Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-2,page-paged-2,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

[Exhibition] Monotone, R. Wisnu. D

Rute Imajiner dan Sebuah Metafora

Siang itu, di dalam studionya, R. Wisnu. D bertutur tentang perjalanan-perjalanan yang pernah dia lakoni ke pelbagai tempat dan negeri, yang sekian tahun kemudian, yakni: pada saat ini menjelma sebagai rangkaian di atas kanvas. Kami coba mengamati lukisan-lukisan itu, sambil mendengarkan kisah lukisan cat minyak perjalanannya. Pikiran pun ikut mengembara, menjelajahi lokasi-lokasi yang mempertautkan praktik perjalanan, pengalaman estetik, dan penciptaan artistik.

Sepotong rute imajiner terpicu oleh sekian nama seniman-pelancong (traveler artists) yang mendadak sembul di benak: sejak dari Claude Monet, Vincent van Gogh, Edward Hopper, Affandi, Rusli, hingga Putu Sutawijaya. Fragmen-fragmen gagasan bersijingkat di tengah jalanan licin, lalu seperti semaunya saja singgah di ranah musikal, sosiologi tempat (sosiology of place), dan seterusnya, hingga pada akhirnya kembali ke dalam praktik perjalanan dan seni visual.

MonoTONe, sebagai tema pameran tunggal Wisnu di Sangkring Art Project, diadopsi dari ranah musikal mengacu kepada komposisi yang hanya menerapkan satu pitch atau tone. Musik minimalis, ambient, dan chanting adalah beberapa genre yang kerap mengeksplorasi monotoni dengan memaksimalkan repetisi dan kontras elemen-elemen musikal, entah ritme, harmoni, timbre, atau dinamik. Sebagai sebuah metafora, konsep ini sudah tak asing lagi bagi praktik seni visual. Di ranah ini monoTONe mengacu kepada warna atau hue tunggal. MonoTONe dalam sebuah lukisan, misalnya, bisa sangat potensial, memukau dan efektif, untuk menyugestikan suasana dan atmosfer yang dikehendaki. Meskipun begitu, secara umum kita menghindari monotoni lantaran kecemasan akan kebosanan, tetapi mengapa Wisnu justru menghampirinya?

Kita tahu bahwa preferensi pada lingkup warna yang terbatas, katakanlah pada warna “gelap” semata-mata, tetap mampu membuka kemungkinan kreatif dengan menyiasati elemen-elemen visual yang lain. Bisa disimak sebagian besar lukisan Wisnu yang cenderung gelap dan muram dari tiga lukisannya tentang Merapi, hanya satu yang relatif cerah. Akan tetapi, ternyata yang dimaksud sebagai monoTONe olehnya itu bukanlah (sekadar) perkara teknis. Wisnu sangat menyadari bahwa lukisan-lukisan yang dipamerkan sekali ini berorientasi pada suatu medan tematik tunggal, bahkan dalam genre tunggal pula, yakni lanskap. Bagaimanakah genre spesifik ini terbentuk? Apakah hubungannya dengan perjalanan, pelancongan?

Hasrat Perjalanan, Hasrat untuk melakukan perjalanan dan mengunjungi panorama tertentu adalah hasrat yang dikonstruksi secara kultural, bukan sesuatu yang alami. Hasrat kultural (cultural desire) ini, seturut sosiolog John Urry (1995), setidak-tidaknya terdorong oleh beberapa faktor. Yang pertama sudah jelas, yakni ketersediaan lokasi geografis yang dapat dikunjungi, sebagai hasil kemajuan fasilitas transportasi dan komunikasi.

Tak perlu berpanjang-panjang tentang ini, meski kita perlu mengingat pula bahwa tipe lanskap tertentu, semisal alam liar (wilderness), justru diminati orang lantaran kesulitan untuk dijangkau, minimnya fasilitas, serta sukarnya akses.

Faktor lain menyangkut pengelompokan sosial dengan orientasi estetik yang sesuai, misalkan terhadap gaya (style) tertentu atau jenis pemandangan (scenery) tertentu yang biasa disebut sebagai “lanskap”. Sehubungan dengan yang terakhir ini, apa yang barangkali bisa dinamakan “estetika alam” berpotensi sekaligus sebagai sumber penyegaran inspirasi dan kebangkitan rohani bagi kelompok atau kelas sosial tertentu.

 jadi, bukan soal “keindahan” melulu. Katakanlah, sebagai satu contoh, danau yang tenang dianggap orang lebih mendamaikan hati, lebih meleramkan, ketimbang jenis pemandangan lain semisal padang pasir.

Dalam konteks pameran ini, muncul pertanyaan besar: sesungguhnya apa dan bagaimana basis sosial Wisnu sehingga dia memilih orientasi estetik sebagaimana terbaca dalam lukisan-lukisan lanskapnya?

Boleh jadi orientasinya itu dapat dipulangkan ke dalam latar budaya yang lebih umum, yang tersebar melalui pihak-pihak signifikan di tengah masyarakat yang lebih luas. Di dalam perkembangan genre lukisan pemandangan dan bentang alam, pasti terdapat figur-figur yang berpengaruh dan ikut memainkan peran yang tidak kecil dalam menyebar-luaskan preferensi terhadap tipe lanskap tertentu.

Bagi seorang seniman dan penyair Romantik, misalnya, menikmati alam adalah berarti berjalan kaki dalam kesendirian dan kesunyian, dengan suasana kontemplatif, demi menyembuhkan “luka batin” atau mencapai kesadaran spiritual. Maka, pertanyaan berikutnya: adakah sosok-sosok signifikan yang turut berperan atas preferensi Wisnu terhadap lanskap-lanskap tertentu?

Dan, pada akhirnya, mungkin kita perlu bertanya dan mempertanyakan pemahaman atas lanskap itu sendiri, sebagai faktor kunci dan sentral dalam menstrukturkan hasrat kultural atas pemandangan alam tertentu. Misalnya saja pengertian dan gagasan lanskap yang individualistis dan visual, praktik memandang (practice of looking) pribadi yang niscaya tidak pernah netral ― dengan memilah subjek (pihak yang memandang, mengamati) dan objek (pihak yang dipandang, diamati) melalui pengutamaan indra visual sang pengamat.

