Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-8,page-paged-8,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Allegory of The Origin

18953598_10210022167131367_3851766148816297767_o

Allegory of The Origin
by Willy Himawan
13 – 28th June 2017
Opening start with discussion, 13th June 2017 16:00 WIB
At Sangkring Art Project
Nitiprayan Rt 1 Rw 2 No. 88 Ngestiharjo, Kasihan Bantul Yogyakarta 55182


Jogja Editions

poster JE_ok (1)
 
Ruang Berlapis Intaglio Sebuah Catatan untuk JIMB 2017

Jogja International Miniprint Biennale (JIMB), sebuah ajang internasional dua tahunan berhasil menempatkan dirinya sebagai tolak ukur perkembangan seni grafis di Indonesia. Berbeda dengan tradisi bienale di arus utama yang rumit dan gigantik, JIMB justru secara leluasa dan responsif menawarkan kesederhanaan melalui karya-karya berukuran mini. Model bienale ini melancarkan terciptanya mobilitas dan efisiensi. Sejak digelar, JIMB pada gilirannya telah menjadi sebuah ajang yang turut mewakili nama Indonesia di forum seni grafis kontemporer dunia. JIMB telah menawarkan berbagai kemungkinan dalam teknik seni grafis yang belum dikembangkan penggrafis tanah air (dengan alasan miskinnya infrastruktur studio grafis yang bisa segera bisa dimaklumi bersama), terutama kekayaan teknik intaglio dan litografi. Pengalaman melihat karya-karya grafis mancanegara ini sangat penting guna mengukur semaju apa perkembangan seni grafis kita dan, tentu saja sejauh mana kita sudah tertinggal.  Dari perjalanannya, JIMB membuktikan bahwa karya-karya cetak sanggup menembus keterbatasannya yang mana kemudian bisa dihargai sebagai analisa kritis atas representasi kebudayaan kontemporer yang selama ini didominasi seni lukis.

Karya-karya yang mendapat perhatian istimewa dalam JIMB kali ini menampilkan teknik intaglio yang berkembang di Eropa setelah cukilan kayu. Intaglio – populer di Indonesia dengan sebutan cetak dalam –  menggunakan plat tembaga sebagai bidang yang ditoreh sehingga area cekungnya menahan tinta. Saya sebelumnya mengatakan bahwa teknik ini belum seberapa berkembang mengingat masih sedikit karya-karya di tanah air yang sanggup keluar dari sejumlah kendala. Bagi penggrafis yang berkutat pada teknik ini, mereka bertahan tak lebih dari sekedar teknik kalau tidak bisa disebut belum memperlihatkan penjelajahan tema yang dengan kerangka konseptual dan estetika yang maju. Kita akan melihat bagaimana kualitas teknik intaglio dalam pameran JIMB saat ini dan bagaimana karya karya terpilih dari seniman Paolo Ciampini, Dimo Kolibarov, dan Deborah Chapman unggul dari segi teknik, konseptual dan estetika.

Karya Paolo Ciampini (Italia) cenderung memadukan nuansa gelap di mana impresi manusia dan hewan muncul akibat pencahayaan yang menempatkan mereka ke dalam sebuah situasi sunyi, puitis sekaligus nostalgis. Sementara beberapa sosok di situ tampil secara ikonografis, yang lainnya berpose untuk sebuah komposisi fotografis yang ganjil. Potongan anatomi atau pose-pose wanita di situ juga seakan menata keilahian yang telanjang dari sebuah inspirasi klasik seraya mengembalikan bayangan kita pada seni-seni renesans. Semua itu tak hanya memperlihatkan teknik grafis Ciampini dengan efek tonal yang tampil secara prima, tetapi juga untuk mengembangkan gagasan. Karyanya menghadirkan tingkat kesulitan dan juga sebuah bukti keterampilan dalam menggambar. Ini tentu bukanlah pekerjaan mudah bagi pengamat yang memahami bagaimana teknik intaglio dalam seni grafis dikerjakan.

Dimo Kolibarov (Bulgaria) tampaknya berminat pada ruang-ruang berlapis yang saling menghubungkan satu tempat ke tempat lain, menghubungkan satu citra ke citra lainnya. Ruang itu menempatkan manusia ke dalam situasi abnormal meski masih mengacu pada realitas dan kita kenali sebagai pantai, labirin, atau sebuah sudut rumah dengan kursinya. Kolibarov juga mempersoalkan transisi ruang yang mengubah imaji manusia sebagai hewan sehingga mengesankan peristiwa janggal – kalau tidak bisa disebut surealistis. Seorang anak kecil tampil simultan di beberapa karya dalam sebuah obsesi kejiwaan. Ia mendekap seekor hewan (atau sebuah boneka) yang menjaganya dari sebuah ancaman dan dari konflik antara ruang pribadi dan ruang publik, antara ruang keluarga dan ruang sosial, antara ruang budaya dan ruang yang berguna, antara ruang santai dan pekerjaan. Anak itu mewakili kehadiran tersembunyi yang suci.

