum untuk kita lebih memahami lingkungan sekitar, dan bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Jadi ‘menyulam sambil minum air’ saya maknai sebagai hubungan antara diri saya dan aktivitas menyulam sebagai media untuk melihat berbagai kemungkinan yang ditemui dalam setiap perjumpaan perjumpaan saya dengan berbagai hal dan pengalaman baru selama proses residensi ini.

Gusti Kade Kartika
(Gus Ade)
Bali, 22 Mei 2000


Contact:
08563862980
Instagram.com/gus_ade
Gustikadedwikartika@ong