Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-9,page-paged-9,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive

PERUPA MUDA 2016 @Bale Banjar Sangkring

Pameran: Perupa Muda 2016
Oleh: Kelompok Perupa Muda
Penulis: Yuswantoro Adi
Pembukaan: Minggu, 11Desember 2016
Di buka oleh: Heri Dono
Pameran berlangsung : 11 September – 11 Oktober 2016

Perupa(masih)Muda yang(sudah)Berjuang

Umur berapakah disebut muda? Sebelum menjawab pertanyaan itu, pastikan terlebih dahulu; muda bagi siapa. Atau lebih tepatnya untuk profesi apa. Karena seseorang baru berumur 20 tahun sudah dianggap terlalu uzur jika ia atlit senam. Bagi pemain sepakbola, umur 30 sudah termasuk tua. Secara umum, usia 35 tahun adalah waktunya pensiun bagi atlit/olahragawan. Namun di usia 35 yang sama, akan terlihat belia apabila engkau berhasil menjadi pengusaha. Bahkan ketika 40 tahun sekalipun masih dikatakan sebagai muda jika sampeyan adalah pejabat publik atau berada dalam lingkaran kekuasaan politik. Barangkali untuk jabatan presiden, ketua partai, guru besar, rektor, menyandang gelar maestro atau empu ketika umurmu 45 tahun adalah muda!

Untuk seorang perupa, kisaran usia 20 hingga 30 tahun sangat layak disebut sebagai muda. Dengan asumsi di rentang usia itulah seseorang memulai sekaligus meniti karirnya sebagai perupa. Mereka bisa jadi masih kuliah atau belum terlalu lama lulus kuliah senirupa. Dan umumnya (maaf) jarang di usia itu sudah jadi perupa yang benar-benar jadi. Pun kalau ada jumlahnya tidak seberapa. Kesenian, terutama senirupa selalu membutuhkan proses dan masa inkubasi yang cukup untuk mematangkannya. Maka pameran istimewa ini hanya boleh diikuti oleh perupa berumur 20 hingga 30 tahun saja –meski ada satu atau dua nama yang usianya kelebihan satu atau dua tahun— dirancang sebagai perayaan proses tersebut di atas.

Pada mulanya ada sejumlah nama yang diminta oleh Bale Banjar Sangkring untuk menginisiasi pameran ini. Selanjutnya kelompok ini menamakan dirinya “Perupa Muda” dan memakai simbol tunas kelapa Praja Muda Karana (Pramuka) sebagai logonya. Perjuangan mereka dimulai dengan membuka kesempatan kepada perupa sebaya lainnya untuk bergabung melalui pengajuan aplikasi. Terdapat 99 nama yang berminat. Terpilih 26 nama saja melalui seleksi ketat. Saya ikut terlibat dalam pemilihan itu. Ditambah 20 yang sudah diseleksi secara internal sebelumnya, sehingga jumlah keseluruhan peserta adalah 46 perupa muda.

Dan lihatlah betapa para perupa tersebut mampu menghasilkan karya yang menjanjikan. Sebut saja Deki Hediana dengan menggunakan teknik wood cut menampilkan kesederhanaan visual namun sangat memikat. Menyerupai goresan tinta cina yang ditorehkan oleh seorang virtuoso. Perhatikan pula Dery Pratama yang menunjukkan bahwa plat nomor kendaraanpun bisa sedemikian artistiknya. Lihatlah karya Putu Adi Suanjaya, ia merayu kita untuk selalu tersenyum ceria meski dalam keterhimpitan. Lain halnya dengan Ngakan Putu Agus Arta Wijaya; hal yang seharusnya mengerikan menjadi amat lucu dan bikin terbahak-bahak. Bagaimana tidak, dengan gaya melukis setengah surrealisme dicampur sedikit karikatural dilengkapi khasanah fabel, ia meramu peperangan nan sungguh jenaka.

Janur Kilat Ayu Utami adalah nama yang bagus. Beruntunglah karyanya sebagus namanya. Menggunakan media kayu dan benang menghasilkan objek yang tidak bisa dikatakan sebagai boneka semata melainkan komposisi artefak kesenirupaan yang indah. Visual sama menariknya dapat kita temui di sepasang tas cantik bikinan Sandat Wangi. Bahkan kecantikan bisa mewujud di bentukan wayang dan gunungan yang dibuat oleh Vina Puspita. Triana Nurmaria bukan perupa perempuan yang menghasilkan karya teridentifikasi sebagai cantik. Sebaliknya lukisannya cenderung ekspresif ke arah abstraksi. Namun jika mau sedikit teliti, akan Anda temui beberapa figur tersembunyi di dalamnya. Ini unik sekaligus segar.

Ketelitian dan kesabaran tinggi pasti dimiliki oleh Adek Dimas Ajisaka sehingga berhasil menciptakan sebuah karya senirupa baru di atas selembar daun yang luar biasa. Tentu ia bukan satu-satunya, masih banyak perupa lainnya juga luar biasa, teliti, sabar, unik, segar, bagus, menarik, cantik, indah, artistik dan aneka hal terpuji lainnya di pameran ini. Namun karena keterbatasan halaman, ijinkanlah saya untuk menutup tulisan ini dengan sebuah sesanti; “ Wahai Perupa Muda, Di Tanganmu Masa Depan Senirupa Indonesia Kami Titipkan. Selamat Berjuang. Selamat Beribadah Berkesenian!”