Dengan teknik mezzotint, Deborah Chapman (Canada) melayani fantasinya yang tak terbatas melalui perpaduan janggal antara benda, buah, hewan dan figur manusia. Dengan latar gelap (ciri khas teknik ini), objek-objek itu berjalinan membangun narasi misterius. Sementara di karya lainnya, Chapman lebih memperkuat komposisi – suatu keseimbangan untuk menyempurnakan simbolisme. Objek bola memantulkan bayangan di sekitarnya: sebuah tangga teronggok di celah lubang kotak. Kesan bayangan itu mengambil sifat-sifat teritorial manusia, dengan pengawasan sadar dan bawah sadar tentang kehadiran dan ketidakhadiran, masuk dan keluar. Pengungkapan akan demarkasi perilaku dan batasannya memungkinkan terjadinya definisi tentang apa yang ada di dalam dan di luar dan yang dapat mengambil bagian dari sublimasi yang melekat.

Sehelai hasil cetakan semula hanyalah sebuah kesan pada kertas dari sebuah gambar yang ditinggalkan oleh objek lain. Itu berbeda dengan melukis, di mana kesan ditinggalkan oleh kuas yang gambarnya  sudah terbentuk sempurna. Namun peradaban berhutang ingatan pada cetakan ini. Ketika dia dibebaskan menjadi kerja otonom seniman, seni grafis mengambil tempat dalam berbagai gejala seni, termasuk gejala-gejala yang meninggalkan prinsip seni modern melalui duplikasi merek panganan kaleng oleh Andy Warhol. Seni grafis tampaknya akan terus keluar-masuk menjadi bagian dari peradaban dan berpeluang besar menjadi instrument kritikal di tangan seniman.

Leiden, 29 April 2017

Aminudin TH Siregar

 

Yogya Annual Art #2 2017, Bergerak

Poster YAA #2 oke

Yogya Annual Art #2 2017
“Bergerak”

15 Mei-15 Juni 2017
Galeri: Bale Banjar Sangkring

Pembukaan: 15 Mei 2017, 19.00 W.I.B
Oleh: Bre Redana

Seniman:
AGUS ‘BAQUL’ PURNOMO

ANDY WAHONO

AT. SITOMPUL

AYU ARISTA MURTI

BEATRIX HENDRIANI KASWARA

CITRA SASMITA

DADI SETIADI

DEDY SUFRIADI

EKO DIDYK ‘CODIT’ SUKOWATI

ERIANTO

ERIZAL AS.

GALUH TAJI MALELA

GUSMEN HERIADI

HAYATUDDIN

HONO SUN

I NYOMAN ‘ATENG’ ADIAN

I NYOMAN AGUS WIJAYA

I NYOMAN DARYA

I PUTU AGUS SUYADNYA

I PUTU WIRANTAWAN

IWAN SRI HARTOKO

IWAN YUSUF

JONI RAMLAN LUDDY ASTAGHIS

MASLIHAR

MUJI HARJO

MULYO GUNARSO RIDUAN

RISMANTO

ROBI FATHONY

RONALD APRIYAN

RUDY ‘ATJEH’ DHARMAWAN

SUHARMANTO

SURAJIYA

TAUFIK ERMAS

TOMMY WONDR

WAHYU ‘ADIN’ WIEDYARDINI

WILLY HIMAWAN

YAKSA AGUS

Karya Spesial: SUBROTO SM

The Gift

The Gift: 10 Tahun Sangkring Art Space

poster fix

 

Bagaikan bulan sabit mengembang malam demi malam, demikian pemberian adalah tanah berlimpah panen (petikan dari Anucasanaparvan, Kitab XIII Mahabharata).

Perayaan ulang tahun ke-10 Sangkring Art Space dapat kita pahami sebagai sebuah peristiwa yang dalam risalah antropologi biasa disebut sebagai ritual intensifikasi atau ritual penyatuan kembali. Fungsi utamanya adalah sebagai pemanggungan dan peneguhan kembali ikatan-ikatan sosial. Dramatisasi dan reafirmasi sosial. Melalui peristiwa ini, mereka yang tercerai-berai dapat berkumpul lagi. Ikatan-ikatan sosial yang burai pun dibuhul kembali. Barangkali, ditilik dari sisi romantiknya, peristiwa ini segera ingin diberi makna sebagai ajang kangen-kangenan; tetapi, dari sisi yang lebih formatif, ia dapat menjelma sebagai ajang pertukaran. Adalah hal yang jamak jika sebuah perayaan seperti ini sekaligus menjadi momentum untuk memberlanjutkan pertukaran, saling bertukar pemberian atau hadiah.

