Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-7,page-paged-7,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Yogya Annual Art #3 “Positioning”

31432637_10156400554994138_8504818369719051212_n

Yogya Annual Art #3 2018

Positioning

Sangkring Art

Jl. Nitiprayan no. 88, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta

Opening: 6 May 2018, Start 7pm

Exhibition at Sangkring Art Space – Sangkring Art Project – Bale Banjar Sangkring – Lorong Sangkring – Wall Art – Outdoor Area

Officiated by: Ridwan Muljosudarmo

Writer:

Kris Budiman, Huhum Hambilly, Apriadi Ujiarso, Alit Ambara, Dwi S. Wibowo, Yaksa Agus

Info: @yogya_annual_art / @sangkringart

www.sangkringart.com

#sangkringart #yogyaannualart

Pameran Yogya Annual Art #3 “Positioning” di Sangkring Art

Pada kurun waktu 6 sampai 31 Mei 2018, Sangkring Art bermaksud menggelar pameran seni tahunan “Yogya Annual Art” yang ke-3 dengan tajuk “Positioning”. Yogya Annual Art adalah pameran seni 2 dimensional yang menitikberatkan pada seni lukis sebagai laporan perkembangan seni lukis Yogyakarta Indonesia mutakhir. Tajuk “Positioning” sengaja dipilih sebagai upaya penempatan diri yang tepat dan strategis demi membuat penonton terpikat sekaligus terikat. Hal ini juga sebagai kelanjutan atas gelaran sebelumnya, yaitu “Niat” dan “Bergerak”. Bagi Panitia YAA, lewat tema yang diusung, pameran bermaksud mempresentasikan proses yang merupakan dasar-dasar bertindak dengan tujuan membuat gerakan ke arah yang yang benar.

Pameran diadakan di tiga galeri sekaligus, Sangkring Art Space, Sangkring Art Project dan Bale Banjar Sangkring dengan melibatkan sekitar 90 an seniman. Adapun ruang-ruang lain di areal Sangkring yang juga menjadi bagian dari YAA, seperti Lorong Sangkring, Tembok Galeri dan Halaman di sekitar Sangkring. Tak lupa, sebagaimana tradisi dalam tiap pergelaran YAA, yaitu mengundang ‘seniman kehormatan’ untuk menampilkan karyanya di dinding suci. Pada kesempatan ini  YAA menghadirkan karya dari tokoh dan akademisi Nyoman Gunarsa. Sosok Nyoman Gunarsa sengaja dipilih oleh sebab ia dikenal sebagai dosen yang sangat inspiratif dengan aneka provokasi unik yang mampu mengikat mahasiswa, dia adalah perupa yang pandai melakukan positioning yang tepat sekaligus strategis lewat karyanya yang memukau.

Sangkring Art Space

Di manakah posisi subjek dalam wacana? Dengan pertanyaan yang senada, dapat disimak pada karya-karya para perupa yang tengah digelar sekali ini di Sangkring Art Space. Bila karya-karya ini memproduksi pengetahuan (dan kuasa sekaligus), lalu di manakah posisi subjek pembaca atau penonton (audiens) di dalamnya? Pertama, tentu saja karya-karya ini memosisikan subjek-subjek yang selalu sudah tersubjeksi (subjected), terkondisi oleh konvensi dan tradisi genre masing-masing, yang sesungguhnya dalam setiap momen sejarah terus mengalami pergeseran dan pergesekan. Untuk sementara problem ini bisa kita tangguhkan dulu demi menengok posisi subjek yang kedua, yaitu penonton. Posisi subjek ini niscaya tak lepas pula dari jalinan kuasa/pengetahuan, sebab apa yang kita sebut sebagai penonton di sini hanyalah salah satu partisipan yang direpresentasikan (represented participant) oleh wacana. (Kris Budiman)

Sangkring Art Project

Menarasikan perupa muda hari ini yang pula berpredikat sebagai generasi milennial, menjadi ihwal cukup rumit dalam artian perlu banyak pertimbangan untuk menyiasatinya. Pola-pola lama guna ditasbihkan sebagai seniman seolah bukan jalan satu-satunya yang harus ditempuh. Internet mampu menjadi jalan tikus bagi perupa muda, di mana tentu saja konsekuensi tetap membayangi. Dengan kata lain, modal sosial semakin mudah diakumulasikan melalui jejaring yang aksesibel bagi para perupa muda, namun belum tentu dengan modal kultural guna menyematkan nilai simbolis melalui karyanya. Tetapi toh, lagi-lagi, para perupa muda ini sedang dalam masa inkubasi, di mana mereka sedang dalam proses menjadi yang merupakan jalan panjang. (Huhum Hambilly)

Bale Banjar Sangkring

Sepertinya tema positioning tidak menyentuh intensi personal tiga puluh lima perupa itu. Melalui garis dan warna tampak bahwa intensi karya terletak pada hasrat berbagi pengalaman dan pemikiran visual yang bernilai kepada publik seni. Beberapa karya menyatakan seni rupa abad ke – 21 makin kompleks. Periodisasi sejarah seni rupa perlu dipikir ulang, sebab di antara masa lalu dan masa kini, ada memori yang barusan berlalu yang patut dikenang secara visual. Seturut ruang penghayatan yang terbina, netralitas dan pemihakan dipertanyakan. Beberapa perupa memilih mematangkan gaya realisme, sebagian berkutat menyoal konsep. Lainnya melakukan eksperimen warna, dengan tujuan mendapat aspek pewarnaan yang keluar dari rumusan industrial. Pada arah lain berlangsung berbagai eksplorasi bentuk sebagai menu utama kekaryaan, baik ekspresif atau yang impresif. Terdapat pula eksplorasi naratif, yang tampaknya perlu pencermatan agar terjadi titik temu perspektif dan rasa yang lebih puitis. Menariknya beberapa perupa mengolah unsur air sebagai aspek penting dalam karya visualnya. Diambilnya kembali teknik – teknik tradisi, baik diterapkan pada garis atau pada warna, sungguh memperkaya pergerakan seni rupa Indonesia. Penuh dengan eunoia, pikiran yang baik; pemikiran yang indah disalurkan lewat garis dan warna. Tak berlebih bila di Bale Banjar Sangkring pada YAA #3 ini, publik seni melihat beragam karya lukis dengan karakter individual yang mantap. Hal ini tentu saja menggembirakan. (Apriadi Ujiarso)

