Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-15,page-paged-15,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Figuring Text –Texting Figure ogz Jogja Contemporary at Sangkring Art Space

Group Exhibition

Agus “Baqul” Purnomo, Anis Ekowindu, Dedy Sufriadi,Farhansiki, Januri, Popok Tri Wahyudi dan Seno Andrianto

Figuring Text –Texting
Opening : Friday, April 12 2013  19.30 wib
Esai : Stanislaus Yangni
Exhibition current until : mey 15 2013

Artist Talk: Senin, 22 April 2013. 15.00 – 17.00 wib

 

Figuring Text, Texting Figure merupakan tawaran menarik untuk mencari kembali “greget” yang hilang di dunia seni lukis kita. Dengan kata lain, tema ini membuka peluang bagi kita untuk menemukan aisthesis, yang sensible dalam karya seni, yang ternyata telah hilang ditelan oleh representasi.  Aisthesis inilah yang diistilahkan Lyotard sebagai Figur, Figural. Ia hilang lantaran ditelan logika pemaknaan yang dikuasai oleh wacana, semacam sistem tertutup dari bahasa yang mampu membuat orang selalu takut “terpeleset.”  “Yang Figural” bukan tokoh dalam lukisan figuratif, tak sekadar rangkaian huruf atau kalimat dalam sebuah teks, melainkan ritme, intonasi, semacam ‘pemenggalan-pemenggalan’ yang belum ternamai.  Ia lah yang agaknya, dalam istilah Klee, “invisible force,” dan dalam istilah Sudjojono “Jiwa Ketok.” Maka, menemukan “Yang Figural” berarti menemukan kembali logika seni yang khas, bahasa karya yang selalu rela untuk keliru.

Jogja Contemporary mengajak 7 seniman: Agus “Baqul” Purnomo, Anis Ekowindu, Dedy Sufriadi, Farhansiki, Januri, Popok Tri Wahyudi dan Seno Andrianto untuk merangkai bentukan figural dan tekstual dari apa yang mereka tangkap dengan inderawi-seninya dari lingkup hidup sekitarnya.

 =============================================================================

Figuring Text, Texting Figure is an interesting offer in rediscovering the “zest” missing from our world of painting art.  In other word, the theme provide opportunities for us to find the aisthesis, a sensible one within the artwork, which apparently has been lost as it was swallowed by representation. It is aisthesis that Lyotard referred to as Figure, Figural. It  is lost because it is being overwhelmed by the logic of meaning ruled by discourses, like a closed system of language that’s able to make people fear of “slipping”. “The Figural” is not the figure in figurative paintings, not merely a series of letters or sentences in a text, but the rhythm, intonation, a type of ‘truncation’ that is yet to be named. It is  seemingly, in Klee’s terminology, the “invisible force,” and in Sudjojono’s term, “Visible Soul.” Thus, finding “The Figural” is rediscovering a distinctive art logic, the language of work that is willing to be wrong.

Jogja Contemporary invited 7 artists: Agus “Baqul” Purnomo, Anis Ekowindu, Dedy Sufriadi, Farhansiki, Januri, Popok Tri Wahyudi and Seno Andrianto to compose figural and textual visuals from what they perceived using their artistic senses from their niche.

Solo Exhibition mem’O’ria personal by I Made Mahendra Mangku @ Sangkring Art Project

 

Solo Exhibition I Made Mahendra Mangku
Mem’O’ria Personal
Opening : Friday, April 12 2013  19.30 wib
Writer : Apriadi Ujiarso
Exhibition current until : mey 12 2013

 

Memòria Personal I Made Mahendra Mangku

I

Sewaktu Piodalan Pura Dalem Sukawati pada 27 Maret 2012, saya berkesempatan menemani  I Made Mahendra Mangku, akrab disapa Mangku, tangkil di Pura besar itu untuk sembahyang sekaligus meminta ijin kepada para Dewa dan Leluhur sebelum  merias wajah dan memakai kostum seorang penasar. Wajahnya yang semula serius berubah menjadi sangat kocak. Bersama Pan Dabdab, seorang legenda hidup lawak Bali Klasik, Mangku memainkan perannya, menghibur dan mencerahkan masyarakat melalui banyolan mengena di dalam konteks cerita Calon Arang. Tahun itu, mereka berdua bersama para pengayah Pura Dalem Sukawati lain, memberi energi positif bagi desa beserta dinamika masyarakat di dalamnya. Ngayah atau kerja voluntary adalah praktek umum masyarakat Bali di dalam konteks hubungan sosial dan religi. Para Pengayah tidak menarik bayaran atas kerja yang mereka lakukan pada acara semacam piodalan yang penyelenggaraannya membutuhkan dana besar. Bagi Mangku, pilihan menjadi penasar menyediakan umpan balik yang strategis, yaitu menyediakan ruang untuk menengok keklasikan Bali sekaligus kesempatan untuk latihan mengolah rasa.

Mangku Lahir di Sukawati – Gianyar, Bali pada 1972, ketika kali pertama diajak sang ayah ke museum Puri Lukisan – Ubud, melihat lukisan – lukisan yang mempesona hatinya, seketika memimpikan dirinya menjadi seorang pelukis handal. Sang Ayah yang petani, meski usianya pendek, namun telah menunjukkan bakat juga memberi semangat kepada anak keduanya itu untuk tidak berhenti pada mimpi. Pada usia 8 tahun, Mangku, mulai belajar melukis tradisi kepada beberapa pelukis Bali Klasik tingkat lokal, dia pun sempat belajar kepada Ida Bagus Poleng. Menyadari kekurangan finansial di keluarganya, Mangku selanjutnya belajar – bekerja prada, yaitu sebagai tukang mewarnai lukisan pada art-shop setempat. Mangku kecil mulai fasih dengan pewarnaan gaya lukisan Bali Klasik, semisal gaya Batuan, Pengosekan dan Ubud.