Pemberian, apakah ia niscaya obligatoris atau sukarela, sarat-kepentingan atau bebas-kepentingan? Pemberian yang generous, adakah? Konsep tentang sedekah, bahkan persembahan dan pengorbanan bagi dewa-dewi atau tuhan sekalipun, sedikit-banyak obligatoris dan sarat-kepentingan. Maka dari itu, jangan heran jika seorang Marcel Mauss, dalam The Gift: Forms and Functions of Exchange in Archaic Societies (1967), masih terus berhadapan dengan para penanggapnya yang kritis. Donasi darah, misalnya, mungkin bisa mewakili imajinasi kita tentang the free gift. Dalam konteks intensifikasi, tentu ia boleh ditafsir secara metaforik: saling memberi spirit, gairah kehidupan. Daya hidup, jika kita pinjam ungkapan Rendra. Pemberian di dalam momentum ini bak darah yang mengalir, memberi daya hidup bagi siapa saja. Ia mengalirkan doa dan harapan.

Terlebih lagi, sebagaimana dikatakan juga oleh Mauss (1967: 66-77), pemberian bukanlah fenomena atau aktivitas yang parsial. Dalam mengartikulasi tatanan sosial, ia tidak semata-mata bermatra moral dan religius, apalagi sekadar morfologis, melainkan juga estetik. Matra terakhir ini tak bakal terengkuh apabila kita memahaminya dari perspektif moral-ekonomi semata-mata, sebab yang bermain adalah sisi artistik dan simbolik yang sarat makna. Pada sisi ini pemberian mencapai kapasitas produktif, yakni sebagai penciptaan tanda-tanda yang, seperti dikatakan tadi, mengekspresikan keberlanjutan daya hidup. Bagaimanakah tanda-tanda dipertukarkan, diperbincangkan? Adakah perbincangannya bergerak ke dalam, involutif, atau meruyak ke luar menemu potensi makna-makna yang lebih demokratis?

Dalam ungkapan metaforik lain yang kita pungut dari Mary Douglas dan Baron Isherwood, The World of Goods (1996): apakah pemberian ini hendak dibubuhi makna sebagai pagar atau jembatan? Sebaris pagar tentu saja bermakna membatasi, membangun eksklusi; sedangkan sebentang jembatan menghubungkan, menjalin relasi sosial yang inklusif. Jika kita kembali ke dalam pemahaman awal tentang peristiwa intensifikasi yang berfungsi untuk menyatukan mereka yang berserak, Sangkring Art Space telah berkomitmen untuk tetap mempertahankan perannya sebagai jembatan yang inklusif itu. Kita ingin melangkah ke seberang bersama-sama, tidak sebatas pada para seniman yang berpartisipasi di dalam pameran besar ini, melainkan juga jagad seni rupa yang begitu jembar.

Teruntuk sebuah ruang seni yang diberkati, the gifted Sangkring Art Space, mari kita serukan: Dirgahayu!

Kris Budiman

 

Art Review | 6 in 1: Rangkulan Bersekat Tunjukkan Taji Generasi

17966822_10209567687529661_5363552614079136160_o

Sejak awal, membaca frasa “pameran tunggal kolektif” yang membayangi publikasi pameran ini sudah mengundang rasa ingin tahu. Maka jika biasanya paska datang ke pameran, entah tunggal atau kolektif, pengunjung akan membawa pulang satu gagasan besar mengenai karya-karya yang baru ia nikmati, pameran “6 in 1” ini menawarkan enam gagasan seniman secara utuh. Enam seniman tergabung dalam pameran ini, mereka adalah: Putu Sutawijaya, Bunga Jeruk, Anggar Prasetyo, Feintje Likawati, Bob Yudhita Agung, dan Yustoni Volunteero.

Tak seperti pameran kolektif yang dari satu kuratorial atau penulis, ada satu benang merah yang merangkul karya-karya dengan berbagai pendekatan gagasan dan material, “6 in 1” tidak. Enam seniman, masing-masing punya ruang sendiri, penulis sendiri, bahkan poster pamerannya sendiri-sendiri. Bale Banjar Sangkring, tempat pameran ini berlangsunglah yang menjadi kunci konsep ini. Galeri ini punya konsep yang jarang ditemui di Yogyakarta. Satu atap, namun terbagi-bagi dalam beberapa ruangan yang dipisah melalui sekat-sekat tanpa pintu. Galeri ini seperti enam white cube yang terhubung, sekaligus mandiri.

