Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-11,page-paged-11,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Mobilitas Tourism by I Gede Oka Astawa @ SAP

Exhibition : Mobilitas Tourism

Artist : I Gede Oka Astawa

Opening ceremonial : Selasa, 6 Oktober 2015

Opening by : Mikke Susanto

Organizer by : Oka Art Peoject 2015

 

Mobilitas Taourism

Citra popular tentang Bali “tradisional” sebagai “sorga terakhir” telah dilanggengkan dan dieksploitasi oleh sederet pemerintah, baik Belanda maupun Indonesia, dan oleh partai-partai dan para pemimpin politik yang berkepentingan atau menciptakan “tradisi” yang sepenuhnya baru dan lebih sesuai dengan kepentingan pribadi, politik atau kelas mereka. Citra ini digenjot oleh industri pariwisata multijutaan-dollar, yang menemukan skema yang menguntungkan dalam “tradisi” Bali.

Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pembangunan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya.

Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi ojek budaya, atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata.

Operasi kekuasaan dalam memanfaatkan “kebudayaan bali” sebagai nilai berharga menghasilkan sebuah kesan menjadikan Bali sebagai “museum hidup seni dan kebudayaan” dengan gincu dan pemanis bernama industri pariwisata yang menjanjikan kehidupan glamour pada rakyat Bali. Rezim Orde Baru dengan bujuk rayunya itu masuk dalam operasi kuasa disetiap jengkal kehidupan rakyat Bali yang paling privat. Operasi kekuasaan itu hadir lewat agensi manusia-manusia Orde Baru lewat desa adat bahkan keluarga.

Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para toris. Tidak salah memang, pembangunan dan pariwisata memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru sampai dengan saat ini.

ADU KARYA DUA DOMBA

Sangkring Art Project menggelar pameran berjudul “Adu Domba” untuk kali pertama. Sebuah program baru yang bakal digelar setiap tiga bulan sekali selama dua tahun kedepan. Kelak, program yang berhasil dijalankan akan menjadi bagian dari proyek dokumentasi dalam rangka perayaan 10 tahun galeri Sangkring.

Sebanyak 12 karya menghiasi galeri Sangkring Art Project selama kurun waktu 25 Agustus sampai dengan 8 September 2015. Ada lukisan dengan mengambil objek berupa figur yang terbuat dari tanah liat. Sejumlah patung ukuran kecil dari tanah liat turut hadir berderet, yang juga sebagai objek dari lukisan itu sendiri. Karya tersebut dibuat oleh I Made Agus Darmika atau yang lebih akrab di panggil ‘Solar’. Karya berikutnya berupa kumpulan titik dan garis-garis. Saling melintang terkadang melengkung, namun seirama,  juga mengambil warna yang cenderung terang. Terdapat motif seperti yang sering kita jumpai pada anyaman, bisa juga kemeja atau sarung. Karya kedua dikerjakan oleh Putu Sastra Wibawa. Pameran sengaja digelar dalam rangka pemenuhan program galeri berjudul “Adu Domba #1”. Selama pameran berlangsung, keduanya, Solar dan Sastra tak ubahnya domba yang sedang di adu.

Perhelatan ini sukses digelar tanpa ada pihak yang menjadi korban atau dikalahkan. Gelaran ini sesungguhnya menjadi kemenangan sekaligus kekalahan bersama. Sebab seri pameran Adu Domba ini hanyalah rangkaian simulasi yang diinisiasi oleh Sangkring Art Project. Dalam pengantarnya, Ida Fitri, penulis pameran, menyampaikan “Seri pameran ini justru bermaksud memunculkan karakter dan kualitas pengkaryaan yang tangguh. Sebab dalam satu pameran, dua perupa akan mengasah konsep, menguji kemampuan teknik dan mempertaruhkan karya visual masing-masing untuk dipertandingkan dalam ruang pameran yang terbuka.” Jika kita melihat lebih jauh lagi, seringkali dalam laku adu domba terdapat persaingan yang keras, lalu masing-masing pihak mengerahkan kekuatan sebisa mungkin. Atmosfer inilah yang hendak panitia hadirkan dalam proses pengkaryaan peserta pameran.

Hadirnya ruang Sangkring Art Project memang sengaja untuk membuka kemungkinan bagi para perupa dan penghayat seni dalam melakukan eksplorasi artistik dan produksi pengetahuan. Bentuknya bisa pameran, pengkajian estetika dan riset visual. Adu Domba berangkat dari rancangan itu. Dalam kesempatan ini menghadirkan perupa yang boleh dibilang masih baru dalam memulai karir keseniannya. Solar dan Sastra, keduanya juga tercatat sebagai mahasiswa akhir di kampus ISI Yogyakarta jurusan Seni Lukis. Mereka juga berasal dari tempat lahir yang sama, Bali. Titik utama Adu Domba adalah melibatkan dua seniman yang bisa di kata sepadan, baik karya dan kesenimanan-nya. Sementara, Ida Fitri dipilih sebagai penulis yang memiliki latar belakang mahasiswa CRCS UGM juga penyiar radio Sonora FM. Ia menyajikan karya tulis yang khas dengan sudut pandang ilmu sosial. Disinilah eksperimen terbentuk. Satu sama lain saling berbagi dan mengisi.

Pada malam pembukaan, seremonial dipimpin oleh Samuel Indratma. Ia mengantarkan upacara pembukaan yang justru sama menariknya dengan karya pameran. Atmosfer humor sekaligus provokatif mengalir, dibungkus dengan gimmick panggung yang responsif, misal seperti saat kedua perupa dipanggil ke depan untuk saling beradu arguman, tentu dengan pertanyaan yang tidak umum. Tersimpul bahwa pameran berlangsung bukanlah bentuk perayaan, namun ujian. Berikutnya, Putu Sutawijawa turut memberikan sambutan mewakili galeri. Ia mengungkapkan latar belakang hadirnya pameran.  Suatu kisah tersampaikan, sebenarnya Adu Domba adalah hal yang selalu ada tanpa kita sadari, hampir di berbagai aspek kehidupan. “Saya terinspirasi ketika bermain jejaring sosial, saat itu saya dan teman-teman (Folk Mataraman Institute) membuat turnamen berhadiah dua ekor ayam, yaitu dengan melakukan sesuatu di dunia kreatifitas.” ucap Putu. Pemilik Galeri Sangkring ini melihat bahwa  proses itu justu menghasilkan hal luar biasa, “Ada sikap berfikir dengan cara main-main, akhirnya kenapa tidak dijadikan konsep berkarya saja, agar bisa naik kualitasnya, karena kebetulan kami punya ruang”. Pemilihan nama ‘domba’ sendiri agar terlihat lebih elegan, jika mau dibandingkan dengan ayam. “Kita memang terlihat selalu banyak gojeknya, tapi kita berfikir terbalik, dari gojek jadi serius” tutup Putu.