 

Yuswantoro Adi

Pelukis tinggal di Yogyakarta

 

LOREM IPSUM: SISYPHUS AND THE STONE @Sangkring Art Project

Pameran: LOREM IPSUM: SISYPHUS AND THE STONE
Oleh: Bibiana lee (Jakarta), Daniel Rudy Haryanto (Jakarta), Dedy Sufriadi (Yogyakarta), Dedy Shofianto     (Yogyakarta), Franziska Fennert (Yogyakarta), Ida Bagus Putu Purwa (Bali), Ismanto Wahyudi (Yogyakarta), Joko ‘Gundul’ Sulistiono (Yogyakarta), M.A. Roziq (Yogyakarta), Safrie Effendi (Jakarta), Suharmanto (Yogyakarta), Wayan Paramartha (Bali)
Penulis: Dedi Yuniarto
Pembukaan: Kamis, 16 Juni 2016
Di buka Oleh: Ronnie S. Haryanto
Pameran berlangsung : 16 Juni – 19 Juli 2016

 

“LOREM IPSUM: Sisyphus and the Stone”

“Tidak ada yang menyukai kepedihan, yang mencarinya dan ingin merasakannya, semata karena pedih rasanya…”

— Marcus Tullius Cicero

         LOREM IPSUM terlanjur dikenal sebagai teks standar yang berfungsi sebagai demostrator elemen grafis atau presentasi visual seperti menyangkut font, typografi serta tata letak. Ia telah menjadi standar contoh teks sejak tahun 1500-an, saat seorang tukang cetak tak dikenal mengambil sebuah kumpulan teks dan mengacaknya untuk menjadi buku contoh huruf. Sementara maksud penggunaan lorem ipsum itu sendiri agar pengamat tidak terlalu berkonsentrasi kepada arti harfiah per-kalimat, melainkan lebih kepada elemen teks serta desain (dummy) yang hendak dipresentasikan.

         Lorem ipsum berakar dari sebuah naskah sastra latin klasik yang ditulis sekitar era 45 SM. Ia berasal dari bagian naskah berjudul “de Finibus Bonorum et Malorum” atau “Sisi Ekstrim dari Kebaikan dan Kejahatan” sebuah karya Marcus Tullius Cicero. Karya sastra ini merupakan risalah dari teori etika yang sangat terkenal pada masa Renaissance. Pada bagian akhir naskah tercantum paragraf yang berbunyi sebagai berikut:

“Neque porro quisquam est, qui dolorem ipsum, quia dolor sit, amet, consectetur, adipisci velit, sed quia non numquam eius modi tempora incidunt, ut labore et dolore magnam aliquam quaerat voluptatem. Ut enim ad minima veniam, quis nostrum exercitationem ullam corporis suscipit laboriosam, nisi ut aliquid ex ea commodi consequatur? Quis autem vel eum iure reprehenderit, qui in ea voluptate velit esse, quam nihil molestiae consequatur, vel illum, qui dolorem eum fugiat, quo voluptas nulla pariatur?”

 

Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia adalah sbb:

“Demikian pula, tidak adakah orang yang mencintai atau mengejar atau ingin mengalami penderitaan, bukan semata-mata karena penderitaan itu sendiri, tetapi karena sesekali terjadi keadaan di mana susah-payah dan penderitaan dapat memberikan kepadanya kesenangan yang besar. Sebagai contoh sederhana, siapakah di antara kita yang pernah melakukan pekerjaan fisik yang berat, selain untuk memperoleh manfaat daripadanya? Tetapi siapakah yang berhak untuk mencari kesalahan pada diri orang yang memilih untuk menikmati kesenangan yang tidak menimbulkan akibat-akibat yang mengganggu, atau orang yang menghindari penderitaan yang tidak menghasilkan kesenangan?”

         Sebagaimana makna naskah Cicero di atas, bisa jadi dunia manusia digambarkan sebagai dunia Sisifus yang dikutuk oleh Dewa Zeus untuk menggendong sebongkah batu berat ke atas puncak gunung, dan tiap kali sampai di puncak, batu itu digelindingkannya kembali ke dasar. Diangkatnya batu ke puncak, dan digelindingkannya kembali. Demikian selama-lamanya. Namun perbuatan yang berulang-ulang itu kian lama justru menumbuhkan semacam hubungan imbal-balik antara Sisifus dengan batu yang digendongnya. Wajah dan seluruh otot-otot tubuhnya yang seraya bekerja keras dan begitu dekat dengan batu itu, perlahan-lahan berubah menjadi sekeras benda yang digendongnya. Sisifus bahkan lebih keras ketimbang batu karang.

         Penderitaan bukanlah lagi semata-mata sebagai ‘beban’ manakala kita berhasil mengabstraksikannya ke dalam alam pikiran sebagai ‘proses’ dari kehidupan. Situasi-situasi tidak ideal bisa menjadi bahan bakar untuk terus kreatif. Penderitaan dan kebahagiaan tidak berdiri sendiri, ia adalah dua kutub aksi dan reaksi yang timbul tenggelam di tengah luasnya samudera abstraksi pikiran-pikiran manusia. Penting artinya untuk berkembang menjadi pribadi yang kuat di tengah-tengah lingkungan yang tidak ideal. Demikian halnya sebagai seniman yang seringkali berada di tengah situasi dunia seni rupa yang melulu tidak ideal.