  17966856_10209567525125601_1009718399935280401_o

Hari itu saya berkeliling Bale Banjar Sangkring dengan rute melawan arah jarum jam. Dua lukisan realis berisi wajah-wajah anak-anak terpajang di ruangan sebelah kanan pintu masuk. Ruangan ini milik Feintje Likawati. Dengan cat minyak, seniman perempuan ini menonjolkan ekspresi anak-anak, hanya itu. Bahkan tak ada lanskap mencolok di belakang figur anak-anak yang ia lukis. Namun saya berandai-andai mengapa Feintje tak menggoreskan detil pada ekspresi itu. Seri “On Uniform” untuk saya lebih menarik karena menghadirkan satu figur dalam ekspresi yang berbeda, terlihat lebih dinamis. Masuk ke ruang berikutnya, saya dikepung oleh 9 lukisan seri “Anonim” berukuran cukup besar dan tulisan pengantar yang diletakkan di lantai tengah galeri. Secara ukuran dan pengalaman visual, karya Anggar Prasetya ini adalah salah satu favorit saya. Permainan persepsi yang digunakan Anggar lewat teknik lukisnya menghasilkan efek pencahayaan bak fotografi tekstur permukaan benda. Sekilas kita akan dibuat bingung dengan dimensi karya-karya tersebut, dan dengan kombinasi displaynya yang seolah mengurung penonton, ruang pamer Anggar Prasetya ini saya rasa berhasil.

Ruang berikutnya adalah pameran “Hijau Royo-Royo” dari Putu Sutawijaya. Jika dulu karya Putu Sutawijaya sempat didominasi obyek figur-figur anonim yang menonjolkan gestur, lalu beralih ke objek-objek bangunan batu berupa candi, kali ini nampaknya ia punya muse baru. Hijau Royo-Royo menampilkan 10 lukisan panorama bukit-bukit di Indonesia. Sempat terbersit untuk mengaitkan dengan gerakan mooi indie, namun tidak. Lukisan-lukisan Putu Sutawijaya ini tak menyoal eksotisme alam. Dominasi warna hijau dan coklat di lukisan-lukisan tersebut seolah tak sedang bersuka cita atas kesuburan, tapi juga kehancuran alam. Di sebelahnya, Bob Sick yang mungkin lebih dikenal sebagai aktivis tato bereksperimen dengan teknik automatisme –begitu yang tertulis di catatan pengantar oleh Apriadi Ujiarso. Yang paling menarik untuk saya adalah sebuah lukisan berjudul “ Mother Hand”. Seorang perempuan muda berkaos merah muda tengah memegang tas tangan warna merah. Yang membuatnya jadi unik adalah teks-teks yang muncul di sekitar figur itu, tulisan “Valentine!”, “Bunda Maria” dan beberapa lagi menjadi konteks atas narasi lukisan ini. Lukisan-lukisan Bob Yudhita yang lain cukup segar dengan pemilihan warna-warna neon mencolok.

17973487_10209567548606188_4218206350108412072_o

Melewati sekat selanjutnya, akhirnya saya menjumpai karya instalasi setelah daritadi didominasi oleh karya 2D. Pameran ini berjudul “Kanvas, Kayu dan Kopi” oleh Yustoni Volunteero. Dikenal sebagai salah satu aktivis Taring Padi, kali ini Yustoni Volunteero menjajal topik yang lebih ringan. Ia mencari ruang antara; antara gagasan dalam karyanya, antara material-materialnya. “Perjamuan yang Tak Pernah Berakhir” memamerkan sebuah bangku kayu panjang yang ditaruh hampir di tengah ruangan, di atas mejanya tumbuh rumput. Di belakangnya deretan obyek sureal yang playful digoreskan pada kanvas dan talenan kayu. Yang paling masif secara ukuran adalah karya berjudul “Sejarah Gula dan Besi” yang menggunakan kanvas sepanjang 10 meter. Ujung satu dipasang di pinggir atas ruangan, memanjang ke bawah. Pameran Yustoni ini yang menurut saya secara bentuk paling melakukan eksplorasi terhadap ruang pamer berkonsep white cube ini.

Terakhir adalah ruang milik Bunga Jeruk. Sebuah penutup manis, karena secara visual lukisan bunga jeruk terlihat sangat ceria seolah catnya diambil dari produk budaya pop masa kini. “Never Ending Journey”, adalah tajuknya. Saya menikmati figur manusia dan hewan di karya Bunga Jeruk digambar dengan rapi lalu ditabrakkan dengan lanskap solid polos. Membangun efek bidang luas pada imaji yang saya dapat paska menoleh dari lukisan itu.