Lorong Sangkring

Bikin poster itu gampang, semua orang bisa bikin poster. Poster mudah dibuat dan didistribusikan. Atraktif, platform yang mudah diakses untuk menyatakan pikiran, melibatkan orang dalam perdebatan, menciptakan diskusi yang dapat melintasi segenap spektrum masyarakat. Poster digunakan sebagai metode expresi sosial politik dan budaya. Sejak 2009 Alit Ambara secara intensif menggunakan poster untuk merespon isu-isu sosial-politik dan expresi personal. Dibawah label Nobodycorp. Internationale Unlimited sebuah inisiatif yang bertujuan mendorong diskursus serius tentang sosial atau sosial-politik melalui poster. Ia menggunakan setiap saluran media sosial yang tersedia di internet. (Alit Ambara)

Outdoor Area

Ada beberapa hal yang menarik untuk dilihat pada sejumlah karya mereka, terutama pada penempatan posisinya dalam merespon ruang. Berada di antara tiga bangunan yang demikian megah, tentu tidak mudah bagi karya-karya tersebut untuk menarik perhatian jika tidak disiasati dengan ukuran yang besar dan massif, ataupun pemilihan warna yang mencolok. Dari sini, kita dapat melihat bagaimana para pematung yang masih relatif muda ini begitu tanggap dan luwes dalam menempatkan karyanya. Selain itu, keenam pematung juga mengolah konsep yang hampir senada, sehingga memudahkan pemirsa untuk memahami masing-masing karya sebagai sebuah kesatuan yang saling terhubung satu sama lain. (Dwi S Wibowo)

Wall Art

Rujiman hadir dengan karya yang berjudul Koi Mili Gaya, dimana ikan –ikan koi ini bergerak , mengalir mengikuti arus dan dengan percaya diri untuk tebar pesona. Ikan Koi sebenarnya berasal dari Jepang, dipercaya membawa keberuntungan dan menjadi simbol harapan kesehatan dan kemakmuran. Bagi para Samurai, koi adalah simbol keberanian dan usaha pantang menyerah. Melalui Koi yang bergerombol bersama-sama meraih posisi ini, seolah-olah kita diajak untuk membaca dan memaknai tanda-tanda yang sesungguhnya sering tampak dalam dunia nyata, namun sering juga tidak kita sadari dan memaknainya.

Tepat diseberang karya Rujiman ada seorang perupa muda Yogi Septifano (OGGZ) dan Regian Hilarius (REX) ia menghadirkan karya Street Art dengan merespon luar ruang (outdoor). Mereka berdua berkolaborasi merespon dinding dengan 41 plat besi yang diikat dalam tajuk “One way /Satu arah”, yang bermakna satu jalan/jalur untuk melihat suatu pameran–dimulai dari Sangkring Art Space menuju Sangkring Art Project, dan menuju Bale Banjar Sangkring. Di situ akan menjadi jalur padat karena banyaknya tamu yang datang dan pulang melalui satu jalan, satu arah akan menjadi dua arah. (Yaksa Agus)

Locus Utopia – Katirin, Single Fighter #2

Locus Utopia

 IMG-20180205-WA0030

The artist is an inventor of places. He shapes and incarnates spaces which had been hitherto impossible, unthinkable…..

(Didi-Huberman, 1990: 6)

Saat melihat lahan di Gunung Bangkel bagian atas, Katirin telah menemukan yang dicarinya selama dua bulan lebih. Seturut perspektifnya, lahan berbatu masif dengan kontur bervariasi dan elevasi sekitar 150 mdpl itu, memiliki akses dua pemandangan, di utara gunung Merapi yang megah dan di selatan jajaran perbukitan segmen Patuk – Dlingo. Masih ditambah pula bonus pemandangan sawah dan hiruk pikuk jalan raya Jogya – Wonosari km 9.

Seturut pemikiran Faucault dalam Of the Space (1967), lahan temuan Katirin itu termasuk kategori locus utopia. Sebagai konsep, locus utopia kerap disebut Heterotopia, yaitu lokasi dari utopia yang nyata ada, namun kerap diposisikan sebagai ruang yang berbeda. Di dalam homogenisasi ruang perkotaan, heterotopia dianggap berada di wilayah antah berantah. Hanya single fighter sejati yang berani mencari, menemukan locus utopia dan secara simultan memanifestasikannya ke berbagai wujud representasi. Meski belum tuntas, di lahan milik Katirin itu kini telah berdiri, tiga ruang yang berbeda fungsi. Pertama rumah, kini ditinggalinya bersama keluarga. Kedua, teras belakang yang didirikan tepat di bibir jurang. Dan ketiga adalah studio, tempatnya berkarya.