Pameran dibuka oleh Edi Sunaryo, seniman yang juga staf pengajar Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta. Sebelumnya, ia memberi sambutan, menyampaikan perihal proses kreatif di berbagai lapangan, dari perupa berumur sampai pemula. Ia juga merasa spesial dengan karya yang hadir, di mana menurutnya punya potensi berbahaya. Lebih dari itu, juga menyinggung soal pendidikan. “Aktifitas galeri seni juga sebagai pendidikan alternatif sekaligus praktik langsung karir kesenimanan. Seperti menyiapkan pameran dengan matang, dan bekerja bersama kurator maupun publik”. Lebih dari itu, Edi Sunaryo juga terbuka dengan berbagai masukan tentang wacana di luar kampus, nantinya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pendidikan formal. Ida Fitri juga turut memberikan sedikit sambutan, ia menyampaikan bahwa gelaran memang meniru situasi adu domba. “Dengan ini, jika para perupa suatu saat menghadapi, berkontestasi, kemudian mendapatkan pertentangan. Maka dapat menyikapi hal tersebut dengan cara  elegan.”

Terselenggaranya pameran Adu Domba memiliki kesan tersendiri bagi Sastra. Dapat berpameran di galeri Sangkring merupakan kebanggaan tersendiri, sesuatu yang luar biasa. “Sebagai perupa muda, ruang seperti ini sangat perlu dihidupkan. Banyak pelajaran dan pengalaman yang menarik ketika saya pameran di Sangkring.” ucap perupa yang pernah meraih “Best Award 1st Painting Dies Natalis XXXI ISI Yogyakarta 2015”. Galeri Sangkring bekerja dengan professional, menempatkan orang-orang sesuai bidangnya, dari pendisplay juga update informasi seputar pameran. “Saya sangat dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang ada, terima kasih atas kerjasamanya dalam pameran” terangnya. Sementara bagi Solar, sebagai rival ia menyatakan “Melalui program Adu Domba, Sangkring telah mendukung ekspresi bagi perupa muda, dan cukup kreatif untuk memacu semangat perupa muda secara total, demi berkembangnya gagasan-gagassan baru.” Kinerja manajemen  baik, dengan sigap menerima informasi yg di butuhkan seniman. “Dan yang paling oke adalah kinerja tim display yang cekatan, rapi dan profesional.”

Menilik Gelaran Adu Domba 1 yang diikuti oleh dua perupa Bali, terlihat kedua perupa memiliki kecenderungan dalam mengeksplor ke-bali-annya, baik secara tersirat maupun tersurat. Seolah Bali dengan segala daya hidupnya, baik sebagai ide juga realitas merupakan materi yang tak pernah habis untuk digali. Dalam hal ini terlihat bagaimana karya Sastra Wibawa menghadirkan alam bali melalui garis dan titiknya. Begitu juga Agus Darmika, menyandingkan tanah liat yang merepresentasikan rasa cinta kepada ibu, dan segala cerita – kebiasaan di Bali, terutama di masa lampau. Sementara, pertimbangan estetika karya menjadi perhatian tersendiri, terlihat molek dan jinak. Perjalanan Adu domba tahap pertama menjadi rangkuman mengenai ruang eksperimen, persilangan disiplin ilmu, kecenderungan karya, dan juga upaya alternatif dalam rangka memberikan ‘sesuatu’ bagi dunia seni rupa. Sangkring masih terus mencari domba dan membuka pintu lebar bagi publik yang ingin turut serta. (Sangkring/ Huhum Hambilly)

 

Bingkai Gerak dan Suara, Noella Roos

Selama tanggal 14 hingga 31 Agustus 2015, Sangkring Art Space menggelar pameran bertajuk “Between The Lines” karya seniman Noella Roos. Pada malam pembukaan turut dihadirkan ‘Live Art Performance’. Sebuah pertunjukan hasil kerja tiga wilayah seni: rupa, tari dan musik.

 

Di galeri seluas 200 meter persegi itu, panggung dan ruang pamer nampak gelap. Perlahan terdengar suara dari gesekan senar contra bass. Terdapat sebuah papan putih dengan memanfaatkan bola sebagai penyangga. Di atasnya, tubuh serba putih meliuk gemulai, menari bebas sembari tetap menjaga keseimbangan. Sementara seorang perempuan tengah menghadap papan gambar berbekal charcoal. Menikmati suara dan memperhatikan penari, ia hanyut dalam momen. Lampu mulai menyala remang, ketiganya saling menghayati satu sama lain.

Pertunjukan tersebut ditampilkan oleh Fendy Rizk pemain contra bass, Ari Rudenko penari, dan Noella Roos penggambar. Live Art Perform merupakan bagian dari pameran tunggal Noella Roos bertajuk “Between The Lines”. Noella Roos (46), adalah perempuan berkebangsaan Belanda yang sudah 5 tahun menetap di Ubud, Bali. Pameran bermaksud mengungkapkan ekspresi, sensualitas, kehidupan dan emosi yang hadir di antara garis pada setiap karyanya. Pameran menghadirkan 20 karya besar berukuran 150cm x 180cm, juga dua film dokumenter mengenai proses pengkaryaan. Ini merupakan pameran tunggal pertamanya selama ia tinggal di Indonesia. Pameran sengaja di kemas dengan tour, sebelumnya ia telah memamerkan di Cemara Galeri, Jakarta pada Juli 2015.

Tari, musik dan gambar adalah tiga wilayah berbeda yang ingin ditampilkan Noella dalam satu karya seni. Karya yang digambar dalam pameran adalah objek bergerak. Seniman ini memiliki cara tersendiri, ia sengaja tidak melakukan kontak percakapan dan tidak mengarahkan gaya apapun. Proses ini sama persis ketika dihadirkan bersama musik. Jadi hasil gambar bukanlah dokumentasi dari tari ataupun musik. Namun karya gambar adalah hasil kerja bersama, baik dengan pemusik maupun penari. Mereka saling berbagai energi dengan porsi yang sama. Jika di Bali kita mengenal Taksu, maka proses pengkaryaannya bisa diibaratkan demikian. Proses menggambar menjangkit wilayah trance untuk beberapa saat. Ketika energi hadir padanya, juga satu sama lain. Semua akan berjalan selaras, jika musik bermain lembut, maka penari bergerak dengan pelan, begitu juga menggambar dengan lebih tenang. Namun di saat musik lebih keras, keduanya akan tampil semakin ekspresif. Uniknya tak pernah dapat di duga kapan momen pelan dan keras akan terjadi. Seolah seperti dikendalikan oleh kekuatan lain.

Perempuan kelahiran Amsterdam ini menaruh ketertarikan khusus kepada dunia tari, terlihat dari karya lukis yang ia kerjakan semenjak tahun 1998. Ia banyak menghadirkan gambar penari, baik tradisional maupun kontemporer. Dihadirkan dalam bentuk potret yang tidak begitu ekspresif. Khasnya, menggunakan background kosong nan gelap. Hal ini menurutnya, dengan tujuan agar ia dapat menjelajahi dunia batin si obyek. Noella sangat merasakan bahwa sebuah tarian menggambarkan kehidupan nyata, ”Ibarat kehilangan seorang kekasih, pasti ada awal di mana ada argumen terlebih dahulu, lalu pertengkaran dan lain sebagainya.” ungkapnya. Bahkan selama dua tahun ia mengikuti kehidupan penari dan turut beraktifitas dalam kehidupan tari. Ia juga belajar menari untuk karya lukisnya.