17973713_10209567606847644_3363043238708589679_o

Untuk saya pameran ini tidak bisa mengabaikan wacana tentang ruang publik dan privat. Sekat-sekat yang membagi Bale Banjar jadi enam white cube ini memberikan kuasa pada masing-masing seniman untuk menonjolkan gagasannya. Tak ada konsensus publik, seperti tema pameran atau kuratorial yang harus dipatuhi. Bahkan tak ada konteks tambahan yang berpotensi mendistraksi karya di masing-masing ruang. Saat di ruang publik, dalam hal ini saya andakan sebagai pameran kolektif, tentu banyak negosiasi yang berlangsung antar seniman. Baik di tataran proses, kuratorial maupun display. Sedangkan di konsep pameran tunggal kolektif ini meminimalisir negosiasi tersebut. Tiap seniman justru secara maksimal mengungkapkan gagasan lewat karyanya. Namun cukup disayangkan bahwa dalam program “6 in 1” yang pertama ini, karya-karya terlalu didominasi oleh lukisan 2D. Hanya Yustoni Volunteroo dan Anggar Prasetya yang menurut saya secara maksimal memanfaatkan ruang mereka.

Meski mengadaptasi konsep pameran tunggal di white cube yang seolah meminimalisir konteks karya, pintu-pintu terbuka antar ruang pamer di pameran ini lalu memberikan narasi lain. Membaca latar belakang masing-masing seniman, mereka adalah representasi angkatan seni rupa ’91. Angkatan yang santer terdengar sebagai yang paling menonjol di circa 1990-2000. Meski punya fokus masing-masing, Putu Sutawijaya dan kawan-kawannya ini berhasil membuat beberapa momentum bersejarah di linimasa seni rupa Indonesia. Ketika boom pasar seni rupa meledak tahun 2007, Putu Sutawijaya merupakan salah satu pemicunya. Yustoni Volunteero dan kawan-kawan juga melahirkan geliat seni aktivisme dengan komunitas Taring Padinya. Sampai sekarang pun jejak-jejak peran seniman angkatan 1991 ini masih terasa. Jika diamati secara luas, angkatan-angkatan setelah itu misalnya 1992, 1994, 1996 dan seterusnya bukan tak menonjol, namun karya-karyanya lebih banyak menyoal hal-hal personal.

17973774_10209567639488460_970796570780462473_o

Yang juga menarik dari pameran “6 in 1” ini, adalah bahwa program-program yang diadakan di Bale Banjar Sangkring selalu menghadirkan satu tokoh seni rupa yang jarang bisa ditemui di acara lain. Untuk malam pembukaan pameran ini misalnya hadir  Subroto SM, Mhum. Seorang dosen di ISI Yogyakarta yang sekaligus seniman, dan mentor bagi banyak seniman angkatan 1991 yang ikut pameran ini. Untuk sebuah alasan sentimentil, kehadiran beliau memberi gambaran perkembangan seni rupa Indonesia, sebut saja dalam rentang waktu 25 tahun terakhir ini.

Maka dengan seluruh konsep dan ruang pamer, juga gagasan masing-masing seniman, pameran “6 in 1” ini sekaligus menjadi lubang intip, sedikit biografi karya, atau mungkin bisa diposisikan sebagai petunjuk resep untuk sebuah generasi padat karya yang tetap mau saling berangkulan dan tetap bangga pada perbedaan gagasan dalam karya-karyanya.

17635147_10209567683209553_4314853927426041371_o

Titah AW

Mahasiswa Komunikasi UGM. Reporter WARN!NG MAGZ. Pernah mengikuti program Penulisan dan Kuratorial Seni Rupa yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta 2016.

Art Review | Adu Domba #5: Gugatan Atas Warna yang Kurang Berwarna

17904373_10212185208255482_2907783585180991763_n

Beberapa waktu lalu, saya dan teman jadi korban serbuan klason di sebuah perempatan jalan padat di Yogyakarta. Kami tidak melakukan kesalahan apa-apa kecuali bahwa teman saya telat menarik gas motor setelah lampu berganti hijau 5 detik lalu. “Aku itu sebenarnya nggak bisa bedain lampu merah dan hijau,” ujarnya malu-malu. Setelah sekitar dua tahun berteman, baru siang itu saya tahu ia adalah penderita daltonism alias buta warna.

Dengan fakta bahwa 1 dari 10 orang di dunia menderita kelainan ini, buta warna bukanlah kasus yang langka. Tak perlu kaget kalau ada teman atau kerabat yang menderita kelainan ini. Buta warna adalah keadaan dimana retina tidak mampu membedakan warna-warna tertentu. Pada jenis paling parah, penderita hanya bisa melihat dunia dalam warna monokrom. Padahal tak bisa diingkari, warna membentuk persepsi kita tentang dunia. Merah, kuning, hijau, biru, dan ratusan warna lain tak pernah hanya sekedar nama, ia telah menjelma simbol untuk hampir segala hal dalam tataran personal maupun publik. Bahkan bukan tak mungkin warna turut berkontribusi terhadap perubahan di bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi.