Mangku adalah seorang pembelajar cepat, penuh semangat, taktis, dan rapi menyimpan ingatan visual. Minatnya dalam representasi artistik semakin membuncah, selepas membaca berita pameran tunggal perupa Made Budhiana di The Northen Territory Museum of Arts & Sciences, Darwin – Australia (1989). Mangku menetapkan diri meninggalkan kerja sebagai tukang dan meningkatkan level pendidikan di SMSR, dengan minat khusus kepada seni rupa modern. Di sekolah ini Mangku bertemu dengan para guru termasuk Pande Gede Supada yang banyak memberi arahan dan bimbingan teknis. Mangku juga bertemu dengan teman – teman baru dengan segala keunikan, kelebihan dan kekurangannya. Hingga kini banyak diantara teman itu selanjutnya menjadi sahabat baik Mangku di dalam suka.

Pada masa itu pula Mangku memiliki kesempatan bertemu dan belajar dengan satu seniman yang dikagumi, Made Budhiana yang ternyata adalah inspiratof dari banyak calon perupa muda Bali waktu. Menurut Putu Sutawijaya, di dalam konteks seni rupa Bali yang sarat tekanan, Made Budhiana adalah sosok perupa yang banyak membantu calon seniman muda Bali untuk belajar bagaimana menjadi bebas.

II

Mangku menumbuhkan kepercayaan diri dengan memasuki kota budaya Yogyakarta, juga atas dorongan semangat dari Pak Bengsong, ayah seniman Mantra Ardhana. Mangku menjalani kuliah di Insitut Seni Rupa (ISI), bergabung dengan Sanggar Dewata Indonesia (SDI), menerima beasiswa Supersemar,  mengikuti berbagai pameran, dan meraih beberapa penghargaan sebagai yang terbaik, serta secara diam – diam, pacaran.

Pada periode ini Mangku semakin sadar akan kekurangannya dalam hal bentuk dan garis, sebaliknya makin paham potensinya dalam hal warna. Selanjutnya kesadaran itu mengarahkan Mangku untuk mencari acuan bahasa visual non – Bali yang cocok dengan karakternya. Pada level nasional, Mangku mengacu kepada karya – karya Zaini (17 Maret 1926 –  25 September 1977), pelukis asal Pariaman yang pendidikan formalnya hanya kelas V Sekolah Rakyat. Sedang pada tingkat global, Mangku utamanya memilih acuan mula – mula kepada Robert Rauschenberg (AS) hingga kepada Antoni Tapies (Spanyol).

Pilihan acuan bahasa visual, terutama kepada tiga perupa di atas, bukannya tanpa konsekuensi. Saya menduga Mangku telah mengarah kepada pribadi yang anti – akademik. Menganggap ijazah bukan hal penting. Mangku mengambil cuti kuliah dengan alasan ketidakcukupan finansial, memilih fokus berkarya dan pameran, namun tetap dengan diam – diam intens berpacaran.

Terima kasih kepada perupa Sumadiyasa yang agaknya tahu arah perubahan itu, sehingga sebelum terlanjur jauh, secara halus dia telah berhasil “memaksa”, sehingga Mangku membuat karya Tugas Akhir, sebagai cara merampungkan kuliah. Sebagai catatan, hingga kini Mangku tidak pernah menghitung pameran tugas akhir di dalam daftar pameran tunggalnya.

III.

Malam itu, 6 Maret 2012, sekitar 40 hari setelah wafatnya Antoni Tapies (13 Desember 1923 – 6 February 2012), saya  bertandang ke studio Mangku, yang tidak jauh dari jalan raya Sukawati. Studio itu tidak besar namun bersih lagipula terasa nyaman, utamanya bagi Mangku saat bekerja memproduksi karya visualnya. Beberapa kanvas besar tampak tertata rapi pada satu rak tinggi dan lebar disain khusus untuk memudahkan akses penyimpanan karya dan sebaliknya. Selepas tersedia kopi, ditemani Wayan Arnata dan Wayan Santiyasa, saya merekam perbincangan kami berkait perjalanan karir Mangku di wilayah seni rupa. Mulai dari konsistensinya di wilayah abstrak, pengabaian terhadap wacana seni rupa kontemporer, harapan bisa berpameran tunggal lagi di tahun itu dan pengakuannya yang kini lebih mengutamakan rasa di dalam berkarya. Mangku juga mengaku kerap menghentikan proses berkarya apabila akal telah melakukan intervensi apalagi bila telah memanipulasi rasa.

Maka pameran lukisan bertajuk Memòria personal I Made Mahendra Mangku di Sangkring art – space ini adalah pameran tunggalnya yang ke tujuh, sekaligus penanda 21 tahun perjalanan karirnya di dunia seni rupa. Sejumlah 30 karya lukis yang dibuat Mangku di sepanjang waktu 2012 dan awal 2013, itu terdiri dari 22 lukisan di atas kertas dan 8 sisanya adalah lukisan di atas kanvas. ke – 30 karya abstrak dengan komposisi yang khas itu, merupakan buah daripada proses penciptaan Mangku terkini dengan pendekatan yang lebih mengutamakan rasa di dalam penciptaan hingga berakhirnya proses produksi. Namun berdasarkan observasi saya yang sekilas terhadap kemunculan tanda ikonik black cross di beberapa karya, saya menduga Mangku lebih banyak menyandarkan rasa untuk secara personal mengenang Antoni Tapies (dibaca, TAH-pea-ess), perupa abstrak kelas dunia yang lahir dan wafat di kota Barcelona – Spanyol, dalam usia 88 tahun. Bisa jadi cara Mangku mengapresiasi tanda – tanda visual Antoni Tapies itu punya banyak kemiripannya dengan para fans klub Barcelona di seantero dunia.

Ke – 30 karya abstrak Mangku ini mendapat perlakuan display secara rapi dan menarik. tim kreatif Sangkring membaginya ke dalam delapan klaster, dengan 4 bagian karya kertas dan sisanya karya kanvas. Pembedaannya berdasar urutan seri karya arahan  senimannya sendiri. Sedangkan penyajian display dilakukan secara berselang – seling agar lebih  variatif, sehingga enak dilihat dan nyaman. Dengan begitu penikmat secara bebas bisa membuat linearitas kecenderungan rasa yang menjadi dasar – dasar kreativitas Mangku Mahendra, selepas wafatnya Antoni Tapies, dan selepas piodalan Pura Dalem Sukawati 2012, hingga dikirimnya tigapuluh karya abstrak itu ke Sangkring art Space.