Menurutnya, arena tari adalah hal personal. Ketika melihat orang menari, Noella merasa sedang berkomunikasi. Gerakan tari sebagai komunikasi yang sangat personal. Ia mengibaratkan “Jika anda menyuruh seseorang duduk, ia akan duduk tegap. Namun ketika seorang penari anda suruh duduk, penari itu akan memberikan arti sendiri lewat cara dia duduk.” Mengenai pengaruh ke-indonesiaan dalam karyanya, ia menjawab “Aku tidak memutuskan menghadirkan tema tentang Indonesia, meskipun beberapa gambar berisi para penari tradisional, aku lebih nyaman untuk menjadikan tema karya sebagai bagian dari personalitas atas tarian.” Sejauh pengalamannya melukis, justru Noella selalu merasa kalau lukisan yang ia ciptakan adalah untuk orang lain.

Proses kerja dari karya yang dipamerkan telah memakan waktu selama dua tahun. Ia menyisihkan porsi waktu selama 4 jam dalam sehari untuk melihat, merasakan, dan kontak langsung dengan penarinya. Dua jam pertama, ia menonton. Dua jam selanjutnya ia berkoneksi, bertukar energi “Taksu” (menggambar). Ketika proses tersebut dihadirkan secara live Ia mendapat banyak kejutan. Bulan lalu pada saat perform di Jakarta, pengunjung sampai ada yang menangis. Respon ini sempat membuat heran kolaborator Fendy Risk. Ia tak pernah membayangkan jika musiknya dinikmati sedalam itu. Lain hal ketika dilangsungkan di Sangkring Art Space. Noella merasa mendapat sebuah kehormatan. Oleh karena dihadiri penari Didik Nini Thowok juga Kartika Affandi. Performance malam itu sempat mengingatkan Kartika dengan sosok maestro Affandi, beliau gemar melukis on the spot dengan begitu ekspresif.

Mengenai pemilihan lokasi pameran di Sangkring Ar Space, Noella menyampaikan pendapatnya bahwa ia merasa senang dapet berpameran di Sangkring. Meski sebelumnya ia belum begitu tahu banyak mengenai Galeri Sangkring. Bahkan ketika berkomunikasi dengan manajemen via Vi Mee Yei, ia sempat menganggap Sangkring sebagai Galeri yang terlalu komersil. Ternyata itu hanya soal miskomunikasi. Justru ketika bertemu langsung dengan pihak-pihak Sangkring ia berubah pandangan kalau Sangkring benar-benar ruang seni seperti apa yang ia harapkan. Noella mengambil kesan, kesempatan pameran di Sangkring dapat membuat karyanya menonjol. Sangkring punya posisi sendiri dalam memamerkan karya. Kinerja bagus dan di bantu tim display yang professional. Noella tidak tahu persis bagaimana pengunjung, khususnya masyarakat Jogja dapat menerima karya-nya atau tidak. Tapi yang jelas gelaran pameran di Sangkring cukup sukses baginya, dan ia merasa puas. (Sangkring/Huhum Hambilly)

ADU DOMBA #1 by I Made Agus Darmika vs Putu Sastra Wibawa @SAP

Pameran : Adu Domba #1
Oleh : I Made Agus Darmika & Putu Sastra Wibawa
Pembukaan : Selasa, 25 Agustus 2015 Jam 19.30 wib
Penulis : Ida Fitri
Pameran berlangsung : 25 Agustus – 8 September 2015

 

Adu Domba –sebuah simulasi
Ida Fitri

simulasi/si·mu·la·si/n1 metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya

Seri Pameran Adu Domba adalah rangkaian simulasi mengadu dua orang perupa dalam satu arena.Sebagai sebuah simulasi, pameran ini merupakan peragaan sesuatu dalam bentuk tiruan, mirip dengan keadaan yang sesungguhnya. Yang dimaksud dengan hal ini adalah sebuah tiruan dari situasi adu domba, yaitu Sangkring Art Project seolah-olah membuat arena untuk mengadu dua orang perupa melalui karya-karya visualnya.

Tema ini berangkat dari kesadaran bahwa dunia seni rupa tidak berbeda dengan bidang-bidang lain, di mana perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan tidak bisa dihindari. Perbedaan yang beragam itu merupakan bibit persaingan, kontestasi, perpecahan bahkan konflik. Suasana terbelah dan perilaku mengelompok yang kuat, jika tidak disikapi dengan baik akan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain dengan menggunakan mekanisme adu domba.

Aduan –apalagi adu domba, berkonotasi negatif, sebab digerakkan secara diam-diam dan licik oleh pihak ketiga dengan motivasi melemahkan dua pihak. Seperti pada zaman penjajahan, ketika adu domba dijadikan alat untuk memecah Indonesia. Saat itu kesatuan bangsa ini menjadi ancaman bagi kekuatan kolonial. Namun seri pameran ini justru bermaksud memunculkan karakter dan kualitas pengkaryaan yang tangguh. Sebab dalam satu pameran, dua perupa akan mengasah konsep, menguji kemampuan teknik dan mempertaruhkan karya visual masing-masing untuk dipertandingkan dalam ruang pameran yang terbuka.

Dalam simulasi adu domba ini, keragamantetap dibiarkan tumbuh subur. Perbedaan tidak dimatikan dengan perlombaan, yang melahirkan satu peserta menjadi pemenang tetapi peserta lainnya harus mengakui kekalahan. Selain itu, semua pihak yang terlibat sepakat dan bersedia untuk bermain dalam sebuah simulasi untuk memahami bagaimana mesti berperilaku dalam situasi adu domba.Asumsi bahwa situasi tenang, damai dan serasi cenderung membuat keadaan menjadi statis dan apatis, sehingga suasana bersaing dan berkontestasi harus selalu dipelihara untuk menyuburkan sikap kritis dan laku kreatif.

 

Adu Domba #1 – Hikayat tentang Permulaan

Darmika dan Sastra, adalah dua perupa muda yang sedang menerjemahkan permulaan. Tidak hanya karena mereka sedang memulai langkah di arena seni rupa, tetapi karena mereka meyakini bahwa pencapaian hanya bisa dimulai dengan bertekun pada yang paling mula-mula atau paling mendasar. Dengan caranya masing-masing, keduanya bergelut dengan hal-hal elementer. Jika permulaan bagi Darmika adalah tanah –seperti seorang ibu, dari mana sebuah kehidupan berawal dari rahimnya. Sementara Sastra, begitu teguh dengan titik dan garis sebagai unsur mendasar sebuah permulaan.

Karena ini mengenai permulaan langkah perupa muda yang bertarung dengan unsur-unsur paling mula-mula pula, maka menjadi tepat jika Seri Pameran Adu Domba yang diselenggarakan oleh Sangkring Art Project dimulai oleh Darmika dan Sastra.Sebuah pameran yang memberikan ruang bagi potensi yang laten bernama persaingan, kontestasi atau kompetisiuntuk dimanifestasikan dalam bentuk visual.

 

# I Made Agus Darmika a.k.a Solar

Mahasiswa Institut Seni Indonesia – Yogyakarta tingkat akhir ini telah menjatuhkan pilihan pada tanah liat sebagai media ekspresi dan eksplorasi bagi energi kreatifnya. Tanah ia yakini sebagai sebuah permulaan, awal dan sumber kehidupan seperti seorang ibu dengan rahimnya. Begitu pula dalam berkarya, tanah merupakan awal kelahirannya sebagai seniman sekaligus rahim bagi sumber inspirasi yang tak kunjung habis.

Tanah yang dianggap benda mati itu, menghidupkan segala sesuatu. Seperti mesin produksi yang menyediakan manfaat tak terbatas bagi setiap makhluk agar bisa hidup. Sehingga daur hidup manusia, tumbuhan dan hewan –lahir, tumbuh dan mati, mutlak tergantung padanya. Dari kesadaran ini, sikap kritis Darmika terbentuk, bahwa manusia tak lebih berharga dari segenggam tanah jika ia tak bermanfaat bagi makhluk lain.

