Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-16,page-paged-16,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive

MACHINE NO. 6 by six A and six needles six @ Sangkring Art Project


Pembukaan : Rabu, 1 Juni 2011, Jam 19.00
Pameran berlangsung : 1 – 7 Juni 2011
Organizer : HONF (the house of natural fiber Indonesia)
Tempat : Sangkring Art Project

MESIN No # 6.

Sound: the invisible, pervasive energy source.

Suara mengelilingi kita secara keseluruhan, menghubungkan kita melalui komunikasi. Suara tersebut mengendap di sekitar kita selama kita masih ada. Hal tersebut membentuk sebuah dasar sound-scape untuk semua pengalaman sensorik kita. Kita berkomunikasi melaluinya, dan akhirnya menyadari bahwa nada dan tekanan suara memainkan peranan penting bagi penyampain kata dan makna.

Di pedesaan yang masih asri suara yang berasal dari kehidupan sehari-hari akan melintasi lembah lembah – elemen – elemen yang tampaknya acak dibangun secara rutin serta memberikan rasa keberadaan pada diri kita masing – masing. Pada sore hari ketika kabut menyelimuti secara perlahan sampai ke lembah itu, bagaikan sebuah perahu, menelan pemandangan; siluet gelap di batas pinggiran; turunnya cahaya melalui jendela dan bangunan sekitarnya hanya berubah menjadi serupa dengan potongan balok kayu  dan mengubah petualangan malam kami ke dalam sebuah perjalanan yang membuat gugup namun menakjubkan. Kita menjadi terlalu keras – sehingga terasa sebagai tindakan tidak terpuji. Kita bagaikan sebuah iring-iringan peziarah yang hilang ke dalam bayangan bunyi yang memekakan telinga : kelembaban kabut.

Machine no.#6 is an attempt to amplify the voice and energy of nature.

Di karya ini kami akan mencoba membuat sebuah konfigurasi sirkuit air yang berasal dari kehidupan sehari-hari, sesuatu yang tipis, benang halus yang menghubungkan rumah dengan rumah, tubuh dengan tubuh, tanah dengan tanah.

Air terdapat di mana-mana, di dalam tubuh kita, di pemandangan yang kita lihat, di dalam atmosfir kita – di lembabnya kabut tebal yang menyelimuti kami di desa. Gelombang dan struktur itu bergema di dalam tubuh kami. Ia menyesuaikan dan mengubah bentuk untuk lingkungan sekitarnya – seperti yang kami lakukan. Air adalah universal – melintasi budaya dan geografis. Kita dapat terhibur oleh bunyi itu, kita digantikan olehnya ketika mengkonsumsinya, di masa depan mungkin kita harus melakukan perang atas kepemilikannya – air sangat penting untuk keberadaan kita selanjutnya.

Namun – masih saja hal tersebut menghubungkan kita – makhluk-makhluk buta yang bersanding bersama- sama dengan cahaya lemah kita; suara suara yang mendesak dari dalam diri kita.

Suara kita mempunyai kemungkinan menghilangkan dan menenggelamkan bunyi dari hal lain yang memiliki irama lebih minim. Hanya di dalam keheningan dan di dalam sebuah kontemplasi kita berkemampuan untuk menerima bunyi; menjadikannya sebagai penerima bentuk energi yang begitu mudah untuk terabaikan.

Yogyakarta.

We land.

Kami berada di punggung sepeda motor melalui jalanan dengan lalu lintas yang padat . Semuanya terdapat disini – molekul-molekul ruang diantara obyek-obyek yang bergerak hampir semuanya terlihat sebagaimana kendaraan-kendaraan berlalu dengan intuisi-intuisi yang hampir tidak nampak. Proses dari bel-bel kendaraan yang menemani padatnya lalu lintas; bagaikan sinyal-sinyal sonar yang memberikan batasan bagi para pengendara yang bersangkutan.

Bersama kita berkumpul dan mendiskusikan berbagai kemungkinan konstruksi. Di antara pengembangan organisme kota ini tampaknya tepat untuk bekerja sama mengkonsolidasikan sebuah struktur. Jalan-jalan telah berevolusi untuk mengisi semua ruang yang tersedia. Kami merasa jenuh dengan situasi di kota. Kami memaksa diri kami untuk mengumpulkan ide ide dan memolesnya di antara kata-kata bagaikan mengasah batu yang berharga. Yang terjadi sangatlah mengejutkan semuanya terangkum dalam sebuah kesimpulan yang sempurna : sirkuit sederhana ; yang menunjukkan sebuah sistem kerja sederhana: Air, bekerja dan melawan gravitasi; dan semuanya berarti menyuarakan energi yang melekat pada sumber daya alam.

Kami akan membuat saluran pipa untuk jalannya aie, mengarahkannya ke segala penjuru ruang bagaikan aliran arteri; dan air akan membentukkan dirinya ke dalam aliran yang berkesinambungan. Bambu membentuk sebuah strata yang terisi cekungannya oleh bentukan tangan; sebuah bentuk yang mengadaptasi medan alami dari air yang jatuh. Dan ini terletak – di atas struktur rancangan besi, kemudian di tempelkan ke beberapa titik, sensor-sensor yang dapat mendeteksi bunyi energi yang berasal dari air yang diubah terlebih dahulu menjadi sebuah gelombang suara, kemudian menjadi sebuah bunyi orkestra yang abstrak. Tidak ada rekayasa efek bunyi-instalasi ini hanya mempresentasikan yang ada-esensi dari energi yang terkandung pada sirkuit air, memberikan suara untuk didengar.

The Long Table experiment

Banyak tangan untuk melakukan pekerjaan ringan? Terlalu banyak koki akan merusak kaldu?

Praktek kolaboratif adalah proses penyeimbangan yang menawarkan kesempatan untuk memohon, meminjam dan bertukar ketrampilan serta ide dengan seniman lain. Dalam hal ini – kesempatan untuk bertukar ide antar budaya yang berbeda adalah hal yang tak ternilai harganya.. Kami memiliki perbedaan pada latar belakang, media, pengalaman dan pengetahuan – sebuah bank informasi yang mengesankan untuk digambarkan secara kolektif.

