Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-15,page-paged-15,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive

TRYOUT by DJAGOER @ Sangkring Art Project

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pameran : TRYOUT
Oleh : I Wayan Danu, I Wayan Arnata,I Wayan Gede Santiyasa, Gus De Jagiran
Pembukaan : Rabu,9 November 2011 Jam 19.00 wib
Penulis : Hendra Himawan
Pameran berlangsung : 9 – 23 November 2011

 

TRY OUT, catatan perjalanan dan try to get out !
Oleh : Hendra Himawan

“(Pameran) ini sebagai upaya untuk mengapresiasi diri dari proses yang sudah kami lakukan selama ini. Dengan usia kelompok yang masih muda, yang selama ini hanya berpameran di Bali, maka kami dari Kelompok Djagoer ingin mencoba pameran keluar Bali.”

Demikian gagasan dan konsep awal yang diajukan oleh Kelompok Djagoer dalam pameran yang di gelar di Sangkring Art Project (SAP), 9-23 November 2011 ini. Kelompok Djagoer beranggotakan empat sekawan seniman. Mereka adalah I Wayan Danu, I Wayan Arnata, I Wayan Gede Santiyasa, dan Ida Bagus Putra Wiradnyana atau yang akrab di panggil Gus De Jagiran. Meski mereka menyebut kelompok ini baru, senyatanya para personelnya bukanlah orang-orang baru. Mereka adalah seniman-seniman yang telah banyak berbaku hantam dan berasam garam dengan hiruknya seni rupa.
Dalam wawancara singkat kami, I Wayan Arnata, mewakili Kelompok Djagoer mengkisahkan ;

“Keberadaan Kelompok Djagoer sebenarnya dapat dikatakan mulai pada tahun 2003, ditandai dengan pameran kami bertajuk “From the Inner Self” yang diselenggarakan di Art Center Denpasar Bali. Digawangi oleh Wayan Danu, Wayan Arnata, Wayan Gede Santiyasa. Seiring waktu, walaupun kami ‘tetap berkomunikasi’ di jalur kesenian masing-masing, barulah pemikiran tersebut mulai dikristalisasikan kembali, dengan menghasilkan pameran di Ten Fine Art Sanur, karena kami makin menyadari akan kebutuhan kami untuk berkesenian, antara satu dengan anggota yang lainnya.”

Sebagai sebuah kelompok, Djagoer ibarat alat kendara. Tempat mereka menampung spirit untuk terus me-laju-kan karya dan menjaga api keseniannya. Bersama, mereka menempuh perjalanan gagasan dan artistik, perjalanan ruh (soul) estetik dan fisik. Dengan satu wadah, mereka sama-sama terpacu. Agar tidak ada yang alpa, lalai atau tertinggal dari ‘khittah’ kesenimanan dan i’tikad kesenian yang mereka junjung. Hal ini mereka upayakan karena, “masing-masing sudah mempunyai kegiatan keseharian sendiri-sendiri, akan tetapi, “mereka masih menempatkan kehendak serta kegiatan berkesenian melebihi aktifitas lainnya”, demikian tutur I Wayan Arnata.

Mengandaikan pameran mereka kali ini sebagai sebuah perjalanan, maka tema lawatan ke Yogyakarta ini, Kelompok Djagoer mengambil tema yang lugas, TRY OUT ! Sebuah takar uji, yang akan menjadi tolak ukur dari pencapaian diri dalam ranah estetik dan artistik. Secara gamblang, I Wayan Arnata bercerita,

“Latar belakang kami (Kelompok Djagoer) memakai judul TRY OUT adalah untuk menguji kemampuan kami sesungguhnya di dalam berkesenian, paling tidak untuk diri kami sendiri mulanya. Masih pantaskah kami berada di dunia kesenian yang hingar bingar, dan mencoba menawarkan “sesuatu olah visual” yang menurut kami ini pencapaian karya-karya paling akhir yang bisa kami tawarkan, sembari selalu melakukan studi berkesinambungan untuk karya-karya kami selanjutnya.”

Berirama dengan tajuk ‘perjalanan’ mereka saat ini -TRY OUT-, setiap seniman mempunyai catatan yang ingin dan hendak diungkapkan melalui karya-karya mereka. Melihat ke dalam karya, para punggawa Kelompok Djagoer lebih banyak merekam dan berkisah tentang lingkungan keseharian. Potret-potret natural dari adat budaya mereka yang kental.

Sebagaimana gagasan I Wayan Gede Santiyasa dalam karya-karya mixed media on board-nya. Ia berusaha menangkap perubahan “aura lingkungan” sekitar dan pergeseran citra serta nilai tradisi dalam lingkungan tersebut. Hal itu dijadikannya sebagai kasus pembelajaran dalam pengembangan keseniannya. Dengannya, lahir karya-karya Hard to Combine (2011) dan Terikat Romantisme II (2011). Di mana secara simbolis, ia hadirkan nuansa dan narasi klise dari ambiguitas tradisi dan lingkungannya.

Inspirasi dari lingkungan sehari-hari, melandasi segenap proses kreatif I Wayan Arnata. Hal ini dapat kita lihat dari karya-karyanya. Meski sangat eksploratif dalam mengolah media, judul dan visualitas karya hadir dengan lugas. Ngombe Bareng (2010) adalah satu judul yang tentunya menggelitik pikiran kita.

“Karya-karya yang diciptakan dalam berkesenian saya adalah tentang kehidupan keseharian. Selain berkesenian, ada kegiatan yang tidak bisa lepas dari keseharian yaitu; sosial masyarakat. Hampir 30% kehidupan keseharian saya adalah sosial masyarakat. Banyak pengalaman didapat dalam sosial masyarakat. Maka dari itu timbul kegelisahan-kegelisahan dirasakan untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya seni dan sebagai gagasan dalam berkarya.”, demikian tandasnya.

Keempat kawanan seniman ini memang terbilang asyik mengolah medium. Dari kayu yang dipahat cermat hingga merespon barang-barang bekas yang mudah didapat. Kesemuanya tersuguhkan dengan apik dan artistik. Sebagaimana keunikan gagasan dan proses kreatif yang dipaparkan oleh I Wayan Danu berikut :

“(Bicara) konsep; secara fisik/visual karya, saya lebih menyukai merespon benda-benda bekas di sekitar saya, atau dengan cara memungut-mungut. Secara tema; saya merespon kejadian-kejadian yang akan atau belum terjadi pada lingkungan kita. Yang selalu mengusik rasa, dan saya coba suguhkan dalam proses perwujudan sebuah karya.”

Fenomena dan nomena yang ada di dalam lingkungannya, dimaknai dan dipahami, kemudian dituangkannya dalam proses dan bahasa visual yang lugas dan binal. Lukisan seperti Wabah ‘Jari Tengah’ (2011), menjadi satu ungkapan lirisnya atas tingkah nafsu yang mendominasi hidup manusia.