Ibu, adalah sosok yang berperan dalam memperkenalkan tanah padanya. Saat masih kanak-kanak, ia memperhatikan ibunya yang membuat genteng dan barang-barang tembikar.Tanpa disadari ia telah belajar. Tanah menjadi media yang paling dekat dengan dirinya, terutama sejak ia bisa menciptakan ogoh-ogoh kecil bersama teman-teman sepermainan.

Kini, Darmika tak lagi membuat ogoh-ogoh sebagai benda mainan masa kecilnya. Ia menciptakan figur-figur tanah liat dengan melekatkannilai padanya.Narasi ia bangun dengan memindahkan figur-figurtiga dimensi dari lempung itu ke dalam kanvas menggunakan cat dan kuas. Kemampuan dalam memanfaatkan teknik gelap-terang menimbulkan tekstur semu yang seolah nyata sebagaimana tampaknya patung lempung sesungguhnya.

Dalam pameran ini, enam karyanya bisa bercerita secara linear. Diawali dengankarya berjudul “Ibu”, bernarasi mengenai ibunya yang ia anggap sebagai sebuah permulaan nyata membuatnya ada. Ia memberi nilai tertinggi untuk ibu, karena sosok ibu berperan ganda dalam karya-karya Darmika. Pertama, seperti disebutkan sebelumnya, ibu merupakan awal kehidupannya dan selanjutnya, ibu pula yang memperkenalkan pada material tanah di permulaan ia bersentuhan dengan seni.

Kemudian karya berjudul “Evolusi Tanah”, berkisah tentang perubahan yang niscaya. Seperti dirinya dan juga makhluk lainnya yang lahir, tumbuh, berkembang dan berubah dengan bergantung pada manfaat-manfaat tanah. Dalam perjalanan evolusinya, makhluk hidup tidak hanya makan dan minum seturut metabolismenya. Manusia berinteraksi dengan sesamanya dan dengan makhluk lain, yaitu siapapun dan apapun yang berbagi ruang hidup dengannya. Kehidupan bersama yang tidak selalu mudah, seringkali membuat ketegangan dan ketidaknyamanan, seperti karya berjudul “Complicated Connection”. Darmika membuat benang-benang yang terburai dari gulungannya, melingkar-lingkar dan melilit sebagai gambaran hubungan dua figur yang duduk dalam sebuah bangku kayu. Benang yang melilit-lilitrumit merupakan refleksi relasi yang tidak mudah, sehingga komunikasi dibutuhkan, yaitu melalui duduk bersama dan bercakap demi meluruskan hubungan yang kusut.

Dalam dua karya selanjutnya, Darmika melakukan eksperimen dengan menempatkan objek-objek lain selain tanah liat dalam satu bidang kanvas. Jika dalam “Complicated Connection”sebuah bangku kayu dan benang turut menjalin cerita. Namun dalam karya berikutnya, Darmika tidak hendak menceritakan tentang sesuatu. Meskipun selain figur tanah liat bermuka kuning, ia pula masukkan kursi lipat dan celengan ayam yang juga berwarna kuning ke dalam kanvas. Ayam yang menjadi tunggangan tentara itu memancing intrepretasi, tetapi sengaja dipungkas oleh Darmika dengan memberinya nama“Untitled”.

Demikian pula dengan “Head”. Dalam karya ini, ia tidak hendak menyampaikan kisah tertentu, tetapi ia maksudkan sebagai studi lanjut mengenai teknik dan bentuk yang diterapkan dalam pengkaryaan.Sesuai judulnya, Darmika hanya menampilkan bagian kepala memenuhi hampir seluruh permukaan kanvas. Di karya ini, tekstur khas tanah liat bisa sangat jelas dilihat seperti nyata. Ia melukiskan kepala dengan tanah liat yang terlihat masih basah, sehingga menampakkan bekas tekanan jari, cubitan dan goresan kuku pada wajah yang belum selesai dibuat.

Lima karya Darmika yang berbentuk dua dimensi melalui proses yang sama. Ia membuat bentuk tiga dimensinya terlebih dahulu menggunakan tanah liat yang selanjutnya ia sebut sebagai artefak. Dalam pameran ini, ia membawa serta beberapa figur-figur yang dijadikan model bagi karya-karya lukisnya dengan judul “Artifact”. Dengan menghadirkan patung-patung tanah liat ini berdekatan dengan lukisan-lukisannya, berarti Darmika mengajukan dirinya untuk dinilai, apakah sudah ada cukup kesesuaian antara konsep yang ia pikirkan, eksperimen yang ia rancang dan teknik yang ia gunakan dengan hasil final dari karya-karya visualnya.

 

# Putu Sastra Wibawa

Permulaan bagi Sastra adalah titik dan garis. Setelah ia menganggap rampung seri wajah wanita yang tersusun dari tebaran alphabet dalam karya-karya sebelumnya, kini ia mantap dengan unsur-unsur yang paling elementer dalam seni rupa: titik dan garis. Titik adalah permulaan dari segalanya. Sebuah bintik yang memulai semua garis, bentuk dan bidang. Dari satu titik, ia menyeret kuas untuk terhubung dengan satu titik lainnya menjadi sebuah garis. Demikian seterusnya. Berawal dari sebuah bintik kecil menjadi jutaan garis untuk melukiskan alam yang dekat dengannya, alam Bali.

Seluruh karya Sastra dalam pameran ini merupakan refleksi atas relasinya dengan alam. Jika ada istilah ‘natura artis magistra’ yang mengatakan bahwa alam adalah guru para seniman, maka Sastra adalah salah satu yang mengakui. Tidak untuk mengikuti seniman-seniman lain yang lebih dahulu mengeksplorasi alam, tetapi karena ia telah mengalaminya dari sangat dekat. Mengenai proses teknis, karena ia adalah perupa muda yang lahir sebagai generasi ‘digital native’ (generasi yang lahir di era digital), maka dapat dimengerti jika ia memilih untuk tidak melukis alam dengan gayamooi indie. Ia menggabungkan antara olahan Photoshop dengan fantasinya untuk memberikan kemungkinan bentuk baru menggunakan titik dan garis dengan yakin dan teguh. Ia membuat lukisan yang tampak grafis, unik dan misterius, seperti alam itu sendiri.

Mahasiswa tingkat akhir dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini lahir dan tumbuh di Bali –sebuah tempat dengan lanskap alam yang tak pernah habis diserap untuk gagasan karya. Sawah dengan sistem pengairan yang unik dan kuno tetapi bertahan ratusan tahun itu menjadi karya berjudul “Cerita Sawah”. Persis seperti subak, air yang ia wakili dengan garis-garis vertikal berwarna biru dihadirkan bersama larik-larik horizontal berwarna hijau yang ia maknai sebagai sawah. Tak ketinggalan pematang-pematang yang menjadi garis pembatas petak sawah satu dengan petak sawah lainnya, seringkali membentuk gelombang yang meliuk, ia hadirkan dengan warna hitam. Dalam kanvas berbentuk bundar, semua itu disajikan dalam keteraturan, sebab ini berkisah tentang sawah yang selalu berpola, tertib dengan musim dan sistem pengairan yang teratur.