Kami datang dengan kekayaan kami akan pengetahuan ini kemudian terjalin menjadi sebuah konsep yang jauh lebih baik; seperti bagaimana pipa-pipa di desa saling berhubungan, seperti juga lalu lintas yang mulus dan lancar, kami mengkombinasikan pikiran-pikiran bebas kami menjadi satu suara padu.

Kami melakukan segala sesuatunya sendiri – berjalan berpasangan maupun sendiri di antara masing-masing kelompok, kami melakukan penyelidikan tentang diri kami dalam hubungannya dengan air, dan ini berkaitan juga dengan keragaman unsure yang melekat pada air dengan mempelajari efek pada awan, resonansi morfik, teori warna, menggerakkan buih, serta komunikasi. Kesemuanya ini memainkan peranan di antara eksperimen serta menghasilkan sebuah meomentum untuk sekali lagi mengembangkannya melalui hasil yang kolektif.

Kami menggunakan papan sirkuit untuk melajutkan metafor mengenai proses kolaborasi dan tentang hidup itu sendiri. Masing-masing komponen memainkan peranan pentingnya sendiri sendiri – sirkuit tidak akan terbentuk tanpa kontribusi dari masing-masing aspek- secara mirip dapat dikatakan bahwa dinamisme proses bekerja secara kolaboratif terletak pada proses komunikasi yang terbuka dan transparan; sebuah transmisi dari ide-ide dan pengetahuan, serta yang paling dibutuhkan adalah sistem tanpa horarki diantara struktur kerja kolaborasi.

MACHINE No. #6 and The Long Table experiment is:

Sebuah kolaborasi performans dan instalasi antara seniman Tasmania Six_a (mish Meijers, Amanda Shone, Astrid Woods-Joyce and Trcky Walsh) and seniman kolektif asal Yogyakarta Six needle Six (Ipo Synthetic, Robert Kan, Fahla Fadhillah dan R.Bonar Diat). Para seniman ini diperkenalkan melalui HONF dan kemudian mereka menghabiskan waktu selama satu minggu penuh di sebuah dusun kecil, di ujung pegunungan menoreh, Kulon Progo, satu jam dari Yogyakarta. Di sana mereka secara bersama-sama mengembangkan dasar-dasar dari instalasi ini.

Proses kolaborasi diantara dua kelompok yang jauh berbeda tersebut bertujuan untuk menemukan sebuah format sederhana yang dapat mewakili ide dan visi ke 8 seniman di dalamnya. Berkolaborasi dengan seniman lokal memberikan pandangan dan wawasan baru kepada seniiman yang berkunjung tentang bagaimana kebudayaan di Indonesia sesungguhnya, hingga pada hal yang paling sederhana.Inspirasi mereka pada pameran ini  adalah pengetahuan lokal yang didapat selama tinggal di sebuah dusun kecil. Melalui pengalaman tinggal disana, kedua kelompok sepakat untuk menggunakan pengalaman sehari-hari tentang pergulatan mereka dengan masalah air sebagai pacuannya.

Diskusi dimulai dengan munculnya kemungkinan untuk menciptakan sebuah perangkat pengarah air dan kolaborasi berubah ketika menyaksikan kenyataan di dusun; di mana masyarakat dusun memperdayagunakan sumber material lokal (kebanyakan bambu) untuk membangun, menyaring dan melakukan distribusi air ke seluruh lembah. Pemilihan material bambu sangat ‘terjangkau’ ,mudah didapat bagi para seniman lokal sedangkan bagi para seniman dari Tazmania, bamboo adalah sesuatu yang baru dan menarik yang belum pernah mereka temukan sebelumnya. Bambu kemudian menjadi salah satu elemen kunci pada diskusi-diskusi selanjutnya karan sifatnya yang fleksible, bermanfaat, bersahaja serta elegan

Elemen performatif pada pameran kali ini akan ditampilkan di sebuah meja panjang dimana setiap seniman akan melakukan eksperimen menggunakan air yang diambil dari sirkuit. . Air yang ‘telah terenergi ini’ digunakan sebagai dasar untuk setiap aliran yang akan dinvestigasi oleh setiap seniman yang berpartisipasi. Disini, performans akan disampaikan dengan penuh permainan dan melalui proses imajinasi ilmiah melalui investigasi akan format energi yang nyata dan tidak nyata. Performans akan bertempat di dalam ruang galeri; footage akan diproyeksikan di dinding luar galeri sehingga para pengunjung di luar dapat menikmati. Masing-masing seniman akan melakukan eksperimennya di dalam ruang galeri yang tertutup, para pengunjung akan diajak memasuki ruang ketika performans mendekati akhir, para pengunjung akan ditinggalkan dalam keadaan tertentu sehingga mereka dapat merasakan telah tertinggal. Kehampaan ini akan diakhiri ketika para seniman muncul kembali.

Apa yang tertinggal dari performans ini adalah sebuah meja kosong dengan beberapa aksi yang baru saja dilakukan. Residu ini menyampaikan tidak hanya proses kerjasama yang natural di dalamnya namun keintiman dari gerakan kreatif yang tercipta; kreativitas dan penemuan kadang terjadi pada sebuah tempat yang terisolasi, ini hanya merupakan salah satu dari konsep-konsep yang dihasilkan dan hasilnya dapat dinikmati oleh publik lebih luas. Di sini, artefak, peralatan ilmiah, objek, teks, notasi skema dan lain sebagainya, disisakan di atas meja sehingga memungkinkan para penonton untuk bereksplorasi, ataupun berkontribusi.

MACHINE No. #6.

Sound: the invisible, pervasive energy source.

Sound surrounds us in entirety; it connects us through communication, it settles around us when we are still. It forms the basis and sound-scape to all of our sensorial experiences. We communicate through it; and eventually we realise that tone and emphasis belie the overemphasised importance of words and meanings.

In the village the sounds of daily life would travel across the valley – the seemingly random elements constructed a routine and a sense of place for each of us. In the afternoons when the fog rolled slowly up into the valley like ships, it internalised the landscape; dark silhouettes bordered the periphery; light bleeding through windows and surrounding buildings cut beams through the clouds and transformed our nightly escapades into nervous but jubilant journeys. We were too loud – a brazen cavalcade of pilgrims searching for a destination that was swallowed by the immensity of the deafening; dampening fog.

