Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-4,page-paged-4,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

[Pameran] MengAlir

MengAlir: Memori atas Jejak Historis yang Majemuk

MengAlir secara praktis dapat diartikan sebagai ihwal apapun yang tak statis, jika itu gerak maka ia dinamis, jika itu air maka ia dapat turut menerobos merasuk pada tiap bagian ruang, ruang dalam konteks imajinasi dalam kerja-kerja seni lukis cat air. Lebih jauh lagi menjadi spirit upaya praktik berkarya yang memiliki bentang panjang, terus mengalir sampai jauh, tak enggan menilik ke belakang, memunculkan memori-memori personal tentang identitas kebudayaan dan sejarah sebagai upaya melihat, merasakan, atau bahkan dengan kemampuan artistik dan estetiknya, perupa dalam praktiknya sebagai laku mengkonservasi warisan kebudayaan lewat goresan-goresan cat air.

Empat pelukis cat air, Made Sutarjaya, Ngurah Darma, Nanang Widjaya, dan S. Yadi K hadir menggunakan cat air sebagai medium yang paling fundamental dalam praktik berkarya. Praktik melukis cat air sendiri telah menangkap imajinasi para pelukis selama berabad-abad. Menilik ke belakang, di Mesir cat air mendapat popularitas yang luas yakni pada praktik melukis pada media kertas papirus, sementara di Cina pada media kain sutra kemudian secara bertahap berkembang menjadi media kertas. Di Eropa lukisan cat air muncul selama periode Renaissance seiring dengan perkembangan teknologi kertas.

Sekiranya pada tahun 1700-an cat air menjadi populer dan mapan sebagai media artistik dalam seni rupa Barat. Misalnya, J.M.W. Turner, Thomas Girtin, hingga Paul Cezanne. Di Indonesia kita mengenal pelukis Mohammad Toha yang pernah menggunakan cat air sebagai medium dokumentasi visual yang saat itu terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda ke-II di Yogyakarta yang sempat menggunakan teknik lukis cat air on the spot untuk membuat dokumentasi visual peristiwa bersejarah tersebut. Selain itu Wakidi, Kartono Yudokusuma, Lee Mang Fong sebagai seniman yang kerap mengeksplore cat air dan kertas, hingga Bung Karno muda pun turut memproduksi lukisan cat air semasa kuliah sekiranya pada tahun 1926 berjudul Lanscape in West Java.

Sebagaimana sketsa, pada awalnya melukis dengan cat air banyak digunakan seniman sebagai sarana gambar studi tentang anatomi manusia, flora, fauna dan alam. Pada saat yang sama, Penggunaan media cat air juga kerap dijadikan media yang praktis untuk melakukan on the spot, maupun on the studio oleh keempat pelukis cat air pada pameran MengAlir ini.

***
Sutarjaya pada 4 seri Purnama misalnya, lewat visual tarian Legong Condong dan Tari Oleg ia menyodorkan perasaan ingin melestarikan budaya salah satunya adalah tarian, tarian menjadi hiburan yang dekat dan inklusif pada diri Sutarjaya sebagai masyarakat bali. Figur-figur anatomis menjadi penanda bagaimana logika bentuk terjadi, lekuk dan lenggam bentuk tubuh, ekspresi keindahan, kencantikan, dan ketenangan pada paras perempuan. Bulan purnama keemasan tidak seterik matahari sebagai penanda kehidupan yang penuh keteduhan dan kedamaian. Perempuan menjadi figur dominan yang sangat ekplisit tampak pada seluruh karya-karya Sutarjaya, pemaknaan lebih intim terjadi pada representasi dari figur perempuan sebagai memori atas seorang ibu baginya.

Pada Pura Taman Ayun dan Memasak Gula di Desa Pegringsingan, Ngurah Darma menyandarkan tema-tema keseharian yang kerap dilihat sebagai gagasan kreatifnya. Ngurah Darma dengan sengaja menyodorkan situasi dan aktivitas dari tampak belakang dari aktivitas keagamaan yang kultural, ia mengambil sudut-sudut yang tidak biasa diambil. Baginya menangkap visual apa yang dilihat dengan cara melukis sebagai ajang dialogis atas situasi, ruang, bentuk, dan objek-objek di depan mata.