         Tema pameran yang diangkat kali ini masih memiliki korelasi dengan pameran Jago Tarung Yogyakarta sebelumnya“And the Cocks are Still Fighting” di Syang Art Space, Magelang, tahun 2012 yang lalu. Dimana maksud utamanya adalah menyemangati spirit kreativitas seniman-seniman independent untuk terus kreatif menerabas keterbatasan-keterbatasan dan menjaga profesionalitas kerjanya. Pameran ini sekaligus sebagai perayaan hari jadi Jago Tarung Yogyakarta yang ke-6.

 

“The 2nd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2016” @Sangkring Art Project

poster_

Pameran: “The 2nd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) 2016”

Bentuk acara: Pameran seni grafis ukuran mini dan acara pendukung lainnya

Materi pameran: 110 karya dari 77 finalis ditambah karya 5 seniman tamu dan 7 Special Presentation

Seniman: Indonesia dan Internasional

Waktu: 24 Mei – 10 Juni 2016

Tempat: SANGKRING ART PROJECT, Nitiprayan, Rt. 01, Rw. 20, Ngestiharjo,  Kasihan Bantul, Yogyakarta

Pembukaan: Selasa 24 Mei 2016, jam 19.00 – selesai

Dibuka oleh: Prof. Dr. M. Dwi Marianto MFA

Acara pembukaan: “Carving Party” n Music

Jam buka pameran: 11.00 – 16.00

Konferensi pers: 23 Mei 2016, jam 10.00 – selesai bertempat di Tirana House, cabang Kotabaru, Yogyakarta

Preview: 24 Mei 2016 (khusus undangan)

Demo teknik:
– 25 Mei 2016 “Waterless Lithography: Less Toxic Process” bersama Rahman Mohamed, pegrafis dan pengajar          University Sains of Malaysia
– 26 mei 2016 “Jamming Woodcut” bersama Yamyuli Dwi Imam pegrafis Yogyakarta

Diskusi :
– 28 Mei 2016, jam 16.00 Kuliah Singkat bersama Aminuddin TH Siregar, kurator dan pengajar Fak Seni Rupa ITB
-Bincang “Karya Kertas/Grafis, Pengkoleksian dan Pasarnya” bersama Amir Sidharta, pendiri Sidharta Auctioner (tanggal dan jam menyusul)
-2 Juni 2016, pukul 14.00-15.00 bincang “Persfektif Kertas: Dari Seni Grafis Ke Seni Kertas” bersama Setiawan Sabana, pegrafis, pengajar FSRD ITB

Workshop: 28 – 30 Mei 2016, untuk umum dan pelajar (Detail menyusul)

Penyelenggara: TERAS Print Studio & Teras Management

Special Media Partner: Majalah Sarasvati dan Art In Print Journal

Pendukung: Sangkring Art Project (venue), Miracle Print$, Tirana House, Kebun Bibi, Folksy

Website: www.jogjaminiprints.com

CP: Ria Novitri/0877 3931 596 | Ida Fitri/081327590810 | Nunuk Ambarwati/0818 277 073

 

 

Deskripsi  

Bienal miniprint kedua atau The 2nd Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) ini akan memamerkan 110 karya dari 77 seniman asal 28 negara (Australia, Austria, USA, Argentina, Belgia, Bulgaria, Kanada, Finlandia, India, Italia, Polandia, Swedia, Bazilia, Montenegro, Kroasia, Serbia, Hungaria, Rusia, Malaysia, United Kingdom, Prancis, Mexico, Jepang, Ukraina, Peru, Irlandia, Jerman dan Indonesia (Jkt, Tangerang, Bekasi, Bogor, Bdg, Bali, Yk)) pilihan dewan juri yang diketuai Agung Kurniawan, bersama Sujud Dartanto dan Andang Suprihadi sebagai anggota. Perbandingan seniman Indonesia ada 28 dan seniman internasional ada 49 yang menjadi finalis kali ini. Karya ini hasil seleksi pada tanggal 24 April 2016 terhadap 331 karya dari 147 seniman asal 30 negara yang datang tepat waktu. Thema dari panitia adalah “Homo Habilis” yang mempertanyakan hilangnya craftmanship dan “kekuatan/keajaiban tangan” dalam karya-karya kontemporer saat ini. Karya-karya yang diterima dalam even ini adalah karya grafis cetak di kertas dengan ukuran matriks sisi terpanjang maksimal  20 cm dengan bertumpu pada kekuatan 4 teknik konvensional yaitu: relief print (woodcut, linocut, rubber cut, mokuhanga, collagraph), intaglio (etching, drypoint, mezzotint, photo etching, aquatint), planograph (lithography) dan serigraphy (silk screen dan stencil). Di malam pembukaan akan diumumkan 3 pemenang utama yang memperebutkan THREE BEST WORKS yang akan mendapat sejumlah uang, trophy, sertifikat dan kesempatan pameran bertiga dalam “33 PRINTS” di Yogyakarta pada tahun 2017 yang akan datang dan 2 pemenang hiburan yang memperebutkan EXELENCE PRIZE dengan sejumlah uang dan sertifikat.