Still – it connected us – blind creatures banding together with our feeble light; our insistent voices.

Our voices have a tendency to drown out those other less obvious rhythms. It is only in the stillness and the contemplation that we are able to receive sound; to be the receptor for those patterns of energy that are so easy to overlook.

Machine no.#6 is an attempt to amplify the voice and energy of nature.

Here then we reconfigure the water circuit that formed the basis of daily life in the village; a thin, tenuous thread to connect household to household, body to body, land to land.

Water is everywhere; in our bodies, our landscape, our atmosphere – in the thick damp fog that enveloped us in the village. The waves and structure of it resonate within our bodily selves. It adapts and transforms to its environment – as we do.  Water is universal – it crosses cultures, geography. We are comforted by the sound of it, we are replenished by the consumption of it, in the future we might well fight wars over it – it is so important to our continuing existence.

Yogyakarta.

We land.

We are taken on the backs of motorcycles through streets of interweaving traffic. Everything gives here – the molecules of space between moving objects are almost visible as vehicles give way with seamless intuition. A procession of conversational car horns accompanies the traffic; like sonar’s signalling the boundary of the available passage.

Together we gather and discuss the possibilities of constructions. Amongst the organic development of this city it seems appropriate to be working together to consolidate the structure. These streets have evolved to fill all the available spaces. We are saturated by the city-scape. We push and pull the ideas and polish them between languages like precious stones.  What comes out surprises us all in its refinement: a simple circuit; performing a simple task: Water, working with and against gravity; and the means to amplify the energy inherent in this natural resource.

We will pipe its pathways, direct its current through the space like arterial flow; replenishing itself in a continuous stream. Bamboo hollowed by hand forms the encapsulating strata; a form to replicate the natural terrain of falling water. It rests – almost ad-hoc upon tenuous structures of iron, attached at points by pressure sensors that track and trace the sound of the water energy and convert it first into sound waves, and then into an orchestra of abstract sound. There are no effects – it is magnifying only what exists – the essence of the energy contained within the water-circuit, giving it a voice to be heard

The Long Table experiment.

Many hands make light work? Too many cooks spoil the broth?

Collaborative practice is a balancing act that offers opportunities to beg, borrow and exchange skills and ideas with other artists.  In this instance – the chance to exchange ideas between cultures is inestimable. We have very different backgrounds, media, experiences and knowledge – an impressive bank of information from which to collectively draw. We come together with our threads of this knowledge to weave the greater concept; like the interconnected water pipes in the village, like the seamless uninterrupted traffic we combine our independent thoughts into one cohesive voice.

We perform alone – pairs and singulars amongst the group to investigate our personal connections to water, and its inherent elemental diversity by studying the effects of clouds, morphic resonance, colour theories, wave generation, communication. These things all play a part within the experiment, and allow singular momentum to develop once again within the collective outcome.

We use the circuit board as an extended metaphor of collaboration and life itself. All component parts play their separate important functions – the circuit would cease to exist without the contribution of each aspect – similarly the collaborative dynamic relies on open and transparent communication; the transmission of ideas and knowledge, and the absolute necessity of a non-hierarchical equality-system within the collaborative structure.

MACHINE No. #6 and The Long Table experiment is:

A collaborative performance-installation between Tasmanian artists Six_a (Mish Meijers, Amanda Shone, Astrid Woods-Joyce and Tricky Walsh) and Yogyakarta artist collective Six needle Six (Ipo Synthetic, Robet Kan, Fahla Fadhillah Lotan and R. Bonar Diat). The artists were introduced through HONF and spent a week in a small Indonesian village an hour out of Yogyakarta together developing the basis for the installation.

The collaborative process between these two vastly different groups called for a simplistic form that could cohesively represent the ideas and vision of 8 artists. Collaborating with local artists provided the visiting artists with insight and knowledge into the workings of Indonesian culture right down to the most simplistic tasks, it was this local knowledge that influenced the outcome for this show. Through the shared experience at the village both groups agreed that the everyday dealings with water struck them as poignant.

Discussions started to emerge about the possibilities about creating a water driven device, and the collaboration turned to the solutions witnessed in the village; utilising locally sourced materials (mainly bamboo) in order to filter and distribute water throughout the valley. Sourcing bamboo was ‘affordable’ and easy to find for the local artists and was also a new and exciting material that the Tasmanian artists had yet to use. Bamboo became the key component in the discussions firstly for its flexibility and its utilitarian simplicity and elegance.

The performative element of the exhibition takes place on a long table where each artist will conduct an experiment using water taken from the circuit. This ‘energised’ water serves as the basis for each stream of investigation by the participating artists. Here, performance will convey playful and imaginative scientific processes of investigation through real and unreal forms of energy, and expose each artist’s relationship with the installation. The performance will take place inside the gallery space; the footage will be projected on the outside wall of the gallery for the audience outside. Each individual artist completes their experiment in the closed gallery space, the audience is led up the stairs as the last experiment comes to an end, the audience is left with the sense that its missed something. The liveness finished with the artist absent again.

All that remains from the performance is an empty table with the residue of the action that has just taken place. This residue conveys the not only the inclusive nature of collaboration, but the intimacy of the creative act itself; creativity and invention often occur in isolation, it is only once these concepts have been resolved that the outcome is made available for public scrutiny. Here, the remnants; scientific equipment, objects, text, schematic notations etc, are left on the table for the audience to explore, and possibly contribute to

About Artist

six A
Six_a  provides a supportive environment for artists to take risks and experiment within their practice, and to receive constructive technical and curatorial assistance in their attainment of conceptual resolution. Six_a  encourages its raw, fresh, process-driven vision by encouraging artists to engage with evolutionary development between the stages of initial conception through to installation and exhibition. Six_a  supports an inclusive art culture that incorporates a cross pollination of art, music, film, writing, sound and performance, and whenever possible, offers a platform for these different media to co-exist in dialogue, and without hierarchy.

six needles six
Seni membuat boneka dan toys tampaknya tidak ada habisnya untuk dieksplor.Kali ini oleh kelompok yang terdiri dari enam seniman akan menggelar karya dalam bentuk boneka dan toys. Kelompok tersebut adalah six needles six, yang terdiri dari ipo, sasta, dilla,arya, otong, dan Robert.
Visi six needles six
Six needles six akan bersama-sama mengeksplor dan memperkenalkan karya boneka dan toys secara visual konsep dan teknis, dengan berbagai material atau mix art media dan menggunakan alat Bantu menjahit berupa needles atau jarum.

