Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-6,page-paged-6,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

[Pameran] Perupa Muda #4

Perupa Muda #4 mengundang rekan-rekan sekalian dalam pameran seni rupa bertajuk:

PAP! (Post  A Picture)

Opening : Senin, 4 November, 19.00 WIB
Dibuka oleh : Heruwa (Shaggydog)
@heruwa
Writer : Ryani Silaban @ryanisilaban

4 November ’19 – 3 Desember ’19
Di Bale Banjar Sangkring
Nitiprayan RT 1 RW 20 no.88 Ngestiharjo Kasihan, Bantul, Yogyakarta. .
.
Supported by :
@perupamuda @sangkringart
@cushcushgallery
@syangartspace @cansgallery
#perupamuda4 #perupamuda2019 #PAP! #exhibition

WhatsApp Image 2019-10-31 at 08.39.52

 

WhatsApp Image 2019-10-31 at 08.39.52(1)

 

Perupa Muda #4 mengundang rekan-rekan sekalian dalam pameran seni rupa bertajuk:

PAP! (Post  A Picture)

Opening : Senin, 4 November, 19.00 WIB
Dibuka oleh : Heruwa (Shaggydog)
@heruwa
Writer : Ryani Silaban @ryanisilaban

4 November ’19 – 3 Desember ’19
Di Bale Banjar Sangkring
Nitiprayan RT 1 RW 20 no.88 Ngestiharjo Kasihan, Bantul, Yogyakarta. .
.
Supported by :
@perupamuda @sangkringart
@cushcushgallery
@syangartspace @cansgallery
#perupamuda4 #perupamuda2019 #PAP! #exhibition

 