Sastra memandang alam dengan cara yang tidak biasa. Ia mengabstraksikan alam menjadi kumpulan titik-titik dan tarikan-tarikan garis. Dalam “Irama Alam”, ia menyadari bahwa alam memiliki irama yang teratur meskipun terdiri dari beragam elemen. Setidaknya di Bali, ia masih menyaksikan birunya langit dan laut, batu yang hitam, hijau sawah dan pepohonan, adalah kesatuan yang menciptakan irama indah. Dengan bantuanPhotoshop, Sastra membuat semua itu menjadi semacam gambar grafis yang pecah dan blur. Dengan membuat blur seluruhnya, ia bermaksud untuk tidak menampilkan fokus tertentu. Segala sesuatu menjadi sama –sama-sama penting atau sama-sama tidak penting. Sebab, semua unsur dari alam itu sama penting maka tidak ada titik berat untuk menampilkan salah satu unsur lebih dominan dari unsur lainnya.

“Dunia Haru Biru” adalah karya dari sebuah foto alam yang ia pecah menggunakan olahan digital hingga tampak kabur. Tetap memanfaatkan garis-garis, Sastra membuat efek lukisannya seperti hasil cetak atau print yang rusak. Demikian pula ia mencermati alam, kerusakan pada bumi telah mendekati kehancuran, di mana lautan mengancam dan daratan mengandung bencana. Meskipun  bumi semakin tua, tetapi belum terlambat bagi manusia untuk mengubah sikap, mengembalikan kenyamanan bumi atau paling tidak memperlambat laju kerusakan.

Pada karya berikutnya, “Lanscape Yang Hilang”, Sastra membuat garis-garis horizontal berwarna merah muda yang lebih dominan ketimbang garis-garis putih di atasnya dan warna hijau di dasar kanvas. Horizontal adalah garis yang mewakili lanskap, sehingga jenis ini ia gunakan untuk mewakili ladang bunga. Berbeda dengan lima karya lainnya, secara khusus Sastra menciptakan efek bergerak (moving), seperti melihat pemandangan ladang bunga dari atas kereta cepat. Semakin cepat kereta bergerak, maka semakin kabur pula pemandangan hingga menjadi gugusan garis yang tak putus-putus. Pemandangan ini lambat laun menghilang, namun keindahan yang sempat dilihat akan tetap tinggal di ingatan.

Dalam keseimbangannya memandang alam, Sastra membuat karya “Tersudut & Terhimpit #1” dan “Tersudut & Terhimpit #2”. Pada lukisan yang pertama, ia tak hanya menggunakan titik-titik tetapi juga garis-garis untuk menyampaikan ketegasan optimisme, bahwa pada satu sisi alam masih bisa melahirkan hal-hal terbaik meskipun sudah tersudut dan terhimpit oleh ulah serakah manusia. Titik dan garis yang dominan berwarna hijau dengan gradasinya itu, merupakan representasi harapan seperti tunas yang menolak menyerah untuk tumbuh. Sementara lukisan yang kedua adalah paradoks. Sebab pada sisi yang lain, alam telah demikian tersudut dan terhimpit hingga membuatnya menyerah seperti daun yang menguning lalu gugur. Sementara gaya sebar kerusakan yang tak bisa diselamatkan itu seperti gempa yang menjalar dari episentrum.

Demikian Sastra mengabstraksikan alam dengan pola-pola yang detail, garis-garis yang tegas, titik-titik yang tajam serta yakin dengan keteraturan dan perhitungan. Sebab alam sesungguhnya  juga digerakkan oleh keteraturan semesta dan perhitungan sebab-akibat yang rigid. Demikian pula dalam pameran ini, Sastra telah berguru pada alam: bagaimana mempersiapkan segala sesuatunya dengan teratur, dilambari kesadaran tentang sebab-akibat atas pilihan teknik dan komposisi, serta ketegasan dalam menerima tantangan adu domba, seteguh titik dan setegas garis.

 

 

 

Solo Exhibition “Between The Lines” by Noella Roos @SAS

Exhibition : Between The Lines
Artist : Noella Roos
Opening : Friday, 14 August 2015, 19.00 hrs
Time : 14 – 31 August 2015

 

Between The Lines

Between the lines is an exhibition from Dutch artist Noella Roos, who will show 20 large (150 by 180 cm) drawings and two documentary’s about the working process. Noella will show the large size drawings that were made with the dancer as model who dances on live music. In this project Noella Roos is working with two other artist from different backgrounds: Fendy Rizk contrabass player from Java and Ari Rudenko a dancer from USA. Their aim is to bring dance, drawing and music together for the public as one piece of art.  On the opening there will be live music, contrabass player and dance, and live drawing.

Why this exhibitinon called Between The Lines? Noella said : “Between the Lines are drawings, figures made from lines, emotions captured in lines. The drawings are projections from the dancer, the music and me. They are the unspoken words from the artists, who work together.” Between the Lines is an art project about the language that is not written, but just expressed.

‘Between the Lines’ shows how Noella’s express sensuality, life, emotion in between lines in her drawings. Dance, music and drawing are three different lines joining in one work of art. The drawing artist’s can’t make these drawings without having contact with the dancer. It means that they both work until there is contact in the work, without words. This also happens with the music. It is an exchange between three artists. Communicating without words, sharing the same energy. The Balinese have a name for it: Taksu, the energy you have inside to express and feel the art deeper. Not only the movement (steps) of the dancer, but the real meaning of the dance can be felt by three of them and by the public. Noella explain that they are working towards trance in a couple of hours, when this Taksu or inner energy comes free. And they all experience when the ego vanishes and trance takes over, and they  work on the same energy. Out of this comes their best work. “The dancer knows without seeing the drawing what the drawer makes. The dancer feels in his body what the musician is playing. The musician plays what the artist draws.” She continues to explain.

The musician Fendy Rizk also added: “After a four hours session, I draw and dance today. If I play softer you both work softer, if I play louder, you both work more expressive”. Same goes for the dancer –Ari Rudenko-  “We all feel each other’s energy and art. And with this we can make more intense work.”

The work process and conversations have been recorded on video, and will be showing during the exhibition. Drawings, music and dance are only the left over from a shared moment. This exhibition focuses on the interaction and reinforcement of the three media (dance, music, drawings) with a single denominator: joint energy.

This exhibition was before held in Cemara 6 Galeri-Museum in Jakarta. On the opening night the audience were stunned by the performance of Ari Rudenko (dancer) and Fendy Rizk who was playing music that he composed for Between The Lines. And the dancer and musician also influenced by the energy from the audience. Therefore, on the next exhibition at Sangkring Art Space they will showing different happening. Noella Roos, will do live drawing to show the joint energy with the other, Ari and Fendy.

