[Pameran] Metalik
Refreshing with Metalic
Mohon maaf judul tulisan ini berbahasa asing, karena sungguh saya tidak menemukan padanan kata yang tepat untuk menuliskannya secara ringkas.
Dalam semacam wawancara dengan pelukis Bambang Pramudiyanto a k a Benk; kata “refreshing” alias penyegaran adalah kata yang paling banyak disebut. Selain “Metalic/Metalik” yang memang asalnya bahasa inggris atau asing yang bersifat logam.
Pameran tunggal Benk kali ini menampilkan obyek sederhana yang dekat dengan keseharian kita menjadi sesuatu yang bisa muncul lagi menjadi lebih baru, modern, kinclong, mewah bahkan glamor. Dan pemilihan “melogamkan” setiap benda yang dilukis ini punya dua makna sekaligus.
Pertama, menyegarkan benda itu sendiri sebagai sebuah karya seni yang selesai. Kedua, perbuatan ini menjadikan si pelukisnya merasa segar kembali. Tanpa harus melukis yang rumit dan njelimet sebagaimana lukisannya selama ini kita kenal, Benk dapat memenuhi kebutuhan artistiknya secara paripurna. Serta masih memiliki ikatan benang merah dengan karya-karya sebelumnya.
Perhatikan beberapa benda biasa yang menjadi luar biasa atau setidaknya jadi berbeda plus lebih indah. Lukisan yang menggambarkan buah pare menyadarkan pada kita bahwa teksturnya ternyata punya pola yang menarik. Bukan sembarang totol-totol tak beraturan. Lihat juga lukisan jagung yang multi tafsir itu. Wow… Very inspiring…
Adalah tidak sia-sia usaha kerasnya dalam setahun terakhir mempersiapkan pameran ini. Apabila cukup lama beliau tak berpameran tunggal, terakhir tahun 2003. Apabila (lagi) Benk menamai kegiatan ini, selain sebuah usaha refreshing, juga tantangan, batu loncatan mendapatkan energi, spirit dan semangat demi pameran berikutnya yang lebih besar.
Dengan kata lain sejatinya Benk sedang mengumpulkan modal. Meski sesungguhnya Benk sudah memiliki banyak modal kesenian yang kuat. Ia pembelajar yang baik. Ia pekerja keras. Ia punya teknik yang memadai. Ia punya konsep dan pemikiran yang unik.
Salah satu statementnya cukup mengejutkan, “saat ini seni rupa kontemporer sedang didominasi oleh style tertentu saja”. Maka dari itu harapannya pameran di Sangkring Art Project ini adalah ingin memberi sebuah warna yang semoga baru.
Yogyakarta, 24 Agustus 2019
Yuswantoro Adi
——
Perjalanan kreativitas Beng Beng di Abad Milenial
Saya mengenal pelukis Bambang Pramudiyanto yang biasa disapa Beng Beng sewaktu masih kuliah di STSRI-ASRI yang sekarang disebut sebagai ISI (Institut Seni Indonesia). Pada waktu itu beliau sangat piawai didalam bentuk lukisan realisme, terutama dalam melukis mobil-mobil tua buatan Amerika Serikat atau Inggris seperti Dodge, Ford, Chevrolette, Austin dan lain-lain yang dilukis secara unik dengan mengekspos kulit-kulit dari badan mobil tersebut dengan dibuat berkarat. Mobil-mobil tua yang teronggok di pelosok-pelosok kota dan desa-desa menjadi wilayah perburuannya untuk mendapatkan referensi-referensi dan sekaligus sebagai subject-matter tema besar karyanya.
Beng Beng dikenal sebagai orang yang rapi dan perfeksionis dalam mengerjakan karya-karyanya. Seluruh peralatan kerja serta bahan-bahan untuk mempersiapkan lukisan, semuanya tersusun rapi. Beliau mengikuti pameran “Tiga Kota” (dengan peserta pameran dari para mahasiswa seni ASRI, ITB dan IKJ) pada tahun 1989 yang bertempat di ruang pameran IKJ Jakarta, dimana di dalam pameran tersebut saya juga terlibat. Pada waktu itu yang menjadi fenomena adalah keheranan masyarakat di Jakarta yang merasa aneh dengan seniman Jogja yang melukis secara realistik dan nge-pop. Seakan-akan pelukis dari Jogja tidak layak atau tidak patut membuat lukisan realistik yang nge-pop sebagai wujud berekspresi kelompok masyarakat yang urban dan heterogen, dimana pada waktu itu karya-karya dari para seniman Jogja distigma dan dikategorikan sebagai seniman-seniman yang hanya terinspirasi oleh seni-seni tradisi dan menyuarakan isu-isu sosial-politik.
Pada sekitar tahun 90’an karya Beng Beng mengalami perubahan, dimana beliau tidak lagi mengekspos objek-objek mobil tua dengan karat-karatnya, namun melukis benda-benda produk masa kini yang di-closed up atau diperbesar sehingga objek-objeknya terlihat lebih abstrak. Kalau Piet Mondrian mengesensikan bentuk-bentuk dan warna-warna menjadi primer, dimana benda-benda hanya menjadi bentuk-bentuk geometris saja, berbeda dengan Beng Beng yang masih peduli dengan objek-objek yang tidak komplit namun menghasut persepsi penonton pada bentuk-bentuk yang telah mereka kenal.