Dari locus utopia di gunung Bangkel dan karakter bentukan ruang yang diolah oleh Katirin,  sepertinya berbalik mempengaruhinya. Berbagai hal yang sebelumnya dipandang tidak mungkin dan tak terpikirkan telah membentuk cakrawala pengetahuan baru, dan memperkaya ruang batin Katirin. Perspektif baru itu lebih jauh mendorongnya untuk mengeksplorasi cara – cara yang lebih memajukan simpati dan empati terhadap obyek atau subyek pemantik gagasan – gagasan visualnya. Dari tempat itu pula berlangsung pergeseran dominasi warna pada karya – karya Katirin ke warna – warna bebatuan, sephia, oker, cokelat, dan abu – abu. Meski tetap memuat tema kegamangan manusia dalam pergulatannya dengan kehidupan di era modern, karya – karya yang disiapkan Katirin untuk pameran Single Fighter #2 ini, menyajikan pula tema berkait keruangan (spasial), yang fisikal sekaligus yang mental. Katirin mulai menyisir makna ruang – ruang fisik yang pernah ditinggalinya memautkannya, melalui permenunganya, bersama memori, gagasan, mimpi dan refleksi pengalaman hidup yang telah dan tengah dijalaninya.

Delapan belas karya Katirin bisa dilihat pula sebagai metafora karakter kehidupan kontemporer yang mewujud menjadi abstraksi dan figurasi yang hadir terikat oleh cahaya, warna, bentuk, dan pola. Begitu pula fragmen fisik, tubuh, dan kenangan visual hadir dalam karya – karya Katirin. Bentuk, garis tampil membangun ruang kedalaman seturut lokus dan modalitasnya. Tantangan utama pada karya – karya Katirin adalah karakter visualnya yang kuat namun tidak informatif. Meski merupakan narasi personal, Katirin lebih memilih menyajikan ketenangan visual dan vernakuler, seluruhnya dieksekusi dengan sangat percaya diri dan membebaskan. Menjadikan seni rupa Katirin bukan lagi semata destinasi, namun merupakan representasi perjalanan tubuh dan jiwa di tengah pencarian locus utopia, melintasi wilayah peripheri, pusat kota dan urban, pantai, sungai, hutan dan gunung. Seni rupa Katirin berdiri dalam ujian waktu, menjadi penegasan kekuatan hidup yang kuat dan berani !!!

Apriadi Ujiarso

Adu Domba 8, Laila Tifah vs Kana

26230242_10211683344939774_6823864352094304216_n

Mencitrakan Sunyi dan Gerak Air

Beragam identitas disandang Laila. Dipanggul pula peran yang melekat pada masing-masing label itu di pundaknya. Tiap-tiap personalitas itu menceburkannya ke dalam berbagai arena yang membuat kehidupannya kaya dan beraneka, serta tak pernah habis menyediakan inspirasi bagi karya-karyanya. Ia memindahkan banyak hal yang ada di sekitarnya ke dalam kanvas. Hal-hal yang biasa, yang sepele dan sehari-hari terjadi, diangkatnya menjadi subjek-subjek yang tak lagi dikenali lagi keremehtemehannya. Pilihannya menggunakan warna-warna gelap, komposisi letak subjek yang tak seimbang, dan perspektif yang luas menimbulkan kesan misterius dan serius untuk tema-tema kesehariannya. Lukisan-lukisannya mengartikulasikan situasi suram, lengang, dan misterius. Atau, ia ingin menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri dan meninggalkan sesuatu yang ganjil pada penonton lukisannya.

Kana menampilkan air tidak dengan cara deskriptif yang mempertimbangkan elemen estetik, yang sekedar menggambarkan, yang memvisualisasikan, yang mengindahkan. Tetapi ia menghadirkan air sebagai wacana naratif yang menguraikan gerak, sebagai sebuah peristiwa.

Sesuai sifatnya yang cair dan mengalir, demikianlah Kana menyerahkan hidup berkeseniannya agar mengalir saja. Mengikuti ke mana air mencari permukaan yang semakin rendah, dan ke mana alirannya berbelok untuk menjumpai nasib, mewakili perjalanan berkeseniannya yang entah kapan akan sampai, dan muara mana yang akan dijangkaunya.

Bisa dikatakan bahwa karya-karya Kana di Adu Domba #8 ini merupakan bahasa ungkap bagi spiritualitasnya. Ia melihat, merasakan dan mengalami kehadiran Tuhan di dalam air dengan aneka rupa bentuk, warna dan rasanya. Jika kemudian ia menghadirkan air di bidang kanvas, tak berlebihan jika ia sedang melafalkan kekuasaan Tuhan melalui tarikan garis dan sapuan kuas.

Yogyakarta, Januari 2018

Ida Fitri

Adu Domba #7, Endang Lestari vs Jenny Lee

ADU DOMBA #7

IMG_6190

Pergeseran seni keramik kita,  demikian Sujud Dartanto (2011), yang pada mulanya kepatungan semakin menjadi instalatif dan bermedia-campur. Sejumlah karya Jenny Lee dan Endang Lestari bergolak di dalam kecenderungan genre yang demikian, meski masing-masing membawakan beberapa ciri pembeda sendiri. Ekspresi metaforis Jenny Lee dibangun dari dunia keseharian perempuan yang terbiasa menatap ke dalam Diri (The Self) – intim dan personal. Dunia ini terwakili oleh objek-objek seperti bunga, pohon (kayu), dan mungkin pula ragam-ragam objek vegetatif yang lain. Repetisi objek-objek ini merupakan variasi dari sebuah tema, yakni ke-hidup-an itu sendiri. Di dalam sebuah karyanya yang lebih kompleks, “Spirit in My Cups”, dapat kita temukan repetisi cangkir-cangkir. Selain menghasilkan irama visual, cangkir-cangkir ini menjadi metafora bagi wadah atau wadag yang menampung jiwa. Jenny menampung figur dan wajah, kupu-kupu dan kaktus di cangkir-cangkir ini. Selain fragmen-fragmen kata yang padan atau justru beroposisi dengan medan makna yang disebutnya sebagai “spirit”, antara lain: love, hug, enjoy, work, money, pray, karma, dst. Meskipun begitu, segenap nama dan rupa ini tiada abadi. Per-tumbuh-an dan per-kembang-an pada akhirnya akan ber-buah kehilangan. Pada waktunya semua akan lepas, terbang bak kupu-kupu – sebuah metafora yang maknanya, di dalam konteks budaya feminin, niscaya berasosiasi dengan bunga. “Fly Away”, ujar Jenny. “Panta rei,” imbuh Heraclitus.