Jika memang konsepsi kita tentang sebuah lanskap pada dasarnya relatif bebas-insan, bangaimanakah prosesnya? Mengapa bisa terjadi demikian? Lanskap dan Dunia Simbolik Gagasan tentang lanskap pada mulanya merujuk kepada sebuah genre yang hendak menangkap pemandangan alam pedalaman/pedesaan (natural inland scenery), lalu mengerucut pada tapak daratan (track of land) tertentu yang ditatap dari sudut-pandang spesifik, dan pada akhirnya ia semata-mata merujuk kepada pemandangan alam (natural scenery) semisal hutan, ladang, pepohonan, gunung, atau pantai (baca: John Barrell, 1972). Dengan mencermati pergeseran pemahaman ini, dapat kita katakan bahwa lanskap bukanlah sekadar soal lingkungan fisik, melainkan sesuatu yang termediasi oleh proses apropriasi kultural.

Alam yang dipahami sebagai lanskap, jadinya, merupakan konstruksi sosial yang terkondisikan secara historis. Pada abad kesembilan belas, taruhlah, definisinya terhegemoni oleh dunia luar (eksternal) seperti pemandangan dan pandangan (views) yang diimbuhi sensasi-sensasi indrawi. Padahal, seabad sebelumnya, para bangsawan Eropa lebih mendefinisikannya dengan mengintegrasikan kelas bawah pekerja ke dalamnya, sebagai bagian terpadu dari lanskap itu sendiri, meskipun posisinya berjarak (in the distance) sebagai elemen visual yang nyaris tidak tampak. Dengan kata lain, kode genre yang khas ini bergeser senantiasa, entah dengan mengedepankan secara maksimal atau malah menentang dan menantangnya. Hal ini dapat kita bandingkan dengan lukisan-lukisam Wisnu yang di satu sisi bersetia terhadap kode, tetapi di sisi lain tampak kecenderungan beringsut darinya.

Telah lama pula kita paham bahwa genre lukisan lanskap sanggup menjangkau geografi imajiner, dunia mungkin (the possible world) yang berada di luar jangkauan nalar empiris. Bahkan di dalam lukisan-lukisan lanskap yang meminjam istilah dari Umberto Eco undercoding sekalipun, kerap kita temukan potensi tafsiriah yang luar biasa dalam menjangkau dunia simbolik (the symbolic world), yang sanggup menyugesti makna-makna emotif tertentu dan melampaui tampakan fisik semata, entah melalui metafora, ironi, hiperbola, dan sebagainya.

Sehampar padang rumput (prairie) di Montana, sebentang danau di dekat Dijon, Prancis, bahkan sepotong sungai di Kediri, menyodorkan makna emotif yang ngelangut. Sebatang pohon yang tegak sendiri menjadi metafora bagi kesendirian dan ketegaran; pun formasi awan di langit kelam menyuguhkan metafora yang dramatis.

Melalui lukisan-lukisan Wisnu, kita dapat meraih makna dan menikmati perjalanan ke dunia simbolik ini.

– Kris Budiman –

[Residency] Makunyit di Alas

Pengantar Pameran

MAKUNYIT DI ALAS

Perjalanan selalu menawarkan pertemuan baru. Pertemuan selalu menghadirkan ceritanya tersendiri. Pengalaman-pengalaman baru adalah hal yang paling dirasa dalam sebuah pertemuan, bagaimana berinteraksi dengan lingkungan baru maupun individu-individu didalamnya. Jika kita percaya pada filosofi pendidikan yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru, maka setiap petualangan meninggalkan rumah ke berbagai tempat baru yang berbeda dengan lingkungan kita adalah sebuah proses mengalami berbagai hal-hal baru yang ditemui. Hal ini juga sejalan dengan konsepsi pendidikan kontemporer dimana sumber belajar tersebar dimana saja dan bagaimana para pembelajar mampu menyerap dan menformulasi untuk bertemu diri mereka yang otentik. Pengalaman-pengalaman itu idealnya berdampak bagi bertambah lebarnya cakrawala berpikir yang menjadi bekal untuk menapaki berbagai petualangan-petualangan berikutnya serta pengalaman tentang bagaimana beradaptasi dengan suasana, lingkungan dan orang-orang yang ditemui selama berinteraksi di tempat yang baru.

Dalam konteks kesenirupaan khususnya dalam pengembangan kreatif para perupa muda berbagai perjalanan berkarya di lingkungan yang berbeda dengan kebiasaan mereka adalah sebuah pengalaman yang tentu saja berkontribusi bagi perkembangan kekaryaan mereka masing-masing. Inilah salah satu signifikasi dari sebuah program residensi bagi perupa muda yang sedang merintis kekariran mereka dalam medan sosial seni. Sebab selain piawai dalam aktivitas berkarya, perupa juga perlu sebuah aktivitas yang melibatkan interaksi dan pergumulan kreatif dengan berbagai pihak dan medan sosial seni tentu banyak pengalaman yang dapat dipetik dari proses itu. Bertimbang pada hal tersebut Sangkring sebagai sebuah ruang dalam medan sosial seni rupa selalu membuka kesempatan terhadap berbagai kemungkinan terjadinya perjumpaan kreativitas dengan berbagai pihak serta menjadikan ruang tidak terhenti sebagai ruang presentasi yang mempertemukan karya seni dan penikmatnya tapi meluas pada berbagai kemungkinan termasuk sebagai ruang yang terbuka terhadap kolaborasi, ruang untuk tumbuh bersama termasuk bagi para perupa muda. Sebab dalam praktik kesenirupaan hari ini peran sebuah ruang maupun institusi seni rupa menjadi semakin berlapis. Salah satunya sebagai ruang interaksi dan berbagi pengetahuan baik antara sesama pelaku seni maupun antara pelaku seni dengan publik yang lebih luas.