Selain memamerkan karya finalis dan pemenang, 2nd JIMB kali ini mengundang 5 seniman tamu 2 dari Indonesia dan 3 seniman internasional, yaitu: Setiawan Sabana/Bandung, Yamyuli Dwi Imam/Yogyakarta, Emilie Aizier/Prancis, Art Werger/USA dan Lidija Antanasijevic/Serbia untuk mengikutkan karya mini print mereka. Seniman tamu ini dipilih berdasar kriteria dari panitia yaitu: Seniman dengan kontribusi penting dalam seni grafis, pegrafis militan, penemu teknik popular, pegrafis penting internasional dan salah satu pemenang karya terbaik bienal pertama. Dalam bienal kedua ini ada juga Special Presentation dari 7 seniman Indonesia yaitu: Alm. Hariyadi Suadi/Bandung, pegrafis dan pengajar Edi Sunaryo/Yogya, kurator dan pengajar Bambang Toko/Yogya, street artist Farhan Siki/Yogya, pemenang bienal pertama Agugn Prabowo/Bandung, pegrafis dan pengajar Theresia A. Sitompul/Yogya dan pemenang bienala pertama Deni Rahman/Yogya yang akan menampilkan karya-karya print dalam kemasan dan format yang lebih bebas dengan tajuk “Dari Tradisional sampai Digital”. Setelah pameran di Sangkring Art Project, direncanakan karya hasil seleksi dan karya tamu ini dapat dipamerkan di sejumlah tempat di berbagai kota sampai bulan Desember 2016.

Sebagai catatan: Bienal pertama atau 1st Jogja Miniprint Biennale (JMB) menampilkan 146 karya dari 72 finalis asal 23 negara. Pameran berlangsung bulan Juni 2014 di gedung Museum BI dan Mien Gallery Yogyakarta dan bulan Oktober 2014 di Bentara Budaya Yogyakarta. Juri pada waktu itu adalah: Hendro Wiyanto (ketua), Agung Kurniawan dan Devi Ferdiyanto sebagai anggota dimana menghasilkan 3 pemenang karya terbaik: 2 dari Indonesia dan 1 dari Serbia. Info lengkap silahkan mengunjungi www.jogjaminiprints.com  (Syahrizal Pahlevi).

Adu Domba #3_visageblanc sans visage_Erizal As vs I Nyoman Adiana_@ Sangkring Art Project

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Adu Domba #3 – visage blanc sans visage
Oleh : Erizal As & I Nyoman Adiana
Pembukaan : Kamis, 28 April 2016 Jam 19.00 wib
Di buka oleh : dr. Oie Hong Djien
Penulis : Apriadi Ujiarso
Pameran berlangsung : 28 April – 15 Mei 2016

visage blanc san visage

sans visage

Erizal As adalah perupa yang selalu punya perhatian kepada peristiwa sosial politik baik pada tingkat global maupun nasional yang menjadi trending topic melalui televisi atau media sosial. Sepuluh tahun lampau, minatnya sebagai ‘pengamat visual’ peristiwa politik pembentuk problematika sosial, menjadi dasar kreativitasnya dalam pameran tugas akhir di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Rupanya minat itu tak pernah terkikis, justru makin kokoh seturut pemahaman wacana, peningkatan kosa rupa dan kecakapan teknis yang terus diasah. Hal ini ada kegayutan dengan kekuatan akar budaya Minang yang manifestasinya pada perupa kelahiran Padang Panjang, diantaranya adalah mantapnya rasa percaya diri dan kecakapannya mengajukan wacana melalui karya – karya visualnya.

Erizal As, dalam pameran visage blanc sans visage” memilih pilah  enam karya visualnya yang menjadi representasi pemikiran dan ketekunannya dalam studi visual berbasis wajah, yang lantas disatukannya ke dalam tema Faceless series. Secara linear enam karya itu dipilah dalam tiga bagian, yaitu seri #1 awal 2015, terpilih dua karya berukuran 2 x 2 m. Seri #2 akhir 2015 terpilih dua karya dengan ukuran 1,4 x 1,9 m, dan seri #3 awal 2016 terpilih dua karya berukuran 1,8 x 1,8 m. Bisa kita lihat seluruh karya Faceless series memanfaatkan empat media utama, berupa acrylic, charcoal, oil bar, dan pastel yang aplikasinya diatas kanvas dilakukan secara acak dengan prosentase tak tentu. Modus berkarya perupa peraih banyak penghargaan ini adalah berangkat dari hasil pemikiran dan proses dialektika yang membuahkan gagasan dan struktur kreatif visual umum, yang disimpan di dalam lipatan otaknya. Menariknya Erizal As tidak pernah memulai prosesnya dengan basis sketsa atau rancangan awal. Satu pilihan yang dianggap paling mampu memfasilitasi luapan ekspresi kegelisahannya terhadap berbagai peristiwa (politik) yang menjadi fokus perhatiannya. Selebihnya Erizal As akan mengekspresikan sintaksis – sintaksis visual secara spontan dan bebas.