 

Apriadi Ujiarso

Dokumentasi Display mem’O’ria personal

 

Dokumentasi Opening mem’O’ria personal

Blossom by Stephan Spicher @ Sangkring Art Space

Solo Exhibition Stephan Spicher
Blossom
Opening : Saturday, March 2 2013  19.30 wib
Curator : Mr. Urs Ramseyer
Exhibition current until : April 2 2013

 

BLOSSOM

From eternal line to blossom

Anyone  who has followed Stephen Spicher’’s work over the past years knows, this artist was a consummate draftsman and painter of the ‘‘Eternal Line’’, which has given all his works and exhibitions name and title. The line, drawn and painted, was his path and medium to go beyond the limits of the visible imagein order to step out in the eternal and non- graspable space, with the intention and the goal to understand a little bit more of what we call ‘‘eternity’’.

During several working stays in Southeast Asia and especially in Bali, and after intensive observation and perception of bamboo, rice paddies, and flowers, Stephan Spicher had been increasingly concerned with the line in the realm of plants, with the result that his ‘‘Eternal Line’’ transformed, in a wondrous metamorphosis and with inner necessity, into bamboo.

From the very beginning, Stephan Spicher’’s intellectual and artistic exploration of the origin and nature of the BLOSSOM has evolved on the level of various artistic means and positions. First gold flowers started to unfold on picturesque atmospheric backgrounds, applied on canvas and aluminium, works, which theartist exhibited in two major exhibitions at the Ludwig Museum in the Russian Museum in St. Petersburg and in the New National Library in Singapore. In afollowing step, Spicher created works in which blossoms from lacquer on paper literally seemed to detache themselves from their background, thus becoming independent ‘‘picture-objects’’. Consequently, by now the artist began to detach his BLOSSOMS out of her pictorial context and to treat them as free forms of their own.

Blossom and the cycle of life

In Japan, hanami, the viewing of the cherry blossom, is a centuries-old tradition. With their homage to flowering the Japanese are, time and again, celebratingthe overwhelming beauty of the BLOSSOM. But at the same time they are also pondering the ephemeral nature of blooming in their own life. Thus, the BLOSSOM simultaneously stands for eternal beauty as well as for transience and the volatile nature of life.

 

In China, the character for ““flower open”” stands for youth, and the one for ““flowers fall”” is to say that youth comes and goes. ““Flowers Bloom and Flowers Wither”” —— hua hua kai xiè—— is a metaphor that speaks about the cycle of life and the fact that things in life come and go. In Taoist traditions of China the highest level of enlightenment is depicted as Golden Flower, and in Buddhism and Hinduism, the eight-petalled flower of the lotus is a symbol for the passage of time as well as the seat of the Buddha, of the divine Creator Brahma and the goddess of wisdoms, arts, and sciences, Dewi Saraswati.

 

In many cultures of the world nature in the context of blooming and withering means transience, but also power of renewal. In the course of an endless cyclicalmotion all natural phenomena are thus brought into a cycle of birth, growth, decay, death and reincarnation. Thus, in the thinking and creating of people from allover the world, trees, plants and flowers have become metaphors for the cycle of life and, at the same time, an object of artistic creativity that points to a life in transition.

 

Blooming and withering are part of a comprehensive organic process of transformation and renewal. In every bud, the flower, fruit and seed are included. The artistic challenge lies not least in making this multifaceted interpenetration visible and perceptible. Starting from the observation of nature, he transforms both visible and invisible processes and phenomena into a new, artistic reality and statement about the forces of growth and decay.

BLOSSOMS only live for the duration of a moment. Bloom is almost like a snapshot in a long process of growth and decay. It so happens that while in BLOSSOM we already sense withering and thus protect us from the first signs of erosion with cosmetics and surgery, being afraid of our inevitable fading and drying out. The Art of Blooming and Fading has nowadays become a real cornerstone of human self-employment and a global business, too.

Urs Ramseyer

Dokumentasi Display Blossom

 

Cats Playful Aggression by Pandu Pribadi Ogz Syang art Space @ Sangkring Art Project

 

Solo Exhibition Pandu Pribadi
Cats Playful Aggression
Opening : Kamis, February 14 2013  19.30 wib
Writer : Kris Budiman
Exhibition current until : March 2 2013

 

DONGENG SANG KUCING

 

Pada Suatu Sore yang Basah

Ketika diundang untuk bertemu dengan Pandu Pribadi, saya menyambutnya dengan entusias. Peristiwa ini terjadi pada suatu sore yang basah di Syang Art Space, Magelang. Sebelumnya, patut disesali, karya-karya Pandu memang belum pernah saya kenal, walaupun dia telah aktif berpameran tunggal setidaknya sejak pertengahan 90-an. Dalam pertemuan itu tak ada niat sedikitpun pada diri saya untuk melakukan wawancara, sebab saya hanya ingin mengamati karya-karyanya secara langsung dengan lebih saksama. Bukan cuma karya-karya yang hendak dipamerkannya kali ini di Sangkring Art Project, melainkan juga yang tak akan ikut dipamerkan, bahkan karya-karya lamanya. Berdasarkan pengamatan awal ini saya mulai menggagas(-gagas) beberapa segi yang barangkali menarik untuk dituliskan nanti.

Nah, di sela keasyikan saya mengamati karya-karyanya, Pandu sempat menyebut tiga nama yang dia anggap paling berpengaruh di dalam karier kesenimanannya, yaitu Pablo Picasso, Joan Mi, dan Keith Haring. Pada saat itu saya langsung berpikir: lantaran no man is an island, maka tidak perlulah saya terlalu suntuk menelusur soal pengaruh nama-nama ini. Bukan karena secara formal cukup mudah menelusurnya, melainkan juga karena perkara ini tidak relevan lagi untuk dibahas. Sebab tak ada manusia terasing di atas muka bumi ini dan, dengan demikian, perkara pengaruh-mempengaruhi adalah lumrah. Lagi pula, masalah semacam ini, baik di dalam pendekatan-pendekatan kritik seni maupun antropologi seni kontemporer, telah lama ditepiskan melalui sebuah konsep analitis yang lebih cerdas, yakni intertekstualitas yang –sesungguhnya– sama sekali tidak terkait dengan perkara pengaruh-mempengaruhi.