Seperti tiga seniman lainnya, Gus De Jagiran pun banyak mengeksplorasi ruang dan bahan. Ia banyak memanfaatkan apa- apa yang ada di sekitarnya untuk mewujudkan ide dan gagasan dengan bahasa perlambang sebagai gambaran tentang permasalahan-permasalahan sosial, alam dan lingkungan. Aroma tradisi kental tersirat dalam karyanya. Topeng kayu bertajuk Purwa (2011), hadirkan sosok wajah yang cekam. Di pahat di atas kayu waru, berhias ragam ornamen dan kain poleng, semakin menegaskan akar adatnya. Kepiawaian mengolah medium terwujud dalam Sato (2011). Berbahan telethong (tahi) sapi, ia hadirkan bentuk binatang dalam deformasi bentuk yang unik. Dari medium yang ‘tidak bernilai’, diubahnya menjadi karya seni tinggi.

Laju perjalanan kreatif Kelompok Djagoer telah melintas banyak sekat ruang. Bukan saja ruang gagasan, estetik ataupun artistik individu (dan kelompok), kini, perjalanan kreatif mereka menyeberangi pulau! TRY OUT, bukan lagi perkara uji diri, tetapi, Try to get Out !, ‘mencoba untuk keluar’. Keluar dari iklim seni rupa yang mereka rasakan di Bali dan mencari spirit yang ‘lebih’ di kota pelajar ini. Sebagaimana jawaban mereka saat kami lontarkan pertanyaan,

Kenapa Kelompok Djagoer memilih Yogyakarta sebagai tempat untuk presentasi karya?
“ Jogja! Di mana kami ditempa saat itu, -(Di era 90’an, para personel Kelompok Djagoer pernah tinggal, berkarya dan mengeyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta)-, memberikan aura imajinatif bagi kami untuk berupaya lebih memacu diri dalam berkesenian ini. Kami tidak menganggap di Bali tidak ada… akan tetapi kami menganggap Jogja masih sebagai salah satu pusat studi terbaik yang dimiliki oleh bangsa ini … maka wajarlah kiranya bila kami memulai perjalanan kami yang lebih serius dan panjang itu di sini, dan juga melihat Jogja sebagai salah satu ‘mindframe’ pendidikan budaya (khususnya seni rupa) di Indonesia. Untuk daerah lain tentulah kami akan mencari dan menunggu kesempatan-kesempatan itu berikutnya.”

Kota ini memang selalu menarik perhatian siapapun yang pernah singgah, untuk kembali. Terlebih bagi para seniman yang pernah merasakan ‘aura imajinatif’nya- sebagaimana yang diungkapkan di atas. Lawatan ‘kembali’ Kelompok Djagoer ke Yogyakarta, mungkin membawa romantika tersendiri bagi para personelnya. Dan bahkan mungkin, menjadi ‘titik awal (lagi)’ dari perjalanan kesenimanan yang akan mereka tempuh selanjutnya. Sungguh, bagi kami, perjalanan mereka memberikan penghayatan yang lebih. Akan spirit yang harus terus dijaga, tanggung jawab yang mewujud dalam kerja keras, dan ke-bijak-an diri dalam menjalani proses kreatif. Sebuah kesantunan yang tersirat jelas dari jawaban mereka, saat kami lontarkan pertanyaan sebagai penutup perbincangan.

Melalui karya-karya yang akan dipamerkan di Sangkring Art Space Yogyakarta ini, apa yang hendak di tawarkan Kelompok Djagoer kepada publik seni, khususnya di Yogyakarta?

“Kami, Kelompok Djagoer, belum mampu manawarkan apa-apa.. hanya pemaparan proses kami.. dan rasa pertanggung jawaban kami terhadap lingkungan kesenian. Paling tidak diawali untuk diri sendiri, dan tentu “memperkenalkan diri kembali” pada lingkungan seni di Yogyakarta. Kami tidak berekspektasi jauh, tentang nilai yang kami berikan, biarlah semua mengalir lewat pemahaman masyarakat seni Yogyakarta itu sendiri.”
(+++)

Sangkring Art Project (SAP), 1 November 2011, 19:08 wib.
___________________________________
Semua data dan keterangan di atas, diracik dari wawancara yang dilakukan penulis dengan Kelompok Djagoer, yang diwakili oleh I Wayan Arnata, via surat elektronik pada Minggu, 30 Oktober, 2011, 18:41 wib.

 

Art Work

[nggallery id=49]

Junk 2 Funk


Junk + Imagination = Funk!

Menyusuri setiap kios di sepanjang Jejeran atau menyambangi kios demi kios klithikan di Pasar Niten, memilih dan memilah barang bekas, adalah bagian dari laku kreatif yang dilakukan @name. Mereka mengumpulkan onderdil bekas sepeda, motor hingga alat-alat rumah tangga berbahan metal. Dari gear, as, hingga baut-baut berukuran besar. Material inilah yang akan diolah menjadi karya tiga dimensi (sculpture). Biasanya, saat memilih bahan, mereka telah membayangkan figur yang hendak mereka buat, meski belum pasti benar material itu akan digunakan. Dengan sendirinya imajinasi mereka bertumbuh saat melihat barang-barang bekas temuan tergelar di depan mata.
Sejenak setelah terkumpul bahan, material bekas itu segera disusun dan dirangkai. Mengkombinasikan satu persatu bagian sesuai dengan imajinasi. Spirit bermain sangat kental disini. Dengan las listrik dan elektroda, onderdil bekas dirakit membentuk figur binatang yang unik. Anjing, babi, burung adalah objek-objek yang mereka pilih. Kedekatan mereka dengan binatang, adalah alasan mendasar dari pemilihan pokok perupaan karya. Dalam kerja bengkel mereka, tidak ada proses kreatif yang baku. Saat figur yang dibuat tidak sesuai dengan keinginan, mesin gerinda dan gergaji besi akan membongkarnya.
Proses penciptaan karya @name memang penuh eksperimentasi. Mereka menelusuri jengkal demi jengkal kemungkinan dan peluang kebentukan yang dirasa mampu memenuhi selera artistik yang diinginkan. Gagasan konseptual, terkadang hanya terbetik saja diawal. Banyak diantaranya berjalan beriring dengan proses penciptaan karya. Aspek formalistik menjadi poin penting dalam kekaryaan @name. Di dalam karyanya kita temukan imajinasi yang kuat, ide yang genial dan eksekusi karya yang terfikirkan dengan benar. Pilihan material, perakitan, ornamentasi hingga presentasi visual mereka hadirkan dengan seksama.
Imajinasi kebentukan dan pemahaman akan material, mendapatkan porsi yang lebih dalam laku kreatif ini. Penuh dengan kejutan! Terkadang figur binatang yang diciptakan sangat rumit, penuh detail ornamentik, namun sesekali tampil sederhana dan unik. Meski gagasan penciptaan banyak diawali dengan kebentukan, senyatanya karya-karya @name memberikan tawaran estetika yang lain. Mereka suguhkan proses kreatif dan presentasi yang berbeda, tanpa kehilangan muatan makna. Memahami proses kreatif mereka, pergulatan konseptual yang diusung melalui karya sangatlah kuat.
Ikhtiar yang dihadirkan dalam ragam karya tiga dimensi ini adalah sebuah upaya untuk memberikan ‘nilai lebih’ atas barang-barang bekas pakai, yang selama ini lebih dianggap sebagai sampah. Mengolahnya menjadi karya seni dengan sentuhan estetik yang tinggi. Bukan sekedar perkara artistik. Kesadaran estetik yang ditawarkan @name senyatanya mampu memberikan pemahaman kepada penonton akan konsepsi seni yang lebih dekat dengan lingkungan sehari-hari. Karya-karya yang dipresentasikan @name mempunyai cakupan interpretasi yang luas. Dari persoalan material, seni visual, suistanability edukasi, isu lingkungan hingga industrialisasi. Terlepas dari sudut pandang mana kita menginterpretasi dan mengapresiasi, sungguh, kerja kreatif berbasis eksperimentasi yang dilakukan oleh @name mampu memberikan inspirasi untuk mempertimbangkan kembali pola-pola konsumsi dan pemanfaatan sampah industri dengan cara yang inovatif dan unik, namun provokatif dan mengesankan.