Apa yang ada dalam lipatan otak Erisal As yang divisualkan di dalam Faceless series ini adalah bahwa setiap peristiwa politik terkini, selalu memunculkan tokoh, yaitu elit politik bergaya hidup mewah, berciri metroseksual, pesolek, penuh gincu, suka berlagak namun punya karakter antagonis yang kental, rajin berjanji, cakap tipu – tipu, tukang bikin geger, ahli membuat hidup menjadi kemelut, dan cekatan menghisap kekayaan rakyat. Menariknya tema Faceless dari pemikiran Erizal ini mendapat makna terbaiknya dalam ungkapan bahasa Jawa. Lantas agaknya muncul pertanyaan bagaimana visualisasi dari orang atau tokoh yang statusnya “wis ora nduwe rai” itu. Disini perupa yang saat ini adalah ketua organisasi Sakato menemui “ruang kosong” yang membuka peluang besar baginya untuk melakukan berbagai eksplorasi yang sangat dirinya, bahkan dengan mencukupkan pada batas kop. Erizal As tetap bisa mengeluarkan semua teknik yang dikuasainya dengan baik, pada Faceless seri # 1, teknik sapuan kuas, lelehan, torehan, goresan, dan teknik pallete untuk menghasilkan tekstur di dalam komposisi …  . Tidak cukup dengan teknik itu, pada Faceless seri #2 dan Faceless seri # 3, Erizal menambah dua teknik yaitu cat yang dipencetkan langsung pada kanvas, dan teknik spray (acrylic). Dan seluruh teknik yang diaplikasi pada kanvas dilakukannya dengan berdiri, selalu memanfaatkan konsep “active seeing” dalam rangka mematangkan komposisi yang memuat tuturan ekspresi kegelisahan, keprihatinan atas kehadiran wajah – tokoh antagonis yang kabur identifikasinya, namun ahli dalam membalikkan huruf – huruf, ambigu, oportunis dan licik dalam perhitungan angka  – angka. Hasilnya adalah saat ini, enam karya visual sarat energi.

visage blanc

Nyoman Adiana adalah perupa yang gemar menelisik sejarah. Modus telisikannya tidak sebatas yang populer atau dikenal umum, namun ia sanggup menyusup hingga ke relung kedalaman sejarah. Lazimnya modus itu dilakukan agar bisa mencapai kamulan, meminjam kata dari bahasa Bali yang identik dengan kamimitan (bhs. Bali) dengan kata dasar wit, yang bermakna sumber atau asal muasal. Bertemu dengan sumber atau asal muasal adalah sebentuk puncak telisikan sejarah. Modus ini juga bisa membuat gembira si penelisik ketika menemukan kembali pelaku istimewa dengan peran pentingnya dalam linimasa sejarah, namun dilupakan atau sedikit orang yang ingat. Nyoman Adiana dalam visage blanc sans visage ini mengusung 18 karya visual sebagai representasi kekhusyukan terhadap studi visual berbasis wajah. Seluruh karyanya itu dihimpun ke dalam kesatuan tema whiteface series, yaitu satu seri potret perupa peletak dasar dan pembawa dinamika aliran impresionisme. Adiana menelisik aliran seni rupa yang penamaannya dipungut dari lukisan Claude Monet berjudul “Impression, soleil levant” (1860), dengan mulai memindai wajah tokoh penggerak Impresionisme. Terkesan olehnya komposisi visual kumis dan jenggot para impresionis.

Nyoman Adiana mulai memilih kuas, pisau pallete Bergino no. 3, kanvas berukuran 100 x 100 cm (4 buah) dan 80 x 90 cm (14 buah) serta dengan santai memilih dua tube acrylic hitam dan putih, dan mulai melukis dalam ukuran kop wajah Eugene Delacroix pencetus teori rupa : lukisan tak mesti dibentuk lewat pengolahan garis secara berlebih. Selanjutnya melihat karakter wajah Monet, Renoir dan Sisley. Adiana mulai melukis tiga sekawan pengagum teori Delacroix, yang menjadi dasar teoritik gerakan Impresionisme. Pada tahap ini dilukis pula wajah Frédéric Bazille, Édouard Manet, Edgar Degas, Camille Pissarro, Auguste Rodin dan Berthe Morisot, yang disebut terakhir adalah satu dari sedikit perupa perempuan dalam gerakan ini. Menjadi lengkap sudah Batignolle, nama kumpulan seniman yang suka nongkrong, minum kopi, dan menggelar obrolan perihal seni di café Guerbois. Situs warung kopi di Avenue de Clichy, Paris itu, di abad ke-19 adalah saksi bisu tumbuhnya gerakan, dinamika dan masa perpecahan Impressionisme. Di halaman cafe itu pula, di Februari 1870, oleh sebab obrolan makin memanas, Manet menantang duel Edmond Duranty. Duel dua sahabat itu tak terelakkan. Penulis Duranty terluka, meski tak parah. Baiknya lepas duel, keduanya tetap menjalin perkawanan.