PAP: Pameran ala Perupa-muda

Nukilan Pengantar oleh Ryani Silaban

Seniman-perupa muda kian hari kian dinamis dalam berkesenian. Terlebih dengan
adanya pengaruh teknologi dan informasi yang terus-menerus berkembang, menjadikan laju
publikasi dan terselenggarakannya pameran makin progresif. Ditandai dengan
bertambahnya event kesenian juga pameran dengan konsep baru yang berbeda satu sama
lain.
Sejalan dengan perkembangan seni rupa yang terus bergerak, maka sudah
sewajarnya jika Balai Banjar Sangkring memberi ruang serta kesempatan, khususnya bagi
perupa muda untuk mempublikasikan karya. Kegiatan yang diberi nama Pameran Perupa
Muda ini, berhasil menarik respon anak muda (18 – 30 tahun) untuk mengajukan karyanya.
Hal menggembirakan ini terlihat dari terjadinya peningkatan jumlah pendaftar tiap tahunnya.
Pada pelaksanaan pameran yang keempat ini jumlah pendaftar pameran ada sebanyak 350
orang, naik 20 persen dari tahun lalu dengan tajuk “Ring Road” yang berjumlah 280.
Sementara pada tahun 2016, pendaftar yang mengirimkan aplikasi hanya sekitar 100
pendaftar. Sehingga tak menutup kemungkinan, di tahun berikutnya event ini memiliki
potensi untuk terus berkembang dalam merangsang keterlibatan lebih banyak perupa muda.
Menanggapi intervensi tidak langsung dari arus teknologi dan informasi dalam dunia
seni, diambillah istilah “PAP” sebagai tajuk utama dalam pameran ini. Beberapa orang
masih banyak yang asing dengan istilah ini. Bahkan, meskipun terkenal di kalangan anak
muda, masih ada beberapa teman yang dengan polosnya mencari pengertian kata tersebut
dalam kamus Bahasa Inggris. Hingga menimbulkan kelucuan tersendiri karena muncul
pengertian dari kata pap yaitu bubur bayi. Padahal “PAP” yang dimaksud dalam tajuk ini
merupakan sebuah akronim dari Post a Picture , dengan pengertian mengeposkan foto atau
sebuah instruksi untuk mengirim atau mengupload gambar yang diinginkan oleh lawan
bicaranya. Istilah ini populer digunakan di media sosial. Meski demikian, belum diketahui
siapa yang terlebih dahulu mempopulerkan abreviasi tersebut. Namun, fenomena
pemendekan kata tersebut sangat menarik untuk ditelusuri, karena masih berhubungan
dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi yang merangsang gejala
pemendekan kata, terlebih dalam istilah Post a Picture . Jika ditilik dari perkembangannya,
kebiasaan mengunggah gambar sudah dilakukan sejak media sosial bermunculan, dengan
tujuan yang beragam. Mulai dari memberitahukan berbagai informasi bersifat umum, juga
individu dapat membagikan foto terkait kegiatan yang telah, sedang, dan akan dilakukan.
Jika dilakukan kilas balik dalam sejarahnya, pengunggahan gambar secara digital sudah
dilakukan sejak ditemukannya koneksi daring pertama kalinya (awal tahun 1970). Hingga
mulai dilakukan di Indonesia sejak awal tahun 2000an yang diawali dengan munculnya
jejaring sosial populer seperti Friendster (2002), MySpace (2003), Facebook dan Flickr
(2004), Twitter (2006), Instagram (2010), dan seterusnya. Hingga muncul situs lainnya yang
memberi fasilitas yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya.
Dalam dunia seni rupa, perkembangan tersebut membuat perupa yang mengikuti
zaman lebih diuntungkan. Saya pernah mengajak beberapa perupa berbincang mengenai
fenomena tersebut. Mulai dari yang sudah berkarya sebelum munculnya teknologi canggih,
hingga yang menikmati masa transisi. Mereka menyampaikan bahwa perupa muda saat ini
memiliki lebih banyak kesempatan dibanding generasi terdahulu. Dimana untuk
melaksanakan pameran dibutuhkan effort yang lebih, karena penyebaran informasi saat itu
kurang merata. Untuk mengirimkan data karya saja tak semudah saat ini, dimana kita bisa
melakukannya sambil duduk santai, minum kopi, menggerakkan ibu jari lalu tekan kirim.
Menurut generasi terdahulu, karya terlebih dahulu harus difoto, dicetak, kemudian dikirimkan
melalui pos, yang baru bisa sampai ke alamat tujuan beberapa hari bahkan minggu. Itupun
pada beberapa event karya belum tentu dinyatakan lolos kurasi oleh penyelenggara.
Meskipun hingga saat ini masih ada beberapa galeri yang menggunakan pos untuk
pengiriman berkas, tetapi pada praktiknya lebih banyak yang terbuka untuk pengiriman
berkas dalam bentuk digital. Selain persoalan tersebut, generasi muda lebih mudah
mendapatkan referensi terkini, juga dapat memanfaatkan jejaring media untuk publikasi
karya. Bahkan tak sedikit individu maupun kelompok yang berpameran di dunia maya.
Kemudahan tersebut pula yang menandakan representasi zaman bagi perupa saat
ini. Tidak adanya batasan dalam mengangkat ide pengkaryaan, secara sadar maupun tak
sadar memicu berkembangnya karya seni lintas media. Seperti dalam pameran yang diikuti
oleh 51 perupa muda berdomisili di Yogyakarta ini misalnya. Karya para perupa tersebut
terdiri dari lukisan, grafis, instalasi, patung, foto, keramik, kriya, yang diolah dengan
kemasan menarik. Dimana beberapa diantaranya menggugah rasa pada lebih dari satu
indera sekaligus dengan penggunaan alat, bahan, dan teknik yang diolah sedemikian rupa.
Berbagai macam gagasan yang mengalami pembaharuan dan perkembangan turut serta
menjadikan karya lebih akrab dengan publik. Sehingga, publik mendapatkan ruang untuk
menginterpretasi melalui berbagai macam perspektif.
Melalui Pameran Perupa Muda #4 ini, para perupa yang telah lolos kurasi secara
serempak diberi kesempatan untuk menampilkan karya dari proses pengolahan ide kepada
publik. Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, maka sudah seyogianya
para perupa muda lebih antusias dalam penciptaan dan publikasi karyanya.

[Performing] Hari Bahagia – Konser Keberbakatan DIY 2019

hari bahagia an intimate concert - keberbakatan diy 2019Program Keberbakatan DIY 2019 proudly present!!

Untuk mengakhiri project setelah berproses bersama selama beberapa bulan, teman teman dari Keberbakatan DIY akan melakukan serangkaian promo album dan perfoming concert. Kali ini, kami menggagas “HARI BAHAGIA” intimate concert pada Jumat besok, tanggal 25 Oktober 2019 jam 7 malam, di Sangkring Art Space, jl. Nitiprayan.