Noella Roos Art Studio
Sanur, 3 August 2015

 

3 Solo Exhibition by Desrat Fianda | Wahyu Wiedyardini | Taufik Ermas @ SAP

3 Solo Exhibition

Desrat Fianda | Wahyu Wiedyardini I Taufik Ermas

 

Opening : Monday, April 20th 2015  7.30 Pm

Curator by:

Sujud Dartanto
Exhibition will be held until : April 27th 2015

 

3 Solo Show: Desrat Fianda, Taufik Ermas, Wahyu Wiedyardini

Pameran ini adalah proyek seni dari tiga perupa muda: Desrat Fianda, Taufik Ermas, dan Wahyu Wiedyardini (Adin). Sejumlah objek karya, dua dan tiga dimensi, dari media kanvas, resin, hingga batu dihadirkan dengan berbagai ukuran dan bentuk. Seluruh karya ini sebagian besar merupakan karya baru dan beberapa diantaranya ditampilkan kembali sebagai bagian dari praktik tinjauan.Diruang Sangkring Art Space ini karya-karya mereka menempati tiga area pemajangan yang melambangkan tiga penanda pameran tunggal mereka.Konsep tiga pameran tunggal ini memang disengaja sebagai cara pameran ini ingin membingkai dirinya dengan tujuan audiens dapat melihat dan menikmati karya-karya dari tiga perupa yang kebetulan dari angkatan yang sama saat mereka studi di FSR ISI Yogyakarta.

Anda bebas untuk bisa melihat dan menikmatinya dengan utuh ketiga  presentasi pameran tunggal dari tiga perupa dalam pameran ini tanpa harus merasa dibatasi oleh area pemajangan masing-masing karya perupa ini. Pameran juga bukan sebuah pameran yang final, namun merupakan bagian dari serangkaian proyek yang intens mereka lakukan beberapa tahun terakhir. Saya mengajak Anda untuk menyelami karya-karya mereka lebihdekat dan intens, mengarungi bahasa simbolik dari karya-karya mereka yang dihadirkan dengan ungkapan personal mereka atas tema yang mereka eksplorasi masing-masing.

Masing-masing berupa menyelami dan memahami berbagai pengalaman ‘aku dengan dunia luar’ dan ‘aku dengan dunia dalam’. Pokok aku dengan dunia luar mengisyaratkan hubungan aku dengan kehidupan yang berjalan dengan berbagai waktu, pengalaman dengan ruang, dan berbagai jenis bentuk kekuatan yang membentuk narasi. Pokok aku dengan dunia dalam menggambarkan bagaimana setiap individu terlibat dengan berbagai jenis dan bentuk cara memahami dan menghayati dunia luarnya dengan segenap kepekaannya. Simbol-simbol dalam karya-karya pameran ini sebagian besar berfungsi sebagai jejak atas narasi tentang berbagai sejarah, memori, dan eksplorasi mereka dalam menciptakan lambang-lambang.

Desrat, melalui tema ‘Malin Kundang – Portraits of a Missing Man’ menghadirkan karya yang menunjukkan praktik mengulang gambar tokoh Syamsudin (kakeknya sendiri), tokoh masyarakat dari Sumatera Barat, dimana ia adalah korban dari gerakan PRRI Permesta 1958. Ia adalah satu dari kurang lebih 1000 orang yang dicatat hilang dalamgerakan itu. Dengan media kertas dan simbol buku batu dengan goresan tema pamerannya, Desrat menghadirkan spektrum emosi, tafsir, melalui cara melukis dengan intens kakeknya dengan teknik aquarel, dan buku batu sebagai sebuah cara untuk mengabadikan sesuatu yang masih menyimpan misteri. Karya-karya ini dikerjakannya sejak 2014. Kita bisa merasakan melalui ekspresi ditiap-tiap lukisannya, dengan memperhatikan komposisi warna, torehan kuas, dan berbagai komposisi-komposisi yang berbeda, satu dengan lainnya.

Komposisi-komposisi ini adalah medan bahasa sendiri yang menarik untuk kita lihat, disitu kita bisa melihat perjalanan emosi seorang Desrat, terkadang komposisi itu hadir dengan caranya yang datar, dengan intensitas warna, dan tiba-tiba pula wajah sang kakek juga tak luput dari goresan kuasnya yang hadir pada wajah Syamsudin. Ada berbagai cara seniman untuk melacak, merunut sejarah, namun terkadang cara penelusuran konvensional tidak mampu mengungkapkan cara menggali dengan pendekatan estetik. Karya Desrat ini merupakan suatu praktik alternatif dalam memahami kaitan subjek dengan konteks sejarah, dengan berbagai versi kebenaran, emosi dan kemungkinan-kemungkinan pemahaman.

Karya Taufik mengetengahkan temaFoot Note. Taufik menghadirkan tiga panel dengan ukuran variablemedia pastel di atas kanvas. Bentuk visual dari karya ini menyerupai seutas tali kusut yang pada bagian ujung dan pangkalnya, bertautan dengan sepasang bentuk menyerupai anatomi kaki manusia. Ketidak-teraturan itu berada diposisi bawah, sementara sepasang bentuk kaki manusia tersebut menjulang ke atas. Struktur bentuk karya ini berangkat dari objek tiga dimensi yang Ia buat dengan menggunakan material resin dan fiberglass. Kemudian diproyeksikan kembali pada media dua dimensi. Taufik tertarik pada pada konflik-psikologis, tentang sebarapa jauh masalalu mempengaruhi masa depan yang disebut juga sebagai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Taufik memiliki kecenderungan untuk menganalisis struktur bentuk. Bentuk baginya menandai memorinya atas trauma. Terkadang bentuk-bentuk ini muncul dengan caranya yang tak terduga, bagi Taufik gejala bentuk memiliki keunikan untuk diurai, diteliti dan dikembangkan menjadi komposisi-komposisi baru.

Sementara pada Wahyu Wiedyardini (Adin), karya-karyanyadiawalinya dari observasinya pada barang-barang bekas industrial, diantaranya besi bangunan, plat besi, dan kawat. Barang – barang tersebut sebagian besar didapatnya dari pasar barang bekas. Adin mengonstruksi karyanya dengan teknik las listrik dan asitelin.Material bekas ini dibangun hingga berbentuk, yang kali ini berbentuk menyerupai Gajah. Dengan cara membaca, dan menganalisa setiap tahap pembentukan karya patung inilah (mulai dari kerangka kepala, kerangka badan, hingga menjadi patung).

Adin mencatat dan memaknai prosesnya dalam karya drawing. Adin perlu kita lihat dari pengalaman ikonografis/logis seseorang dalam ‘kebudayaan timur’, bila disebut demikian. Performatifitas Adin dengan lambang hewan gajah, burung gagak, dengan gerak garis dan segala gestur dan ekspresinya merefleksikan ungkapan yang menimbulkan berbagai spekulasi pertanyaan atas feminitas dan maskulinitas, fantasi barat atas ‘timur’ yang penuh misteri dan menggoda, dan lain sebagainya. Dengan tawaran konteks seperti itu, karya Adin yang ia beri tema ‘My Elephant’ akan memiliki relasinya dengan berbagai narasi menarik tentang sejarah kebudayaan disini.

Sudjud Dartanto, Kurator Pameran

Solo Exhibition Dewi Candraningrum “Dokumen Rahim” @ SAP

Solo Exhibition

Dewi Candraningrum

“Dokumen Rahim”

Opening : Friday, march 13th 2015  7.30 Pm

Opened by :

Saras Dewi

Curator by:

Kris Budiman
Exhibition will be held until : march 25th 2015

 

Dokumen Rahim

 1.