Hendra Himawan, Sangkring Art Project, 2011

 

Sangkring Art Project Cordially invites you on the opening of “JUNK 2 FUNK” by @Name

Writer by Hendra Himawan

On Saturday, 22 october 2011, at 7 pm

at Sangkring Art Project

Nitiprayan no.88 Yogyakarta 55182, Telp. (0274) 381032; 081227675678

 

The exhibition will run until November 1st, 2011

Profil @name

[nggallery id=47]

Art Work

[nggallery id=44]

Opening

[nggallery id=45]

 

 

Pameran Seni rupa “Kembali Ke masa Depan”

 

 

Pembukaan : Selasa, 18 Oktober 2011, Jam 19.00 wib
Pameran di buka oleh : Dr. Oie Hong Djien
Kurator : Wahyudin
Pameran berlangsung : 18 Oktober – 27 November 2011
Diskusi dan peluncuran buku : Minggu, 27 November 2011

Lebih-kurang dua dasawarsa. Setelah mereka menyeberang dari Sumatera Barat dan Bali ke Yogyakarta demi sesuatu bernama cita-cita yang terbayang bersarang di kampus Institut Seni Indonesia. Mereka, kini—dengan ijazah atau tak—telah menjadi sejumlah sosok yang menandai keberadaan dan keberagaman seni rupa Yogyakarta dalam ranah penuh daya cipta di negeri ini—juga di mancanegara.
Mutatis-mutandis, mereka pun menyintas sebagai perupa-perupa Yogyakarta asal Sumatera Barat dan Bali; sebagai perupa-perupa Indonesia yang tinggal dan berkarya di Yogyakarta dan sekitarnya; sebagai perupa-perupa Indonesia yang malang-melintang di sejumlah forum seni rupa dunia.
Pameran ini—dirancang bersama melalui sejumlah pertemuan, diskusi, dan wawancara—ingin mengetengahkan apa-apa yang menyeberang dan apa-apa yang menyintas dalam proses kreatif mereka lewat satu-dua karya seni rupa yang lalu-kini mereka ciptakan.
Dengan begitu, sudut-pandang apresiasi yang hendak dikemukakan pameran ini adalah bahwa mereka telah melewati titik kreativitas yang memungkinkan mereka kembali menyelam ke dalam masa lalu untuk menghirup masa depan yang tak tepermanai—sekalipun kita tahu seorang di antara mereka sudah berkalang tanah.
Mereka adalah Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, M. Irfan, Nyoman Masriadi, Nyoman Sukari (alm.), Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Yunizar, dan Yusra Martunus.

—Wahyudin, Kurator Pameran

Opening

[nggallery id=41]

Art Work

[nggallery id=48]

 

Post Hybridity by Soulscape @ Sangkring Art Space

Pembukaan : Senin, 19 September 2011, Jam 19.00 wib

POST HYBRIDITY

Wacana post hybridity akhir-akhir ini masuk ke berbagai ranah dan disiplin ilmu. Sebuah kesadaran untuk menggali, mengadaptasi, merancang ulang, dan mempresentasikan nilai-nilai hybrid yang universal. Sebuah eksplorasi konseptual singkat dari isu-isu yang dipertaruhkan dalam pasca-kolonial, literatur global, kanon terus berkembang yang dicuatkan William Gibson yang senada dengan Sujata Massey ‘The Floating Girl’ yang menyatakan bahwa; fungsi buku sebagai cerita detektif yang relatif sederhana dan lurus diceritakan dan bukan sekedar teks ‘sastra’, dan sebuah dedikasi suatu fiksi estetika. Sebagai upaya lebih mendalami risalah struktur dan isinya. Yakni sebuah lokalitas dipindai sebagai sebuah upaya pemberdayaan nilai ‘purity’ puritan, bagaimana sebuah tinjauan hibriditas melepaskan diri dari aspek yang kita sebut sebagai lokalitas dan bagaimana memunculkan nilai-nilai universalitas atas lokalitas puritan bahkan dalam bentuk barunya dari hibriditas yang sejatinya bertumpu pada pengolahan kesadaran lokalitas? Kita hendak menjadikannya instrumen tersebut untuk menemukan relasi-relasi khusus ketika kita menggali sumber gagasan, berhadapan maupun dalam mendedah sebuah karya visual. Bahkan hampir semua karya seni di dunia bertitik tolak dari aspek-aspek tersebut.

Aspek lokalitas (tradisi) dan perkembangan urban cultures serta rangsekkan budaya kontemporer yang perlahan segera menggeser peta kebudayaan menjadi landscape yang menarik untuk tak sekedar mencermatinya namun memesonakan kita semua. Namun, hal tersebut tak menggeser kesadaran kreatif seniman Indonesia terhadap kesadaran nilai-nilai budaya lokal (local genius) yang senantiasa diacu sebagai bagian dari spirit proses penciptaan seni dalam semangat universalitas. Post Hybridity seolah bergerak mengimbangi arus homogenisasi budaya semakin menegaskan bahwa globalisasi, kapitalisme, konsumerisme menimbulkan hilangnya keragaman budaya, pertumbuhan ‘kesamaan’ dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperialisme budaya. Argumentasi ini seputar dominasi suatu kebudayaan atas kebudayaan lainnya yang biasanya disebut dalam konteks ‘lokalitas’ nasional. Robins (1991: 25) menyatakan bahwa hal tersebut muncul karena memproyeksikan dirinya sebagai transhistoris dan transnasional sebagai kekuatan modernisasi, modernitas yang transenden dan bersifat universal. Maka kapitalisme global pada kenyataannya terkait langsung dengan proses ‘pembaratan’ eksport komoditas, nilai, prioritas, dan cara hidup barat. Pada konteks semacam ini dibutuhkan sebuah kesadaran lokalitas dengan menggali problem wisdom dan berbagai persoalan kontemporer yang tengah berkembang deras di sekeliling kita dengan sebuah orientasi membangun kembali sebuah aktivitas-aktivitas kebudayaan hybrid termasuk praktik kesenian yang berdasar kesadaran hybridity. Konteks ini tentu mengacu pada dominasi muatan lokal sebagai referensi seorang seniman merumuskan konsep kritis melalui berbagai penanda formal estetika.