Sementara itu, Endang Lestari membawa serangkaian karya bertajuk tunggal “Making Imaginary Objects Which Placed Me to Industrial Culture”. Alih-alih mengeksplorasi ke dalam, menjalin dialog-dialog internal, Tari lebih berefleksi ke luar, ke dunia sosial di luar Diri (the not-self), yakni pada pengalamannya ketika bersentuhan dengan dunia industrial urban yang melahirkan produk-produk budaya popular. Pilihan stilistiknya lebih cenderung “keras” atau, katakanlah, maskulin. Objek-objek imajiner yang menjadi opsinya, entah sebagai metomini atau metafora dominan, adalah saklar (tombol on/off), roda gigi (gear), jerrycan, dan botol berasap (cerobong pabrik?). semua ini mewakili budaya industrial – termasuk juga gedung-gedung pencakar langit yang mewakili kota sebagai konteks bagi medan makna yang sama. Diksi warnanya pun cenderung lebih panas, yang masih diracik dengan inskripsi-inskripsi yang terkesan acak dan nyaris tak terlacak konteksnya – dipungut olehnya dari serpih-serpih surat kabar. Karakteristik Endang Lestari ini secara umum tampak berkontras dengan Jenny Lee, padahal dalam beberapa aspeknya mereka berdua kompak bertemu dalam sebuah perbincangan di ranah keramik yang disandingkan dengan kayu atau kemungkinan media alternatif lain. Mereka bertekun dalam representasi bergender dengan terutama menggunakan sarana repetisi dan pararelisme visual yang ritmis sehingga, menyimak karya-karya mereka di ujung tahun, rasanya seperti sedang menikmati lantun pastoral yang ditingkah oleh musik industrial.

Kris Budiman

Samuel Indratma Gelar Pameran Tunggal “Wayang Los Stang” di Sangkring Art Project

22814021_1512489068834547_7779589614035834867_n

Selama kurang lebih 3 tahun terakhir, perupa Samuel Indratma intens dalam menggeluti wayang. Berbagai karya terkait wayang telah ia kerjakan, dari drawing, lukisan, batik, wayang kulit, instalasi, gerabah hingga pertunjukan. Samuel Indratma, perupa kelahiran Gombong, Jawa Tengah, 46 tahun silam adalah sosok yang hingga kini masih bergelora dan antusias di setiap aktivitas seni yang ia jalani. Seperti bisa dijumpai di beberapa kesempatan terakhir yang posisinya ibarat konsultan seni. Berbagai ide, strategi dan sarannya teraktualkan lewat bermacam presentasi kesenian yang digelar di berbagai ruang, dari Sangkring Art, Plataran Djoko Pekik hingga Museum Nasirun.

Dimulai dari bulan Oktober, ia menambah kesibukan secara berkala, sekali dalam seminggu, dengan mengajar ekstrakurikuler seni di SMA Stella Duce,Yogyakarta. Sementara hasrat sosialnya tahun ini kerap terlimpahkan bersama kelompok Bardi (Bantul Art District) yang secara umum hendak menawarkan ekosistem seni yang intim dengan mengetengahkan eksperimen sebagai metode.

Pada 3 November 2017, di Galeri Sangkring Art Project, Nitiprayan, Yogyakarta, Samuel bermaksud menggelar pameran tunggal bertajuk “Wayang Los Stang Samuel Indratma”. Judul pameran tersebut masih terkait konsep seni yang ditawarkan Samuel Indratma, yaitu Los Stang (Tanpa Pegangan), menurutnya seni dibiarkan bebas mengalir tanpa memikirkan rumus-rumus serta aturan-aturan yang mengikat dunia seni rupa. Budayawan Sindhunata pernah melengkapi pernyataan Seni Los Stang dengan, “Biarlah seni mengalir dengan sendirinya, sang seniman tinggal mengikuti hati nuraninya dalam berkarya.” Tulisnya.

“Wayang Los Stang” setidaknya menandai pengkaryaan Samuel yang sangat pribadi, juga dalam kesempatan ini dihadirkan format atau semacam sub-judul, yaitu “Single Parent Exhibition” yang mengacu pada statusnya sebagai seorang duda. Diungkapkan oleh Samuel, “Pameran ini merupakan kesempatan melayani diri sendiri, ini saatnya egois”  ungkapnya di tengah kesibukan menyelesaikan karya. Sejauh ini publik mengenal sosok Samuel Indratma identik dengan kelompok dan presentasi karya kolektif. Pencapaian-pencapaian karirnya yang cukup monumental banyak ia dapat bersama regunya. Seperti contoh ketika ia bersama Apotik Komik menggarap proyek “Sama Sama”, “Mural Rasa Joga”, “Sign Art Project”, dll. Begitu juga bersama Jogja Mural Forum, Biennale Jogja-Jogja Jamming, hingga belum lama Folk Mataraman Institute, di mana kerap membuahkan gerakan-gerakan dan menular di komunitasnya.

Alit Ambara, desainer dan aktivis, berkesempatan menuliskan pameran Samuel, ia menyampaikan, “Pada Wayang Los Stang perwujudan dan mewujud adalah tindakan paralel yang berkesinambungan tanpa jeda.” Alit menyebutnya sebagai laku seni, menurutnya, unsur-unsur laku seni tersebut mudah dipahami namun sulit dilaksanakan, maka perlu dibutuhkan keikhlasan yang maksimal dan tak terpernamai bagi pelakunya. “Pada intinya wayang Los Stang adalah manifestasi dari ke-los-stangan itu sendiri yang merupakan puncak dari segala ikhtiar berkesenian dewasa ini.”, tambah Alit.