Sebagai wadah komunikasi antara individu serta komunitas pecinta boneka dan toys.

Display karya MACHINE #6
[nggallery id=26]

Opening MACHINE #6
[nggallery id=27]

 





 

Patterns of Belonging by Sandy Infield @Sangkring Art Space

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Solo visual art exhibition by Sandy Infield to take place in Bali and Java.

Patterns of belonging: homage to Java
Sangkring Art Space (22 May – 6 June 2011)
Opening day (Sunday 22 May 2011) events:
10:00 – 13:00 Artist Workshop Landscape as expression
14:00 – 15:30 Open Discussion Is Contemporary Batik Art or Craft?
19:00 – 21:00 Opening Exhibition hosted by Putu Sutawijaya

Patterns of being: home in Bali

Danu Gallery @ Lakeview (26 May – 18 June 2011)

Penelokan, Kintamani

Patterns of belonging
Identity is present in the threads man weaves into being on nature’s canvas. It is memory, however, that endows magical powers to this union between human endeavour and nature’s forces, giving birth to a longing that binds man not only to place and culture, but also to an ongoing process of identification. The landscapes unique to Java and Bali, of terraced paddy fields hugging the feet of cloud-draped majestic volcanoes, are evoked in batik motifs by Sandy Infield in a tribute that pays homage to the threads that tie the Javanese and Balinese to their identity.

This tribute is an endeavour by the England-born artist to appreciate the meaning in such a belonging, although she does not clearly choose any allegiance to either culture or nature. The batik tradition she admires is her point of departure in appreciating the psychological impact of nature’s patterns that are recorded and continuously re-created in batik. The unique techniques she has developed are her in-kind contribution for her lessons here, for they have opened up new possibilities of imagery and signification to the treasure trove of traditional batik symbolism.

Sandy Infield’s exploration into batik was inspired by aerial views of the Javanese landscape glimpsed before landing at Yogyakarta’s Adisucipto airport in 2009, and her subsequent visits to batik ateliers. For almost three years, these memories have been goading her explorations at her studios in Sanur, Bali, while she mulls over the ideas and feelings that seize her about the identity she and the people around her wear. Whether these multifaceted identities are represented in the textiles of our clothes or the landscapes we shape or choose to call our home, these fragile works of art give insight on how the human psyche reflects its surroundings and projects hopes onto vast skies, the universal canvas of our imagination.
Curated by Kadek Krishna Adidharma


About the artist: A graduate of the Slade, UK, Sandy Infield painted in Italy on Boise scholarship for a year before sharing a London studio with Op artist Bridget Riley. Sandy’s early explorations turned traditional painting styles inside out with portraits of trapeze artists and textile-wrapped actors. After a decade of living in Asia, the artist’s solid grounding in portraiture, landscapes and still life, coupled with her ongoing passion for textiles, has led her to explore identities through batik-scapes.

Art work
[nggallery id=21]

Suasana Diskusi
[nggallery id=23]

Suasana Workshop
[nggallery id=24]

Suasana pembukaan pameran
[nggallery id=25]

SUMARAH by Doni Kabo @Sangkring Art Project

Pembukaan : Kamis, 12 Mei 2011, Jam 19.00 wib
Pameran dibuka oleh : Bob Six Yudhita
Performance : Pinx Cobra, Latex

Diskusi seni : Jumat, 13 Mei 2011, Jam 15.00
Pameran berlangsung : 12 – 20 Mei 2011

‘sumarah’ dan Liminalitas
Hendra Himawan*

Jarak dan Kerudung
Perempuan itu tampak begitu mencermati dot bayi (tempat minum susu bayi) di hadapannya, mengisyaratkan sebuah intensitas perhatian yang begitu kuat diantara keduanya. Namun mengapa mesti ada jarak diantaranya? Meminjam semiotika Barthes dalam second order semiotic, mungkinkah ada sesuatu yang terjadi antara perempuan dengan dot ini, antara seorang ibu muda dengan bayinya? Andaikan melihat atribut yang dikenakan, tentunya perempuan ini bukanlah perempuan yang biasa, atau ibu rumah tangga yang banyak menghabiskan waktu di sumur dan dapur. Gelang beruntaikan mutiara berikut jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, setidaknya mengisyaratkan sosok perempuan yang ‘berada’, mungkin juga seorang perempuan karier.
Dilema perempuan seakan tertangkap lugas dalam karya-karya ini. Problematika diri ketika dihadapkan pada pilihan antara bekerja dan mengurus buah hati, dihadirkan dalam kadar yang sangat kuat. Bagaimana jarak yang hadir diantara dua objek (figur perempuan dan dot) tersebut, memicu perhatian kita untuk melihat dilema itu sebagai sebuah realita yang nyata hadir, sebuah pilihan yang begitu berat tentunya. Disatu sisi ia harus bekerja mencari sekaleng susu, di sisi lain buah hatinya ‘menuntut’ tanggung jawab seorang ibu. Dualisme peran inilah yang memungkinkan lahirnya gesture maupun atribut yang mencerminkan identitas tertentu. Singlemother, mungkin adalah identitas yang dapat kita sematkan pada figur perempuan dalam karya-karya ini.
Di tengah kegamangan dan dilema yang begitu kuat, pasrah dan menyerah terkadang menjadi sebuah jalan ringkas yang kemudian dipilih. Berpasrah diri pada kenyataan yang ada, sedikit mencoba bangkit, kemudian berlari mencari sandaran. Hal ini adalah upaya-upaya untuk memahami wilayah kesadaran diri dan eksistensi lain diluar dirinya, maka dikenakanlah kerudungnya. Kerudung dimaknai sebagai sebuah penghormatan akan eksistensi Ketuhanan, sebuah kesadaran akan adanya dimensi lain yang mengatur manusia.  Kerudung telah menjadi simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua agama menggunakan dan menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung, meski tidak semua menetapkannya sebagai kewajiban.
Membaca gerak dan narasi emotic yang dihadirkan ataupun sebagaimana yang dipaparkan diatas, keberadaan kerudung yang dikenakan sang perempuan sesungguhnya merupakan bentuk ke’sumarah’an dirinya. Sumarah (bahasa jawa) berarti kepasrahan, menyerah. Meminjam istilah Umar Kayam dalam Sri Sumarah dan Bawuk (1975:12), “sumarah” adalah menyerah pasra, tetapi “sumarah” (menyerah) tidak berarti diam saja. Menyerah disini berarti mengerti dan terbuka, tetapi tidak menolak. Dalam karya-karya ini, kerudung sekan menegaskan dirinya menjadi simbol kepasrahan diri perempuan, yakni bersandar pada atribut keagamaan.