Pada sub tema berikut Nyoman Adiana melukis wajah Thomas Wilmer Dewing (AS) dan John Henry Twachtman (AS), demi menuturkan bahwa Impressionisme tak melulu terjadi di Perancis; Bahwa gerakan itu juga tumbuh di seantero Eropa, dilukislah wajah Joaquín Sorolla (Spanyol) dan Valentin Serov (Rusia). Namun saat akan menuturkan arah baru, Adiana menengok lagi situasi Perancis, ketika Pissaro, Renoir dan Degas tak sepaham lagi dengan Monet. Pada tahap ini Adiana melukis wajah para Post – Impresionis; Paul Cézanne, Paul Signac, Odilon Redon, dan Henri Rousseau. Saat melukis wajah Seurat, Adiana lama termangu. Ia bagai menatap wajah kosong perupa paling jenius, tapi mati muda (31 thn). Fakta ini membuat Adiana menjadi riuh, bolak – balik memeriksa wajah Seurat dan Le Cirque. Ditemuilah kemudian konsep visage blanc, pada Seurat dalam karya terakhirnya.

Sebelum mengakhiri proses, Nyoman Adiana melukis wajah Jan Theodoor Toorop, perupa Belanda kelahiran Purworejo, 20 Desember 1865. Bagi Adiana, Jan Toorop sungguh istimewa sebagai wakil Neo – Impresionisme. Perupa Belanda ini pada 1890 dengan rasa percaya diri tinggi mengembangkan gaya simbolis yang khas, desain lengkung dan garis dengan dinamika yang tak terduga, figur ramping penuh gaya, dengan basis motif elegan dari Jawa. Sebuah pengembangan yang mempengaruhi garis perkembangan seni rupa modern. Peneliti Robert Siebelhoff, menyatakan bahwa Jan Toorop. “… is to be regarded as one of the most important Dutch artist between Van Gogh & Mondriaan.” Siebelhoff meneruskan  “… It is equally certain that this part Dutchman, part Javanese was most inventive and influential during the last decade of the nineteenth century”.[1]

Nyoman Adiana dalam melukis wajah, rupanya mengandalkan pengamatan intens agar mendapat impresi. Pilihan ukuran kanvas memungkinkannya mengontrol seluruh aspek rupa yang diinginkan seturut pengembangan imajinasi sebagai bagian essensial dalam proses kreatif.  Tentu Adiana mendapat banyak keuntungan : pengamatan makin tajam, kepekaan meningkat dan kemampuan koordinasi mata dan ketrampilan memainkan pisau pallete makin cakap. Meski mengaku patuh kepada pola rupa tokoh terpilih, tak ada rencana membuat perubahan, namun tindakan deformasi wajah tetap dilakukan Adiana guna tercapai standar ukuran kop. Efek baiknya, muncul perhitungan baru berkait faktor cahaya, gelap dan terang.

Nyoman Adiana saat melukis pertama – tama memakai teknik kuas, yang segera berlanjut dengan teknik pallete hingga karya rampung. Dengan meniadakan teknik antara, dalam arti warna tidak dicampur di pallete, tetapi langsung diterapkan pada kanvas; Muncul peluang baginya memainkan pisau pallete secara optimal, terlebih bila terjadi proses dialog nan riuh atau intim di dalam lipatan otak yang berkelindan dengan jalinan rasa. Seluruhnya dilakukan dengan intensitas yang bisa berbeda dalam mencapai tujuan, keutuhan bentuk rupa dan tekstur wajah. Bila itu tercapai, maka ritual ziarah digital kepada para impresionis yang cakap mencermati teori rupa, gemar dengan teknik melukis, punya hati, keberanian, kemandirian dan penuh semangat, seluruhnya itu menjadikan proses kreatif Nyoman Adiana sarat makna.

 

Melalui Erizal As dan Nyoman Adiana, karya visual kita hari ini telah bercabang ke sejumlah arah, dimana si aku dalam karya visual bukan lagi wajah sang perupa. Seturut dengan itu bahasa visual mampu leluasa menampilkan keajaibannya. Sebagaimana Erizal As dan Nyoman Adiana, setiap perupa mestinya bergulat dengan bahasa dan tradisi visual yang ada sebelum ia, tak menghamburkan kediriannya, namun menjalinkan diri dengan para pendahulu yang lahir dari tanah air yang sama maupun pada berbagai tempat di belahan bumi. Akhir kata bersama rasa percaya diri dan tradisi yang terus dieksplorasi, karya – karya visual Erizal As dan Nyoman Adiana dalam pameran “visage blanc sans visage”, adalah karya visual hari ini kapan saja kita membaca dan menikmatinya.

apriadi ujiarso


[1] Siebelhoff, Robert, ”Jan Toorop and the year 1892”

 

Exhibition: BUMBON_19 Maret 2016 @Sangkring Art Project

BUMBON_

Pameran: BUMBON
Seniman: Caroline Rika Winata | Tina Wahyuningsih | Trie ‘Iin’ Afriza | Theresia Agustina Sitompul | Wahyu ‘Adin’ Wiedyardini
Penulis: Ida Fitri | Zuliati
Pembukaan: Sabtu, 19 Maret 2016
Di buka oleh: Yustina Neni
Pameran berlangsung: 19 Maret – 4 April 2016

 

BUMBON
Ida Fitri

Orang Jawa lebih sering menggunakan istilah “bumbon” –dengan makna majemuk, ketimbang istilah “bumbu” dengan makna singular. Karena masakan tak pernah cukup dengan satu jenis bumbu saja. Demikian, pameran bersama oleh lima perupa perempuan ini bermetafora. Satu bumbu atau sendirian dianggap tak cukup, maka mereka bersama-sama mengolah kemampuan dari dapur imajinasi untuk dicicipi oleh khalayak. Mereka tak hanya menguasai teknik secara baik, akurat dalam menakar, terampil membuat komposisi yang sesuai, tetapi juga setia menjaga api kreatifitas tetap menyala.