Pada tahun 2000’an saat umat manusia di bumi memasuki Milenium ke-3, Beng Beng merespons situasi perubahan kemajuan kehidupan dalam hal kebudayaan dan peradaban manusia melalui kritikan-kritikan mengenai perubahan yang terjadi didalam memperlakukan materi-materi alam yang kemudian digantikan dengan bahan-bahan baru yang bersifat artifisial dan juga dengan warna metalik yang berkilauan.
Karya-karyanya yang ditampilkan kali ini dalam pameran tunggalnya yang berjudul MeTAL(i)K, yang kalau saya persepsikan menjadi Me TALK atau saya berkata dan I dalam huruf kecil: “I” atau “Saya” memberikan penegasan ke-Aku-annya akan eksistensi dirinya di jagat seni lukis Indonesia menunjukkan bentuk ekspresi yang dihadirkan merupakan pendirian cara dan bentuk pengekspresian karyanya yang juga merupakan ciri khas dan gayanya yang merupakan sumbangsih kreativitasnya di jagat seni rupa Indonesia.
Selamat berpameran Beng-Beng dan selamat menyaksikan karya-karyanya!
Yogyakarta, 22 Agustus 2019
Heri Dono
—–
MeTAL(i)K
Satu hal yang terlanjur lekat di benak saya perihal Bambang Pramudiyanto adalah citra mobil-mobil. Dikatakan terlanjur karena imaji ini sulit sekali saya hapuskan dari memori, meskipun Bambang yang sudah saya kenal lama adalah sekaligus seorang pengamat yang cermat dan selalu ingin memberikan komentar sosial (social commentary) lewat lukisan-lukisannya. Mobil-mobil di atas kanvasnya bukanlah semata mewakili objek-objek acuannya itu sendiri. Sebab Bambang ingin berbicara tentang banyak hal lain. Dia mengatakan one thing and means another. Ya, inilah konsep general atau paling mendasar bagi ekspresi metaforis. Jadi, tidak mengherankan jika dia memberi tekanan pada detail tertentu seperti cat yang terkelupas, karat atau mendampingkan mobilnya dengan daun kering atau kodok origami. Dia tidak menyalin realitas yang diamatinya sebagai realitas sui generis, melainkan sebagai majas visual untuk menyampaikan gagasan, komentar-komentar sosialnya. Oleh karena itu, dengan teknik realismenya yang kuat, dia lebih tepat disebut sebagai seorang hiper-realis.
Begitu lama tidak berjumpa dengannya, baru beberapa tahun terakhir ini saja saya dapat mengamati dan bersentuhan lagi dengan sedikit lukisan Bambang terbaru. Ada kesinambungan dan pergeseran yang telah atau sedang terjadi padanya. Dia melukis figur manusia, tokoh-tokoh seperti Bung Karno atau Marylin Monroe. Dia melukis pula objek-objek yang bukan mobil, terutama benda-benda yang dipungut dari kehidupan sehari-hari semisal uang atau Coca-Cola. Objek-objek keseharian itu berjukstaposisi dengan sosok manusia dan, masih tetap, potongan bagian tertentu dari mobil atau objek metalik lain. Secara ideologis estetis Bambang hari ini kesannya cenderung mendekat kepada seni rupa pop (pop art). Namun demikian, satu hal yang tetap hadir di dalam lukisannya adalah ketidakhadiran objek apapun di latar belakang. Lukisan-lukisannya berlatar “kosong”. Dan sebagaimana Bambang sejak dulu, dia tidak mengkopi realitas. Dia ingin berbicara, menyampaikan gagasan-gagasan kritisnya tentang dunia sosial melalui serangkaian objek sebagai majas visual.
Karya-karya yang menantang tafsir di dalam pameran ini, antara lain, adalah “MeTAL(i)K #2” “MeTAL(i)K #3” dan “MeTAL(i)K #6”. Pada yang pertama dia melukiskan butiran jagung yang salah satunya mengalami topikalisasi karena cemerlang keemasan. Biji jagung keemasan ini menjadi majas visual yang secara tajam mewakili kebiasaan orang-orang desa yang ingin mendisplai distingsi sosial melalui gigi emas sebagai modal ekonomis dan simbolisnya yang paling eye catching.
Lukisan selanjutnya menampilkan objek tulang-tulangan (mainan untuk seekor anjing) yang mewakili sejenis makanan berbahan baku daging hewan sahabat setia manusia itu. Penulisan frasa “BITE ME” dan “EAT ME” yang terbalik seperti mewakili sikap Bambang atas tradisi kuliner yang sudah terlanjur dianggap “biasa dan bukan sesuatu yang aneh” ini. Lukisan ketiga merupakan komentar sosial terhadap perubahan kultural yang eksesif. Di sini dia menunjukan kepada kita bungkus metalik yang merupakan majas bagi perubahan kultural produk-produk makanan lokal yang telah mengalami pengemasan-ulang yang lebih menawarkan nilai-tanda (sign-value) yang prestisius.
Catatan terakhir adalah perihal judul. Singkat saja, judulnya: MeTAL(i)K. Berhadapan dengan permainan kata, huruf dan tanda baca ini, kita seperti ditawari ambiguitas. Pertama, ia dapat dibaca sebagai metalik, yakni (sesuatu) yang bersifat seperti logam. Akan tetapi, proses tafsir tidak berhenti di sini saja. Sebab ada kemungkinan kedua. Melalui kombinasi huruf besar/huruf kecil dan tanda kurung, mencuat makna lain tentang seseorang (me) yang berbicara (talk), yang tiada lain daripada Bambang sendiri yang ingin bercakap dengan kita melalui lukisan-lukisannya. Jadi, mari kita simak bersama!
Kris Budiman