Ambang
Memandang semua karya Doni Kabo dalam Pameran Tunggalnya yang bertajuk “Sumarah” di Sangkring Art Project, kita akan di ajak untuk menyelami dunia ambang. Figur perempuan yang dihadirkan  oleh Kabo merupakan individu yang , dalam istilah Victor Turner (1967), berada dalam wilayah liminal dari dua dunia yang mereka geluti, baik dunia kultural maupun dunia sosial. Liminalitas dihadirkan Kabo dalam tensi yang begitu kuat. Bagaimana ambiguitas “sumarah” dan paradoks antara ibu yang mungkin seorang perempuan karier dengan bayinya (yang disubtitusikannya dengan dot) dipaparkannya dalam narasi yang bisa berarti ”neither living nor dead from one aspect, and both living and dead from another“.
Beragam atribut yang disematkan dalam figur perempuan dalam karyanya,  pun, menyiratkan wajah dunia liminal. Gelang mutiara, jam tangan dan dot bayi, menunjukkan tegangan peran dan intensitas emosi tersendiri. Hadirnya kerudung yang tidak terpasang dengan baik menyiratkan asumsi dua kutub yang berlainan, budaya santri (religi) dan budaya ‘bukan santri’ (tadisi). Dari sinilah lahir  dunia ‘abangan’, sebuah dunia abu-abu, tidak hitam, pun putih. Visualitas karya yang monokromatik yang mengesankan labilitas dan keraguan, merupakan citra yang kuat akan liminalitasnya. Dunia yang kelabu, dunia ambang, dunia betwixt and between, sebuah dunia yang tanpa struktur.
Meski ranah liminal dihadirkan Kabo dengan tensi yang kuat, andai kita memandang secara keseluruhan karya-karya yang dipamerkan kita akan merasakan bahwa struktur narasi kehidupan yang membuat peristiwa dibelakangnya  terkesan rumit, menjadi  dapat dipahami karena dalam tataran dan bingkai simbolis, narasi ini dapat dirangkai mengikuti garis-garis penalaran yang berada pada tataran nirsadar sekalipun.
Dalam perspektif nalar jawa (Javanese Mind) -perkenankan penulis menggunakannya- melihat karya-karya ini tampak sebuah konsepsi atau cara nalar “orang Jawa” menampilkan kelenturan, tatanan (order) serta pandangan bahwa segala sesuatu harus temata (tertata). Dan ketertataan ini mempunyai tiga komponen yaitu kesatuan (unity), kesinambungan (continuity) dan keselarasan (harmony), dan inilah yang ingin diungkapkan oleh Kabo lewat karya-karyanya. Bagaimana kesatuan tematik hadir dalam masing-masing karya, kesinambungan narasi yang diusung, dan keselarasan makna hidup yang menjadi landasan spiritual tergelarnya pameran “sumarah” kali ini.

*Penulis adalah rekan seniman di kampus Pascasarjana ISI Yogyakarta, tinggal dan bekerja di Yogyakarta.

Image karya
[nggallery id=20]

Super Semar by Yaksa Agus @ Sangkring Art Project

Pembukaan : Jumat, 18 Maret 2011, Jam 19.00 wib di Sangkring Art Project
Pameran di buka oleh : Bapak Ridwan Mulyosudarmo
Performance : Tauzi’ah Budaya Oleh Nasirun; Goro-goro oleh Jatilan Conthong


SUPER SEMAR
Yaksa Agus.

Bukanlah Super Semar  yang merupakan kepanjangan dari ‘Surat Perintah Sebelas Maret’, yang  45 tahun silam hingga kini tetap menjadi mistri dan kontroversi.

Tetapi Super Semar di sini adalah bagaimana saya mencoba memaknai ‘Rakyat yang Super’. Jadi Super Semar adalah Super Rakyat atau Rakyat yang Super.

Setiap Rakyat pada hakikatnya adalah juga perwira pembela tanah air, karena setiap Rakyat mempunyai kewajiban untuk membela tanah air.

Konon sejarah Super Semar ; surat perintah sebelas maret yang akhirnya mengantar soeharto menjadi Presiden Indonesia . dan bahkan hingga berkuasa selama 32 tahun.

Bahkan Super Semarpun menjadi propaganda selama pemerintahan soeharto, dengan mendirikan yayasan super semar , yang memberikan Beasiwa Super Semar  bagi siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang berprestasi. Walaupun  sejarah Super Semar ini sangat kontrofersi , super semar tetaplah telah memberikan  andil besar dengan mengantar para siswa dan mahasiswa yang super dalam menempuh pendidikan.

Bahkan Beasiswa Supersemar tetaplah akan menjadi kebanggaan bagi para penerimanya.

Dan Bea siswa supersemar itupun menghilang setelah lengsernya soeharto di tahun 1998.

Sesungguhnya  jika kita  Soeharto di tahun 1966 adalah seorang rakyat yang super , yang mendadak seolah memberi solusi sebuah perubahan, walaupun lambat laun dari periode ke periode berikutnya Soeharto pun    tergoda oleh naluri primitive  hagemoni kekuasaan. Walaupun sebenarnya naluri primitive itu tumbuh subur selama 32 tahun karena di pupuk oleh lingkungan,kroni, dan jaringan yang mengkondisikan.

Dan hingga di Tahun 1998 munculah Rakyat- rakyat yang Super bagaikan SEMAR yang mampu menggulingkan soeharto dari tahta kepemimpinan. Dan naluri primitive kekuasaan itupun terulang dan terulang lagi hingga saat ini, dan bahkan di rayakan dan di syukuri bersama.