Rusnoto Susanto

Art Work

[nggallery id=42]

Opening

[nggallery id=43]

 

COURAGE by Noor Ibrahim @Sangkring Art Space

Pembukaan : Sabtu, 6 Juli 2011, Jam 19.30wib
Pameran dibuka oleh : arch.dipl.ing.Cosmas D. Gozali. IAI
Pameran berlangsung : 6 – 20 Juli 2011

COURAGE
ALLEZ COURAGE ……..! terdengar suara tegas seorang gadis Paris, ketika aku sedang membuat self potretnya distudio. Allez Courage, yang katanya bermakna ayo semangat, mengingatkan aku akan figur-figur karya seni patung binatang, yang sudah aku finishing untuk pameran di Sangkring. Binatang pada umumnya memiliki semangat dan keberanian, juga insting yang kuat untuk bertahan hidup dari alam yang keras dan berkuasa.

Kehidupan memang memiliki seleksi alam yang ketat, maka kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan binatang. Jika tidak memiliki semangat hidup yang lebih tinggi, maka alam akan melibasnya. Manusia seharusnya belajar dari intensitas binatang terhadap alam. Harmonis dan selaras dengan lingkungan alam dimana dia hidup. Karena binatang itu selalu mengambil secukupnya apa yang ada pada alam. Dalam pameran ini saya hanya ingin bicara tentang manusia melalui binatang. Yang membedakan manusia dengan binatang adalah otak atau pikirannya. Tetapi saya lihat banyak sekali manusia yang memuja kepandaian otaknya, kemudian menjadi kehilangan rasa kemanusiannya. Kecerdasan yang akhirnya saling menghancurkan.  Betapapun tingginya sains dan tehnologi yang sudah dicapai manusia. Jika dampak tehnologi itu masih merusak alam, maka akan sia-sialah kemajuan dan pencapaian tehnologi itu. Apalagi kita semua tahu bahwa sampah tehnologi menjadi racun yang mengancam kelayakan hidup umat manusia. Saya kira jika manusia tidak segera bisa mengenali siapa dirinya. Maka manusia itu akan mengalami ketakutan dan tidak punya semangat hidup.
Tidak memiliki keseimbangan antara dunia dalam tubuh dengan dunia diluar tubuh, semesta alam yang absolute.

-Noor Ibrahim-

Binatang-Binatang Ibrahim

Noor Ibrahim. Pematung bertubuh tambun dengan misai lebat dan kacamata mungil bergagang oranye ini menemurupakan binatang sebagai pokok perupaan dan perenungan dalam pameran tunggalnya ini kali.

Sudah barang tentu kita tahu bahwa pokok perupaan binatang bukanlah pokok perupaan baru dalam khazanah seni rupa—khususnya seni patung—di negeri ini. Alih-alih, pokok perupaan ini bak mataair inspirasi bagi para seni rupawan untuk menggambarkan dan menyatakan pemahaman dan penghayatan atas realitas sosial politik yang berlangsung di sekitarnya.

Noor Ibrahim menemurupakan sejumlah binatang—antara lain ayam, capung, gajah, kuda, burung, jerapah, kalajengking, dan semut—dalam bentuk alamiah dengan ukuran gigantik yang menumbuk mata.

Noor Ibrahim menemurupakan hewan-hewan itu secara ekspresionistis—dengan memalu dan mengelas—yang bekas-bekasnya meminta perhatian pemirsa untuk merenungkan kembali apa artinya mereka—binatang-binatang itu—dalam kehidupan sehari-hari manusia.

Dengan begitu, patung-patung hewan Ibrahim ini dipajang bukan sebagai sekadar model-penggambaran atau karya seni rupa sebagai suatu penggambaran seni rupawan atas suatu kenyataan, melainkan sebagai model-pernyataan atau karya seni rupa sebagai suatu pernyataan seni rupawan atas suatu fenomena.

Noor Ibrahim—melalui pameran ini—rupanya ingin menyatakan bahwa binatang, dengan segala kisah kehidupannya yang tersirat, dapat menghela manusia menuju hikmat kebijaksanaan dari kumpulan margasatwa yang berakal-budi.

—Wahyudin AS   

 

Image karya COURAGE
[nggallery id=37]

 

Opening COURAGE

[nggallery id=38]

Abu Bakar:Menyingkir by Abu Bakar @ Sangkring Art Project

Pembukaan : Kamis, 11 Agustus 2011, 19.30 wib
Pameran dibuka oleh : Ibu Dian Anggraeni
Diskusi : Jumat, 12 Agustus 2011, Jam 15.30 wib
Tema diskusi : Karya dan Intensitas perupa
Pembicara : Rain Rosidi, dan Abu Bakar
Pameran berlangsung : 11 – 25 Agustus 2011

Tentang Menyingkir

Menyingkir bukanlah tersingkir atau disingkirkan. Ia merupakan sebuah sikap yang dipilih secara sadar. Mungkin saja memang ada tekanan di sekitar atau oleh satu hal. Bentuknya tak hanya sakit dan derita, bisa pula iming-iming atau godaan untuk hidup nyaman dan mapan.  Namun bukan karena kalah kalau kemudian seseorang memutuskan untuk menyingkir. Seseorang yang menyingkir, hakikatnya adalah seseorang yang membuat jarak dengan pusat  “tekanan”. Tidak saja membuatnya jauh dari hiruk-pikuk, terhindar dari cipratan dan efek tak diinginkan, namun sekaligus membuatnya mencipta “jarak aman” untuk membaca keadaan dengan lebih jernih. Ia tidak lari apalagi bersembunyi; ia terus membaca keadaan dan tidak tinggal diam.

Dengan demikian, seseorang yang menyingkir tidak memanggul dendam kesumat, tidak perlu merasa “dikutuk-sumpahi eros” atau merangkaki dinding buta, namun pasti membangun perhitungan untuk “sesekali betah bertahan.” Itulah sebabnya, menyingkir bisa pas bersebati dengan berbagai situasi yang bernilai perhitungan—mundur selangkah untuk maju beribu langkah—misalnya saja dalam konteks gerilya atau bahkan hijrah. Menyingkir dalam kamus gerilya bukanlah kekalahan, bukan pula ungkapan atau sikap yang tabu untuk dijalankan. Begitu pun dalam (peristiwa) hijrah: para kafilah secara sadar meninggalkan kota asal untuk menapaki kota lain, tidak saja membuat mereka lebih tenang membikin perhitungan, namun sekaligus bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang baru, khususnya yang sevisi dan seiman.