Sementara Nanang Wijaya menitik beratkan pada aspek visual dan historis bangunan heritage sebagai jejak sejarah peninggalan kebudayaan indis yang saat ini masih ada, sekaligus popular. Bangunan peninggalan era kolonial di Jawa misalnya, Gedung Monod Diephuis Kota Lama Semarang, Sudut Kota Lama Pasar Pecinan, menjadi gambaran pertarungan politik, pertaruhan identitas, negosiasi kultural, hingga akulturasi budaya dalam konteks Masa Kolonial di Indonesia. Pada Sudut Tugu Jogjakarta, Nanang sandarkan pula bagaimana bangunan heritage bukan saja sebagai bangunan atas hasil persentuhan Belanda di Yogyakarta, tetapi lebih dalam lagi memiliki nilai historis dan magis yang kerap dipercaya  sebagai titik sumbu garis imajiner antara utara pada Gunung Merapi, hingga sisi ujung pantai Selatan.

Sedangkan S. Yadi K, menyoroti masyarakat yang kerap dianggap publik sebagai kelas yang marjinal. Menjadi menarik pada momentum kali ini, tiga dari empat karyanya yakni Tertegun, Ku tertawaiku, Dekapan Kasih, merupakan sosok yang baru kali ini sengaja ia hadirkan, tentu ini merupakan visual yang sama sekali berbeda dari apa yang menjadi visual yang biasa ia ciptakan yakni penari dan objek-objek yang Jawasentris. Sosok itu adalah figur anak Papua, terdapat narasi kemanusiaan di sana. Darinya narasi dan visual atas wajah polos, dan apa adanya memancarkan masa depan yang menjadi hak setiap orang. Sebagai identitas karakteristik karya-karya lukisnya. Lukisannya memiliki bobot secara teknik dan medium yang saling silang, bertumpang tindih, bergelut dengan proses eksperimental. Darinya Yadi menciptaan karya dari hasil pengembangan medium cat air diwujudkan yang tidak saja dari kertas tapi juga ke medium lain seperti kanvas, kaca, akrilik, hingga krayon yang memunculkan efek sumamburat aquarelle cat air miliknya.

Dalam konteks spirit keIndonesiaan, tema-tema yang dibangun keempat pelukis mewujud dalam visual yang dapat ditengarai sebagai identitas local wisdom, selain melukis apa yang terlihat, di saat yang sama pula pemikiran kritis atas keprihatinan terhadap lunturnya kebudayaan, tradisi, hingga jejak-jejak warisan budaya hadir dalam diri seniman.  Jejak itu bagai kolase-kolase kebudayaan yang tak lain adalah hasil dari peran penting pertarungan sejarah bangsa Indonesia, di saat yang sama pula terdapat titik-titik persinggungan baik secara kebudayaan dan juga kepercayaan yang kemudian mampu mewujudkan apa yang disebut adaptasi terhadap pengaruh budaya, akulturasi, hingga inkulturasi yang saling menubuh.

Dengan cat air, visual dan makna menjadi majemuk-menimbulkan makna baru, lebih intim dan kultural, setidaknya bagi masing-masing diri pelukis. Padanya unsur cat, air, dan kertas sudah menjadi segmen-segmen penting bukan saja atas jejak historis, merawat identitas budaya, tetapi juga nilai solidaritas, dan epistemik humanisme melalui praktik seni rupa.

Karen Hardini
Sleman, 8 April 2022

[Exhibition] “Belantara Kaca”, Ivan Bestari Minar Pradipta

Lebih dari itu, Ivan juga tampak asyik mengeksplorasi kemungkinan kinetik karya-karya seni kacanya, terutama patung-patung kaca mini, melalui permainan cahaya dan bayangan yang dia proyeksikan ke permukaan dinding galeri. Belantara kaca Ivan, saya yakin, masih penuh dengan peluang dan tantangan, petualangan kemungkinan lain yang menantinya di depan.