Makunyit di Alas adalah pameran presentasi hasil program residensi yang diinisiasi oleh Sangkring dengan berkolaborasi bersama Gurat Institute sebuah lembaga seni rupa berbasis di Bali yang berdiri sejak awal tahun 2023. Program residensi ini berupa tawaran kepada dua perupa muda yang berbasis di Bali atas rekomendasi Gurat Institute untuk beresidensi di Sangkring selama tiga bulan. Dalam program yang pertama ini menghadirkan I Gede Sukarya dan Gusti Kade Kartika (Gus Ade) sebagai dua orang perupa dengan dua pilihan material yang berbeda. Gede Sukarya dengan eksplorasinya pada medium kulit dan Gus Ade yang mengeksplorasi medium benang sebagai basis kekaryaan mereka. Selama tiga bulan kedua perupa tidak hanya berkarya dalam artian berpindah studio dari Bali ke Yogyakarta melainkan ada berbagai aktivitas seperti bertemu dan berdiskusi dengan sejumlah seniman, mengunjungi berbagai ruang dan mengamati aktivitas dan dinamika dalam medan sosial seni rupa Yogyakarta hingga mengunjungi berbagai situs-situs arkeologis di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berbagai pengalaman dan petemuan tersebut menjadikan mereka memikirkan dan merenungkan lebih jauh tentang makna sebuah pertemuan. Apa yang mereka rasakan ketika berjumpa dengan situs-situs di Jawa Timur, atau informasi dan pengetahuan apa yang ingin mereka gali lebih jauh sebagai seniman visual dalam melihat hamparan artefak-artefak masa lampau tersebut dan sejauh mana mereka terinspirasi dalam karya masing-masing. Atau sejauh mana mereka mendapatkan inspirasi dan pengetahuan yang digali dari pelaku seni yang mereka temui dan ajak berbincang selama di Yogyakarta dan tentu saja berbagai lapisan-lapisan pemaknaan atas sebuah pertemuan.

Pameran ini berjudul “Makunyit Di Alas” sebagai sebuah ungkapan dalam tradisi berbahasa Bali (Bebladbadan) yang bermakna “bertemu”. Bladbadan adalah salah satu repetorium bahasa Bali yang di dalamnya terjadi transposisi makna dengan menggunakan perangkat emosif. Perangkat emosif yang digunakan dalam pemaknaan bladbadan adalah fonetik, leksikal, dan sintakis, yang didukung oleh kaidah-kaidah pembentukan kata dalam bahasa Bali. Dalam tradisi kebahasaan di Bali makna dari Makunyit Di Alas adalah bertemu. Makna ini merujuk pada kesamaan fonetik atau bunyi dari kunyit alas yang merujuk pada diksi temu (diksi dalam bahasa Bali yang merujuk pada jenis tumbuhan  rimpang) dengan diksi temu yang dalam bahasa Bali juga bermakna berjumpa atau bertemu. Kesamaan bunyi fenotik dari kata temu yang merujuk pada jenis tumbuhan rimpang yang berkembang biak dengan akar yang menjalar di dalam tanah dan kata temu yang bermakna berjumpa ini menghasilkan makna yang jika ditafsir lebih jauh memiliki makna metaforik didalamnya. Tumbuhan rimpang memiliki karakter yang adaptif yang kuat.

Cara rimpang atau rizoma ini bertumbuh adalah dengan jalaran akar-akarnya, bahkan jika akar-akar ini dipotong dan titanam dalam tanah yang berbeda pun akar tersebut tetap dapat bertumbuh dengan cepat. Selain menghadirkan dua orang perupa muda yang beresidensi pameran ini juga menghadirkan karya para perupa yang mereka temui dan ajak berbincang dalam proses residensi ini. Hal tersebut sebagai upaya untuk memaknai lebih jauh sebuah perjumpaan dan pertemuan-pertemuan mereka selama di Yogyakarta.

Tim Gurat Institute

Maret 2023

I Gede Sukarya

Menatah Pertemuan

Cerita selama mengikuti program residensi yg diinisiasi oleh Sangkring dengan berkolaborasi bersama Gurat Institute memberikan kesan tersendiri bagi saya. Saya sebelumnya tak pernah menyangka mendapat tawaran dan kesempatan untuk berkarya dan melihat berbagai hal di luar lingkungan saya di Bali. Kesempakatan untuk mengikuti residensi ini juga terjadi dalam momentum yang tak terduga. Bermula dari pertemuan tak terduga lalu berlanjut pada perbincangan santai dengan Pak Putu Sutawijaya ketika kami sama-sama menghadiri undangan upacara potong gigi salah satu teman seniman di Bali. Tanpa pikir panjang lagi saya pun mengiyakan tawaran yang tak terduga ini. Menurut saya program residensi ini adalah sebuah kesempatan yang berharga untuk diri saya sebagai perupa muda yang berbasis di Bali untuk mengenal lebih dekat iklim berkesenian di wilayah lain di luar Bali. Terlebih Yogyakarta, sebagai salah satu basis perkembangan seni rupa Indonesia.
Awal mula memulai kegiatan resindensi di Sangkring pada pertengahan bulan Januari, saya melakukan perjalanan ke seniman-seniman yg ada di Yogyakarta sembari memulai proses berkarya. Cerita-cerita inspiratif, masukan demi masukan soal kekaryaan dan bagaimana berkarier sebagai seniman, saya dapatkan selama pertemuan-pertemuan itu. Selain itu yang juga sangat berkesan adalah adanya kesempatan dari Pak Putu Sutawijaya yang mengajak kami berkunjung ke beberapa situs arkeologis di kawasan Jawa Timur untuk melihat secara langsung bagaimana peninggalan peradaban masa lampau yang terekam dalam candi, arca, dan artefak-artefak di situs yang kami kunjungi. Disana saya memperoleh wawasan baru setelah mengamati langsung ragam ornamen di candi-candi serta artefak di situs yang kami kunjungi. Pengalaman melihat ini sangat berguna dalam pengembangan visual karya saya yang selama ini banyak menghadirkan motif-motif ornamen dari tanah kelahiran saya di Bali Utara pada media kulit yang dihadirkan dengan teknik tatah.
Di Jawa Timur saya melakukan perjalanan selama 4 hari dan kembali lagi ke Sangkring untuk merealisasikan ide-ide yang saya dapat dari pengalaman mengunjungi dan bertemu dengan berbagai situs di Jawa Timur. Saya sangat menikmati perjalanperjalan mencari sesuatu itu dan beberapa hari setelah dari Jawa Timur Pak Putu kembali mengajak saya ke gunung merapi melihat suasana magis indahnya pesona merapi dari aliran sungainya. Demikian cerita perjalanan saya selama mengikuti kegiatan residensi selama dua bulan di Sangkring dan berbagai pengalaman bertualang dan bertemu dengan berbagai hal dan orang-orang yang dengan murah hati mau berbagi cerita dan pengalamannya.
Pengalaman-pengalaman itu akhirnya terakumulasi dan teramu menjadi gagasan yang tertumpah dan terekam dalam tatahantatahan diatas kulit sebagai media. Apa yang hadir serupa catatan perjalanan atas apa yang saya lihat yang memantik imajinasi dan interpretasi saya lebih jauh. Berjumpa dengan candi yang terlilit pohon di sebuah situs di Jawa Timur misalnya, memantik perasaan-perasaan saya tentang ruang hidup, saling menjaga, dan merawat, berbagai pertanyaanpertanyaan berkelindan dalam benak saya. Selain itu pengalaman melihat Yoni tanpa Lingga di situs lainya memantik imajinasi saya tentang bagaimana bentuk Lingga yang telah hilang itu, melalui karya saya mencoba mengkreasikan bentuk bentuk lingga tersebut. Serta ada beberapa catatan-catatan lagi
yang saya rangkai menjadi cerita yang baru pada karya saya berdasarkan pengalaman dan pertemuan-pertemuan yang terjadi antara saya dan situs situs di Jawa timur tersebut.
Pada akhirnya setiap perjalanan adalah kisah, semoga karyakarya yang saya coba hadirkan ini akan membawa saya pada cerita tentang perjalanan-perjalanan berikutnya. Saya ingin menatah semua jejak-jejak perjalanan itu pada karya saya.