Segala sesuatu pun lalu menjadi mungkin. Kota asal atau markas yang ditinggalkan, tidak begitu saja lampus dalam kenangan melainkan justru hidup berkilap, dan seumpama lampu mungkin ia mencapai puncak paling terang; dari situ seseorang yang menyingkir memungut serpih dirinya, pengalaman dan peristiwa yang dialaminya. Ia akan mengolahnya sesuai posisi atau profesi. Bagi seorang kreator, itulah sumber penciptaan. Diaduk dengan realitas sekitar (wilayah kekinian tempatnya menyingkir), maka lahirlah karya-karya yang sanggup merefleksikan perjalanan hidup dalam segala keadaan.

Spirit inilah yang kita tangkap dari proses kreatif dan karya-karya Abu Bakar, ia yang secara sadar meninggalkan hiruk-pikuk kota besar (Denpasar, Jakarta, Bogor), menyingkir ke sebuah desa terpencil di lereng Gunung Merapi, Klaten. Begitulah ia menyelamatkan proses kreatifnya; menyingkir untuk waktu yang tak digariskan. Mungkin ia akan selamanya menyingkir, menghabiskan sisa umur di “sarang” yang membuat ia lebih tenang, tidak mengapa. Toh, ia bisa kembali, pergi dan pulang, ke luar-masuk ke berbagai tempat yang ia inginkan, melalui karya-karya rupa yang ia gubah dalam berbagai teknik dan ekspresi.  Sekaligus dengan itu, ia berhasil mengambil “jarak aman” dari sumber-sumber tekanan: penciptaan yang instan, trend dan perayaan, maupun tangan-tangan pasar-kapital yang berkelindan di seputaran dunia kreatif seniman. Dengan spirit menyingkir itulah, kini kita menikmati karya Abu Bakar yang sekaligus juga bernilai dokumentatif bagi kerja kesinamanannya yang panjang.

(Raudal Tanjung Banua)    

 

Melihat Kesenian Abu Bakar 

I

Kita tahu, realisasi pameran yang materi presentasinya sebagian besar dekat dengan proses kreatif sebuah genre Seni Rupa yang lazim disebut Seni Sketsa akan selalu memunculkan tantangan tersendiri. Bukan karena pemikiran kontroversialnya di seputar genitnya pertentangan kalangan akademis akan kelayakannya untuk disebut sebagai karya rupa yang utuh, karena adanya perdebatan yang menempatkan Seni Sketsa merupakan sekedar studi awal sebelum dilanjutkan menjadi sebuah lukisan. Tantangan signifikannya justru terletak pada semakin jarangnya pameran serta pewacanaan tentangnya. Berakibat pada terjadinya penghilangan potensi Seni Sketsa sebagai salah satu bahasa artistik dalam sebuah usaha representasi visual.

Padahal sejak awal munculnya Seni Rupa modern Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan, Seni Sketsa secara bentuk dan fungsi telah dipraktekan dan dibicarakan sebagai ekspresi rupa yang kompleks. Salah satu jejak yang dapat kita rujuk misalnya saat dibukukannya  karya-karya Seni Sketsa Henk Ngantung (1981) yang sebagaian besar merupakan dokumentasi peristiwa-peristiwa medan perang, suasana perjanjian-perjanjian dan kehidupan sehari-hari penduduk. Isi buku yang diseleksi dan diberi pengantar oleh Nashar dan Burhanuddin M.S tersebut memuat banyak pemikiran dan informasi perkembangan Seni Sketsa, termasuk kegiatan pameran-pameran selama periode revolusi kemerdekaan yang menyandingkan Seni Sketsa dengan genre Seni Rupa lainnya.

Permasalahan yang merisaukan ini, oleh Sanento Yuliman di pertengahan tahun 90-an ditengarai muncul dari sikap awal boom Seni Rupa yang memandang sebelah mata material kertas dan cat berbasis air dibandingkan material kain kanvas dan cat minyak pada Seni Lukis. Imbasnya langsung terlihat nyata pada  penyusutan dalam ragam medium, yaitu macam bahan dan teknik. Sikap ini berujung pada penyempitan wawasan medan dunia Seni Rupa yang gejalanya disebut Sanento sebagai fenomena pemiskinan.

II

Istilah  Sketsa sering dipahami sebagai lintasan peristiwa, sekilas yang ditangkap dalam sekali pandang. Menurut Le Meyers (1969), Sketsa merupakan gambar catatan. Pada pengertian ini,  terdapat keinginan perupanya untuk merekam kejadian atau objek yang dilihat sebagai momen yang menarik perhatian dengan cepat dan spontan. Di sinilah, peran garis menjadi elementer karena kesederhanaan aplikasinya mendukung kepentingan pengabadian kesesaatan tersebut. Baik lewat goresan sebatang lidi maupun sapuan kuas. Baik lewat perpaduan beberapa warna maupun monokrom saja.

Jika kita mulai memperhatikan karya-karya Abu Bakar yang dipamerkan, dapat dikatakan ia masih terlihat menggeluti objek pokok tradisi seni Sketsa yaitu, manusia, tumbuhan dan bangunan. Namun nilai hasil bentuk dan isi sketsa Abu Bakar bukanlah terletak pada objek, tapi pada tenaga perasaan-perasaannya. Maka, tidak mengherankan dalam perkembangannya, objek pokok tersebut mengalami deformasi, baik lewat simplikasi, distorsi dan stilisasi. Corak ini, didorong oleh gejolak emosi dan spontanitas yang kuat, sebagai tanda bekerjanya tenaga yang menekan dan menarik bentuk. Karya dengan judul Tribute to Pak Lempad dan Dancer memberi penggambaran ini. Bahkan kemudian, muncul usaha Abu untuk memaksimalkan batas pencapaian potensi garis dan warna yang membawanya pada pemurnian objek. Sebuah konsekuensi ketertarikan pada permainan irama garis dan komposisi bidang yang memang merupakan unsur pokok menuju seni abstrak. Karya berjudul Sepatuku, Pending dan Oret-oret  adalah perwujudannya.

Menggoreskan garis juga adalah pernyataan pikiran, di mana sikap terhadap tema akan lahir. Tema-tema yang berpihak pada kondisi sosial banyak muncul dalam seni Sketsa Abu Bakar. Mulai dari isu lingkungan, kemiskinan sampai ancaman global senjata nuklir. Menariknya, cara menyatakan persoalan ini selalu memakai sudut pandang pengalaman dari dunia orang-orang yang paling lemah dan rentan. Kaum ini, biasanya terdiri dari perempuan dan anak-anak. Hal  yang dengan gamblang ditangkap pada karya Anak Jalanan, The Nucleer Menace dan Pohon Terakhir. Kalaupun kadang kaum lelaki hadir sebagai objeknya, seperti dalam judul  Tribute to Tjokot dan Pak Sito tetap saja hadir bukan sebagai tubuh yang tegap tapi sudah tua dan renta.