(Kris Budiman)

 

 

Katalog

[Exhibition] “Dry Rain”, Made Wianta

 

DRY RAIN
Karya-karya terakhir Wianta adalah obsesinya tentang pertukaran Pulau Run di Banda Maluku dengan Manhattan yang tadinya dikuasai Belanda dan diberi nama New Amsterdam. Karena keinginan Belanda menguasai Pulau Rempah-rempah maka Manhat tan dia tukar dengan Pulau Run yang waktu itu dikuasan English.
Karena pertukaran ini Manhattan/New Amsterdam dimiliki English dan diubah nama menjadi
New York.

Wianta berpikir berapa tinggi nilai Pulau Run hingga ditukar dengan New
York, pada abad ke 16. Pada waktu Wianta berkunjung ke Pulau Run Maluku, dia bertemu dengan petani petani Pala, Wianta merasa heran karena ditanah yang begitukering Pala tumbuh dengan subur. Menurut petani petani disana jika musim hujandating, maka hujan yang turun tajam tajam seperti jarum dan langsung menghujanitanah.
Dari situlah lahir karya Dry Rain/Hujan kering, sebuah Puisi tentang alam yang melindungi kelestarian dan keindahan Pulau Run di Maluku. Wianta juga terkesan dengan Benteng yang dibuat begitu kokoh dan juga Gereja yang mirip Gereja-gereja di Eropa. Wianta meskipun Hindu selalu mengagumi salib Kristus (cross) yang menurut
dia ini adalah Sacrifice/Pengorbanan/Yadnya untuk menebus segala kesalahan umat
di dunia.
2 karya instalasi ini merupakan highlight pameran Wianta di JAA ke 6 di Sangkring Project.
Diruangan bentuknya adalah karya karya yang menggambarkan keindahan alam bawah laut di Pulau Run Banda, terumbu karang CORAL REEF. Yang dibuat sangat minimalis dengan warna warna pastel, bebatuan dan binatang laut yang seperti warna warna indah Rainbow dikedalaman laut Banda.
Wianta selalu suka berpameran di Jogja tempat dia memperdalam ilmunya di ASRI
Jogja. Jadi dia ingin berbagi proses dan teknik menuju terciptanya Spatial Calligraphy,
Coral Reef, dan Mosaic. Jadi pada exhibition ini dia tampilkan dua karya drawing (UNTITLE) tapi bias juga disebut The Drawing Leading toward to the spatial callihraphy, coral reef dan mosaic. Dua karya drawing diikuti tiga karya seri Spatial Calligraphy yang mendasari Coral Reef dua dimensi dan tiga dimensi dan karya karya Mosaic.
Semoga pameran ini bias membawa sedikit angin segar dalam masa pandemic.
Dirangkai oleh Emma Sukarelawanto
Dari wawancara dengan Dr. Urs Ramseye

 

 

[Exhibition] “DOA”, Theresia Agustina Sitompul

DO’A. Sebuah pameran tunggal karya Theresia Agustina Sitompul atau yang lebih kita kenal dengan nama panggilan Tere. Pameran akan berlangsung di Sangkring Art Project dan menjadi bagian dari program  “Single Fighter #5”. Tere, lahir di Pasuruan (1981), dikenal sebagai perupa yang berani melakukan eksplorasi pada penguasaan teknik, material dan cara menghadirkan karya. Tere juga secara konsisten menghadirkan  pengalaman-pengalaman yang dekat dengan kesehariannya tetapi mempunyai relasi kuat dengan isu-isu seputar lingkungan hidup, persoalan sosial politik dan kesetaraan. Dengan menggunakan teknik drypoint di atas plat galvalum, Tere mengekspresikan suatu laku spiritual yang menjadi bagian dari pengalaman  hidupnya dalam 40 karya dengan nuansa hitam putih serta beberapa karya berupa teks. Pada karya-karyanya kita dapat melihat suatu proses kreatif yang kemudian menjadi laku spiritual Tere untuk bertahan menghadapi situasi-situasi pelik dalam hidupnya. Sesungguhnya apa yang dilakukan Tere melalui karyanya juga dapat menjadi refleksi bagi banyak orang ketika menghadapi ketidakberdayaan, maka DO’A menjadi sumber kekuatan. Pada hari-hari ini dalam situasi yang tidak menentu mendorong manusia untuk meminta pada kekuatan di luar dirinya agar diberikan ketenangan dan kekuatan menghadapai krisis. Dengan berdo’a kita sebagai manusia menyadari keterbatasan dan kelemahan kita. Di sisi yang lain kita juga sedang berkomunikasi dan menghadirkan diri kita secara jujur kepada yang memiliki kendali atas hidup manusia. Dalam do’a ada segenggam harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Pembukaan : 14 September 2021 (Undangan)
Jam : 15.00Wib