Mari mengapresiasi, karena tidak ada kesan tanpa kehadiran kalian

Salam budaya ?

#haribahagia #keberbakatandiy2019

Dokumentasi

Dokumentasi Video

[Pameran] Ugemi

Pameran Lukisan
Rina Kurniyati & Astuti Kusumo
UGEMI

24 Oktober – 04 November 2019

Sangkring Art Space
Jl. Nitiprayan 88 Ngestiharjo, Kasihan Bantul.

Jam buka setiap hari 09.00 – 20.00 WIB

Pembukaan: 24 Oktober 2019, 19.30 WIB

 

 

Ngugemi, secara harfiah berarti “menggenggam erat”. Bagi orang Jawa, kata tersebut merupakan simbol yang mengikat diri, secara lahir dan terutama batin, dengan tradisi yang dicanangkan dan diwariskan oleh para leluhur. Bagi perempuan Jawa, ngugemi terkait dengan posisinya sebagai rekan penyeimbang bagi suami (sarimbit), pengampu rumah yang berjiwa besar sebagai manifestasi tata dunia (kosmologi) dan unit terkecil dari masyarakat, dan sebagai ibu yang melahirkan dan pendidik yang meneruskan nilai-nilai tradisi pada anak-anaknya sejak usia dini. Ngugemi, bagi perempuan Jawa, merupakan fitrah dan martabat, sebuah sikap batin demi kelangsungan masyarakat dalam skema kosmologi tradisi.

Ugemi_sangkringart_okDengan konsepsi semacam itu, Rina dan Astuti ingin tetap mengedepankan keluhuran tradisi dan kearifan lokal Jawa dengan mengekspresikannya ke dalam lukisan. Dua puluhan lukisan yang disajkan menjadi simbol penyeimbang diri sekaligus penyelaras bagi kosmologi di lingkungannya masing-masing. Posisi istri (atau peran ibu) bagi mereka bukan sekadar melayani, tetapi juga mampu memberi pelajaran bagi manusia di sekitarnya. Lukisan-lukisan mereka berdua adalah wujud perantaraan dunia yang penuh pesan: keterpaduan antara yang maskulin dan feminin, yang ekspresif dan realistik, yang kasar dan halus, yang keras dan lembut. Semuanya dirangkai melalui warna, garis dan tekstur. Medium kaca (karya Rina Kurniyati) dan kanvas (karya Astuti Kusumo) adalah bagian dari pesan tentang penyeimbang dan satuan keselarasan. Mari menjadi saksi pameran dua perempuan perupa dari Yogyakarta ini.

Katalog Ugemi

Dokumentasi

Dokumentasi Video

[Pameran] Metalik

Refreshing with Metalic

Mohon maaf judul tulisan ini berbahasa asing, karena sungguh saya tidak menemukan padanan kata yang tepat untuk menuliskannya secara ringkas.
Dalam semacam wawancara dengan pelukis Bambang Pramudiyanto a k a Benk; kata “refreshing” alias penyegaran adalah kata yang paling banyak disebut. Selain “Metalic/Metalik” yang memang asalnya bahasa inggris atau asing yang bersifat logam.
Pameran tunggal Benk kali ini menampilkan obyek sederhana yang dekat dengan keseharian kita menjadi sesuatu yang bisa muncul lagi menjadi lebih baru, modern, kinclong, mewah bahkan glamor. Dan pemilihan “melogamkan” setiap benda yang dilukis ini punya dua makna sekaligus.
Pertama, menyegarkan benda itu sendiri sebagai sebuah karya seni yang selesai. Kedua, perbuatan ini menjadikan si pelukisnya merasa segar kembali. Tanpa harus melukis yang rumit dan njelimet sebagaimana lukisannya selama ini kita kenal, Benk dapat memenuhi kebutuhan artistiknya secara paripurna. Serta masih memiliki ikatan benang merah dengan karya-karya sebelumnya.
Perhatikan beberapa benda biasa yang menjadi luar biasa atau setidaknya jadi berbeda plus lebih indah. Lukisan yang menggambarkan buah pare menyadarkan pada kita bahwa teksturnya ternyata punya pola yang menarik. Bukan sembarang totol-totol tak beraturan. Lihat juga lukisan jagung yang multi tafsir itu. Wow… Very inspiring…
Adalah tidak sia-sia usaha kerasnya dalam setahun terakhir mempersiapkan pameran ini. Apabila cukup lama beliau tak berpameran tunggal, terakhir tahun 2003. Apabila (lagi) Benk menamai kegiatan ini, selain sebuah usaha refreshing, juga tantangan, batu loncatan mendapatkan energi, spirit dan semangat demi pameran berikutnya yang lebih besar.
Dengan kata lain sejatinya Benk sedang mengumpulkan modal. Meski sesungguhnya Benk sudah memiliki banyak modal kesenian yang kuat. Ia pembelajar yang baik. Ia pekerja keras. Ia punya teknik yang memadai. Ia punya konsep dan pemikiran yang unik.
Salah satu statementnya cukup mengejutkan, “saat ini seni rupa kontemporer sedang didominasi oleh style tertentu saja”. Maka dari itu harapannya pameran di Sangkring Art Project ini adalah ingin memberi sebuah warna yang semoga baru.