Pergeseran Evolusioner

Melalui pertemuan di Magelang itu saya memperoleh kesempatan untuk mengamati karya-karya Pandu selama rentang waktu yang cukup panjang: sekitar lebih dari 10 tahun. Di dalam lukisan-lukisan yang dikerjakannya pada pertengahan 90-an saya dapat membedakan setidaknya dua golongan. Di satu sisi, pertama, kita lihat karya-karya dengan objek berupa figur-figur yang teridentifikasi dengan relatif mudah, bahkan tanpa pertolongan pemahaman dari judul sekalipun. Misalnya “Seorang Nyonya dan Tanda Panah” (1998), “Menangis dan Tertawa” (1998), dll. Di sisi lain, kedua, terdapat juga karya-karya yang nyaris tak mungkin diidentifikasi objek-objek dan figur-figur yang digambarkannya tanpa pertolongan dari judul-judul. Misalnya “Helm” (1998), “Optimis” (1998), “Habis Keramas” (1998), dll. Akan tetapi, karya-karya yang masuk ke dalam golongan kedua ini semakin lama semakin langka, semakin ditinggalkan oleh Pandu, setidak-tidaknya semenjak memasuki 2010.

Pada segi ikonografis dapat kita simak pula sebuah pergeseran yang evolusioner. Katakanlah bahwa karya-karya Pandu pada tahun 1998 tampak lebih didominasi oleh diksi warna tanah; bidang-bidang tertentu diberi aksen bertekstur; sementara sejak 2010 diksi warnanya tampak lebih variatif, meskipun terutama didominasi oleh warna-warna cerah, bahkan “menyala”. Berkaitan dengan elemen garis, karakteristik yang dengan mudah dikenali adalah munculnya garis-garis tipis yang digoreskan dengan sebuah spontanitas yang seolah dikerjakan oleh tangan kanak-kanak, selain sesekali muncul juga garis-garis hitam tebal yang rapih. (Silakan saja apabila ada pihak tertentu yang ingin mengatakan bahwa karakteristik terakhir ini mungkin “dipengaruhi” oleh Miró dan Haring.)

Disimak dari aspek retorik dan tematiknya, karya-karya lama Pandu terkesan membiarkan objek-objek dan figur-figur itu tetap berada dalam dimensi makna literalnya, meskipun sesekali dia memanfaatkan alat-alat retorika visual tertentu, terutama metonimi. Misalnya saja garis bergelombang sebagai elemen visual yang mewakili air, atau garis-garis lengkung menjadi pinggang/pinggul seorang perempuan, dll. Secara tematik karya-karya di tahun 1998 itu juga banyak berkisar pada ranah colloquial, berupa aktivitas-aktivitas kecil di dalam kehidupan sehari-hari, meskipun setidaknya sejak 2010 Pandu mulai gemar memunculkan variasi tema di seputar cinta-erotik (berciuman, kemesraan).

Kehendak untuk Berkisah

Selain bernada semakin komikal, lukisan-lukisannya semenjak 2012 mengalami pergesaran sekali lagi lewat sebuah kecenderungan baru yang mengindikasikan aspek naratif, yang merentangkan sebuah kisah –sebuah gejala yang sebetulnya mulai terbaca samar pada “Adiknya Tiduran” (2010). Kecenderungan terakhir ini, saya kira, mulai betul-betul disuntuki oleh Pandu lewat karya-karya terbarunya yang berformat lebih besar. Kehendak untuk berkisah menjadi sangat mungkin untuk direalisasikan lantaran ruang kanvas yang terhampar luas memberikan peluang yang lebih leluasa. Kita bisa mulai menjajaki karakteristik terakhir ini melalui, antara lain, kehadiran sosok kucing yang merupakan hasil proyeksi retoris personifikasi ke dalam rangkaian fabel (cerita/dongeng bertokoh binatang) –meskipun tokoh kucing sebetulnya juga sudah dimunculkan jauh bertahun-tahun sebelumnya sebagaimana tampak pada lukisan “Kucing” (1998).

 

Sebagai sebuah eksemplar, taruhlah kita ambil “Ditembak dari Belakang” (2012). Di sini, juga di dalam lukisan-lukisan lain di dalam pameran kali ini, sang kucing merupakan figur personifikasi yang dilokasikan di dalam sebuah fragmen fabel. Preferensi tematiknya pun berubah ke arah komentar-komentar sosial yang penuh humor atau komikal, semisal kepengecutan, kelatahan, dan (korban) kekerasan. Secara formal dapat dilihat juga perubahannya, antara lain melalui penghadiran latar keruangan yang jelas: ada dinding, lantai, dan anak tangga. Selain itu, bermunculan pula garis-garis dekoratif (pada bidang yang menggambarkan lantai); garis-garis yang kekanakan (childlike) tadi; juga bidang-bidang yang flat serta kecenderungan kubistik pada deskripsi wajah sang kucing. Pada dimensi retoriknya, dongeng rekaan Pandu ini pun sekaligus menghadirkan aneka properti yang berupa objek seperti senapan/pistol, bola, dan lain-lain, sebagai gejala pars pro toto (part to whole).

Pada lukisan yang lain seperti “Makan Burung” (2012) dan “Hahaha… Ketangkep Lu!” (2012) kecenderungan formal dan tematik di atas tetap dipertahankan, kecuali bahwa di dalam kedua lukisan terakhir ini sang tokoh kucing berbalik perannya, tak lagi sebagai korban kekerasan, melainkan justru sebagai pelaku kekerasan yang agresif. Sementara di dalam “Pemain Bola” (2012), perilaku dan sikap si kucing jelas sangat menonjolkan segi-segi playful dan komikalnya –tentu saja dipandang dari perspektif personal seorang Pandu terhadap sebuah peristiwa atau persoalan sosial. Aspek ini pula yang dipertontonkannya dengan jelas pada karya berukuran besar, “Gang Nam Style” (2012), yang merupakan sebuah komentar sosial yang agak sinis atas gejala kelatahan gayahidup dan tren budaya popular; sementara “Kawin Massal” (2012) pun merupakan komentar sosial yang tetap playful, meskipun barangkali juga sinis, sekali ini terhadap agresi dan perilaku seksual tertentu.