Di Sangkring Art Project
Jl. Nitiprayan No.88. Sanggrahan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DIY

Pameran berlangsung :
15 – 28 September 2021 (Publik)

Registrasi : https://tinyurl.com/VisitYAA6

Narahubung :
Jenny (+62 817-262-328 )
Miu ( +62 821-3841-3746 )

Sampai berjumpa dan selalu taati prokes

Yogya Annual Art #6 – TRANSboundaries

Yogya Annual Art #6 (2021)

TRANSBOUNDARIES

 

 

Setahun lebih kita berada dalam alir-pusaran pandemik (“Circular Flow,” Triana Nurmaria). Mungkin kini saatnya kita refleksikan bagaimana pembatasan sosial diterapkan, terutama demi kehidupan yang lebih sehat (“Come On Live Healthier,” Joni Ramlan). Pembatasan ini ditujukan ke dalam diri dan interaksi sehari-hari sehingga pelan-pelan kita mulai beradaptasi. Para (maha)siswa, misalnya, harus “belajar di/dari rumah” (Raka Hadi Permadi). Menjaga jarak, meminimalkan tatap-muka, menjalani demobilisasi (Alit Ambara). Pada mulanya memang terasa janggal, namun lama-kelamaan terjadi pembiasaan, internalisasi, sekaligus juga pembangkangan diam-diam. Penetapan batas-batas yang relatif cair ini tidak jarang dinegosiasi, namun pilihan di tangan masing-masing. “Choose Now!” (Burhanudin Reihan Afnan). Di samping itu, sebagai suatu struktur, masyarakat memang niscaya dapat berjalan dan bertahan melalui sekian batas-batas sosial. Batas-batas ini memungkinkan individu merasa, dalam ungkapan Jawa, “empan-papan” (tahu menempatkan diri). Menyadari posisi di tengah masyarakat. Batas sosial yang paling struktural tentu kelas dan golongan. Kita menempatkan diri dalam kesadaran tentang posisi di dalam hierarki sosial. Dari pembedaan batas ini, misalnya, dapat kita kenali golongan/kelas sosial tertentu dan identitas-diri (A.T. Sitompul, “Be Somebody”). Batas-batas lainnya lebih kultural, semisal etnisitas, keagamaan, dan kebahasaan. Meski penanda batas ini mulur-mungkret, bukan berarti tidak genting. Ambil contoh penebalan batas identitas keagamaan. Kecenderungan ini kian ketara, sejak dari wajah intoleran keseharian hingga radikalisme yang gampang meletup.

 