Yogyakarta, 24 Agustus 2019

Yuswantoro Adi

——
Perjalanan kreativitas Beng Beng di Abad Milenial
Saya mengenal pelukis Bambang Pramudiyanto yang biasa disapa Beng Beng sewaktu masih kuliah di STSRI-ASRI yang sekarang disebut sebagai ISI (Institut Seni Indonesia). Pada waktu itu beliau sangat piawai didalam bentuk lukisan realisme, terutama dalam melukis mobil-mobil tua buatan Amerika Serikat atau Inggris seperti Dodge, Ford, Chevrolette, Austin dan lain-lain yang dilukis secara unik dengan mengekspos kulit-kulit dari badan mobil tersebut dengan dibuat berkarat. Mobil-mobil tua yang teronggok di pelosok-pelosok kota dan desa-desa menjadi wilayah perburuannya untuk mendapatkan referensi-referensi dan sekaligus sebagai subject-matter tema besar karyanya.
Beng Beng dikenal sebagai orang yang rapi dan perfeksionis dalam mengerjakan karya-karyanya. Seluruh peralatan kerja serta bahan-bahan untuk mempersiapkan lukisan, semuanya tersusun rapi. Beliau mengikuti pameran “Tiga Kota” (dengan peserta pameran dari para mahasiswa seni ASRI, ITB dan IKJ) pada tahun 1989 yang bertempat di ruang pameran IKJ Jakarta, dimana di dalam pameran tersebut saya juga terlibat. Pada waktu itu yang menjadi fenomena adalah keheranan masyarakat di Jakarta yang merasa aneh dengan seniman Jogja yang melukis secara realistik dan nge-pop. Seakan-akan pelukis dari Jogja tidak layak atau tidak patut membuat lukisan realistik yang nge-pop sebagai wujud berekspresi kelompok masyarakat yang urban dan heterogen, dimana pada waktu itu karya-karya dari para seniman Jogja distigma dan dikategorikan sebagai seniman-seniman yang hanya terinspirasi oleh seni-seni tradisi dan menyuarakan isu-isu sosial-politik.
Pada sekitar tahun 90’an karya Beng Beng mengalami perubahan, dimana beliau tidak lagi mengekspos objek-objek mobil tua dengan karat-karatnya, namun melukis benda-benda produk masa kini yang di-closed up atau diperbesar sehingga objek-objeknya terlihat lebih abstrak. Kalau Piet Mondrian mengesensikan bentuk-bentuk dan warna-warna menjadi primer, dimana benda-benda hanya menjadi bentuk-bentuk geometris saja, berbeda dengan Beng Beng yang masih peduli dengan objek-objek yang tidak komplit namun menghasut persepsi penonton pada bentuk-bentuk yang telah mereka kenal.
Pada tahun 2000’an saat umat manusia di bumi memasuki Milenium ke-3, Beng Beng merespons situasi perubahan kemajuan kehidupan dalam hal kebudayaan dan peradaban manusia melalui kritikan-kritikan mengenai perubahan yang terjadi didalam memperlakukan materi-materi alam yang kemudian digantikan dengan bahan-bahan baru yang bersifat artifisial dan juga dengan warna metalik yang berkilauan.
Karya-karyanya yang ditampilkan kali ini dalam pameran tunggalnya yang berjudul MeTAL(i)K, yang kalau saya persepsikan menjadi Me TALK atau saya berkata dan I dalam huruf kecil: “I” atau “Saya” memberikan penegasan ke-Aku-annya akan eksistensi dirinya di jagat seni lukis Indonesia menunjukkan bentuk ekspresi yang dihadirkan merupakan pendirian cara dan bentuk pengekspresian karyanya yang juga merupakan ciri khas dan gayanya yang merupakan sumbangsih kreativitasnya di jagat seni rupa Indonesia.