Pameran bersama para perupa perempuan, dibawah judul yang telanjur melekat sebagai domain perempuan –Bumbon, bisa menggiring pada pesan untuk dipahami sebagai isu feminis. Sesungguhnya tidak. Para perempuan ini tidak memerlukan penyetaraan karena posisinya tidak lebih rendah dari pria. Mereka yang memiliki kepekaan terhadap sekitar, bakat kuat dan juga kreatifitas tak terbatas ini, dengan caranya sendiri menunjukkan kualitas yang sama ada pada perupa pria.

Meskipun, sekali dua masih sering dibandingkan dengan perupa pria terkait intensitas berkarya, keterlibatannya dalam pameran dan jangkauan wacana yang ingin disampaikan. Hal ini bisa dilihat sebagai cerminan situasi struktur yang menopangnya ketimbang keterbatasan yang ada pada diri perupa perempuan. Yaitu pada kondisi eksternal, seperti pasar, situasi sosial, politik dan budaya yang merengkuhnya. Perempuan memang jarang membicarakan perkara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Tetapi pada kenyataannya, merekalah yang paling bernegosiasi dengan situasi ekonomi yang merugikan, kondisi sosial yang tidak mendukung dan paling lihai menyiasati imbas politik yang tak berpihak.

Bisa dikatakan, pameran ini adalah serangkaian testimoni yang terucap lewat karya. Pengakuan tentang bagaimana menjalani hidup di lingkaran sosial, lingkungan di dalam rumah dan di arena seni rupa. Karya-karya ini tidak hanya menggambarkan situasi dirinya dengan seni rupa, tetapi gambaran nyata situasi sosial yang lebih luas yang dialami perupa perempuan.

Caroline Rika Winata, Trien ‘Iien’ Afriza, Agustina Wahyuningsih, Theresia Agustina Sitompul dan Wahyu Adin Wiedyardini, dalam kesempitan bisa menghapus batas yang secara dikotomis membedakan peran perempuan yaitu domestik dan non-domestik. Dari bumbon dan pawon (dapur) sebagai representasi aktifitas dosmestik perempuan dan karya seni rupa di ruang pamer adalah aktifitas yang tak perlu dipisahkan. Dua hal yang bagi sebagian perempuan terkategori tidak mudah, tetapi nyata bisa. Dalam karya-karya ini mungkin tak terdeteksi bahwa terjadi negosiasi yang sulit antara diri dan situasi di sekitarnya saat berkarya. Strategi sebagai solusi yang dsepakati oleh mereka berlima adalah mengelola distraksi yang bertubi-tubi menjadi karya serta menganggap bahwa seni rupa merupakan urusan domestik yang mesti pula menjadi prioritas.

Hasilnya, Rika menggunakan bahasa jumputan di kain untuk membunyikan responnya terhadap situasi alam. Iien bersikeras untuk liat menghadapi kejutan dalam hidup seperti saat membuat keramik, tertempa dan terbakar. Sementara Tina melalui media soft sculpture, menggoyahkan pengkotakan karya yang membedakan craft dan art dengan menjahitkan berbagai wacana pada karya-karyanya. Begitu pula Adin, benda mainan anak-anak yang biasa berserakan di lantai diangkatnya menjadi karya yang semakin mengukuhkannya sebagai perupa perempuan. Di antara mereka, Tere memilih cetak karbon yang dikenal sebagai salah satu teknik seni grafis. Melalui jejak karbon dari benda-benda keseharian, Tere berhasil menyimpan memori-memori penting dalam hidupnya.

Selamat menikmati pameran lima perupa perempuan “Bumbon”, sejumput gagasan perupa perempuan, yang larut dalam cat di kanvas atau tercetak di lembar-lembar karbon, ditempa dan dibakar seperti keramik, tetapi tetap lembut seperti boneka.

 

Jogjakarta, 14 Maret 2016

ADU DOMBA #2 oleh I Wayan Agus Novianto vs Dadang Kurnia @Sangkring Art Project

Pameran : ADU DOMBA #2
Oleh : I Wayan Agus Novianto & Dadang Kurnia
Pembukaan : Rabu, 3 Februari 2016, Jam. 19.00 wib
Penulis : Ida Fitri
Pameran berlangsung : 3 – 27 Februari 2016

 

Adu Domba #2 – Babak Ketegangan

Ida Fitri

Pidato pertama KGPAA Pakualam X pada acara Jumenengan Dalem 7 Januari 2016 menyatakan posisinya sebagai pengemban kebudayaan yang berada di situasi perubahan. Sejarah mencatat bahwa perubahan selalu membawa ketegangan yang perlu dikelola dengan negosiasi dari pihak-pihak terlibat untuk melaluinya dengan nyaman. Dua seniman ini –Wayan Novi dan Dadang Kurnia, memang tidak berorasi kebudayaan seperti sang Adipati, tetapi sama-sama sedang menempatkan posisinya sebagai pelaku kebudayaan dalam konteks seni rupa. Mereka membentangkan visualisasi  perubahan tersebut karena turut merasakan ketegangan yang subtil.