Gagasan-gagasan di dalam benak niscaya berseliweran tidak sistematis. Menuangkan gagasan ke dalam sebuah tulisan pada dasarnya adalah membuatnya menjadi sistematis, terstruktur. Begitulah dunia Dewi sehari-hari, baik sebagai seorang akademisi maupun pemimpin redaksi sebuah jurnal ternama, yakni menata kata-kata dengan tertib. “Kata-kata membutuhkan engkau untuk disiplin dalam ritme terstruktur,” ujarnya. Yang mungkin belum banyak diketahui khalayak adalah sisi lain dari dunia Dewi. Ia bagaikan sisi lain dari sebuah koin yang sama, namun memiliki karakteristik yang berkebalikan. Melukis adalah dunia lain seorang Dewi Candraningrum. Dia sangat terobsesi dengan kerja melukis, mengolah warna, semenjak beberapa tahun belakangan ini. Warna-warna, dalam pandangannya, merupakan ranah diksi yang jauh berbeda, yang tidak membutuhkan sistematisasi demi membangun tatanan. “Tetapi warna-warna? Mereka meminta engkau untuk tak waras seutuhnya,” demikian simpulnya.

2.

Ratusan gambar dan sketsa charcoal-nya, dengan garis-garis liris dan permainan bayang nan lirih, menyodorkan gugusan tanda-tanda monokromatik yang sebagian berupa tubuh-tubuh perempuan telanjang, di samping potret. Di dalamnya mungkin dapat kita tangkap makna-makna emosional tentang kesedihan, duka dan derita. Akan tetapi, seperti pernah dikatakan juga oleh Dewi, toh “[k]esedihan tidak niscaya monokromatik. Kesedihan juga memiliki warna.” Maka dari itu, tidak perlu heran jika melalui sebagian besar karya-karya lukisnya kita akan diterpa oleh karnival warna. Lukisan-lukisan yang memanfaatkan media akrilik dalam genre potret (portraiture), rangkaian closeup wajah-wajah itu, menghadirkan goresan-goresan liar dan bidang-bidang chaotic yang gila warna.

Di luar aspek yang menerpa mata ini, pilihan genre-nya sendiri telah berhasil membangkitkan kembali ingatan saya akan pernyataan yang pernah dikemukakan oleh Michael J. Shapiro dalam The Politics of Representation (1988: 126), bahwa potret adalah sebuah genre yang cenderung “tersedia” bagi mereka yang berstatus menengah-ke-atas. Oleh karena itu, adalah suatu pengalaman yang menarik ketika kita melihat potret seseorang yang tergolong “freak”, yakni mereka yang dianggap “menyimpang”, yang terpinggirkan dari tatanan sosial yang mapan. “As a result,” lanjut Shapiro, “the viewer, whose interpretive codes are challenged, is inclined to reflect upon status or place within the social order.” Di titik inilah kita dapat menempatkan sebagian dari lukisan potret Dewi yang menantang determinasi kode genre-nya. Sebab dia telah melukiskan sosok-sosok yang dengan cara dan kadarnya masing-masing tergolong sebagai devian, mulai dari Yesus sampai dengan Hannah Arendt; pun sosok-sosok marginal yang anonim, tanpa identitas, kecuali sebagai anak-anak perempuan korban pemerkosaan. Serial lukisan yang terakhir ini, bagi saya, merupakan salah sebuah penanda empati Dewi yang paling ketara.

3.

Apabila pameran ini dibubuhi tajuk Dokumen Rahim, hal ini pun kemudian menjadi sebuah pilihan yang masuk akal. Sebab Dewi telah mencoba untuk mencatat pengalaman-pengalaman personalnya, perjumpaan-perjumpaan intersubjektifnya dengan beragam duka-cerita manusia dan peristiwa. Dengan kesengajaan memilih istilah dokumen, Dewi seolah hendak merekam, pinjam sepenggal larik dari Goenawan Mohamad, “sesuatu yang kelak retak” dan dia ingin “membikinnya abadi” di atas permukaan kanvas dan kertas. Peristiwa dan beragam manusia itu pun dia ringkaskan ke dalam sepatah kata, yaknirahim. Kita tahu, baik di dalam percakapan sehari-hari maupun wacana religius tertentu, kata ini secara konvensional dipahami sebagai kualitas yang bahkan cenderung ilahiah (divine), yaitu penyayang, welas-asih, dan mengampuni. Kecuali itu, sebagai kata benda, rahim juga merujuk kepada organ reproduksi tertentu pada tubuh perempuan, yaitu kandungan (uterus). Dari ruang sakral yang dinamakan rahim inilah kelak dilahirkan anak-anak kasih-sayang. Dengan demikian, di sini rahim telah menjelma sebagai sebuah tanda metonimik bagi Yang Feminin (the Feminine), yang tentu saja perlu kita pahami tanpa implikasi pembatasan biologis (seksual) apapun.

Kris Budiman

 

Solo Exhibition FRANZISKA FENNERT “Place the King in the Right Position” @ SAP

 

Solo Exhibition

FRANZISKA FENNERT

“Place the King in the Right Position”

Opening : Thrusday, January 15th 2015  7.30 Pm

Opened by :