Selamat berpameran Beng-Beng dan selamat menyaksikan karya-karyanya!

Yogyakarta, 22 Agustus 2019

Heri Dono

—–

MeTAL(i)K

Satu hal yang terlanjur lekat di benak saya perihal Bambang Pramudiyanto adalah citra mobil-mobil. Dikatakan terlanjur karena imaji ini sulit sekali saya hapuskan dari memori, meskipun Bambang yang sudah saya kenal lama adalah sekaligus seorang pengamat yang cermat dan selalu ingin memberikan komentar sosial (social commentary) lewat lukisan-lukisannya. Mobil-mobil di atas kanvasnya bukanlah semata mewakili objek-objek acuannya itu sendiri. Sebab Bambang ingin berbicara tentang banyak hal lain. Dia mengatakan one thing and means another. Ya, inilah konsep general atau paling mendasar bagi ekspresi metaforis. Jadi, tidak mengherankan jika dia memberi tekanan pada detail tertentu seperti cat yang terkelupas, karat atau mendampingkan mobilnya dengan daun kering atau kodok origami. Dia tidak menyalin realitas yang diamatinya sebagai realitas sui generis, melainkan sebagai majas visual untuk menyampaikan gagasan, komentar-komentar sosialnya. Oleh karena itu, dengan teknik realismenya yang kuat, dia lebih tepat disebut sebagai seorang hiper-realis.

Begitu lama tidak berjumpa dengannya, baru beberapa tahun terakhir ini saja saya dapat mengamati dan bersentuhan lagi dengan sedikit lukisan Bambang terbaru. Ada kesinambungan dan pergeseran yang telah atau sedang terjadi padanya. Dia melukis figur manusia, tokoh-tokoh seperti Bung Karno atau Marylin Monroe. Dia melukis pula objek-objek yang bukan mobil, terutama benda-benda yang dipungut dari kehidupan sehari-hari semisal uang atau Coca-Cola. Objek-objek keseharian itu berjukstaposisi dengan sosok manusia dan, masih tetap, potongan bagian tertentu dari mobil atau objek metalik lain. Secara ideologis estetis Bambang hari ini kesannya cenderung mendekat kepada seni rupa pop (pop art). Namun demikian, satu hal yang tetap hadir di dalam lukisannya adalah ketidakhadiran objek apapun di latar belakang. Lukisan-lukisannya berlatar “kosong”. Dan sebagaimana Bambang sejak dulu, dia tidak mengkopi realitas. Dia ingin berbicara, menyampaikan gagasan-gagasan kritisnya tentang dunia sosial melalui serangkaian objek sebagai majas visual.

Karya-karya yang menantang tafsir di dalam pameran ini, antara lain, adalah “MeTAL(i)K #2” “MeTAL(i)K #3” dan “MeTAL(i)K #6”. Pada yang pertama dia melukiskan butiran jagung yang salah satunya mengalami topikalisasi karena cemerlang keemasan. Biji jagung keemasan ini menjadi majas visual yang secara tajam mewakili kebiasaan orang-orang desa yang ingin mendisplai distingsi sosial melalui gigi emas sebagai modal ekonomis dan simbolisnya yang paling eye catching.

Lukisan selanjutnya menampilkan objek tulang-tulangan (mainan untuk seekor anjing) yang mewakili sejenis makanan berbahan baku daging hewan sahabat setia manusia itu. Penulisan frasa “BITE ME” dan “EAT ME” yang terbalik seperti mewakili sikap Bambang atas tradisi kuliner yang sudah terlanjur dianggap “biasa dan bukan sesuatu yang aneh” ini. Lukisan ketiga merupakan komentar sosial terhadap perubahan kultural yang eksesif. Di sini dia menunjukan kepada kita bungkus metalik yang merupakan majas bagi perubahan kultural produk-produk makanan lokal yang telah mengalami pengemasan-ulang yang lebih menawarkan nilai-tanda (sign-value) yang prestisius.