Secara lebih khusus Samuel Indratma menyampaikan, “Pameran Los Stang kali ini aku persembahkan untuk dua anak perempuanku, Ilen Atine Gusti dan Nyala Aurane Gusti”. Beragam karya wayang bakal dipamerkan, tema dan ketokohan figur-figur wayang banyak diinspirasi dari aktivitas sehari-hari Samuel bersama anak-anaknya. Pameran akan dibuka pada 3 November 2017, mulai jam 19.00, dengan menampilkan performance musik eksperimen Ikhlas Experience.

SURPRISE 11 “Avant-Garde” at Bale Banjar Sangkring

index

SURPRISE 11
“Avant-Garde”

At Bale Banjar Sangkring
23-26 Oktober 2017
Have fun your experience

Day 1: 23 Oktober 2017 – start 18.30 WIB
OPENING CEREMONY
-Shadow batik
-Fashion show
-Musik etnis
-Keroncongan
-Sasenigaya
-Yessy yoanne
-Ardo tong

Day 2 : 24 Oktober 2017 – start 09.00 WIB at kampus isi Yogyakarta
SEMINAR :
-“how to survive” -“creative indie market steps”
Houze of piratez ( Oky Rey Montha )
Indieguerillas ( Santi ariestyowati )

Day 2 : 24 Oktober 2017
Start : 09.00-12.00 WIB
Gedung ajiyasa FSR ISI Yogyakarta – WORKSHOP
– Terrarium with Taman Kecil – eco Print with Novi Bamboo ( ecoprint Indonesia)
– Resin Bening With Cleanmix ( HTM 40 K )
Day 2 : 24 Oktober 2017
Start : 13.00-17.00 WIB
Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta

Day 3 : 25 Oktober 2017
At ISI Yogyakarta
– Bedah Karya
– Diskusi FKMKI
– Gala Dinner
– Perform Delegasi

Day 4 : 26 Oktober 2017
At Bale Banjar Sangkring
Music performance:
– City tour
– Closing
– Mamahima
– TCRS
– Kopi loewak
– Kavaleri
– Half Eleven pm

Closing Party by:
– DJ sanjonas

Share your experience with #11surprise ?

Panitia pameran Surprise 2017 memilih judul Vantguardindies sebagai provokasi untuk para peserta pameran dalam menciptakan karya kriya. Terma ini diambil dari kata avant garde dan indies. Avant garde dalam bahasa Perancis secara literal berarti garda depan.  Dalam seni, pengertian avant garde (vanguard) merujuk kepada orang atau karya yang eksperimental, inovatif, dan menunjukkan perlawanan terhadap batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu kebudayaan.

Kata “Indies” diambil dari penyebutan nama Indonesia pada masa kolonial yang dalam konteks produksi kebudayaan mewantah pada apa yang disebut sebagai ‘kebudayaan indies’. Daerah kepulauan Indonesia dahulu disebut pula dengan nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelagol’Archipel Indien),  Hindia Timur (Oost IndieEast Indies, Indes Orientales), atau “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais). Secara politis dibawah jajajah Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda).

Terbentuknya negara Republik Indonesia tidak lepas dari fase kolonialisme Belanda pasca surutnya kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kolonialisme tidak saja merupakan praktik penjajahan politik dan ekonomi, tetapi juga melahirkan bentuk-bentuk akulturasi budaya antara timur-selatan (Nusantara) dengan Barat. Perkawinan budaya yang disebut kebudayaan indies itu turut memberi pengaruh terhadap lingkungan kesenian Indonesia yang kita kenal sekarang, termasuk dalam perkembangan seni, termasuk kriya.

Vanguardindies membuka secara luas bagi para kreator kriya dari berbagai perguruan tinggi peserta pameran Surprise, untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan mutakhir dalam kriya yang dapat menggambarkan semangat inovatif, eksperimental, dan melampaui batasan konvensi kriya pada umumnya. Penjelajahan kreatif itu tetap menekankan pentingnya identitas yang berelasi dengan kesadaran akan latar sejarah dan kebudayaan masing-masing peserta. Dengan kata lain kesadaran akan identitas itu dapat secara kreatif termanifestasikan dalam gagasan-gagasan dan praktik karya yang aktual dan kontekstual. Semangat kreatif ini tidak lantas meninggalkan sama sekali jejak warisan praktik kekriyaan di Nusantara, terkait dengan teknik, media, ataupun motif dan ragam hias. Hal-hal tersebut sebenarnya sudah menjadi bagian penting dalam proses berkriya sejak ribuan tahun yang lalu.

Vanguardindies juga mengisyaratkan keterbukaan yang lebih cair antara kriya dengan praktik kebudayaan masyarakat sehari-sehari, seperti ekspresi masyarakat dalam karnaval dan festival rakyat. Dalam sebuah festival, kriya menjadi bagian penting ekspresi masyarakatnya, seperti busana, perangkat upacara, dan sebagainya. Bentuk busana karnaval memiliki unsur-unsur yang tidak umum, bentuknya indah, megah, nonkonvensional, berunsur budaya dan seringkali tidak masuk akal. Busana karnaval bukan busana yang umum digunakan dalam keseharian masyarakat, sehingga apabila ada masyarakat yang menggunakan busana karnaval dalam kehidupan sehari-harinya, otomatis dia akan menjadi pusat perhatian dan kebingungan masyarakat. Walaupun begitu busana karnaval menjadi agenda wajib yang ditunggu-tunggu masyarakat tiap tahunnya. Mereka merindukan ketidak-wajaran yang disajikan dari pembuat busana karnaval tiap tahunnya, keinginan untuk terkejut oleh kreativitas pencipta busana karnaval dengan segala gagasannya tanpa meninggalkan unsur budaya. Hal ini juga serupa ogoh-ogoh di Bali, festival bola api Jepara, dan Reog Ponorogo. (Rain Rosidi)

Sangkring Art Space at Art Stage Jakarta

image5

Established on May 31, 2007, the gallery embrace and invite many art in various spaces. Various art practices are held and displayed, the differences and experiments of creativity are equally high. Stabile with slogan “the old respected, the young appreciated, the fringe is noticed and the alternatives are given the opportunity to both work”. Sangkring Art open itself as a friendly gallery and open to anyone.