 

Yogyakarta, 2 Februari 2012

Kris Budiman

 

Dokumentasi Display Cats Playful Aggression

 

Tata Display Cats Playful Aggression

 

Opening Cats Playful Aggression

 

How Brutu Are You….?? by Bol Brutu @Sangkring art Project

 

 

Pameran : How Brutu Are You…”??
Oleh : Bol Brutu (Gerombolan Pemburu Batu)
Pembukaan : Sabtu, 14 – 30 Januari 2012 Jam 19.00 wib
Penulis : Kris Budiman
Pameran berlangsung : 14 – 30 Januari 2012

 

How Brutu Are You?

Bol Brutu dan Situs-Candi Hindu-Buddha

 

Kegiatan utama gerombolan ini pada dasarnya adalah ‘blusukan’: menelusuri batu-batu peninggalan masa lalu. Ada puluhan hingga ratusan tempat telah didatangi, dan melalui ribuan foto yang sebagiannya kemudian ditampilkan dalam jejaring sosial fesbuk, muncullah obrolan, diskusi, dan bahkan perdebatan. Dari sana juga lalu muncul ide untuk menampilkan foto-foto ini ke ruang publik yang lebih luas: pameran. Ya, pameran! Mengapa tidak?

How Are You Brutu? Adalah pameran foto candi, artefak, dan situs-situs lainnya yang pernah dan bahkan berulang-ulang didatangi gerombolan para pemburu batu atau yang diakronimkan menjadi Bolbrutu ini. Dalam pameran ini ditampilkan secara khusus situs-situs Hindu-Budha pada abad pertengahan, sebagian besar di Jawa, dan beberapa di Sumatera dan Kalimantan yang marjinal. Marjinal di sini maksudnya adalah kurang dikenal dan serentak dengan itu juga kurang mendapat perhatian. Sifat pameran ini terutama bukanlah artistik, tetapi lebih hendak mengkhabarkan bahwa di suatu tempat, terdapat sebuah atau lebih candi, yang menyimpan ribuan cerita kehidupan kita. (BOL BRUTU)

Dokumentasi Bol Brutu

 

 

SEEING JAVA by Dadang Christanto @ Sangkring Art Space

 

Pameran : Seeing Java
Oleh : Dadang Christanto
Pembukaan : Sabtu, 31 Desember 2011 Jam 19.00 wib
Penulis : Wahyudin
Pameran berlangsung : 31 Desember 2011 – 4 Februari 2012

 

Seeing Java:

Manusia, Gunung, dan Lumpur

 

Dari jendela pesawat terbang—pada ketinggian tertentu di angkasa—perupa Dadang Christanto memandang Pulau Jawa seperti sehamparan lanskap dengan lekukan dan tonjolan laksana bukit dan gunung. Pemandangan ini kerap membikinnya termenung: Jawa dan makhluk hidup yang mendiaminya boleh jadi tercipta dari gunung, alih-alih gunung itu sendiri.

Dengan permenungan itu, Dadang beroleh jarak-waktu imajiner akan sesuatu yang dekat tapi tersekat oleh kenyataan: Jawa—dengan segala suka-duka pergulatan sosial-politik-ekonomi—merupakan “tanah tumpah darah-ku” di mana jejak-langka eksistensialnya sebagai manusia-perupa tergurat dengan keringat dan airmata.

Itu sebabnya, sekalipun telah lama menetap di negeri Kangguru, ia tak bisa berpaling dari Jawa—bahkan tak bisa tak memikirkannya sebagai “subjek” yang sama pentingnya dengan “subjek” yang lain dalam kehidupannya.

Pada titik itu, boleh dibilang, Jawa adalah “subjek” yang memungkinkannya untuk masuk-menemu perenungan tentang apa arti menjadi manusia pasca-Indonesia yang tak mungkin diringkus-rampung dalam satu-dua pengertian.

Dengan begitu, pameran ini  berkehendak mempertunjukkan kehadapan publik seni rupa perihal “cara pemahaman”—yaitu sarana percobaan Dadang Christanto menerjemahkan Jawa sebagai ikhtiar memahaminya berdasarkan kadar interpretasinya; “cara perhubungan”—yaitu sarana Dadang Christanto untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapannya atas Jawa lewat karya seni rupa; dan “cara penciptaan”—yaitu sarana penciptaan kembali Jawa sesuai dengan pengetahuan dan imajinasi Dadang Christanto.

Dengan kehendak itu, pameran ini menggelar karya-karya seni rupa Dadang Christanto berupa seni rupa pertunjukkan perihal manusia Indonesia dalam pergulatan eksistensial melawan lupa yang melibatkan lebih-kurang 50 orang dengan latarbelakang usia dan jenis kelamin yang berbeda; objek instalasi sekira 500 kepala manusia terbuat dari tembikar yang ditata-bangun serupa gunung; dan serangkai kata-rupa Jawa.

Dari sini  dibayangkan ia akan memberikan perspektif-banding kepada khalayak seni rupa dalam melihat dan menyikapi Jawa sebagai bukan hanya persoalan estetika, tapi juga persoalan eksistensial manusia. Alih-alih, sebagai selalu demikian, karya-karya itu dirancang sebagai “the model of a statement”—karya seni rupa sebagai pernyataan perupa—Dadang Christanto atas suatu kenyataan sosial-politik di Jawa.

 

Yogyakarta, 31 Desember 2011

—Wahyudin

Dokumentasi Seeing Java

 

3 Solo shows for Jogja Contemporary Launching @ Sangkring Art Space

Sangkring Art Space dan Jogja Contemporary

mengundang Bapak/Ibu/Rekan sekalian pada acara:

LAUNCHING JOGJA CONTEMPORARY

Jumat, 2 December 2011, 19.00 wib

akan menampilkan 3 Pameran Tunggal

 

SOFT

oleh Kow Leong Kiang

Tubuh-tubuh manusia yang bertumpuk didalam ruang sempit melalui seri lukisan terbaru Kow Leong Kiang, merepresentasikan penjelajahannya untuk mencoba lebih jauh bagaimana memandang fenomena tubuh manusia dalam batas tertentu . Gerak yang dinamis dari sejumlah tubuh telanjang – berpasangan lelaki dan perempuan – yang lebih banyak jumlahnya dalam sebuah kotak plastik. Tubuh-tubuh itu saling bergumul, berhimpitan, berdesakan, saling mengait, bersilang, bertumpuk, secara keseluruhan menjadi image kerumunan tubuh bernuansa lirisisme formalistik. Berbeda dengan lukisan-lukisan sebelumnya , dimana tubuh diperagakan secara berpasangan, lebih terkesan ada suatu hasrat yang erotis dan intim. Pada lukisannya sekarang lebih memperlihatkan gestur yang bersilang sengakrut hubungan komunal, ekspresif , bahkan menjadi kusut.