Yogya Annual Art #6 2021, termasuk dua special projects oleh Made Wianta (1949-2020) dan Nyoman Nuarta, masih berhadapan dengan kondisi tersebut. Kita masih berada di dalam konteks sosiologis dan kultural yang sama, bukan saja sebagai “Hot News” (Hono Sun), melainkan juga “The Great Silence” (Fika Khoirun Nisa) yang berpotensi horor, mengancam. Sebab, di satu sisi, kita menyadari belum sepenuhnya terbebas dari kekangan wabah. Kita masih berupaya, dengan sabar dan tabah, mengentaskan diri dari kondisi pandemik beserta segenap pembatasannya itu. Di sisi lain, kita juga mengalami dan mengamati gejala penebalan batas-batas sosial tertentu yang berpotensi sebagai kendala dan ancaman bagi perubahan kultural dan sosial, dinamika kehidupan berbangsa, ke arah yang diharapkan lebih baik. Dengan latar belakang ini dapat dicermati karya 86 perupa dalam menyikapi upaya penetapan batas-batas sosial, negosiasi, dan pelintasan-pelintasan terhadapnya. Bersama dengan seluruh perupa yang berpartisipasi dalam YAA #6 ini, semoga kita dapat membaca secara lebih kritis arah-arah peralihan, kemungkinan perubahan, menafsir lintasan-lintasan dunia pasca-pandemik yang “Tak Terhingga” (Laila Tifah). Mari kita bangkit dan bertindak (“Resurraction”)! Seperti afirmasi Natalini Widhiasi melalui wall project-nya.

 

—-

We have been in a pandemic “Circular Flow” (Triana Nurmaria) for more than a year. Maybe now it is the time for us to reflect on how social restrictions are implemented, especially for a healthier life (“Come On Live Healthier,” Joni Ramlan). These restrictions are aimed at ourselves and daily interactions so that we slowly begin to adapt. The students, for example, have to “study at/from home” (Raka Hadi Permadi). To maintain distance, to minimize face-to-face contact, demobilized (Alit Ambara). At first it felt strange, but over time there was habituation, internalization, as well as silent disobedience. The determination of these relatively fluid boundaries is often negotiated, but the choice is in our hands. “Choose Now!” (Burhanudin Reihan Afnan). Beside that, society as a structure can indeed last and survive through various social boundaries. These boundaries allow the individual to feel, in Javanese terms, “empan-papan” (knowing one’s place). Be aware of position in society. The most structural social boundaries are of course social class and group. We place ourselves in an awareness of our position in the social hierarchy. From this boundary distinction, for example, we can identify certain social group/class and self-identity (A.T. Sitompul, “Be Somebody”). Other boundaries are more cultural, such as ethnicity, religion, and language. Although these boundary markers are elastic, it does not mean that they are not critical. Take for example the thickening of the boundaries of religious identity. This tendency is becoming more and more obvious, starting from the everyday look of intolerance to radicalism that easily explodes.

 

Yogya Annual Art #6 2021, including two special projects by Made Wianta (1949-2020) and Nyoman Nuarta, is still dealing with this condition. We are still in the same sociological and cultural context, not only as “Hot News” (Hono Sun), but also “The Great Silence” (Fika Khoirun Nisa) which has the potential to be horror, threatening. Because, on the one hand, we realize that we are not completely free from the plague. We are still trying, patiently and steadfastly, to rid ourselves of the pandemic condition and all its restrictions. On the other hand, we also experience and observe the phenomena of thickening of certain social boundaries that have the potential as obstacles and threats to cultural and social change, the dynamics of national life, in a direction that is expected to be better. With this background, we can observe the works of 86 artists in responding to efforts to establish social boundaries, negotiations, and crossings over them. Together with all the artists who participated in YAA #6, hopefully we can read more critically the directions of transition, the possibility of change, interpret the trajectories of the “Infinite” (Laila Tifah) post-pandemic world. Let’s get up, resurrect and take action (“Resurraction”)! As affirmed by Natalini Widhiasi through her wall project.

 

Kris Budiman

E-Katalog

(update e-catalog, versi 14 Juli 2021)

Tranceformation – Toto Sugiarto

Artist’s Statement 
Berkarya atau berkesenian adalah merupakan ekspresi artistik, estetika visual yang terinspirasikan oleh moment-moment, berbagai fenomena dan peristiwa dalam kehidupan saya yang mampu memprovokasi dan menyentuh emosi/perasaan saya yang saya ekspresikan ke dalam bentuk dua atau tiga dimensi.