I Gede Sukarya
Bulian, Bali, 1995


Contact:
085932233373
Instagram.com/ig.sukarya
Gedesukarya17@gmail.com

Gus Ade
Menyulam Sambil “Minum Air”

Mengikuti undangan program residensi yang diinisiasi oleh Sangkring ini adalah pengalaman yang berkesan bagi saya. Sebagai perupa muda saya hanya bermodal teknis menyulam yang saya tekuni sejak tahun lalu dengan referensi dari karya sulaman Ibu yang dulunya juga penyulam wayang sebagaimana lazimnya aktivitas ibu-ibu di kampung halaman saya di Jembrana Bali. Suasana tempat tinggal saya kini di Kerobokan juga dipenuhi material-material dari pekerjaan
orang tua yang berprofesi sebagai penjahit, hal ini yang mempengaruhi saya dalam mengerjakan karya karya saya kini.
Seperti bagaimana lazimnya proses kreatif perupa, saya juga mengawali gagasan saya dari berbagai eksperimen dengan berbagai material kain, sampai pada suatu kesadaran bahwa hanya benang yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan artistik saya ketika mencoba mengeksplorasi kain sebagai pilihan material karya saya. Akhirnya saya memutuskan untuk belajar dari ibu, bagaimana teknis sulam dan bagaimana menerapkan warna sesuai dengan struktur dan pola warna yang terdapat dalam seni sulam wayang Jembrana.

Selama proses eksplorasi tersebut saya mendapati adanya struktur penerapan warna-warna yang saling berkomplemen dalam sebuah karya sulam Jembrana. Misalnya motif yang berwarna merah ditempatkan di sebelah motif berwarna hijau sehingga garis yang dihasilkan dari penyandingan warna-warna kontras ini menjadi jelas terlihat. Tidak lama setelah saya berproses mengeksplorasi dan meriset struktur dan aspek warna dalam sulam wayang Jembrana sampai saya memutuskan untuk menghadirkan karya personal yang lebih abstraktif, bergerak dari struktur visual sulam wayang Jembrana yang figuratif. Memori visual dan pengalaman
membuat karya sulaman ini saya bawa pada program residensi ini. Tujuanya untuk melihat dan menghadirkan kemungkinan lebih luas, sejauh mana memori dan pengalaman visual saya pada karya-karya sulaman ini bisa dikembangkan.
Dalam kegiatan residensi ini saya mendapatkan kesempatan dan diajak mengelilingi candi-candi dan situs yang ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah oleh Pak Putu Sutawijaya.
Pengalaman ini lalu coba saya maknai lebih jauh dalam karya sulaman saya. Pengalaman ini seperti menyulam diri saya kini dengan memori historis saya sebagai orang Bali yang memiliki ikatan historis dengan peradaban Jawa Timur di masa lampau. Dalam catatan sejarah masing-masing soroh atau klan di Bali banyak ditemui catatan perjalanan para leluhur yang berasal dari Jawa khususnya Jawa Timur pada masa Majapahit. Pada puing-puing reruntuhan atau serpihan
bata purba yang saya temui di situs-situs yang saya kunjungi menjadi pemantik dalam pengembangan gagasan kekaryaan saya kini yaitu karya sulaman yang berangkat dari pembacaan dan interpretasi saya tentang memori masa lampau melalui seri karya serpihan. Saya mewujudkan gagasan tersebut dengan menyulam sisa-sisa kain kanvas yang terpecah-pecah menjadi ukuran kecil dan saya sulam dengan beralaskan kertas untuk memenuhi kebutuhan artistik atas gagasan tersebut.
Pada momen mengunjungi beberapa candi itu juga, saya merasakan energi yang kuat, khususnya di Candi Bangkal, sampai sekarang saya tidak menemukan alasan atas pengalaman personal saya tersebut. Masuk ke dalam candi Bangkal untuk berdoa dan saya merasa pulang ke rumah tempat dimana saya berasal, detak jantung terasa berdebar lebih kencang ketika saya di dalam candi, ini menunjukkan betapa kuatnya tarikan energi didalamnya. Pengalaman berdoa di candi Bangkal juga menjadi dasar saya membuat karya sulam pada spon busa yang dilapisi kanvas, bertujuan untuk menghadirkan sampai mana saya bisa merasakan kuat tarikan benang yang disulam pada spon busa yang lembut.
Pengalaman lainnya ketika di sela-sela kegiatan keseharian saya menyulam menyelesaikan karya di studio residensi terkadang saya berhadapan dengan waktu luang, hal ini membuat saya belajar memanfaatkan waktu-waktu tersebut dengan memaknainya lebih jauh dengan melakukan aktivitas lain selain menyulam seperti membuat sketsa, melukis, menggambar, sehingga hal ini menjadi rutinitas keseharian saya selama residensi, hal yang saya lewatkan selama saya memutuskan untuk menekuni media benang dan teknik sulam. Ditambah adanya kegiatan on the spot bersama Pak Putu Sutawijaya, melalui perbincangan dan mengikuti proses tersebut saya mendapatkan pemahaman bahwa kegiatan on the spot bukan sekedar melukis di tempat, melainkan ada momentum untuk kita lebih memahami lingkungan sekitar, dan bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Jadi ‘menyulam sambil minum air’ saya maknai sebagai hubungan antara diri saya dan aktivitas menyulam sebagai media untuk melihat berbagai kemungkinan yang ditemui dalam setiap perjumpaan perjumpaan saya dengan berbagai hal dan pengalaman baru selama proses residensi ini.