Catatan terakhir adalah perihal judul. Singkat saja, judulnya: MeTAL(i)K. Berhadapan dengan permainan kata, huruf dan tanda baca ini, kita seperti ditawari ambiguitas. Pertama, ia dapat dibaca sebagai metalik, yakni (sesuatu) yang bersifat seperti logam. Akan tetapi, proses tafsir tidak berhenti di sini saja. Sebab ada kemungkinan kedua. Melalui kombinasi huruf besar/huruf kecil dan tanda kurung, mencuat makna lain tentang seseorang (me) yang berbicara (talk), yang tiada lain daripada Bambang sendiri yang ingin bercakap dengan kita melalui lukisan-lukisannya. Jadi, mari kita simak bersama!

Kris Budiman

Dokumentasi

Dokumentasi Video

[Pameran] YAA #4 Incumbent

Download now!!!

67126667_10219198422379482_5998149981821730816_n

YAA #4 “Incumbent” 2019

           Tahun ini Yogya Annual Art memasuki tahun ke empat. Sebuah angka yang cukup berbahaya dalam filosofi dan hitungan China. Angka ini disebut “Si” yang artinya mati. Makanya tidak heran dalam banyak kegiatan bersifat regular, urutan ke empat ini sering dianggap sial, penuh rintangan dan hal buruk lainnya, Namun jika berhasil melewatinya, hasilnya akan luar biasa.

Jadi tidak perlu terlalu khawatir sebab dalam kegiatan kesenian berkelompok, seperti grup band misalnya. Kelompok yang beranggotakan empat orang, banyak yang berhasil. The Beatles, Queen, Rolling stone, Koes Bersaudara, Koes Plus, Gigi, Noah, Sheila on 7 adalah beberapa contohnya. Grup lawak Kwartet Jaya dan Jayakarta adalah contoh lainnya di grup lawak. Bahkan ada kelompok superhero beranggotakan 4 orang yakni The Fantastic Four.

Apalagi YAA bukanlah sekadar kegiatan kesenian atau senirupa biasa. Aktivitas regular bersifat tahunan yang diselenggarkan di Bale Banjar Sangkring ini lebih tepat disebut sebagai Kebudayaan dengan huruf K besar. Dimulai dengan “Niat” di tahun 2016. Dilanjutkan dengan “Bergerak” di tahun 2017 . Lalu sampai pada “Positioning” di tahun 2018 kemarin. Nah di tahun 2019 ini YAA memilih tema “Incumbent”

Incumbent jelas kata berbahasa Inggris yang terjemahannya petahana, berasal dari kata “tahana”, yang berarti kedudukan, kebesaran, atau kemuliaan, dalam politik, adalah istilah bagi pemegang suatu jabatan politik yang sedang menjabat. Istilah ini biasanya digunakan dalam kaitannya dengan pemilihan umum, di mana sering terjadi persaingan antara kandidat petahana dan non petahana. Lebih mudahnya dapat dimaknai sebagai, “yang saat ini masih berkuasa/menjabat”

YAA #4 tentu bukan kegiatan politik praktis, namun sebenarnya posisinya saat ini memang menyerupai incumbent. Ini bukan ilmu gothak-gathuk atau dipaksakan. Demi melihat sejarahnya (sebagimana tertulis di atas)  dimulai dengan niat yang tulus, bergerak dengan dinamis lalu menemukan posisi yang ideal dalam positioningnya. Maka saat ini tidak berlebiihan disebut sudah memiliki kedudukan, kebesaran atau kemuliaan dalam politik kesenian dan kebudayaan.

Ini saat yang menguntungkan namun juga bersifat krusial karena mengandung resiko dan bahaya. Maka satu-satunya cara mempertahankannya adalah berbuat terbaik dan kerja keras. Artinya setiap peserta YAA #4 Incumbent haruslah bekerja maksimal sekaligus professional. Selamat berjuang!

Yuswantoro Adi

[Pameran] Made Sukadana

56247971_10214943039510101_6523577262699184128_n

Single Fighter #3:
Pameran Tunggal karya-karya
MADE SUKADANA
@ Sangkring Art Space
jl Nitiprayan 88, Ngestiharjo , Yogyakarta

pembukaan pada
MINGGU, 7 April 2019
jam 19.00

dibuka oleh Bp Ridwan Mulyosudarmo

Pameran berlangsung 7 April – 7 Juni 2019