Ada tiga hal yang penting dalam lukisan-lukisannya , terutama bagaimana proses pendekatan dalam membentuk imejnya. Pertama adalah penggunaan stage fotografi ; fotografi yang dipentaskan, disetting atau diatur. Kow mengatur ukuran kotak plastik persegi dan sejumlah modelnya untuk beradegan dengan berbagai gerak dan posisi. Dalam staged photography, peristiwa direkayasa, ditata dan diarahkan, bukan membentuk sebuah peristiwa baru atau peristiwa fiksi, namun untuk memberi tekanan atau dramatisasi. Kedua adalah fotografi performatif, disini seniman merekayasa sebuah peristiwa yang nyaris tidak ada padanannya dalam realitas sehari-hari; membentuk sebuah fiksi atau metafora tertentu sebagai kendaraan atas gagasan yang ingin ia kemukakan. Seniman memiliki kuasa penuh atas obyek-obyek yang ada dalam frame foto. Lalu, ketiga aspek bagaimana ia kemudian memindahkan imej itu ke dalam lukisan-lukisannya, yang melibatkan unsur – unsur teknik melukis, kepekaan kepada penguasaan gambar anatomi, bidang, pewarnaan dan elemen brushstroke. Ketiga aspek ini menjadi kesatuan penting dalam menghasilkan lukisan-lukisannya.
Maka citra tubuh-tubuh yang diperagakan dalam lukisan Kow Leong Kiang, membawa kita pada persoalan pokok hubungan antar manusia dalam lingkup ragawi dalam batasan ruang fisik daripada  psikologis , hubungan tubuh sebagai unsur ekonomikal daripada soal budaya manusia. Tubuh-tubuh dalam lukisannya seperti dikembalikan kepada titik nol, telanjang dan primitif. (Rifky Effendi)

 

PUSARAN EKSPLORASI

oleh Agus Kama Loedin

Dia seorang penjelajah. Latar belakang pendidikannya semula arkeologi di Universitas Gadjah Mada, kemudian memperdalam bidang itu lebih lanjut Rijks Universiteit Leiden, sebelum kemudian menekuni video dan produksi animasi di Open Studio Amsterdam, Belanda. Ia pernah bekerja sebagai guru dan pegawai honorer di Pusat Dokumentasi Arkeologi Indonesia di Rijks Universiteit Leiden. Di Jakarta ia bekerja pada salah satu perusahaan iklan terbesar “Matari”. Dan, di luar itu berkarya bebas; lukis, fotografi, dan belakangan mengembangkan karya-karya trimatra. Semua nampak bersahaja, mengikuti gagasan visual dan citraan yang sebagian besar  memperlihatkan tumpang tindih antara; tafsir visual atas mitologi dan budaya masa kini.

Di samping itu, sebagian karya-nya mengingatkan kita  pada pola-pola desain, kolase, dan kriya yang bertumpu pada keterampilan tangan. Semua agaknya didapatkan dari pembauran pengalaman melihat dan meresapi budaya sehari-hari, terutama dari  dua negara yaitu; Filipina dan Indonesia. Dan di dua negara itu pula dengan rentang ribuan kilometer, ia ulang alik  untuk keperluan kerja selaku direktur kreatif pada sebuah perusahaan iklan, dan selaku sosok kreatif bagi dirinya sendiri dengan karya-karya bebas, sebagaimana tersaji dalam ruan pamer ini.

Karya-karya-nya ber-pindah-pindah dari satu media ke media lainnya. Bisa jadi itu tersebab ia tak berlatar belakang pendidikan seni rupa formal yang biasanya bersikap rigid terhadap satu media.  Pada karya-karya-nya kita menemukan sebuah upaya tak menyerah, atau kekaguman berlebih pada teknologi masa kini. Boleh dikata ia bertopang pada keterampilan tangannya sendiri. Pada fotografi misalnya, ia lebih mendekati ruang-ruang konseptual, dan menjauh dari dorongan menggali kemungkinan-kemungkinan teknis dan memamerkan kecanggihan alat. Bahkan, ia tak berparak dengan tema-tema stereotipe fotografi, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh fotografer. Ia menjelajahi citraan optis yang tak bermuara dari efek digital, melainkan dengan cara-cara manual yaitu, proses  tambal-menambal bidang perbidang sebagaimana layaknya kolase. Bagi Agus, aspek kerja tangan yang manual, dan makan waktu lama, itu lebih memungkinkannya meresapi realitas demi realitas yang dihadapinya.

Hal serupa diterapkannya dalam karya-karya dengan media lain. Dalam lukis dan karya-karya trimatra, ia dominan memakai material kawat aluminium dan tembaga.  Material yang baginya memiliki sifat saling berlawanan; mudah dibentuk tapi juga sekaligus keras dan kuat.  Kawat-kawat itu menemukan dirinya serupa garis bebas, atau mungkin tumpukan arsir yang menguasai hampir seluruh bidang lukisannya. Atau ia membuat patung, dengan cara membentuk bidang-bidang cekung, cembung, bergelombang, pipih, dan lain sebagainya dari helai-helai kawat tersebut. Ia tak dipakai hanya untuk keperluan aspek visual, tapi dipilih tersebab antara lain karena sifatnya yang paradoks tadi. Dan, memungkinkan Agus lebih lama meresapi media tersebut, membentuknya dari sesuatu yang semula hanya bayang-bayang imajinasi, perlahan-lahan menjadi sesuatu rupa dan raga, lewat kedua belah tangannya. (Asikin Hasan)

                                                                                  NYANDHI WARA

oleh Pius Sigit Kuncoro

Orang Jawa dibesarkan sebagai orang dengan keyakinan yang teguh. Sehingga akar dari semua konflik yang terjadi senantiasa bersumber dari benturan-benturan keyakinan. (HANACARAKA DATASAWALA).