Gusti Kade Kartika
(Gus Ade)
Bali, 22 Mei 2000


Contact:
08563862980
Instagram.com/gus_ade
Gustikadedwikartika@ong

[Exhibition] Journey of Friendship

Friendship in Art; Bridges We Build

Terlanjur dunia percaya bahwa Vincent van Gogh kesepian. Selama hidupnya.

Tentang perasaan itu, pernah dia mengakuinya dalam surat kepada Theo van Gogh pada 1 Desember 1883. ”I say loneliness, and not solitude, but that loneliness – which a painter has to bear, whom everybody in such isolated areas regards as a lunatic, a murderer, a tramp, etc. etc.

Meskipun mengalaminya, tapi cerita kesepian Vincent van Gogh itu tak sepenuhnya benar. Sebagai seniman, van Gogh justru punya banyak hubungan dengan sesama pelukis. Dia bekerja dengan beberapa dari mereka. Bahkan di hari-hari terpuruk yang dialaminya, dia dikelilingi teman-teman yang mendukungnya.

Kalau pun ada kesepian, barangkali yang benar adalah kesendirian. Apalagi seniman bukan golongan orang yang kesepian. Yang benar, mereka menikmati kesendirian.

Ada beda dengan keduanya. Kesepian bisa terjadi saat seseorang dalam keadaan depresi dan kebingungan mengambil yang terbaik untuk dirinya sendiri. Sementara kesendirian bisa terjadi dan berhubungan dengan kondisi terbaik yang seseorang butuhkan. Seperti seniman yang membutuhkan keheningan untuk berkarya. Agar kreativitasnya tercurahkan. Menjadi karya seni.

Masih dalam suratnya kepada Theo van Gogh pada Januari 1876, Vincent van Gogh menggambarkan bahwa teman adalah salah satu jalan keluar yang menuntun seseorang keluar dari masalah. ”We feel lonely now and then and long for friends and think we should be quite different and happier if we found a friend of whom we might say: ’He is the one’. But you, too, will begin to learn that there is much self-deception behind this longing; if we yielded too much to it, it would lead us from the road.”

Vincent van Gogh benar dalam hal ini. Dalam seni, persahabatan sangat penting. Ia dapat mengubah hidup. Terbangun seperti ’jembatan-jembatan’ yang menghubungkan dengan banyak hal. Yang paling terdekat tentu saja untuk memahami diri kita sendiri. Lantas orang lain.

Persahabatan membawa seseorang melihat ke dalam dan mendengarkan suara hatinya sendiri. Menyadari siapa kita. Persahabatan mampu menghubungkan kita dengan pikiran, perasaan, persepsi, dan realitas, serta pengalaman di luar diri.

Sebagai seniman, penting untuk mengelilingi diri kita dengan sahabat-sahabat itu. Apalagi persahabatan yang diciptakan bersama dalam koridor seni. ’Jembatan’ semacam itu akan menuntun kita pada serangkaian pengalaman dan ide baru yang mungkin belum pernah kita saksikan sebelumnya.

Pengalaman ini memungkinkan kita untuk memutuskan apa yang kita lihat dan rasakan berdasarkan hubungan emosional yang kita miliki dalam persahabatan. Pilihan itu membuat kita bersemangat, menyadari apa yang kita pedulikan, dan apa yang kita perjuangkan. Ketika menyadari hal ini, kita cenderung lebih bahagia dan lebih sehat sebagai individu karena tahu tujuan hidup berjalan ke mana.

Dalam dunia termutakhir, pemahaman kita tentang persahabatan kian tertantang dan diuji. Salah satunya apakah persahabatan virtual adalah termasuk persahabatan sejati yang selama ini kita agungkan dengan cara yang mendasar; bertemu dan berinteraksi tanpa perantara.

Sementara di abad ke-20 hingga awal abad ke-21, persahabatan menjadi penting sebagai warga dunia. Terkadang lebih penting dari keluarga atau agama. Dukungan yang orang temukan pada persahabatan menjadi penting karena membantu mereka bertahan di masa-masa sulit. Maka bersahabat menjadi lebih berharga dari sebelumnya.

Tapi abad baru membawa ancaman baru dalam persahabatan. Ketika ada beberapa pasal yang menganggu jalinannya. Terkadang sulit membina hubungan dengan orang-orang dari berbagai negara lain karena –minimal- dihadang oleh konflik kepentingan politik dan teritorial. Regulasi yang berbeda antarnegara membuat batasan dan menciptakan garis dukungan yang harus berpihak jelas. Padahal masalah-masalah dunia butuh ditangani secara global tanpa sekat.

Sebagai penduduk dunia, penghuni bumi disadarkan betapa pentingnya memiliki persahabatan yang bisa diandalkan. Hubungan yang universal dengan ada empati di dalamnya. Tanpa menghitung timbal balik. Hanya butuh peduli tak perlu berpikir membalas budi.

Maka perlu membentuk persahabatan yang murni. Sebuah jenis hubungan yang dipersatukan di bawah cita-cita yang sama tanpa memandang ideologi seperti sosialisme atau antirasisme. Melahirkan interaksi yang dekat, hangat, emosional, intim, dan bebas dari utilitas.

Di era komunikasi baru, cara menjalin hubungan itu menjadi lebih luas. Orang yang belum pernah bertemu secara langsung menjalin kontak mengembangkan hubungan persahabatan dengan cepat instan. Ponsel dan jejaring sosial telah menciptakan jenis pertemanan baru; pertemanan virtual.

Masih dalam perdebatan apakah teknologi telah menyatukan kita atau justru mengasingkan kita. Tidak ada jawaban pasti atas pertanyaan ini. Yang jelas, bentuk persahabatan baru ini tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah.

Harapannya hanya satu; hubungan itu membagi separo kesedihan dan menggandakan kesenangan kita. A relationship that halves our sorrows and doubles our joys.

Bisakah? Dalam seni, jawabannya; iya!

Sebab seni bisa menyatukan yang terserak. Dengan seni, orang rela dan terbuka berbagi keindahan di ruang publik. Berinteraksi dan melihat visi baru melalui seni. Hadir dengan kegelisahan yang hampir sama, tapi berkumpul karena suatu alasan; menemukan kesenangan dan kegembiraan.