Dari sebagian besar karya seni Sketsa Abu Bakar yang dipamerkan terdapat juga karya-karya yang berbeda secara genre dan dapat dikatergorikan sebagai Seni Batik, Seni Grafis dan Seni Lukis. Namun jika diteliti dengan seksama, teknik yang digunakan untuk membentuk suasana objeknya tetaplah meninggalkan jejak ekspresi sebuah Seni Sketsa. Keberanian Abu Bakar untuk melakukan eksperimen terhadap  Seni Sketsanya dengan beragam bahan dan teknik, pantas mendapatkan apresiasi khusus. Salah satunya adalah penggunaan teknik Cetak Saring. Hal ini, pada prakteknya langka dilakukan, alasannya tentu untuk menjaga kepentingan ekspresi garisnya. Uniknya, Abu Bakar sukses mempertahankan kekuatan ekspresi garis pada karya cetaknya.

III

Dalam Seni Rupa Indonesia melalui tafsir “jiwa ketok” S. Sudjojono garis dipercaya memiliki hubungan erat dengan karakter dan ekspresi. Maksudnya, betapapun bentuk tercipta setelah sebuah garis ditorehkan, baik itu berbentuk lurus, patah-patah, melengkung dan berulang atau sebagainya, itu bukanlah yang utama. Sebab yang terpenting ia telah menunjukkan dengan gamblang bentuk karakter seseorang yang telah mewakili pengertiannya terhadap kenyataan sekelilingnya dengan jujur.

Pameran ini, adalah contoh dari upaya untuk mewarisi sikap jujur dalam menjalani proses berkarya Seni Rupa tersebut. Kita dibantu untuk mulai yakin bahwa hasil kesenian memiliki kesinambungan erat dengan karakter dan ekspresi yang diperjuangkan senimannya. Walaupun sialnya sikap ini, pada kenyataannya sering menggiring si seniman untuk senantiasa memilih menyingkir dari gelanggang dunia seninya yang acap kali dalam perkembangannya menjurus dekaden. Tapi jika dilihat dari konsekuensi dan capaian karyanya, Abu Bakar telah memberi nilai setimpal untuk hasil keseniannya.

(M. Yusuf Siregar)

Abu Bakar lahir di Sulawesi Selatan tahun 1925. Mengikuti pameran Adelaide Festival of Arts dan Christian Art Exibition Melbourne, Australia (1980), Christian Art in Asia, University of British Columbia, Vancouver, Kanada (1983) dan tahun 1986 bersama Ivan R berpameran di Goethe Institut, Jakarta. Mantan penata artistik Majalah Oukumene ini, pernah meraih Juara II Lomba Poster Internasional “Your Kingdom Come”, World Council of Churches, Swiss. Bukunya yang sudah terbit adalah Dolanan (kumpulan puisi, 2009) dan Sepilihan Karya Abu Bakar (kumpulan karya rupa, 2010).

 

Diskusi Abu Bakar Menyingkir by Abu Bakar

[nggallery id=39]


SAGE RESIDENCY #2 ‘Yogyakarta’ @ Sangkring Art Project

 

 

 

 

 

Artist :  Christopher H. Zamora (Philippine), Josef Zean Cabangis (Philippine), Choiruddin (Indonesia),  Nugroho Heri Cahyono (Indonesia), Chong Kim Chiew (Malaysia), Suddin Lappo (Malaysia)

Kurator : Hendra Himawan

Pameran berlangsung : 11 – 23 Juli 2011

Organizer : Tenggara, House of Matahati (HOM), Project space Pilipinas

Tempat : Sangkring Art Project

SAGE residensi 2011 : sebuah catatan ringkas

Yogyakarta, menjadi tempat singgah ke 2 program SAGE (South East Asia Group Exchange) Residensi 2011. Adalah sebuah program pertukaran seniman, program residensi, yang melibatkan kelompok  seni  visual dan perupa dari negara-negara di Asia Tenggara. Program ini bertujuan untuk menjalin  hubungan sesama seniman, sekaligus membuka kesempatan untuk membangun jaringan kesenian di antara negara-negara yang terlibat. Program residensi  ini digagas oleh Tenggara Artland (Indonesia), House of Mata Hati (Malaysia), Project Space Pilipinas (Philipina).

Menyertai mereka selama proses residensi, saya mencatat beberapa hal menarik dari proses kreatif yang  telah dilakukan. Suasana Yogyakarta yang hiruk pikuk dengan kehidupan seni rupa, menjadi bagian menarik sepanjang pelaksanaan residensi. Lawatan ke studio seniman, menyaksikan event pembukaan pameran, obrolan  dan diskusi bermalam-malam menjadi energi tersendiri. Wacana kesenian, market hingga perkara-perkara teknis penciptaan, menjadi bahan diskusi yang menarik untuk memahami kondisi medan seni rupa di negara masing-masing. Berpijak dari obrolan dan diskusi ini pula mereka mengancang karya-karya kolaborasi, di mana pertukaran gagasan, isu yang hendak dituju, pokok perupaan yang hendak dituangkan hingga pertimbangan material dan teknis penciptaan menjadi poin tersendiri. Kebiasan praktik kerja masing-masing seniman yang berlainan juga melahirkan negosiasi dan sharingkerja yang sangat menarik.

Menemani proses mereka berkarya, saya melihat ruh dan spirit yang sama dalam tajuk kekaryaan mereka, sebuah spirit dari masyarakat negara berkembang yang kritis dan terus bergeliat. Persoalan identifikasi diri, identitas, sejarah, akar kultur hingga persoalan modernitas dan globalisasi menjadi pertanyaan-pertanyaan kritis yang mereka lontarkan. Seperti Chong Kim Chiew menggunakan peta sebagai bahasa untuk mempertanyakan sejarah wilayah. Bagaimana kekuatan sosial politik, mampu merubah teritori, perbatasan hingga kontur demografis manusianya. Dengan media akrilik dan spidol boardmarker, ia pertemukan semua teks wilayah, jalan dan sungai, dan nama tempat dari seluruh wilayah dunia dalam selembar kertas. Carut marut tanda itulah yang menarik kita pada batas-batas memori akan ruang yang telah tererosi, sekaligus mengajak kita untuk menilik ulang konstruksi identitas. Ingatan akan kampung halamannya, Malaysia, menuntun Suddin Lappo untuk terus mengungkapkan kondisi negaranya saat ini. Bagaimana perjuangan rakyat Malaysia menegakkan demokrasi yang bersih disiratkannya dalam figur potret diri memegang kartu kuning. Warna yang identik dengan kompensasi pelanggaran dalam permainan sepak bola, di mana warna kuning juga menjadi simbol perjuangan rakyat Malaysia saat ini. Sebagai seniman, ia termasuk seniman yang kritis. Nada satire akan kebijakan negara berikut tingkah laku para aparatusnya seringkali tersemat dan terdengar dalam karya-karyanya.