Sangkring name taken from the founder’s ancestor, Putu Sutawijaya. The word is deliberately chosen with the consideration that the name can be a spirit between the self with the past, as well as the motivation to step in the creative process in the art world.

The gallery facilities are offered with a variety of showrooms. Sangkring Art Space, the space accommodates conventional art exhibitions by represen­tative artists. Sangkring Art Project, the space puts forward the art project of experimental artists from various backgrounds, including age and discipline. Bale Banjar Sangkring, the gallery is adapted from the local spirit of Balinese society brought by Putu Sutawijaya and intended as public space. A meeting room that anyone can access, an art activist dialogue room that opens up pos­sibilities for everything, it run with an educative spirit. Sangkring also present other facilities such as Library and Art Shop, Home Stay, Warung Sangkring and Music Studio.


maxresdefault ok

As the bridge between the global art world and Southeast Asia’s largest and most dynamic contemporary art scene, ART STAGE Jakarta is the world’s platform  to discover and engage with Indonesia’s artists, collectors and galleries.

download catalogue exhibition at Art Stage Jakarta

https://goo.gl/3FtVn3

Purpose, Pameran Kelompok Semut

unnamed (1)

PURPOSE

Pematung:

Dedy Maryadi, I Nyoman Agus Wijaya, Khusna Hardiyanto, Ostheo Andre, Rizal Kethis, Yusup Dilogo.

Para pematung dalam kelompok Semut ini merupakan generasi yang dibesarkan setelah perdebatan mengenai seni kontemporer berulangkali dipanggungkan di medan wacana seni. Mereka hadir setelah generasi pematung Indonesia sebelumnya seperti Anusapati, Hedi Hariyanto, Ichwan Noor, Awan Simatupang, Joko Apriyanto, dan lain-lain, yang tetap memilih seni patung sebagai media ekspresi di tengah kaburnya batas-batas seni rupa. Pilihan seperti itu bukan berarti mereka acuh terhadap perkembangan wacana kontemporer, tetapi justru memiliki kesadaran bahwa patung masih memiliki tempat dalam medan seni, namun dengan kesadaran dan cara pandang yang berbeda.
Perbedaan cara pandang terhadap patung itu, dipengaruhi oleh kesadaran bahwa patung tidak lagi berkembang secara otonom dalam medan sosialnya sendiri, namun juga terpengaruh atau bahkan bersilangan dengan bentuk-bentuk ekspresi lain, seperti objek, seni instalasi, teknologi, lukisan, seni grafis, disain, arsitektur, media baru, dan sebagainya.

Para pematung yang rata-rata memiliki rentang usia antara menjelang 30an tahun hingga 35an tahun ini secara akademis menempuh studi mengenai seni patung di ISI Yogyakarta. Namun mereka juga dibesarkan dalam kancah seni rupa di Yogyakarta yang secara dinamis berdialog dengan bentuk ekspresi seni lain. Dinamika di luar tembok studio itu, berpengaruh pula pada apa yang terjadi dalam studio masing-masing pematung. Mereka memiliki kekhasan tertentu dalam karya-karya mereka, karena ruang studio secara tidak langsung menjadi salah satu aspek yang membangun karakter karya mereka. Peralatan, kemampuan mengolah material, dan kapasitas studio mereka menjadi bagian penting dalam lahirnya karya-karya para pematung muda ini.

Dalam pameran ini, keenam pematung ini menggunakan ruang-ruang tersendiri untuk membangun secara utuh gagasan mereka masing-masing. Masing-masing pematung diberi keleluasan untuk membangun gaya penyajian di setiap ruang. Keleluasaan ini memberikan peluang bagi masing-masing pematung untuk membangun kesadaran bahwa salah satu aspek penting dalam karya patung adalah presentasi karya itu sendiri. Sebuah karya tidak cukup diselesaikan dalam ruang studio, tetapi juga memerlukan perlakuan khusus sampai pada format display penyajian karya sebagai bagian dari konsep seni mereka. Dalam ruang galeri kita akan melihat bagaimana mereka memilih cara penyajian yang berbeda, dengan memanfaatkan dinding ruang, lantai galeri, menggantung karya, atau menggunakan setumpu untuk patungnya. Purpose menjadi semacam ruang eksperimen kreatif para pematung ini dalam memanfaatkan ruang untuk menyajikan karya patungnya, selaras dengan gagasan yang hendak mereka sampaikan, mulai dari isu identitas budaya, teknologi, lingkungan alam, hingga tubuh dan kejiwaan manusia.

Rain Rosidi

 

Adu Domba #6, Yaksa Agus vs Luddy Astaghis

unnamed

Permainan (dan) Selera

Oleh Ida Fitri

Seri Pameran Adu Domba a la Sangkring Art Space telah memasuki putaran yang ke-6. Perlu menarik ingatan kembali bahwa perhelatan ini merupakan simulasi –meniru situasi adu domba, untuk mengetengahkan dua perupa dalam satu arena pameran. Karena bukan kompetisi, maka kemampuan teknis dan ketajaman konsep yang diadu bukan untuk memunculkan pemenang dan menyingkirkan yang kalah, melainkan untuk memberikan kondisi bagi seniman untuk siaga berkarya dan siap berwacana.