Seni membuka batas budaya dan membantu kita untuk saling mengenal. Semua percaya para seniman memiliki perjuangan yang sama untuk kemanusiaan. Ada keinginan untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Tanpa mempertimbangkan status sosial atau dari mana kita berasal. Silaturahmi membawa karya seni dari tempat yang berbeda adalah pernyataan hidup untuk tidak menambah perbedaan antarmanusia.

Ada pendapat bahwa tanpa orang-orang yang melakukan seni secara kolektif, manusia hanya akan membuang-buang waktu. Ya! Tanpa seni kita memang tidak akan memiliki ruang untuk refleksi kolektif tentang berbagai masalah dunia yang tak habis. Tapi seni, membuat manusia mengomunikasikannya melalui ekspresi artistik yang sangat menantang semangat dan daya hidup.

Tak dipungkiri, setiap seniman selalu bisa melampaui pesan-pesan yang dipampang di ’tembok’ pariwara mana pun. Lewat sesuatu yang mereka ciptakan hingga membuat orang tersentuh. Lewat karyanya, seniman telah mengajak banyak sekali orang menikmati seni keindahan dalam segala bentuknya. Mereka membantu sesama untuk lebih peka sebagai manusia dan menghindari menciptakan lebih banyak batasan yang membelenggu.

Maka sangat penting untuk menjaga dan memelihara ruang-ruang seni yang terbuka di mana pun. Dalam bentuk apa pun. Agar mempertemukan orang baru dan generasi baru tiada henti. Bergerak semakin dekat dengan kebenaran tentang seni yang dapat menyatukan siapa saja dan apa saja  untuk tujuan yang lebih baik. Termasuk menyadarkan pentingnya persahabatan dalam seni itu sebagai ’jembatan’ menuju perdamaian.

Inilah letak kebahagiaan terbesar di tangan seniman itu.

Di tengah kesepian-kesepian yang dialaminya, Vincent van Gogh pun telah menyadari bahwa menjadi seniman atau orang yang bergelut dalam seni adalah sesuatu yang paling menarik dalam hidupnya. ”The artist’s life, and what an artist is, it is all very curious – how deep it is – how infinitely deep.”

Sependapat dengannya, sejumlah seniman dari 10 negara –Indonesia,  Malaysia, Myanmar, Mauritius, Australia, Jepang, Vietnam, Singapura,  Taiwan, dan Thailand- yang terlibat dalam Journey of Friendship telah membuktikan sendiri. Bahwa kehidupan yang paling menarik dalam hidup adalah menjadi seniman. Bersahabat di dalam seni, terutama. Sebab tak terhitung berapa banyak sudah ’jembatan’ dibangun untuk membuat seni berhasil menghubungkan berbagai hal yang selama ini seolah mustahil bertalian. (*)

Oleh: Heti Palestina Yunani

Penulis, tinggal di Surabaya

[Pameran] Jejak yang Dibawa Pulang

Salam budaya.
Dalam kehidupan manusia, perjalanan merupakan suatu keniscayaan. Pada hakekatnya tidak ada satu manusia pun yang mampu ke luar dari alur perjalanan hidupnya. Semua tunduk pada alur yang pasti, yaitu lahir, hidup, dan mati.
Dalam hidup dan kehidupan manusia sehari-hari, perjalanan itu sendiri intinya berisi rangkaian peristiwa yang datang silih berganti. Setiap individu memiliki alur perjalanan dengan lika-liku dan kelokan-kelokannya masing-masing. Alur perjalanan tersebut tentu pasti akan banyak ditandai oleh tapak tilas berbagai peristiwa berupa jejak-jejak, baik kasat mata maupun imajiner. Jejak-jejak bersifat kasat mata akan tergambarkan secara jelas sebagai suatu tanda peninggalan yang dapat dilihat dan dimaknai oleh siapa pun, baik orang-orang yang menjalani maupun yang menyaksikan perjalanan itu. Sedangkan jejak-jejak imajiner akan bersemayam pada ingatan masing-masing pelaku perjalanan.
Pada lazimnya jejak-jejak akan selalu berkonotasi masa silam, karena memang pada prinsipnya jejak-jejak itu merupakan tanda peninggalan dari suatu peristiwa perjalanan yang telah terjadi. Jejak-jejak itu beraneka ragam bentuknya bisa hanya sekadar berupa tapak karya, baik yang tertinggal maupun yang ditinggalkan, atau berupa cerita dan kenangan. Jejak-jejak itu pada saatnya dapat berfungsi sebagai titian langkah untuk bernapak tilas bagi siapa pun yang ingin melakukannya.
Sedangkan bagi para pelaku perjalanan, jejak-jejak itu tidak serta merta hanya berkonotasi masa silam karena bagi dirinya jejak-jejak tersebut tidak terbatas hanya yang bersifat kasat mata saja. Jejak-jejak imajiner, yang ada dalam ingatannya, akan selalu tetap hidup sesuai daya rasa dan daya ingatnya. Jejak-jejak itu tidak lagi sekadar tanda perjalanan yang berhenti pada waktu dan lokasi tertentu, tetapi akan terus terbawa atau dibawa ke mana pun para pelaku perjalanan melangkah.
Dalam konteks kreatif, bukanlah merupakan sesuatu yang ganjil apabila jejak-jejak, yang sarat emosi dan kenangan itu, kemudian dibawa pulang ke tempat pelaku perjalanan bermukim. Dalam hal ini, para pelaku perjalanan umumnya akan sangat menyadari bahwa dalam suatu waktu tertentu jejak-jejak itu akan menjadi sumber inspirasi yang akan melahirkan karya-karya yang di kelak kemudian akan menjadi jejak-jejak perjalanan tersendiri.
Jejak-jejak perjalanan, yang merambah dimensi waktu dan lokasi, pada hakekatnya merupakan sumber inspirasi bagi suatu proses cipta karya yang tidak terbatas. Para pelaku perjalanan secara naluriah akan mengolah imajinasi-imajinasi yang muncul dari jejak perjalanannya untuk menjadi bagian penting dari proses berkaryanya guna melahirkan karya-karya seni yang mencerminkan ungkapan pengalaman masa silam serta refleksinya pada masa kini dan mendatang. Pada titik ini, “jejak-jejak” itu menjadi sumber inspirasi lahirnya karya cipta yang melampaui garis akhir pelaku perjalanan itu sendiri.
Hal yang menarik adalah memperhatikan bagaimana orang-orang yang melakukan perjalanan bersama dalam menyikapi objek dan peristiwa yang sama. Sekalipun dimensi waktu dan tempat yang dilalui sama, namun tentunya daya tanggap masing-masing pelaku perjalanan dapat dipastikan akan berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini utamanya banyak dipengaruhi oleh cara pandang, pengalaman batin, dan sikap masing-masing terhadap objek dan peristiwa yang dilihat dan dialaminya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada gilirannya hal ini kemudian melahirkan kreatifitas-kreatifitas karya yang berbeda-beda dalam segala bentuk manisfetasinya, yang juga akan tergantung pada sejauh mana pelaku perjalanan mampu mengeskplorasi “jejak-jejak” tersebut.
Pameran Lukisan berjudul “JEJAK YANG DIBAWA PULANG” menampilkan karya-karya hasil refleksi para seniman Indonesia atas perjalanan budaya mereka ke Kerajaan Thailand. Akan sangat menarik memperhatikan bagaimana masing-masing seniman berkreasi dan mengeksplorasi jejak-jejak untuk menuangkan kenangan dan tanggapan masing-masing atas objek dan peristiwa yang dilihat dan dialami dalam perjalanan kebudayaan yang dilakukannya.
Disadari atau tidak, langsung atau tidak langsung, Pameran Lukisan yang merupakan hasil refleksi perjalanan Budaya para seniman Indonesia ke Kerajaan Thailand ini dapat berkontribusi terhadap upaya memperlancar komunikasi budaya antara masyarakat Indonesia dan Thailand. Hal ini tentunya juga akan turut memperkaya kiprah mereka setelah sebelumnya memperkenalkan budaya Indonesia, khususnya seni lukis, kepada masyarakat di Kerajaan Thailand melalui berbagai workshops dan Pameran Lukisan Bridge of Colors.
Sebagai informasi bagi pecinta seni budaya Indonesia, khususnya seni lukis, bahwa pada bulan Oktober 2002, para seniman Indonesia yang terdiri dari Bambang Herras, Erica Hestu Wahyuni, Galuh Tajimalela, Hari Budiono, Jumaldi Alfi, Nasirun, Putu Sutawijaya, Rendra Santana, dan Tisna Sanjaya bersama-sama melakukan perjalanan budaya ke Thailand. Perjalanan budaya tersebut dilaksanakan dalam upaya turut berkontribusi bagi penguatan hubungan bilateral Indonesia dan Thailand, khususnya di bidang seni budaya. Pada kesempatan tersebut, mereka turut berpartisipasi pada pameran lukisan berjudul Bridge of Colors. Pameran Lukisan yang diselenggarakan atas kerjasama KBRI Bangkok, Kementerian Kebudayaan Thailand, dan Galeri Nasional Thailand tersebut diadakan di Galeri Nasional Thailand Bangkok selama bulan Oktober 2022. Selain berpameran, selama perjalanan budaya di Thailand mereka juga melakukan berbagai kegiatan antara lain melukis bersama on the spot, workshops baik di sekolah, akademi, maupun universitas di Thailand. Pada akhir perjalanan, mereka melakukan kolaborasi melukis bersama di atas satu kanvas dengan hasil karya lukisan berjudul BUKAN SANDIWARA.
Selamat menikmati.