Orang Jawa tidak mengenal istilah kalah, mengalah bukan berarti kalah, karena kemenangan adalah harga mati. (PADHAJAYANYA MAGABATHANGA)

Hancur lebur dan menderita bersama adalah pilihan yang lebih baik daripada menerima kekalahan.

Dalam kehancuran justru terjadi peleburan, dan dalam penderitaan justru muncul kebersamaan. Kehancuran dan penderitaan adalah dasar yang menyangga bangunan budaya Jawa, Soko GURU yang meleburkan dan menyatukan.

Seperti Punakawan dalam gelar wayang kulit, seperti Srimulat dalam panggung-panggung hiburan, mengalir tanpa plot dan aturan-aturan baku, tapi bisa begitu cerdas dengan yang logika terbalik, justru mampu mengaduk perasaan dari tangis menjadi tawa. Inilah Nyandhi Wara, pada way of life orang jawa.

Nikmati karya-karya dalam pameran ini seperti anda menonton Srimulat atau Goro-Goro pada Wayang Kulit.  Jangan berpikir apapun, jangan menduga-duga, dan jangan dimasukkan hati. (Pius Sigit Kuncoro)

 

 

Pameran akan berlangsung hingga 22 Desember 2011.

 

reservasi:

sangkring@gmail.com

ries@jogjacontemporary.net, ries@vwfa.net


						

TRYOUT by DJAGOER @ Sangkring Art Project

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pameran : TRYOUT
Oleh : I Wayan Danu, I Wayan Arnata,I Wayan Gede Santiyasa, Gus De Jagiran
Pembukaan : Rabu,9 November 2011 Jam 19.00 wib
Penulis : Hendra Himawan
Pameran berlangsung : 9 – 23 November 2011

 

TRY OUT, catatan perjalanan dan try to get out !
Oleh : Hendra Himawan

“(Pameran) ini sebagai upaya untuk mengapresiasi diri dari proses yang sudah kami lakukan selama ini. Dengan usia kelompok yang masih muda, yang selama ini hanya berpameran di Bali, maka kami dari Kelompok Djagoer ingin mencoba pameran keluar Bali.”

Demikian gagasan dan konsep awal yang diajukan oleh Kelompok Djagoer dalam pameran yang di gelar di Sangkring Art Project (SAP), 9-23 November 2011 ini. Kelompok Djagoer beranggotakan empat sekawan seniman. Mereka adalah I Wayan Danu, I Wayan Arnata, I Wayan Gede Santiyasa, dan Ida Bagus Putra Wiradnyana atau yang akrab di panggil Gus De Jagiran. Meski mereka menyebut kelompok ini baru, senyatanya para personelnya bukanlah orang-orang baru. Mereka adalah seniman-seniman yang telah banyak berbaku hantam dan berasam garam dengan hiruknya seni rupa.
Dalam wawancara singkat kami, I Wayan Arnata, mewakili Kelompok Djagoer mengkisahkan ;

“Keberadaan Kelompok Djagoer sebenarnya dapat dikatakan mulai pada tahun 2003, ditandai dengan pameran kami bertajuk “From the Inner Self” yang diselenggarakan di Art Center Denpasar Bali. Digawangi oleh Wayan Danu, Wayan Arnata, Wayan Gede Santiyasa. Seiring waktu, walaupun kami ‘tetap berkomunikasi’ di jalur kesenian masing-masing, barulah pemikiran tersebut mulai dikristalisasikan kembali, dengan menghasilkan pameran di Ten Fine Art Sanur, karena kami makin menyadari akan kebutuhan kami untuk berkesenian, antara satu dengan anggota yang lainnya.”

Sebagai sebuah kelompok, Djagoer ibarat alat kendara. Tempat mereka menampung spirit untuk terus me-laju-kan karya dan menjaga api keseniannya. Bersama, mereka menempuh perjalanan gagasan dan artistik, perjalanan ruh (soul) estetik dan fisik. Dengan satu wadah, mereka sama-sama terpacu. Agar tidak ada yang alpa, lalai atau tertinggal dari ‘khittah’ kesenimanan dan i’tikad kesenian yang mereka junjung. Hal ini mereka upayakan karena, “masing-masing sudah mempunyai kegiatan keseharian sendiri-sendiri, akan tetapi, “mereka masih menempatkan kehendak serta kegiatan berkesenian melebihi aktifitas lainnya”, demikian tutur I Wayan Arnata.

Mengandaikan pameran mereka kali ini sebagai sebuah perjalanan, maka tema lawatan ke Yogyakarta ini, Kelompok Djagoer mengambil tema yang lugas, TRY OUT ! Sebuah takar uji, yang akan menjadi tolak ukur dari pencapaian diri dalam ranah estetik dan artistik. Secara gamblang, I Wayan Arnata bercerita,

“Latar belakang kami (Kelompok Djagoer) memakai judul TRY OUT adalah untuk menguji kemampuan kami sesungguhnya di dalam berkesenian, paling tidak untuk diri kami sendiri mulanya. Masih pantaskah kami berada di dunia kesenian yang hingar bingar, dan mencoba menawarkan “sesuatu olah visual” yang menurut kami ini pencapaian karya-karya paling akhir yang bisa kami tawarkan, sembari selalu melakukan studi berkesinambungan untuk karya-karya kami selanjutnya.”

Berirama dengan tajuk ‘perjalanan’ mereka saat ini -TRY OUT-, setiap seniman mempunyai catatan yang ingin dan hendak diungkapkan melalui karya-karya mereka. Melihat ke dalam karya, para punggawa Kelompok Djagoer lebih banyak merekam dan berkisah tentang lingkungan keseharian. Potret-potret natural dari adat budaya mereka yang kental.

Sebagaimana gagasan I Wayan Gede Santiyasa dalam karya-karya mixed media on board-nya. Ia berusaha menangkap perubahan “aura lingkungan” sekitar dan pergeseran citra serta nilai tradisi dalam lingkungan tersebut. Hal itu dijadikannya sebagai kasus pembelajaran dalam pengembangan keseniannya. Dengannya, lahir karya-karya Hard to Combine (2011) dan Terikat Romantisme II (2011). Di mana secara simbolis, ia hadirkan nuansa dan narasi klise dari ambiguitas tradisi dan lingkungannya.