17951812_10209567799612463_7061190643959241524_n

Warna-warna tertentu menyimbolkan sesuatu atas hasil dari konsensus publik, ia menjelma bahasa untuk menyampaikan pesan tertentu. Misalnya merah untuk pedas, biru untuk perasaan sedih, hijau untuk kesuburan, putih untuk hal-hal suci dan seterusnya. Lalu bagaimana jika seseorang tidak bisa melihat warna-warna tertentu? Bagaimana kalau langit tak selalu biru dan pisang tak kuning seperti yang kita tahu selama ini? Hal inilah yang digugat oleh Sekar Jatiningrum dan Sinta Carolina dalam pameran Adu Domba #5 di Sangkring Art Project.

Memasuki galeri Sangkring Art Project yang lapang, saya memulai rute dari bagian Sekar Jatiningrum. Enam buah neon box beragam ukuran terpajang di dinding, di atasnya huruf-huruf disusun dari lingkaran-lingkaran warna kecil tak beraturan, huruf-huruf Ishihara. Huruf-huruf ini akan mengingatkan kita pada sebuah praktek medis di ruang periksa mata, oleh dokter berbaju putih yang menanyakan “angka berapa yang anda lihat di sini?”. Tes Ishihara adalah salah satu metode paling mudah untuk mendeteksi gejala buta warna pada seseorang. Angka atau huruf tertentu dicetak dalam warna yang berbeda, warna-warna sensitif untuk penderita buta warna.

17990895_10212185208615491_4292497031370936036_n

Di tembok sebelah kirinya Sekar memajang karya yang hampir sama, walaupun tanpa neon box. Sementara di sisi setelahnya, huruf-huruf Ishihara lagi-lagi muncul dalam bingkai kaca. “Dari penggalan-penggalan huruf itu saja sudah bisa memancing perdebatan tentang mana yang benar dan mana yang salah, sebagai visualisasi situasi saat ini. Di mana pertentangan perebutan makna kebenaran begitu viral di jagat maya dan memperburuk hubungan sosial di dunia nyata.” Begitu Ida Fitri menulis mengenai karya ini dalam kuratorial. Namun sayangnya saya tak mendapat kesan itu. Mungkin karena kebetulan saya bukan penderita buta warna, jadi huruf-huruf acak tersebut dengan mudah bisa terbaca sebagai kata “ADU DOMBA” yang tak lain adalah judul dari pameran ini.

Secara visual pun, karya ini tak terlalu memancing penonton –atau setidaknya saya— untuk bermain anagram mencari kata atau kenyataan lain di karya tersebut. Selain tentu saya mempertanyakan alasan Sekar memilih judul pameran sebagai obyek karyanya, alih-alih kata lain yang mungkin akan lebih atraktif misalnya. Karya lain yang berjudul “Red Queen” juga menimbulkan kesan yang kurang lebih sama untuk saya. Dua lukisan sang ratu merah dari film Alice in Wonderland itu didominasi oleh warna merah-hijau dan biru-kuning-hitam, kombinasi warna yang paling awam bermasalah dari kasus daltonism. Lukisan ini seperti menyentil, bahwa untuk sebagian orang Red Queen bisa jadi Green Queen atau Yellow Queen. Namun lagi-lagi, karya ini tak berbicara banyak selain memberikan sensasi seolah simulator penglihatan ala penderita buta warna terhadap film kartun.  

17951599_10212185208495488_516456333205040105_n

Lain halnya jika mungkin yang menikmati karya tersebut adalah orang yang buta warna. Anagram dari huruf Ishigara tersebut barangkali bisa menjelma jadi sengkarut teka-teki asik yang menantang untuk diselesaikan di tempat saat itu juga. Begitu juga dengan lukisan “Red Queen” yang mungkin akan membuat mereka bertanya-tanya tentang judul karyanya. Tapi bukankah rasanya kurang efektif ketika gugatan terhadap persepsi dengan kasus buta warna hanya bisa dinikmati oleh penderita buta warna saja?