Pameran Adu Domba seri ke-6 menampilkan lukisan-lukisan Yaksa Agus dan Luddy Astaghis, dua perupa yang berbeda gaya melukis (how to say) dan berbeda penggunaan bahasa visualnya untuk menyampaikan pesan (what to say). Namun keduanya sama sepakat bahwa karya rupa tak bisa berdiri sendiri tanpa konteks sosial atau imun dari problematika kehidupan sehari-hari.

Yaksa:

Berpijak dari ajaran Jawa dari R.M. Panji Sosrokartono “menang tanpa ngasorake”, bahwa kontestasi  bukan sekedar perkara menang dan kalah, tetapi hendaknya juga menghidupi moralitas tentang bagaimana bersikap ksatria, jika menang maka tidak untuk merendahkan yang kalah. Untuk itu Yaksa lebih memilih dam-daman sebagai wahana kontestasi dalam karya-karyanya kali ini ketimbang jenis permainan tradisional yang lain.

Berbeda dengan catur, permainan yang dalam bahasa lain dikenal sebagai bas-basan atau checker ini, mengalahkan lawan dengan lebih santun. Tujuannya tidak untuk menyingkirkan lawan demi mendapatkan posisi atau ruang yang diinginkan, tetapi mesti cerdik dengan melampauinya. Demikian moralitas yang diajarkan dalam permainan tradisional ini, dan begitu pula pesan yang ingin disampaikan oleh Yaksa dalam lukisan-lukisan akrilik di atas kanvasnya. Ia membuatnya dalam dua sekuel yang masing-masing terdiri dari tiga panil. Seri pertama berjudul “Kopi Darat” yang masing-masing berukuran 100 Cm X 310 Cm. Tiga panil ini merupakan gambaran ruang interaksinya bersama Goenawan Mohamad, yang ditampilkan sebagai pria berbaju dan bercelana putih sedang duduk menghadap ke arah pembaca lukisan, dan di sampingnya tergelar papan dam-daman. Di ujung yang lain dari papan permainan tampak Yaksa sendiri sebagai lawannya. Pada suatu kesempatan GM –demikian sebutannya, pernah mengatakan bahwa jika dengan menggambar dan berpameran tidak laku maka ia akan kembali menulis. Pernyataan ini memberikan ide untuk berseloroh tentang dirinya, bahwa menulis itu sebagian ekspresi saja, sedangkan menulis dan melukis, keduanya sama-sama dilakukan.

Tiga lukisan dengan judul yang sama “Kopi Cangkir Blirik”, masing-masing berdimensi 145 Cm X 100 Cm, menjadi gambar permainan dam-daman Yaksa dengan tokoh seni rupa lainnya di Yogyakarta. “Kopi Cangkir Blirik #1” melawan Djoko Pekik yang lukisannya berjudul “Hari Pahlawan 10 November” dibuat tahun 2014 menjadi pemantik ide mengangkat dam-daman ke dalam Adu Domba #6. Sedangkan “Kopi Cangkir Blirik #2 merupakan momen ia melawan Heri Dono yang hanya terlihat gestur tubuh bagian belakangnya saja. Nasirun pun dilawannya di lukisan “Kopi Cangkir Blirik #3”. Ketiga seri ini merepresentasikan arena seni rupa Indonesia, di mana seorang perupa berkontestasi dengan perupa yang lain. Namun dari sekian banyak macam jenis kontestasi, Yaksa memilih karakter dam-daman, alih-alih pertandingan catur, sebagai metafora.

Di permainan dam-daman, setiap bidak menempati kedudukan dan menggenggam hak yang sama, tidak seperti biji-biji catur yang berperan dengan susunan hierarkis yang kedudukannya menentukan pola langkah tertentu. Dengan semangat egaliter, setiap orang atau bidak hanya bisa melangkah satu langkah saja, yaitu maju, mundur, kiri, kanan, atau serong sesuai dengan garis jalannya. Ada kesempatan menyingkirkan atau memakan musuh, namun tidak secara langsung. Hanya bisa melompati atau melewati tanpa merebut kedudukannya.

Yaksa mengasumsikan dirinya sebagai bidak di papan dam-daman yang bergerak melompati bidak lawannya untuk menang. Sebagai seniman, ia tak perlu menempati posisi perupa lain dengan cara menjatuhkan. Setiap perupa hanya perlu strategi yang terukur untuk melampaui perupa lainnya, bukan menyingkirkannya dari posisi yang telah diperjuangkan.

“Kopi Hari Ini” berukuran 140 Cm X 100 Cm dengan medium cat akrilik di atas kanvas, merupakan karya yang berbeda namun menampilkan satu subyek yang hadir di seluruh karya Yaksa, yaitu kopi. Secangkir kopi dianggap sebagai alat strategi sosial yang lunak di tengah papan percaturan hidup yang makin keras. Karena, secangkir kopi selalu layak mendampingi pertemuan-pertemuan, yang menghubungkan diri dengan orang lain, di ruang tamu, angkringan, pos ronda, café, di manapun. “Pertemuan” 145 Cm X 180 Cm merupakan deskripsi dari keterhubungan satu manusia dengan manusia lain tersebut untuk membentuk ikatan sosial.

Yaksa Agus, pelukis cum penulis dan kurator seni rupa ini memanisfestasikan wacana yang penting dalam situasi politik, ekonomi dan sosial saat sekarang ini ke dalam gaya melukis yang segar dan cenderung bermain-main. Di saat strategi licik penuh tipu daya menjadi panglima, dan upaya mengaburkan kebenaran dengan wacana yang seolah benar diviralkan tak terbendung, Yaksa menawarkan strategi bermain di arena sosial secara santun, yang bisa diinisiasi kembali dari permainan tradisional dam-daman.