Dr. Oei Hong Djien
Exhibition will be held until : january 30th 2015

Franziska Fennert tumbuh di Jerman bagian timur, di kota Rostock, sebuah kota pelabuhan di tepi Lautan Baltik. Saat ia berusia lima tahun, Franziska beserta kedua orangtuanya pindah ke tempat yang sangat terpencil, ke sebuah rumah di tengah hutan. Suatu tempat yang sedikitnya mengingatkan kita akan adegan-adegan dari cerita rakyat Jerman (“Marchen”). Rumah ini berlokasi di hutan yang dikelilingi pepohonan dengan bermacam fauna hutan seperti rusa dan babi liar hidup di sekitarnya.
Di masa dewasanya Franziska Fennert masih mempertahankan jiwa petualangnya; melancong sendirian ke negeri-negeri asing, mencari segala hal yang berbeda dari yang ia alami sebelumnya, atau [sekadar] mencari tantangan baru. Pada kisah-kisah romantik, topik pengembaraan seringkali muncul. Sang tokoh utama meninggalkan tempat mereka berasal, biasanya dengan berjalan kaki, mencari sesuatu yang berbeda, atau berupaya meraih kebahagiaan. Beberapa dari para petualang dan pengembara ini pada akhirnya mencapai tujuan mereka, atau menemukan cita-cita yang mereka cari. Sebagian lagi gagal, pulang atau tak pernah menuntaskan petualangan mereka.
“Place the King in the Right Place” adalah sebuah perbincangan dan pertukaran pada tataran yang adil dan sejajar, dan bukannya mengenai penguasaan atau pemanfaatan budaya lain. Saat ditempatkan ke dalam sebuah dialog antar kebudayaan, karya-karya Franziska ini mampu memposisikan ulang seni rupa pada tempat yang semestinya: sebagai jembatan sejati dan cara yang efisien untuk berkomunikasi. Franziska Fennert dengan kepeduliannya terhadap arah gerak dunia bukanlah seorang penganut Neo-Romantik, dan tentunya karya-karyanya bukanlah campuran eklektik antara berbagai kebudayaan di seluruh penjuru dunia namun sebuah pilihan yang disadari bersandar pada alasan-alasan filosofis dan artistik. Dengan demikian Franziska menyodorkan cermin di hadapan khalayak dan bertanya kepada mereka di mana dan siapa anda dalam gambaran utuh ini. Ia telah membawa kita dalam sebuah petualangan sepanjang Jalur Sutera dan kini kembali ke Yogyakarta.
Pameran ini oleh Franziska diberi tajuk Place the King in The Right Position. Sesunggunya Raja yang dimaksud oleh Franziska bisa merupakan metafor dan dengan berbagai kemungkinan makna.Hal itu juga terefleksikan dalam karya-karya Franziska.Raja bisa berarti penguasa dalam beberapa pengertian sekaligus.Saat ini kapitalisme bisa dinobatkan sebagai raja-diraja global, sebab kapitalisme mampu mengatur segala sesuatu di dunia ini sesuai kehendaknya.Raja juga bisa diwakili oleh para pemilik kapital, yang menjadi agen utama nasib masyarakat dunia.Demikian berlapis-lapis tingkatan raja, sampai akhirnya setiap orang, menurut Franziska sesugguhnya adalah raja bagi dirinya sendiri.Artinya, jika setiap orang sadar bahwa dirinya adalah miliknya paling utama, tentu dia dapat ikut bermain dan memiliki posisi tawar, sejauh dia memahami pola-pola kekuasaan yang berlaku.
Sulit disangkal bahwa kapitalisme telah menjadi pemain utama dalam sistem global saat ini. Namun tak kurang pula pihak yang dapat menunjukkan bagaimana kapitalisme akan membawa dunia pada kehancuran. Kapitalisme melalui jejaring neoliberalisme memang telah menyebabkan eksploitasi yang berlebih atas segala sumber yang ada di muka bumi ini, untuk memenuhi konsumsi masyarakat global. Tentu saja selalu ada pemikiran dan gerakan yang berupaya mengoreksi kapitalisme.Cukup banyak pemikiran dan analisis yang dapat menunjukkan betapa kapitalisme pada akhirnya hanya menguntungkan segelitir pemilik modal, dan itu harus dibayar melalui degradasi sumber daya alam. Berbagai ramalan buruk ke depan berkenaan dengan kapitalisme tentu saja bisa menjadi pemicu bagi banyak pihak untuk waspada pada sistem ekonomi kapitalisme yang saat ini menguasai dunia. Masalahnya, di Indonesia kesadaran mencari alternatif atau sikap kritis terhadap sistem kapital tersebut bisa dikatakan absen.
Situasi global terakhir merupakan babak terakhir dari perjalanan manusia. Namun cerita manusia dari awal peradaban sampai saat ini tidak lain tidak bukan adalah: mengenai upaya manusia untuk saling menguasai. Sejarah perjalanan manusia tak lain adalah perjalanan segelintir manusia yang berkuasa dalam menentukan nasib sebagian besar manusia lain: rakyat jelata. Catatan sejarah kurang lebih merupakan catatan mengenai segelintir penguasa menentukan sejarah dunia. Saat ini, di penghujung perjalanan manusia, situasinya kurang lebih sama. Segala kemajuan yang dibuat manusia tampaknya selalu berbanding lurus dengan kehancuran yang menyertainya.Kemajuan teknologi informasi, alih-alih menyebarkan kebaikan, namun lebih mudah menyebarkan kerusakan.Pengrusakan alam semakin parah, dengan hasil anomali cuaca karena global warming.Kekerasan antara bangsa, agama (bahkan sesama agama), ras, etnis terus berlanjut.Jurang antara kelompok kaya dan miskin semakin melebar, baik antara negara maupun kelompok sosial. Penjajahan antar manusia tak berkurang.Penjajahan dan eksploitasi melalui kekuatan ekonomi saat ini agaknya menjadi hal yang paling nyata, dan marasuk ke seluruh penjuru dunia.
Itu semua kita tahu.Namun kita sepertinya tak tergerak untuk berani mengubahnya.Atau mulai mengubahnya.Franziska adalah seniman yang memiliki semangat dan pemikiran untuk mencari alternatif, setidaknya dari sikap hidupnya sendiri.Franziska ingin menjadi raja bagi dirinya sendiri, tak ingin mudah kalah oleh gempuran prinsip-prinsip kapital.Hal ini menjadi dasar dari misi kesenian Franziska.Keyakinan tersebut yang menjadikan pendorong utama dan bahan bakar bagi intensitas berkeseniannya. Dia bergerilya secara mandiri.Franziska adalah penganut perubahan kecil atau sedikit demi sedikit. Misi tersebut disampaikan melalui karya-karyanya dan menjadi gaya hidup yang diyakininya dengan rasa bahagia.
Sumber imajinasi lain bagi Franziska adalah sastra dan filsafat, dengan menukil karya Gottfried Willhelm Leibniz sebagai filsuf idolanya. Franziska berkisah mengenai perpustakaan kakeknya, tempat ia menemukan buku-buku. Beberapa di antaranya adalah buku mengenai legenda dan kisah-kisah dongeng; dan mengenai “Perpustakaan Sastra Dunia” yang memuat novel-novel karya penulis tenama dari bermacam negara. Franziska berujar: “Apa yang bisa kau lakukan di tengah hutan? Tak banyak kegiatan menghibur tersedia di sana…” Membaca telah membawa Franziska ke sebuah dunia paralel penuh dongeng mitos dan imajinasi.

Artwork

 

group exhibition “Eyes To Think” @ SAS

 

Group Exhibition

Emest Chan, Ina Conradi Chavez, Lau Eng Seng, Leroy Sofyan, Mark Joyce, Muang Nyan Soe, Raymond Yap, Terry Wee, Yong Kah Kin, Zulkhairi zulkiflee.

“Eyes To Think”

Opening : Friday, September 12th 2014  7.30 Pm

Guest of  Honour :

Mr. Suwarno Wisetrotomo

Curator:

Lau Eng Seng and Raymond Yap
Exhibition will be until : September 27th 2014

 

Frequently, the relationship between arts and sight has been extremely bonded together; our eyes have been a crucial tool for us to see and to communicate with one another. Yet, have we taken our eyes for granted? That we use it to see, rather than to observe?

How often have we caught ourselves skimming through the webpages or just glancing through subjects without much thoughts going through our mind? Is that becoming a habit to us, subconsciously, that we tend to stop asking ourselves questions when we are looking around? Or have we lost our curiosity as a child? Have we failed to distinguish the stark difference between seeing and observing?

“Eyes To Think’’ exhibition will entice the participating artists to question their ways of seeing and will be presenting their output or conclusion in the period of this exhibition.

As the American educator, Bill Cosby, once said, ”Every closed eye is not sleeping, and every open eye is not seeing.”

The main objective of this exhibition is to question our ways of seeing, our sense of sight and to have a conclusion or understanding at the very least, through their perceptions that is to be presented through the artworks.

The other objective is to hope that throughout this exhibition, it will spur a new perspective (wisdom) within the participating artists whom have already demonstrated their creativity in their current practice, and for the audience to observe different approaches in arts at an emotional and intellectual level.

Last but not least, the objective of this project is to promote a friendly relationship between Singapore and Indonesia, establishing a greater understanding between the two cultures and exchanging of ideas in visual arts as well.

 

Lau Eng Seng

Independent Artist & Curator

Lau Eng Seng is a Singapore-born artist, graduated with Diploma in Fine Art from the Nanyang Academy of Fine Arts in 2012. Much of his work concentrates on the current period with research interests in sociology and anthropology. His art practice is driven by research-based methodology and presented through various languages of art. Lau has been exhibiting actively in Singapore & overseas.

Lau took up the interest of curating under the guidance and mentorship from Royal Academy graduate (2001), Raymond Yap, who is now a lecturer in the Nanyang Academy of Fine Arts and also the co-curator of “Eyes To Think”

Dokumentasi Display