Bangkok, 15 Januari 2023

E-Catalog

[Exhibition] Pameran Tunggal Nyoman Erawan “Rekakara Pangurip Bumi”

Pada sosok Erawan,  komponen-komponen tradisi (termasuk religi), modernitas dan seni rupa mengalami konvergensi. Ketiga pokok tersebut menjadi keseharian Erawan. Bukan hal yang mudah menyatukan aspek tradisi yang komunal dan modernitas yang individual. Namun tegangan antara keduanya justru menjadi bahan bakar bagi gagasan kesenian Erawan dalam karya-karyanya. Keberadaannya sebagai seniman kontemporer merupakan penanda Erawan adalah individu modern yang juga mementingkan identitas dan ekspresi (-seni) personal. Bahwa identitas personal tersebut tetap berkait dengan komponen dan permasalahan tradisi menunjukkan bahwa Erawan berada dalam situasi post-tradisi.
Gagasan Pengurip Gumi, berangkat dari pakem upacara tradisi agama Hindu-Bali mengenai ekosistem alam yang tidak lagi berada dalam keseimbangan. Saat ini kondisi bumi memang berada dalam kondisi kritis dikenal sebagai era Anthrophocene, yaitu era geologi atau bumi karena pengaruh cara hidup manusia modern. Umumnya manusia tradisi menempatkan dirinya sebagai bagian dari alam, sementara manusia modern melalui teknologi berkehendak mengeksploitasi alam. Dalam karyanya Erawan menampilkan tegangan antara yang tradisi dan yang modern. Simbol-simbol tradisi ditampilkan melalui material masa kini (alumunium dan cat candytone). Alumunium yang penyok di sana-sini, dengan tatahan pola tradisi serta cipratan, sapuan dan lelehan cat candy menjadi paduan ketegangan visual. Tampak menyatu, namun menyisakan “pertanyaan.” Dapat kita rasakan di balik “keindahan” karya-karya Erawan, tersimpan narasi “kerusakan”, “ancaman” dan “destruksi”.
Seni rupa kontemporer terutama merepresentasikan kondisi masa kini (the quality of being current or of the present).  Gagasan dan karya-karya Erawan dalam topik Rekakara Pengurip Gumi sangat relevan dengan situasi manusia dan bumi saat ini. Erawan menawarkan nilai dan kearifan tradisi dalam konteks masa kini, menjadi bagian dari modernitas post-tradisi, katakanlah modernitas lokal ala Bali.  Harapannya, melalui pendekatan post-tradisi, praktik dan daya kreatifitas para seniman Bali bisa tumbuh lebih subur serta memberikan refleksi kritis dan kontributif bagi perubahan dunia, baik lokal dan global yang lebih baik.

[Exhibition] Sanggar Dewata Indonesia (SDI) “Rethinking”

 

Rethinking
Diaspora Kala Patra of SDI

“Semuanya masuk dan tidak ada yang diam,
Anda tidak dapat melangkah dua kali ke sungai yang sama,
Bahkan materi yang paling tenang terdapat aliran serta gerakan yang tidak terlihat.”