Wayan Novi menganggap alam benda merupakan medan perubahan. Karena ia menyaksikan perubahan di sekitarnya melalui benda-benda. Ia menghadirkan kembali benda-benda lama dari masa lalunya dalam kanvas. Biasanya benda-benda tampil di kanvas hanya sebagai pemanis, penguat situasi atau pengisi ruang agar tak kosong. Namun Wayan justru melukiskannya untuk menjadi fokus utama. Uniknya, ia kemudian mengaburkan lukisannya. Menggunakan teknik pointilis, ia membuat tabir atau vitragedari titik-titik menggunakan spidol bagi benda-benda yang dilukis dengan menyederhanakan bentuk. Sayu dan ragu, demikian kesan yang mengemuka. Seperti perasaan sayu saat menatap masa yang akan segera berlalu, sekaligus ragu menjemput yang baru.

Sementara di sisi lain, himpunan simbol dengan warna monokrom, hitam putih dan sangat sedikit warna lain, dibuat oleh Dadang Kurnia dengan satu tangan yang segera direspons oleh tangan lainnya. Sejumlah simbol, serupa tattoo atau totem sesungguhnya asing bagi dirinya, sebab berasal dari tempat lain atau dari masa yang jauh. Inilah tanda-tanda yang hanya ada di waktu dulu sebagai media penghubung antara manusja dan sesuatu yang dipercaya berkuasa atas mereka. Peralihan kepada simbol atau ritual baru tidak selalu berjalan mulus. Dalam dimensi inilah Dadang memaknai ketegangan sebagai efek dari perubahan. Ia melukiskannya setajam dan setegas warna hitam dan putih yang dominan di kanvasnya.

Perubahan adalah niscaya. Ada ketegangan yang mengantarkan sesuatu sebelum menjadi masa lalu. Tapi, sebaik-baiknya perubahan adalah yang menyisakan sedikit tentang sesuatu itu agar kita tak benar-benar hilang menjadi sosok yang sama sekali baru. Bagian itu bernama kenangan, yang mesti dilalui bersama ketegangan.

Selamat menikmati “Babak Ketegangan” dalam Adu Domba #2

 Image Karya
[nggallery id=82]

 

Exhibition : ROAD TRIP TO CALIFORNIA 2015 @ Sangkring Art Space

Exhibition : Road Trip To California 2015

Artist : Ahmad Zakii Anwar, Heri Dono, Kow Leong Kiang, Putu Sutawijaya

Opening : Saturday, January 23, 2016, 7PM

Exhibition dates : January 23 – February 20, 2016

 

ROAD TRIP TO CALIFORNIA 2015

On September 12, 2015, Baik Art sent four Asian artists on a road trip to central and northern California. From September 13 to September 21, Ahmad Zakii Anwar, Heri Dono, Kow Leong Kiang and Putu Sutawijaya traveled together visiting many natural sites, including Big Sur and Yosemite National Park. The experience culminated in an open studios event at the 18th Street Arts Center in Santa Monica on September 22.

Each of the four artists is distinguished by the ways in which they address various themes through their work. Ah­mad Zakii Anwar was born in 1955 in Johor Bahru, Malay­sia. He uses paint and charcoal to develop highly realistic, metaphorical figures and still life compositions informed by his Islamic upbringing in Southeast Asia. Heri Dono, born in Jakarta, Indonesia in 1960, is often associated with the new internationalist movement in art. His paintings, sculptures and installations tend to combine humor and sociopolitical commentary. Kow Leong Kiang is known for his photographic portraits, in which a painterly, blurred quality is employed to alter the image’s aura. He was born in Selangor, Malaysia in 1970. Lastly, Putu Sutawijaya, born the same year in Tabanan, Bali, creates expressive paintings and sculptures often focused on the human fig­ure. His figures’ organic forms and sense of movement are also influenced by sacred sites in Bali and Java, as well as the concept of the body as a temple.

Together, Anwar, Dono, Kiang and Sutawijaya visited Hearst Castle, Big Sur, San Francisco, Sacramento, and Yosemite National Park. At Hearst Castle, they explored California’s central coastline, and during their two days spent in Big Sur, the artists looked for sea otters and other sea creatures. They saw redwood trees and stopped to visit various surfing destinations. Their drive near Half-Moon Bay Area brought them close to Crystal Springs Reservoir and Mavericks, where some of the largest surfa­ble waves on earth can be found.

The artists spent two days in San Francisco, visiting historical sites such as the Golden Gate Bridge, Alcatraz Island, Chinatown, and Coit Tower. They also had the opportunity to drive through Golden Gate Park and spent time at Mount Tamalpais State Park. From San Francisco, they visited Sacramento where part of the old city has been left the underground.

Finally, they continued their trip to Yosemite National Park where they spent several days. While traveling south on their return trip to Los Angeles, the artists visited areas of California which none of them had ever seen near Se­quoia National Park, Bakersfield, and the Angeles National Forest.

Throughout the eight-day-long road trip, Ahmad Zakii Anwar, Heri Dono, Kow Leong Kiang and Putu Sutawijaya considered ways in which these natural and historical places had influenced their art practices

 

Image Karya Road Trip To California 2015

[nggallery id=81]