Pada karya-karya lukisan saya  seri super semar yang saya pamerkan di Sangkring Art Project pada 11 maret-11 april 2011 ini adalah  gambaran tentang Rakyat yang Super, yang memiliki kekuatan dan keberanian untuk tampil  memberi kontribusi pada lingkungannya. Dan saya meminjam bentuk visual perangko untuk menterjemahkan  karya –karya saya tersebut.

Kenapa Perangko? Karena perangko adalah salah satu alat penghubung atau alat penghantar  komunikasi  dari kota yang satu ke kota yang lain , serta dari negara yang satu ke negara yang lain. Dan ketika sebuah surat atau benda yang lain akan dikirim via post , tentunya akan ditentukan harganya dengan perangko, yang sekaligus akan masuk dalam ruang deteksi sensor sebelum dikirim ke alamat yang di tuju.

Dan sesungguhnya gambar-gambar visual perangko adalah salah satu dokumentasi visual  sebuah sejarah,budaya,peristiwa hingga kekayaan alam yang di miliki oleh suatu negara.

Perangko pun saat ini nyaris tinggal kenangan, karena komunikasi saat ini sudah di wakili oleh alat-alat yang lebih cepat dan murah dengan munculnya  Handphone dengan vasilitas SMSnya, internet dengan Email hingga Face book.

Bercermin pada falsafah Semar, Semar adalah  gambaran sosok  seorang  Rakyat dalam  pewayangan : seorang Rakyat yang mempunyai keberanian untuk mengungkapkan suara kebenaran , dan berani untuk menyampaikan suara kebenaran di kala para pemimpin telah salah langkah.

Banyak orang yang sering menyuarakan kebenaran, bersikap dan bertingkah seolah-olah jelmaan Sang Semar, mengkritik sikap penguasa dengan kerasnya dan rajin mencari kelemahan sang penguasa.

Mereka bersikap seolah-olah menjadi penyambung lidah Rakyat dan kalimat-kalimat kerakyatan menjadi komoditi bagi dirinya sendiri. Akan tetapi jika telah nyaris ada hasil dari yang diperjuangkan, sering lupa diri dan melupakan apa yang pernah diperjuangkan. Egoisme akan kekuasaan telah membayanginya dan sikap yang bagai Semar pelan-pelan menghilang.

Teriakan yang berdalih Kerakyatan itu hanyalah Slogan kepura-puraan, dan hanya untuk membungkus naluri primitive. Dan naluri primitive yang semula ditertawai akhirnya di nikmati seolah sebagai pahala dari sebuah perjuangan.

Image karya SUPERSEMAR
[nggallery id=18]

GESTICULATION by PUTU SUTAWIJAYA

GESTICULATION
oleh PUTU SUTAWIJAYA

Pembukaan : Minggu, 20 Februari 2011 Jam 19.00
Penulis : Kris Budiman, Karim Raslan
Pameran berlangsung 20 Februari – 10 Maret 2011

Kris Budiman, esais dan kritikus

Sudah semenjak awal karier kesenimanannya Putu Sutawijaya terus terobsesi dan bersitekun menyodorkan tubuh sebagai tanda-tanda melalui karya-karyanya. Tubuh-tubuh itu direpresentasikan dalam formasi tertentu, bergerak mengisi dan memenuhi ruang, yang kadang memperlihatkan pola tertentu, meskipun lebih sering menunjukkan kecenderungan acak. Kial atau gestur (gesture) menjadi salah sebuah komponen ekspresif utama Putu. Ia menjadi semacam kosakata, di samping postur, pose, gerak, arah, dan irama. Ketika representasi tubuh-tubuh itu keluar dari kanvas, masuk dan melintas ke dalam ruang tiga-dimensional, mereka seperti terlempar untuk mencari konteks-konteks pemaknaan yang berbeda, menggestikulasi diri tidak semata-mata mengikuti perubahan karakteristik materialnya.

Proses dan praktik badani memproduksi tanda-tanda melalui gestur bisa dengan jelas dianalogikan dengan tindakan memproduksi tanda-tanda lingual-akustik melalui seperangkat alat ucap. Jika yang terakhir ini biasa disebut sebagai artikulasi, maka yang sebelumnya dapat dinamakan sebagai gestikulasi (gesticulation). Di dalam gestikulasi segenap anggota badan –bukan hanya tangan, lengan, dan jemari– berubah menjadi wahana makna (vehicle of meanings), instrumen signifikasi. Para penari, aktor, dan pelaku-pelaku seni pertunjukan lainnya, niscaya menyadari hal ini ketika mereka berkomunikasi dengan dan mengekspresikan pesan tertentu kepada audiens melalui berbagai tanda gestural. Begitu pula di dalam ritual-ritual, entah yang bersifat keagamaan, kenegaraan, maupun praktik hidup sehari-hari dengan bermacam konteks situasional dan sosialnya.

Putu Sutawijaya, dengan karya-karya tiga-dimensional (patung dan instalasi) terbarunya, tetap bertahan dengan representasi tubuh dan gestikulasi, meskipun kali ini dia menawarkan konteks yang berbeda-beda demi mencapai pengucapan tertentu yang diinginkannya. “Agar tubuh-tubuh itu dapat berkisah,” ujarnya. Maka dari itu, gestukulasi tubuh-tubuh di dalam serangkaian karyanya ini menjadi lebih variatif dengan lontaran-lontaran gagasan di sekitar tegangan dan ketaksaan (ambiguity) yang menyelubungi proses-proses sejarah, kontinuitas dan diskontinuitas, tradisi dan perubahan, kepatuhan dan resistensi, juga masalah pendefinisian-ulang atas identitas-identitas kultural yang mapan. Putu Sutawijaya menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritisnya dengan kecenderungan gestikulasi yang keras namun rawan.

Karim Raslan, kolumnis

Tanggal 1 Desember 2005, kakek dari Putu Sutawijaya – figur pengayom keluarganya – berpulang. Ketut Mutri adalah sosok yang sangat dicintai dan dihormati di masyarakat, sekaligus orang yang begitu berpengaruh dalam hidup Putu. Setelah mengalami jatuh dan patah kaki, Ketut yang tadinya selalu aktif terpaksa diam di tempat tidur. Karena tidak terbiasa dengan keadaan ini, dalam waktu singkat kondisi Ketut Mutri merosot dan akhirnya meninggal dunia.