Sinta Carolina di tembok seberangnya mencoba memainkan persepsi kita akan realita terhadap warna-warna ideal yang melekat pada obyek lewat gambar-gambar sureal. Dibuat menggunakan cat air dan pensil warna, dengan teknik gambar yang menyerupai coretan anak-anak, seri lukisan ini terlihat lebih bebas, dan pas untuk menggambarkan imaji sureal yang ingin disampaikan Sinta. Jika berjalan dari sisi selatan, anda akan paham bahwa lukisan tersebut jadi makin sureal semakin ke utara. Lukisan pertama “Welcome to The Jungle” adalah memulai perjalanan dari persepsi paling awam. Narasi sebuah hutan dan hewan-hewannya, dengan warna-warna yang sebagaimana seharusnya kita tahu. Berjalan ke lukisan berikutnya, anda akan menemui satu persatu realita ganjil yang masuk. Seekor singa menonton TV, di lukisan berikutnya mungkin seekor badak tengah berendam air hangat. Begitu terus sampai di lukisan terakhir anda akan menemukan hutan monokrom dengan daun-daun berwarna merah muda dan langit kuning menyala, dan Sinta tak sedang membicarakan musim gugur atau senja.

Permainan obyek dan warna yang tidak sesuai ini untuk saya terasa lebih subtil. Jika warna seolah membicarakan persepsi masalah buta warna secara literal dan praktikal dalam kehidupan sehari-hari, narasi sureal yang dihadirkan Sinta dalam lukisan-lukisannya seolah membawa kita pada angan-angan lebih jauh tentang dunia lain tersebut. Dunia yang satu, tapi tak pernah sama bagi setiap orang. Dua belas lukisan Sinta Carolina untuk saya juga memadamkan tuntutan saya tentang data medis tentang kasus buta warna. Saya tak mengharapkan pameran ini jadi pameran medis, tapi saya tak bisa menghilangkan keingintahunan untuk terlebih dulu memahami apa itu buta warna, atau misalnya lebih detil tahu bahwa ada tiga jenis buta warna, ia hanya menurun pada kromosom X, atau warna-warna apa saja yang jadi masalah untuk para penderita buta warna baru kemudian menikmati pameran yang menyoal buta warna.

17951964_10209567783132051_1533799134689253356_n

Dua seniman dalam satu galeri membahas satu topik, persepsi dunia dalam warna. Warna dalam berbagai persoalan keseharian punya hubungan sangat dekat dengan pengalaman visual. Sedang pengalaman visual adalah salah satu pengalaman yang paling mempengaruhi manusia. Untuk saya, pameran Adu Domba #5 ini masih kurang menghadirkan pengalaman visual yang masif, atau jika tak harus menyoal kuantitas, kurang atraktif. Potensi reaktif atau partisipatoris –mengingat yang dibahas sangat dekat dengan siapa saja— juga tak bisa banyak muncul. Persoalan persepsi dari praktik yang paling literal sampai subtil dan sentimentil harusnya bisa melibatkan eksplorasi yang lebih berlapis-lapis.

Melalui warna, lewat sepasang mata, cerita-cerita bisa menjadi berbeda dan realita tak pernah sama untuk tiap manusia. Di akhir kunjungan saya ke Sangkring Art Project hari itu, saya terpikir untuk kembali lagi esok hari mengajak teman yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Akan seperti apa kesan yang ia dapat ketika masuk ke galeri ini? Apakah dengan dunianya yang telah berbeda, ia merasakan sesuatu dari karya-karya Adu Domba #5 ini?

Titah AW

Mahasiswa Komunikasi UGM, Reporter Warning Magz, pernah mengikuti program Penulisan dan Kuratorial Seni Rupa yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta 2016

6 in 1 (6 Artist, 6 Writer, 1 Roof)

IMG-20170412-WA0005

Menyatu Bukan Melebur

Spirit edukatif dan kolektif yang jadi nilai dasar diciptakannya Bale Banjar Sangkring akhirnya menemukan momen perwujudannya dalam pameran kali ini. Pameran ini mengajak enam seniman, yaitu: Anggar Prasetyo, Bob Yudhita Agung, Bunga Jeruk, Feintje Likawati, Putu Sutawijaya dan Yustoni Volunteero. Berangkat dari konsep Bale Banjar Sangkring sendiri, masing-masing seniman memamerkan karya mereka dalam ruang tunggal yang dipisahkan melalui sekat-sekat terbuka. Selain mendapatkan ruang sendiri, tiap seniman pun mendapat kuratorial sendiri, ini tak ubahnya pameran tunggal yang diadakan bebarengan. Hal ini adalah sebagai wujud semangat kolektif para seniman dalam merepresentasikan semangat generasi seni rupa angkatan 1991, sekaligus tetap mempertahankan karakter masing-masing karya agar tetap berdiri sendiri. Pameran tunggal secara kolektif ini pada akhirnya menjadi bentuk nyata dari spirit ruang paling baru di Sangkring Art ini.