Heraclitus (540-475 SM)

 

poster merah

Rethinking Diaspora Kala Patra, bermakna memikirkan kembali; mempertimbangkan ulang proses perjalanan 51 tahun Komunitas seni Sanggar Dewata Indonesia, terkaitan dinamika seni dan produk pengetahuan dengan alur masa transmisi tradisi, batas-batas geografi, persilangan budaya, hingga reinterpretasi dan rekontekstualisasi estetika seni diaspora Bali di Yogyakarta. Perupa SDI, melahirnya kultur baru dalam identitas kesenian diaspora Bali sebagai akibat dialektika ‘nilai-nilai’ budaya Bali dengan atmosfer budaya setempat (medan seni rupa Yogyakarta-nasional-global) sehingga ‘seakan-akan’ menyiratkan model penyembunyian identitas kesenian dan representasi ke-Bali-annya melebur bersama identitas kultural lainnya. Benarkah demikian? Kehadiran medan seni kontemporer mematik ‘memori-ingatan tradisi’ diaspora Bali ke arah dialektika ‘pos-tradisi’ Bali yang bersilang dengan dengan konsep ‘tempat dan kondisi’ dari era kontemporer yang bersangkutan. Kebudayaan hibrid hari ini bergerak ulak-alik ke masa lampau, kini, dan proyeksi masa depan, dengan penyerapan aspek-aspek ‘ideologi-identitas’ hingga membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam aspek visualitas,  bentangan proses kreatif berpuluhan tahun di tanah Jawa, seniman diaspora Bali di Yogyakarta memunculkan identitas kebudayaan baru, utamanya dalam lelaku berkesenian  dengan tampilan visualitas sederhana/minimalistik (dibandingkan dengan gaya lukisan tradisional dan modern Bali),  paradigmatik konsepsi kontekstual, sensibilitas eksplorasi transmedia dengan hibridasi nilai-nilai budaya lokal (tradisi Bali dan lokalitas Nusantara), modern, dan kontemporer. Hal ini menegaskan bahwa visualitas seni rupa Bali ditangan seniman diaspora Bali di SDI akan terus bertumbuh dan berkembang dinamis, mengubah dan beradaptasi atas konstelasi ruang, waktu, dan situasi tanpa kehilangan makna nilai-nilainya yang hakiki. Tentu tumbuhnya kesenian Bali dilandasi oleh kedalaman pemahaman dan praksis sehari-hari berdasar atas filosofis nilai-nilai agama Hindu-Bali. Nilai-nilai praktis dan normatif kesenian tersebut tentu sudah lama ada dan mengendap dalam kedirian falsafah lokalitas seniman Bali.
Momentum estetika keberagaman visual seniman diaspora SDI sebagai ruang dialektika, rethinking kontekstualitasnya bisa dilacak dalam pajangan karya-karya di sejumlah pameran seni rupa dan arsip katalogus pameran SDI seperti (beberapa diantaranya):  32 Tahun Kebersamaan Sanggar Dewata Indonesia (2003), Termogram: Mengukur Suhu Kreatif SDI (2004), Reinventing Bali (2008), SDI Now (2008), Vibrant Vision of Lempad (2012), Tribute to The Maestro I Nyoman Gunarsa (2017), Partitur (2017), Proud to be an Artist (2018), Samasta (2019), dan yang terkini Rethinking Diaspora Kala Patra of SDI (2022) yang melibatkan 31 seniman SDI di Sangkring Art Space-Yogyakarta. Performa lanskap kreativitas seni seniman SDI yang lebih spesifik tercatat dalam pameran-pameran seni rupa yang aktif diadakan oleh ranting-ranting kolektif SDI dari kelompok-kelompok angkatan mahasiswa seni rupa dan media rekam ISI Yogyakarta maupun pameran tunggal eksponen SDI.
Dinamika rethinking diaspora Bali mempertimbangkan keniscayaan terjadinya medan tafsir hingga rekontekstualisasi ‘the past & today’ tanpa merusak-leburkan atau terlepas seutuhnya benang merah konsepsi filsafat lokal Bali, namun mentransformasikannya ke dalam berbagai kemungkinan artistika di medan seni rupa kontemporer. Sikap kritis memaknai ‘re-thinking’ menjadi tindakan reflektif yang harus terus menerus dilakukan oleh seniman diaspora Bali. Memikirkan ulang, dan menandai pengetahuan atas pengalaman diri/kolektif sosial terhadap respons zaman adalah cara bertahan hidup/survival dan membangun eksistensi berkesenian.  Pergerakan seni seniman diaspora SDI yang konsisten dalam ruang dan waktu yang cukup lama, akhirnya menemukan struktur baru kesenian, yang tercatat dengan sebutan seni rupa kontemporer (Bali). Alhasil, struktur bangunan seni tersebut sudah menjadi ‘newly-established art practice’, menyublim sesuai dengan idiom dan paradigma ideologis zaman terkini. Terlepas dari sebutan yang sangat etnisitas tersebut, kontribusi utama dari visi pergerakan seni komunitas seni rupa SDI adalah membangun identitas multikultural seni yang berpijak pada kedalaman nilai-nilai lokalitas dan konteks zamannya, dalam relasi wacana keberagaman estetika seni rupa kontemporer Indonesia. Diaspora Kala Patra seniman SDI tidak sekedar entitas personal yang berkumpul-berserikat, berproses seni dan bergaul di seberang tanah Bali, tapi mereka meracik formula baru dengan bahan suci spirit warisan leluhur Bali, memperkaya benteng filosofis kultural Bali dengan ragam estetika cipta, rasa, karya sesuai dengan falsafah Desa Kala Patra.
Oleh karena itu, pikiran saya adalah sekiranya menantang untuk membayangkan bagaimana seniman Diaspora Bali (di wilayah manapun dia berada) yang terikat atas “identitas ideologi Bali” aktif ‘memberontak-melompat’ sebagai ruang introspektif geopolitik-ajeg  (tradisional) Bali; berbekal memori-ingatan tradisi, bersenggama dengan realitas produk budaya luar Bali, melahirkan hasrat otensitas seni baru yang diciptakan dengan mendefinisikan ulang inti sari formula filosofis Bali; berpikiran terbuka dan kritis, percaya diri, adaptif, teratur, dan berwawasan keluar; mengembangkan suatu gagasan yang lebih dinamis tentang kesenian mereka hari ini yang menawarkan peluang bagi hibriditas dan dimensi-dimensi transnasional-global sebagai representasi estetika kontemporer seniman diaspora/perantauan Bali.

Selamat menikmati lanskap Rethinking Diaspora Kala Patra of SDI.

 

I Gede Arya Sucitra
Anggota SDI & Dosen Seni Rupa ISI Yogyakarta