Untungnya, Putu (yang baru saja menyelesaikan pameran tunggalnya di Kuala Lumpur) masih sempat terbang ke Bali dan menghabiskan waktu bersama kakeknya.

Tapi, baik Putu maupun istrinya, Jenni, yang berkebangsaan Malaysia, tidak menyadari seberapa besar pengaruh kematian kakeknya ini – dan juga kremasi yang berlangsung lima belas hari kemudian – bagi kehidupan mereka, dan tentunya bagi karya-karya Putu.

Lahir dan besar di keluarga yang sangat nyaman dan berkecukupan – kedua orangtuanya adalah petani yang makmur – Putu tidak pernah terpikir untuk mempertanyakan masyarakat Bali dan segala kompleksitasnya. Seperti yang Putu sendiri bilang, “Saya ingat waktu kecil dulu suka berlari melewati lapak-lapak yang didirikan untuk upacara di kampung. Waktu orang-orang tahu siapa saya, para pemilik lapak bilang, “Dia bisa ambil apa saja yang dia mau. Keluarganya bisa bayar. Orangtua saya orang terhormat.”

Dalam dua minggu setelah kematian kakeknya, Putu merasakan hebatnya tekanan dan ketegangan dalam masyarakat Bali, ketika komunitasnya memilih untuk tidak ikut campur ketika keluarganya mempersiapkan upacara kremasi yang sangat penting .

Terasing dan terkucil, pengalaman ini mengejutkan Putu dan menariknya keluar dari sikapnya yang tak pernah mempertanyakan masyarakat Bali. Sejak itu, kepahitan di masa-masa tersebut tertuang dalam karyanya. Dalam pameran patung dan instalasinya di Bentara Budaya Jakarta, mencuat ketegangan antara ekspresi individual dan kebebasan personal di satu sisi, dengan identitas komunal yang kuat dan didukung secara penuh oleh banjar.

Karya Gesticulation
[nggallery id=17]

Opening GESTICULATION@ Sangkring ARt Space
[nggallery id=19]

ORGANIC MIND by MANTRA

“ORGANIC MIND”
Oleh : MANTRA
Pembukaan : Senin, 10 Januari 2011, Jam 19.00 wib
Pameran akan di buka oleh : Bpk. Dewa Budjana
Pameran di tulis oleh : Sugi Lanus, Luki Prang, Wahyudin
ORGANIC MIND music perform : Kamis, 13 Januari 2011, Jam 19.00
Music perform oleh : Mantra, Yonas, Wukir, NO’ART (Lombok)
Pameran berlangsung : 10 – 28 Januari 2010READ MORE

MATAHATIJOGJA

MATAHATIJOGJA
Oleh : Matahati
Pembukaan : Senin, 1 November 2010, Jam 19.00 wib
Pameran di buka oleh : Dr. Melani Setiawan, Msc
Pameran ditulis oleh : Drs. Suwarno Wisetrotomo, M.Hum
Artist Talk : Selasa, 2 November 2010, Jam 16.00 wib
Pameran berlangsung : 1 – 20 November 2010

Pengantar Sangkring Art Space

Gagasan pameran Matahati ini di mulai 2 tahun yang lalu, ketika itu Bayu Utomo (salah satu penggagas Matahati) datang ke jogja dan singgah ke Sangkring.  Meskipun sempat mundur dari jadwal semula, tak menurunkan semangat kami dan kelompok MATAHATI untuk tetap menyiapkan pameran ini. Kami merasa senang dan bangga akhirnya pameran Kelompok Matahati bertajuk MATAHATIJOGJA terealisasikan di Sangkring Art Space.

Matahati yang merupakan kelompok seni di Malaysia terbentuk sekitar tahun 1990an dan melaksanakan pameran perdananya pada tahun 1993. Kala itu kemunculan Matahati dianggap sebagai pelopor seni baru, nadi seni kontemporer Malaysia. Matahati yang beranggotakan 5 orang : Ahmad Fuad Osman, Ahmad Shukri Mohammed, Bayu Utomo Radjikin, Masnoor Ramli Mahmud dan Hamir Soib @ Mohammed ini, kini telah mempunyai sebuah wadah seni di Malaysia bernama House of Matahati (HOM). HOM tidak hanya khusus untuk anggota Matahati saja melainkan juga untuk seniman lain dan pertukaran seniman tamu.

Pada pameran MATAHATIJOGJA kali ini, Fuad membawa figur-figur dalam karyanya, yang merupakan ekpresinya terhadap masalah sosial, politik baik peristiwa dalam maupun luar negeri. Ahmad Shukri dengan kemampuannya mencerna kejadian dan peristiwa, mengalir bersama karya yang diterjemahkan lewat  simbol, ikon penegasan persoalan yang diangkat. Bayu sebagai salah satu anggota Matahati yang kerap menggambarkan dirinya sebagai objek utama dengan ekpresi dan olah tubuhnya masih tetap dengan tema yang sama. Hamir menampilkan warna-warna monokromatik, serta figur-figur ilusionis, dan magis dalam karyanya. Dan Masnoor  dengan mengambil sosok figure dalam film, wayang  dan iklan dalam karyanya sebagai isu yang diangkat. Kendati ke lima seniman itu mempunyai tema yang berbeda, tapi hal tersebut merupakan hal yang sangat menarik, bahwa Matahati merupakan kelompok yang tidak membatasi kebebasan individu untuk berekspresi dalam berkreasi.

Pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Melani Setiawan, Msc atas kesediaannya membuka pameran MATAHATIJOGJA pada tanggal 1 November 2010, kepada Bp. Suwarno Wisetrotomo atas kesediannya menulis pameran ini, kepada seniman Matahati yang berpameran, dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu terselenggaranya pameran ini. Semoga pameran kali ini dapat diapresiasi dan memberikan pemahaman tentang dunia seni rupa kontemporer Malaysia.