Zean Cabangis, seniman muda dari Philipina ini banyak mencermati kontur lingkungan dari suatu tempat yang dikunjunginya, untuk kemudian disatukannya secara acak dalam bidang kanvas. Mulai dari figur, pohon, hingga benda-benda yang identik dengan tempat tersebut disusun dengan pendekatan teknik realism yang dipadu dengan corak-corak grafis sebagai elemen pendukung. Zean lebih banyak menyoal tentang identifikasi ruang berikut tegangannya dengan psikologi masyarakatnya, hingga respon audiens saat karya itu dipresentasikannya. Sementara Christopher Zamora asyik berkolaborasi dengan Nugroho Heri Cahyono. Persoalan globalisasi dan modernitas yang melanda dunia ketiga, telah menyebabkan masyarakatnya terkapar dengan kondisi ini. Konstruksi baja berbentuk diamond dimaksudkan sebagai ikon dari modernism, menindih sosok figur manusia yang menahannya tak berdaya. Seolah gambar bercerita, tubuh  sang figure itupun layuh pada panel berikutnya. “Inilah gambaran masyarakat yang tidak sanggup menanggung beban modernitas dan globalisasi, mereka menyerah dan jatuh terkapar”, demikian ungkap Heri.  Sementara persoalan art scene saat ini yang chaotic coba diungkapkan Choiruddin dalam potret seorang gadis yang dikelilingi buih. Samar-samar terlihat sobekan kertas bertulis ‘galeri’, suatu tanda yang mengundang konflik visual tersendiri. Apakah wacana art scene yang terkesan konseptualistik, molek dan cantik, hanyalah buih-buih basa yang hadir untuk menutupi kepentingan market yang sebenarnya?

Merangkai setiap gagasan visual dan pemikiran mereka, saya menangkap sebuah gajala kritis mereka atas perkembangan seni rupa kontemporer saat ini. Bagaimana seni kemudian hadir sebagai sebuah strategi diplomasi kebudayaan yang menarik, beririrng dengan perputaran kapital yang maha dahsyat. Bukan untuk menafikkannya, akan tetapi menjalin sebuah pemahaman bersama untuk kemudian bersikap kritis dan seksama. Ada sebuah strategi kesenian yang mesti dibangun secara bersama-sama, tidak saja dalah satu teritori, namun melintas sekat pembatas negara.  Upaya kerja jaringan ini harus terus diupayakan dengan tetap berpijak pada identifikasi diri, meyakini identitas asal dan akar kultural serta menjalin kerja kolektif yang kontributif. Senyatanya setiap gagasan karya mereka mengancang pada persoalan identitas yang terbelah dan problematik. Setiap karya hadir dalam nuansa dan wacana yang dalam. Proses kerja mereka selama residensi menunjukkan karakter yang beragam. Layaknya sebuah motivasi, mencermati perspektif mereka terasa ad upaya identifikasi diri yang lebih, reposisi wacana kekinian, hingga upaya pemetaan posisi seni rupa kontemporer Asia Tenggara dalam peta seni dunia.

Program residensi SAGE ini merupakan sebuah program kerja jaringan yang sangat baik dalam membuka peluang komunikasi dan hubungan lintas budaya. Bagaimana seniman mampu membaca, memahami dan berkarya secara kontekstual di mana pun mereka berada. Adanya spirit akar rumpun yang sama juga memberikan motivasi yang menarik dalam melihat dan mencermati fenomena global yang ada. Berbincang dengan mereka senyatanya saya menangkap sebuah mimpi bersama, Asia Tenggara menjadi kiblat seni kontemporer dunia suatu hari nanti.

(Hendra Himawan. kurator)

Opening 

[nggallery id=34]

 

 

The ongoing impact of nuclear accidents in Russia, Ukraina, Belarusia and Kazakhstan, 25 years since Chernobyl by Robert Knoth

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

YOGYAKARTA
Opening : 1 July 2011, @ 7 pm
Curated : Malcom Smith
Exhibition : 1 until 25 July 2011
Sponsored : Greenpeace Asia Pacific
At : Sangkring Art Space

BANDUNG
Opening : 11 September 2011
Exhibition : 11 until 17 September 2011
At : Galeri Soemardja

The ongoing impact of nuclear accidents in Russia, 25 years since Chernobyl
This year marks the 25th anniversary of the Chernobyl disaster, and yet it is by no means the only, or the worst nuclear accident in Russia’s history. Today, thousands of people in Belarus, Ukraine, Khazakstan and Russia suffer from serious illnesses as a result of nuclear contamination. Many of these people were born years after the disasters happened, and they will continue to be affected for generations to come.
Robert Knoth has been visiting the sites of nuclear contamination since the early 1990’s, documenting the lives of ordinary people subjected to extraordinary negligence. Through Knoth’s images we are confronted not only by the tragic illnesses that individuals must live with, but also the hopelessness that they face with regards to their future and the sad disintegration of their families and communities.
While much of the nuclear debate focuses around statistics, Knoth‘s images remind us that for every statistic there is a human story. His images make a powerful contribution to the ongoing and highly controversial debate about the human cost of Nuclear power. After the recent tragic events at Fukushima, it is important that Indonesian people are well informed about the impact of Nuclear accidents as we reassess our plans to build reactors in this country.

Robert Knoth
Robert Knoth began his career as a photojournalist in 1993. Throughout the 90’s he covered many of the conflict zones in Africa, Asia and the Balkans. Since then his work has been widely published in international magazines, such as: New York Times, Der Spiegel, Sydney Morning Herald, La Repubblica, Sunday Telegraph Magazine, amongst many.
In recent years Robert Knoth has been working on long term projects as an autonomous documentary photographer. As well as his Russian Nuclear Disaster project, he has been following the conflict in Afghanistan and Pakistan since 1996 and is currently working on a book about Afghan heroin in cooperation with writer and broadcaster Antoinette de Jong. Throughout his career Robert Knoth has won numerous prizes, including two World Press Photo Awards in 2000 and 2006.

Text By Antoinette de Jong.
Curated by Malcolm Smith.
This exhibition has been generously sponsored by Greenpeace Asia Pacific.