Inspirasi dari lingkungan sehari-hari, melandasi segenap proses kreatif I Wayan Arnata. Hal ini dapat kita lihat dari karya-karyanya. Meski sangat eksploratif dalam mengolah media, judul dan visualitas karya hadir dengan lugas. Ngombe Bareng (2010) adalah satu judul yang tentunya menggelitik pikiran kita.

“Karya-karya yang diciptakan dalam berkesenian saya adalah tentang kehidupan keseharian. Selain berkesenian, ada kegiatan yang tidak bisa lepas dari keseharian yaitu; sosial masyarakat. Hampir 30% kehidupan keseharian saya adalah sosial masyarakat. Banyak pengalaman didapat dalam sosial masyarakat. Maka dari itu timbul kegelisahan-kegelisahan dirasakan untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya seni dan sebagai gagasan dalam berkarya.”, demikian tandasnya.

Keempat kawanan seniman ini memang terbilang asyik mengolah medium. Dari kayu yang dipahat cermat hingga merespon barang-barang bekas yang mudah didapat. Kesemuanya tersuguhkan dengan apik dan artistik. Sebagaimana keunikan gagasan dan proses kreatif yang dipaparkan oleh I Wayan Danu berikut :

“(Bicara) konsep; secara fisik/visual karya, saya lebih menyukai merespon benda-benda bekas di sekitar saya, atau dengan cara memungut-mungut. Secara tema; saya merespon kejadian-kejadian yang akan atau belum terjadi pada lingkungan kita. Yang selalu mengusik rasa, dan saya coba suguhkan dalam proses perwujudan sebuah karya.”

Fenomena dan nomena yang ada di dalam lingkungannya, dimaknai dan dipahami, kemudian dituangkannya dalam proses dan bahasa visual yang lugas dan binal. Lukisan seperti Wabah ‘Jari Tengah’ (2011), menjadi satu ungkapan lirisnya atas tingkah nafsu yang mendominasi hidup manusia.

Seperti tiga seniman lainnya, Gus De Jagiran pun banyak mengeksplorasi ruang dan bahan. Ia banyak memanfaatkan apa- apa yang ada di sekitarnya untuk mewujudkan ide dan gagasan dengan bahasa perlambang sebagai gambaran tentang permasalahan-permasalahan sosial, alam dan lingkungan. Aroma tradisi kental tersirat dalam karyanya. Topeng kayu bertajuk Purwa (2011), hadirkan sosok wajah yang cekam. Di pahat di atas kayu waru, berhias ragam ornamen dan kain poleng, semakin menegaskan akar adatnya. Kepiawaian mengolah medium terwujud dalam Sato (2011). Berbahan telethong (tahi) sapi, ia hadirkan bentuk binatang dalam deformasi bentuk yang unik. Dari medium yang ‘tidak bernilai’, diubahnya menjadi karya seni tinggi.

Laju perjalanan kreatif Kelompok Djagoer telah melintas banyak sekat ruang. Bukan saja ruang gagasan, estetik ataupun artistik individu (dan kelompok), kini, perjalanan kreatif mereka menyeberangi pulau! TRY OUT, bukan lagi perkara uji diri, tetapi, Try to get Out !, ‘mencoba untuk keluar’. Keluar dari iklim seni rupa yang mereka rasakan di Bali dan mencari spirit yang ‘lebih’ di kota pelajar ini. Sebagaimana jawaban mereka saat kami lontarkan pertanyaan,

Kenapa Kelompok Djagoer memilih Yogyakarta sebagai tempat untuk presentasi karya?
“ Jogja! Di mana kami ditempa saat itu, -(Di era 90’an, para personel Kelompok Djagoer pernah tinggal, berkarya dan mengeyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta)-, memberikan aura imajinatif bagi kami untuk berupaya lebih memacu diri dalam berkesenian ini. Kami tidak menganggap di Bali tidak ada… akan tetapi kami menganggap Jogja masih sebagai salah satu pusat studi terbaik yang dimiliki oleh bangsa ini … maka wajarlah kiranya bila kami memulai perjalanan kami yang lebih serius dan panjang itu di sini, dan juga melihat Jogja sebagai salah satu ‘mindframe’ pendidikan budaya (khususnya seni rupa) di Indonesia. Untuk daerah lain tentulah kami akan mencari dan menunggu kesempatan-kesempatan itu berikutnya.”

Kota ini memang selalu menarik perhatian siapapun yang pernah singgah, untuk kembali. Terlebih bagi para seniman yang pernah merasakan ‘aura imajinatif’nya- sebagaimana yang diungkapkan di atas. Lawatan ‘kembali’ Kelompok Djagoer ke Yogyakarta, mungkin membawa romantika tersendiri bagi para personelnya. Dan bahkan mungkin, menjadi ‘titik awal (lagi)’ dari perjalanan kesenimanan yang akan mereka tempuh selanjutnya. Sungguh, bagi kami, perjalanan mereka memberikan penghayatan yang lebih. Akan spirit yang harus terus dijaga, tanggung jawab yang mewujud dalam kerja keras, dan ke-bijak-an diri dalam menjalani proses kreatif. Sebuah kesantunan yang tersirat jelas dari jawaban mereka, saat kami lontarkan pertanyaan sebagai penutup perbincangan.

Melalui karya-karya yang akan dipamerkan di Sangkring Art Space Yogyakarta ini, apa yang hendak di tawarkan Kelompok Djagoer kepada publik seni, khususnya di Yogyakarta?

“Kami, Kelompok Djagoer, belum mampu manawarkan apa-apa.. hanya pemaparan proses kami.. dan rasa pertanggung jawaban kami terhadap lingkungan kesenian. Paling tidak diawali untuk diri sendiri, dan tentu “memperkenalkan diri kembali” pada lingkungan seni di Yogyakarta. Kami tidak berekspektasi jauh, tentang nilai yang kami berikan, biarlah semua mengalir lewat pemahaman masyarakat seni Yogyakarta itu sendiri.”
(+++)

Sangkring Art Project (SAP), 1 November 2011, 19:08 wib.
___________________________________
Semua data dan keterangan di atas, diracik dari wawancara yang dilakukan penulis dengan Kelompok Djagoer, yang diwakili oleh I Wayan Arnata, via surat elektronik pada Minggu, 30 Oktober, 2011, 18:41 wib.

 

Art Work