Sangkring Art Space

Pembukaan pameran MATAHATI
[nggallery id=12]

GESTICULATION

Gesticulation

Oleh : Putu Sutawijaya
Pameran berlangsung :28 September – 7 Oktober 2010

Pameran di buka oleh : Butet Kartaredjasa

Tempat : Bentara Budaya Jakarta (Jl. Palmerah no 17 Jakarta)

Proses dan praktik badani memproduksi tanda-tanda melalui gesture, bisa dengan jelas dianalogikan dengan tindakan memproduksi tanda-tanda lingual-akustik melalui seperangkat alat ucap. Jika yang terakhir  tadi biasa disebut dengan artikulasi, maka yang sebelumnya dapat dinamakan sebagai gestikulasi (gesticulation). Putu Sutawijaya dengan karya-karya tiga dimensional (patung dan instalasi) terbarunya, tetap bertahan dengan representasi tubuh dan gestikulasi, meskipun kali ini dia menawarkan konteks yang berbeda-beda demi mencapai pengucapan tertentu yang diinginkannya.

“Agar tubuh-tubuh itu dapat berkisah,” ujarnya. Maka dari itu, gestikulasi tubuh-tubuh di dalam serangkaian karyanya ini menjadi lebih variatif dengan lontaran-lontaran gagasan di sekitar tegangan dan ketaksaan (ambiguity) yang menyelubungi proses-proses sejarah, kontinuitas dan diskontinuitas, tradisi dan perubahan, kepatuhan dan resistensi, juga masalah pendefinisian ulang atas identitas-identitas kultural yang mapan. Putu Sutawijaya menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritisnya dengan kecenderungan gestikulasi yang keras namun rawan.

Putu Sutawijaya dilahirkan di Banjar Angseri, Tabanan, Bali, 27 November 1971, Pendidikan seni rupa diselesaikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1991-1998) dan telah beberapa kali melakukan pameran tunggal di China, Jakarta, Hongkong, dan Malaysia. Ia memperoleh beberapa penghargaan, yang terpenting adalah Lempad Prize dari Sanggar Dewata Indonesia (2000), serta Best Painting dari Yayasan Seni Rupa Indonesia dan Philip Mooris Art Award (1999).

Pameran yang menampilkan karya-karya Putu Sutawijaya ini ditulis oleh Kris Budiman dan Karim Raslan. Acara pameran ini akan di buka pada tanggal 28 September 2010, Jam 19.30 oleh Bpk. Butet Kartaredjasa, dipandu pembawa acara Trio Kirik, dan akan menghadirkan bintang tamu Dewa Budjana.. Selain pameran, juga diselenggarakan peluncuran buku Ceritalah Indonesia oleh Karim Raslan. Pameran ini akan berlangsung dari tanggal 28 September – 7 Oktober 2010 di Bentara Budaya Jakarta (Jalan Palmerah 17, Jakarta 1070).

JOGJA PSYCHEDELIA Flower From Yunizar

JOGJA PSYCHEDELIA Flowers From Yunizar
Oleh : Yunizar
Pembukaan 23 September 2010, Jam 19.00
Pameran berlangsung : 23 September – 5 Oktober 2010
Pameran di buka oleh : Dr. Oie Hong Djien
Kurator pameran : Aminudin Siregar
Tempat : Sangkring Art Space (Nitiprayan Rt.1 Rw.20 Ngestiharjo, Kasihan Bantul Yogyakarta 55182, Telp.(0274) 381032, 0812277675678)
Pameran ini merupakan kerjasama antara Gajah Gallery dengan Sangkring Art SpaceREAD MORE

Solo Exhibition Jumaldi Alfi “Life/Art #101: Never Ending Lesson”


Pameran ini adalah PREVIEW dari pameran di Valentine Willie Fine Art, Kuala Lumpur

Life/Art #101: Never Ending Lesson

Oleh : Jumaldi Alfi

Pembukaan : 1 September 2010, Jam 19.00

Pameran berlangsung: 1 – 7 September 2010

Pameran di buka oleh : Bpk. Zawawi Imron

Kurator : Enin Supriyatna

Melalui karya-karya terbarunya, Alfi mengajak kita merenungkan kembali pepatah ini: pengalaman adalah guru terbaik, experientia docet. Ia menampilkan pengalaman sebagai kata kerja dalam tindakan si seniman mengenang dan mengingat. Dengan demikian, hidup yang dijalani dan dialami dari masa lalu hingga hari ini, kini muncul kembali secara acak namun beruntun dalam karya-karyanya. Ini adalah “jalinan ingatan” yang dirangkai terus menerus.

Lebih jauh lagi, dalam karya-karya Alfi kali ini kita juga bisa menyaksikan bagaimana Alfi memanfaatkan pengetahuannya akan sejarah seni rupa dunia yang ia jadikan juga bagian dari pengalaman dan proses belajarnya. Kata-kata dan kalimat-kalimat yang ia tampilkan seringkali merupakan pinjaman dari pernyataan dan pemikiran sejumlah seniman yang ia kagumi (dari Joseph Beuys, Martin Kippenberger, Ed Ruscha, sampai lirik lagu Pink Floyd). Sambil meminjam dan menghubungkan kata/kalimat itu dengan pengalaman pribadinya, ia menyempatkan diri untuk “bermain-main” dengan teks-teks itu. Seperti seorang murid yang iseng melihat sisa-sisa tulisan di papan tulis di dalam kelas, Alfi menghapus satu dua huruf atau mengaburkan kata tertentu sehingga terjadi perubahan kata dan kalimat yang kemudian membuat maknanya jadi melenceng dari aslinya.

Sembilan lukisan yang menampilkan papan tulis sebagai subyek utama, satu instalasi—perahu kayu dengan sosok jerangkong diatasnya—serta satu karya video hadir serentak dalam pameran kali ini. Keseluruhannya bisa kita perlakukan sebagai bentuk sajian karya yang utuh menyatu. Tiap karya adalah ruangan-ruangan yang akhirnya membentuk satu rumah, sambil setiap ruang sesungguhnya telah hadir sendiri dengan segala isinya. Di sini, kita bisa melihat bagaimana Alfi dengan sengaja memanfaatkan aspek teatrikal sehingga tersedia cukup udara segar dalam atmosfir ruang pameran yang memungkinkan karya-karyanya untuk bernafas lega bersama para pemirsanya.