Berkesenian adalah suatu kebutuhan spiritual dan sekaligus merupakan ritual artistik, merupakan ekspresi murni sebagai bentuk manifestasi yang dapat menjaga equilibrium  dalam kehidupan saya.

Adalah juga merupakan sebuah eksplorasi, komunikasi secara spiritual, dan bisa merupakan bentuk respon yang terinspirasikan oleh berbagai pengalaman pribadiku dalam kehidupan.

Becoming Smart City

Blue Chair

Akrilik di Kanvas

2021

Enforce

Akrilik di Kanvas

150 x 150 cm

2021

Enforced Trance Formation

Akrilik di Kanvas

165 x 200 cm

2021

Entrancedhumanism

Patung

Flying Kijing

Akrilik di Kanvas

150 x 380 cm

2021

Freaking News

Akrilik di Kanvas

150 x 200 cm

2021

FREAKING NEWS  

Menggambarkan betapa seringnya mas media menyiarkan kebohongan-kebohongan / propaganda yang besar, terutama mengenai masalah-masalah yang sangat penting yang seharusnya perlu diketahui oleh masayarakat. Tetapi yang sering terjadi adalah yang sebaliknya. Banyak berita yang dimanipulasi oleh para sponsornya media yang punya kepentingan, sehingga akhirnya media  membuat dan menyiarkan berita-berita yang nampaknya berita yang benar, tetapi ternyata hanya “half-truth” karena adanya conflict of interest dari para sponsor maupun dari pemilik dan/manajemennya.

Suasana toilet menggambarkan kualitas rendah news, yang saya digambarkan semacam bau yang keluar dari WC, bau yang tak sedap/tidak punya integritas. Sebagai representasi dari banyaknya kebohonga-kebohongan yang keluar dari mulut mereka / propaganda.

Tangan berdarah oleh dua orang pembaca berita sebagai representasi betapa bahayanya akibat dari fake-news tetapi dikemas sebagai “news”, di mana itu bisa mengubah persepsi masyarakat. Karena kebohangan adalah salah satu bentuk korupsi, maka hal seperti ini bisa mengakibatkan sangat destruktif untuk jangka panjang.

Kesimpulan saya hanyalah untuk menggambarkan betapa telah matinya dunia jurnalisme dari media mainstream karena institusi-institusi mapan tersebut mendapat insentive yang luar biasa besar dari para sponsor mereka, sehingga menghasilkan jurnalisme yang perlu ditempatkan di WC karena tidak layak lagi untuk dikonsumsi oleh masyarakat yang malah dapat menimbulkan penyakit untuk masyarakat.  Media : AOC   Ukuran : 150 x 200  Tahun : 2021

Watch Out For Snake

AOC_

150 x 150 cm

2021

Watch Out For Snake

Akrilik di Kanvas

150 x 150 cm

2021

You Are Grounded, Young Man

Akrilik di Kanvas

150 x 400 cm

2021

Hexagon “Open House” Exhibition

HEXAGON OPEN HOUSE EXHIBITION - Poster full

 

PAMERAN SENI RUPA
HEXAGON “OPEN HOUSE” EXHIBITION

Sebuah perwujudan alam pikiran, ruang gagasan maupun rancangan konsep hasil pengalaman individual setiap seniman.
6 seniman dalam 6 ruang dengan karya dan cara penyampaiannya nya masing-masing memiliki sisi yang beragam bentuknya dan pada akhirnya pameran ini dikembalikan kepada kita semua dalam memaknainya.

Seniman :
@adityachandrah
@butoteror
@laksmishitaresmi
@ma_roziq
@octocornelius
@rudyatche

Penulis :
@aaknurjaman
@adhigium
@arham_rahman
Janu PU
Zarani Risjad

Pembukaan Pameran (Khusus Tamu Undangan ) :
Sabtu, 06 Maret 2021

Pameran Berlangsung :
6 – 20 Maret 2021
11.00 – 17.00 WIB ( Hari Minggu Tutup)

Pameran ini didukung oleh

@krjogjadotcom

@graceartevent

@sangkringart

 

Venue : Bale Banjar Sangkring

 

Katalog,