Meski menyebut diri mereka dari angkatan 1991, enam seniman ini masih terlibat aktif di berbagai pameran dan kegiatan seni di medan seni rupa Indonesia hingga kini. Mereka juga konsisten mengeksplorasi topik yang sejak dulu digeluti. Anggar Prasetyo misalnya bereksplorasi dengan distorsi visual, memadukan teknik embos dan pencahayaan, ia seolah ingin membuat trik mengelabui mata untuk membicarakan ihwal persepsi. Bunga Jeruk pun masih konsisten mengangkat topik keseharian untuk membicarakan perjalanan manusia sebagai entitas personal maupun keberadaannya sebagai sebuah spesies. Sementara itu Bob Yudhita Agung kali ini mencoba sedikit keluar dari jalur pelukis-akademisnya dengan mengeksplorasi teknik automatisme yang meracaukan narasinya sendiri. Di ruang lain, Feintje Likawati bermain dengan konsep mimetis klasik seni Cina melalui lukisan potret anak-anak dan alasan sentimentil yang menjadikan karyanya cukup emosional walupun nampak sederhana. Begitu juga dengan Putu Sutawijaya lewat karya-karya panoramic-nya, ia bukan tengah melanggengkan seruan mooi indie, alih-alih ia sedang mencatat geliat alam lewat hal yang paling dikuasainya yaitu lukisan. Eksplorasi di ruang juga dilakukan Yustoni Volunteero lewat karya instalasinya yang berada di antara ranah fine art, fine craft dan desain.

Ke-khas-an masing-masing seniman dalam pameran di Bale Banjar Sangkring ini kemudian diharapkan bisa menyatu sebagai sebuah representasi tanpa harus meleburkan diri. Selamat menikmati!

Tim Sangkring Art

Adu Domba #5, Sekar Jatiningrum vs Sinta Carolina

image

Sinta dan Sekar, Bersama Menggugat Warna

Roses are red, violets are blueSugar is sweet, and so are you. Baris pertama kalimat yang berima ini sederhana, manis dan mengandung kebenaran. Di baris kedua, di mana sebaris kalimat rayuan ditempatkan, mencoba mendudukkan kebenaran ‘you’ yang manis setara dengan kebenaran manisnya gula, merahnya mawar dan birunya bunga violet.Mungkin klise, karena saking seringnya digunakan untuk merayu, jutaan kali sejak ditulis oleh Sir Edmund Spenser (1590), dimuat di Gammer Gurton’s Garland (1784) dan ditulis ulang oleh Victor Hugo (1862). Sementara dari sekian milyar jumlah manusia di bumi, 1 dari 12 pria dan 1 dari 200 perempuan akan menyangkal kebenaran kalimat itu. Sebab mereka melihat warna tertentu berikut gradasinya seperti merah, biru dan hijau secara berbeda, disebut buta warna atau menyandang visi warna berbeda. Mereka tak melihat mawar berwarna merah dan bunga violet yang biru.

Sinta Carolina menggugat warna melalui rangkaian duabelas gambar ilustratif. Gugatannya yang paling kuat ditujukan pada daun, yang mestinya tak selalu hijau, tetapi bisa coklat atau merah hati. Demikian juga tanah, ia memberi alternatif warna merah muda, bukan coklat seperti umumnya. Imajinasinya ini secara tak sengaja menjadi bisa dipahami sebagai sesuatu yang tidak mengada-ada. Sebab nyatanya, sebagian dari kita yaitu para penyandang visi warna berbeda memandang isi bumi dengan rona berbeda pula.

Sekar Jatiningrum menyodorkan permainan kata dari judul pameran ini sendiri, ADU DOMBA, menggunakan huruf Ishihara atau huruf tes buta warna. Susunannya dibuat membingungkan. Dari penggalan-penggalan huruf itu saja sudah bisa memancing perdebatan tentang mana yang benar dan mana yang salah, sebagai visualisasi situasi saat ini. Di mana pertentangan perebutan makna kebenaran begitu viral di jagat maya dan memperburuk hubungan sosial di dunia nyata.
Seniman, adalah pekerja yang bergelimang warna. Mereka mempersoalkan warna dan gradasinya secara rumit dan pelik, didudukkan sebagai unsur visual yang bermuatan simbolik dan memangku beragam derajat estetika. Sinta Carolina dan Sekar Jatiningrum, dua perupa perempuan yang tidak buta warna tetapi bersimpati pada mereka yang berbeda visi warna-nya, dalam pameran Adu Domba #5 ini sama-sama mengetengahkan warna sebagai bahasa ungkap utama atas gagasan yang ada di kepala.

.

Sebab, bagi mereka yang menyandang visi warna berbeda: roses are red, violets are too.

 

Selamat turut menggugat warna!

Ida Fitri

Yogyakarta, 1 April 2017