Sertifikat no. 000358

25 Tahun Setelah Chernobly
Dampak berkelanjutan petaka nuklir di Rusia, Ukraina, Belarusia dan Kazakhstan

Sangkring Art Space, Yogyakarta
1 sampai 25 Juli

Galeri Soemardja, Bandung
11 sampai 17 September

Tahun ini menandai peringatan bencana Chernobyl ke-25. Namun, bukan berarti bahwa dalam sejarah Rusia kecelakaan nuklir hanya terjadi di Chernobyl, bukan pula ia yang terburuk. Saat ini, ribuan orang di Belarus, Ukraina, Kazakstan, dan Rusia menderita berbagai penyakit serius akibat pencemaran nuklir. Banyak dari mereka yang lahir bertahun-tahun setelah rangkaian petaka itu terjadi, namun generasi demi generasi terus terkena dampaknya.
Robert Knoth dan Antoinette de Jong telah mengunjungi titik-titik pencemaran nuklir sejak akhir 1990-an, mendokumentasikan kehidupan orang-orang biasa yang terpapar kelalaian luar biasa. Melalui karya mereka, kita dihadapkan tidak hanya pada segala penyakit yang harus ditanggung tiap orang, tapi juga keputusasaan yang mereka hadapi berkaitan dengan masa depan, serta disintegrasi keluarga dan masyarakat yang memilukan.
Selain menyajikan kisah menggugah tentang dampak tenaga nuklir bagi manusia, pameran ini menanggapi berbagai isu etik terkait foto jurnalistik. Masyarakat kontemporer kita terus dibanjiri gambar-gambar voyeuristik berisi kekerasan dan bencana yang ditampilkan para “jurnalis publik” di blog, facebook, flickr, bahkan di media arus utama. Kekuatan di balik foto-foto Robert Knoth terletak pada keintiman yang ia bagi dengan subyek-subyeknya, serta rasa hormat yang ia tunjukkan pada mereka.
Ketika perdebatan nuklir kebanyakan berfokus seputar statistik, foto-foto Knoth dan pelaporan mendalam De Jong mengingatkan kita bahwa untuk tiap statistik terdapat sebuah kisah tentang manusia. Karya mereka memberi kontribusi besar pada perdebatan kontroversial tanpa henti tentang dampak energi nuklir terhadap manusia. Menilik kejadian-kejadian tragis di Fukushima baru-baru ini, penting bagi rakyat Indonesia — selagi rencana pembangunan berbagai pembangkit nuklir di negeri ini ditinjau ulang — untuk memahami segala dampak kecelakaan nuklir.

Robert Knoth
Robert Knoth memulai karir sebagai jurnalis foto pada tahun 1993. Sepanjang tahun 90-an ia meliput banyak zona konflik di Afrika, Asia, dan wilayah Balkan. Sejak saat itu karya-karyanya telah diterbitkan secara luas di majalah-majalah internasional antara lain New York Times, Der Spiegel, Sydney Morning Herald, La Repubblica, dan Sunday Telegraph Magazine.

Dalam beberapa tahun terakhir, sebagai seorang fotografer-dokumenter lepas, Robert Knoth tengah melakukan proyek-proyek jangka panjang. Selain proyek Bencana Nuklir Rusia, ia terus mengikuti konflik di Afghanistan dan Pakistan sejak tahun 1996. Dan saat ini, bekerjasama dengan Antoinette de Jong, ia tengah menggarap sebuah buku tentang heroin Afghanistan. Sepanjang karirnya, Robert Knoth telah memenangkan banyak penghargaan, termasuk dua World Press Photo Awards pada tahun 2000 dan 2006.

Antoinette de Jong
Antoinette de Jong adalah penulis dan penyiar yang berbasis di Belanda. Karya-karyanya telah muncul di radio dan televisi, termasuk beberapa film dokumenter untuk BBC World Service dan reportase feature latar belakang untuk VPRO dan Radio Netherlands World Service. Beragam karyanya telah diterbitkan oleh El Pais, the Australian, Marie Claire, Io Donna, Grande Reportagem, Unesco Courier, NRC Handelsblad dan Metro.

De Jong meliput perkembangan di Afghanistan dan Pakistan secara rutin selama hampir dua dasawarsa selain mengunjungi kawasan-kawasan lain di seluruh dunia termasuk India, Somalia, Irak, Asia Tengah, Kosovo, Albania, Bosnia-Herzegovina, Yugoslavia, Kamboja, Ukraina, Belarus, dan Rusia. Ia sering diundang sebagai analis dan komentator mengenai Afghanistan dan Pakistan.

Dikuratori oleh Malcolm Smith.

Pameran ini terselenggara berkat dukungan penuh Greenpeace Asia Tenggara – Indonesia

Foto by Robert Knoth

[nggallery id=29]

Opening @ Sangkring Art Space

[nggallery id=33]



 

 

BERITA CUACA by Kelompok DENTING @Sangkring Art Project

Pembukaan : Kamis, 16 Juni 2011, Jam 19.00 wib
Pameran di buka oleh : Bpk Nasirun
Penulis : Hendra Himawan
Pameran berlangsung : 16 – 28 Juni 2011
Tempat : Sangkring Art Project

“BERITA CUACA”

Dialektika antara kultur (culture) dan natur (nature) berikut tegangan-tegangan kausalitas yang terjadi diantaranya, adalah hal yang ingin diungkapkan oleh Kelompok Denting dalam pameran ini. Natur yang sejatinya tidak akan berubah kecuali untuk meregenerasi struktur ekologinya, seolah dipaksa untuk berubah karena perilaku manusia. Di lain pihak, kultur manusia pun tak luput dari kodrat untuk sebuah  perubahan seiring laju paradigma pemikiran mereka. Modernitas adalah bingkai perspektif yang merubah keduanya, sebagaimana yang dapat dilihat pada karya kelompok Denting ini. Jika tidak diimbangi dengan kesiapan, maka modernitas akan merubah natur, secepat ia merombak kultur manusia di dalamnya. Memang disayangkan, terkadang keinginan untuk mengikuti laju modernitas membuat manusia menafikkan natur yang seharusnya dipelihara. Keinginan untuk menjadi yang paling unggul, membuat mereka menghalalkan cara-cara yang pada akhirnya menyurukkan mereka, tak ubahnya seperti makhluk pada ras terendah. Berita Cuaca adalah sebuah pengkabaran. Ia bukan hanya slogan peduli alam dan lingkungan. Ia adalah pengingat, selayaknya alarm dan reminder. Bahwa manusia tidak bisa lagi untuk tidak peduli pada keseimbangan kultur dan natur.
Hendra Himawan

Denting #3
Kelompok Denting Visual Art lahir menjadi sebuah wadah dari mereka yang masih menemukan sunyi dalam hingar bingarnya seni rupa, denting lahir dengan kesadaran terus akan saling belajar bersama maupun sendiri, saling berbagi pengalaman dengan tujuan berusaha menghasilkan karya yang lebih baik, yang masih percaya adanya keindahan dan kehangatan dalam proses kesenian, yang percaya masih adanya ketulusan didalam kebersamaan, yang menggenggam keyakinan bahwa dengan cara bahu-membahu dan saling mengulurkan tangan niscaya pohon estetika akan berbuah lebih manis dan cerah warnanya.
Denting menjadi wadah bagi gejolak kegelisahan serta kreatifitas setiap anggotanya yang mewadahi kelemahan dan bersama-sama mengolahnya menjadi sesuatu yang lebih berarti, setidaknya tetap setia memberikan sumbangsih goresan warna kepada masyarakat pecinta seni.
Kelompok Denting

Image karya
[nggallery id=28]

Opening

[nggallery id=30]