 Luddy Astaghis

Tiga seri panil masing-masing berukuran 37 Cm X 129,5 Cm dengan cat akrilik di atas kanvas berjudul “Kamu Suka Yang Mana?” merupakan pertanyaan sekaligus tawaran Luddy sebagai pelukis kepada para penikmat seni untuk mempersoalkan selera. Pria yang pernah menerima penghargaan Pratisara Affandi Adi Karya Yogyakarta dan Indofood Art Award tahun 2002 ini membuat ketiga panil tersebut dengan narasi yang seolah berlapis-lapis. Seri “Kamu Suka Yang Mana” #1, terdiri dari tiga lapis narasi yaitu sepotong kepala ikan berkualitas fotografis, dua figur berhadapan berkarakter karikatur dan lapis ketiga berupa lukisan monokrom biru sebagai latar. “Kamu Suka Yang Mana” #2 merupakan tiga lapis kesatuan antara ayam panggang tampak seperti foto, dua figur karikatur dan latar berwarna monokrom salem. Sementara yang terakhir “Kamu Suka Yang Mana” #3 adalah rangkaian lapisan apel hijau, tiga orang figur dengan latar monokrom hijau.

Kepala ikan, ayam panggang dan apel hijau, masing-masing dimaksudkan oleh Luddy sebagai representasi simbolik dari selera. Dari sekian banyak hal tersedia, mengapa orang memilih yang berbeda dengan orang lain? Apa yang membuat selera satu orang dengan lainnya tidak sama? Mengapa Luddy menggunakan apel, ayam panggang dan kepala ikan sebagai preferensinya sendiri dari sekian banyak hal yang sebenarnya mampu mewakili wacana yang sedang diangkatnya, yaitu selera?

Studi tentang selera dan diskursus yang berkembang telah cukup tua dipelajari orang. Kant menyatakan bahwa selera adalah murni tanpa kepentingan dan tujuan, serta niscaya. Tetapi Bourdieu dalam surveinya yang panjang berhasil menganalisis bahwa selera, termasuk preferensi terhadap seni, dikonstruksi secara sosial dan merupakan produk adanya perbedaan kelas. Ia membedakan kelas selera tinggi atau aristokrat, dengan selera popular atau jelata. Kelas selera tinggi memandang dari aspek estetika semata yaitu bentuk dan perspektif, yang dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan. Sehingga ia berjarak dan meniadakan kondisi obyektifnya. Sedangkan selera populer atau jelata berkembang lebih alamiah akibat persentuhan obyek tersebut dengan kehidupan sehari-hari, sehingga lebih dibaca atau dipahami kualitas fungsinya ketimbang aspek dekorasinya.

Lebih jauh Bourdieu menyimpulkan bahwa selera merupakan relasi antara habitus, kapital dan arena sosial. Sehingga selera bukan sesuatu yang personal atau privat dan berorientasi pribadi, melainkan penanda orientasi sosial. Jika selera konsumsi seseorang menunjuk pada apel ketimbang ayam panggang dan ikan sebagai preferensi, maka sesungguhnya ia tidak sedang memilih secara bebas. Secara sederhana, pilihannya ini terbentuk dari produksi interaksi antara tiga hal tersebut: pola perilaku (habitus) tertentu, mungkin telah sejak lama mendapatkan manfaat mengkonsumsi apel bagi tubuh; kapital (sosial, budaya, ekonomi, politik) mungkin secara ekonomi mampu membeli; dan arena sosial di mana individu ini mungkin berada di lingkungan vegetarian.

Masih melanjutkan membincang selera, enam lukisan “Ingkung” berukuran 28 Cm X 29 Cm memberikan hanya satu pilihan saja, yaitu ayam ingkung tetapi dengan beragam warna. Abu-abu, kuning, fuchsia, hijau, salem, dan biru, mencolok mata karena berada di antara lukisan cat akrilik berwarna perak di atas kanvas. Bagi Luddy, ingkung atau ayam yang dimasak utuh seluruh badan itu sarat dengan muatan makna. Ia muncul setiap kali acara-acara penting digelar untuk mengungkapkan rasa syukur (Syukuran), mengharap keselamatan (Slametan), atau acara-acara baik lain yang biasa disebut Kenduri atau Kenduren. Setelah doa dipanjatkan, biasanya Ingkung dikepung peserta acara untuk dimakan bersama-sama. Hal ini dilihatnya sebagai simbol kebersamaan dan bisa mewakili selera semua golongan karena tak mengenal strata sosial. Dalam level ini, Luddy menyodorkan fakta lain, meskipun muncul ide untuk mengelompokkan orang-orang dengan selera yang sama –yaitu terhadap Ingkung, namun sesungguhnya preferensi setiap individu terhadap detail pun mustahil sama, entah rasa, warna, tekstur, aroma dan derajat perbedaan selera lainnya.

Di karyanyanya yang lain “Pecinta Ikan Koki” berukuran 145 Cm X 200 Cm menggunakan cat akrilik di atas kanvas, Luddy menggiring ke alam imajinasi. Ia melukis banyak hal di dalam satu bidang kanvas yang terbuka untuk diterjemahkan, teks-teks berupa subyek-subyek yang lepas menggugah para pembaca karyanya untuk mencoba menemukan sendiri kaitan-kaitannya dalam konteks yang melingkupi.

Dengan kompleksitas yang berkelindan seperti di atas, Luddy menggelitik kesadaran kita bahwa selera orang niscaya berbeda karena konstruksi sosial yang melatarinya pun berbeda. Dengan cara bagaimana kita akan melihat karya Luddy? Dengan selera tinggi atau rendah? Apakah kita akan membacanya dengan kacamata yang hanya melihat forma estetis (perspektif dan bentuk) atau mengapresiasi fungsinya sebagai bahasa ungkap realitas sosial yang ada di sekiling kita? Distingsi tinggi-rendah ini mungkin tak bisa kita abaikan, tapi kita tak harus tunduk padanya. Sebab kita bisa mengapresiasi karya Luddy secara tinggi dan rendah, dari forma estetis sekaligus fungsinya.