Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-7,page-paged-7,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Two Side of Medal – Mahdi Abdullah

mah di

Mahdi Abdullah sebagai “Monumentasi” dengan mengetengahkan konsepsi mengenai ingatan kolektif, segenap benda-benda memorial, akhirnya membawa seni ke dalam sebuah arena baru, yakni lukisan sebagai “monumen sejarah”. Oleh sebab itulah saya menyebut hasil kerja kreatifnya sebagai gaya “narasi-simbolik” yang bersifat pengendapan peristiwa. “Dia sampai pada kesimpulan bahwa ada dualisme mendasar dalam kehidupan manusia, struktur ganda yang mencakup setiap aktivitas manusia, tetapi sering lolos dari kesadaran kita. Kegelapan dan cahaya, tinggi dan rendah, kebaikan dan kejahatan adalah kesatuan yang tak mungkin berdiri sendiri. Seperti dua sisi mata uang, kita hanya dapat melihat satu sisi, untuk melihat sisi lainnya kita harus membalik koin tersebut” ungkap Anton Larenz dalam buku pameran “Two Sides of the Medal Mahdi Abdullah”.

Pendidikan terakhirnya: Magister Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (2010). Artist Residency di ICP Tokyo, Japan (2002). Artist Residency di Centre for Southeast Asian Art, Passau, Germany (2009) Lithography Course di Kultur Modell, Passau, Germany (2009). Karyanya telah dikoleksi oleh Modern Kuns Museum, Passau (Germany), Museum of Indonesian Art (Australia), GBI (Tokyo), OHD Museum, Magelang (Ind), Aceh Museum (Ind), Ali Hasymi Museum (Ind), Tsunami Museum (Ind), dan dikoleksi oleh beberapa galeri dan individu di Indonesia dan luar negeri.

Sadulur Rupa

NAFL2621

Pameran ini mengambil tema sadulur rupa yang bisa dimaknai sebagai citra atau tolak ukur perkembangan karya lukis yang berakar dari gaya lukis tradisional bali, dengan perkembangan-perkembangan dari segi tekhnik dan tematik, dan kita juga bisa melihat regenerasi dari seniman-seniman tua/ old master serta karya-karya mumpuni dari seniman muda.

Adapun tujuan pameran ini merupakan cara para pemerhati seni, pecinta seni untuk melestarikan karya lukis para seniman bali, khususnya yg berakar pada tradisional bali dengan segala pengembangannya, dan yang terpenting ini merupakan media jendela bahwasanya seni lukis bali masih tetap eksis dan terus berkembang,dengan style atau corak yang beraneka ragam,sehingga karya seni ini mampu sejajar dengan karya seni lukis modern kontemporer dan yg lain.

Open Submission Perupa Muda 2018

IMG_7388

IMG_7390

IMG_7389

PXFR5606

OPEN CALL !
.
Panggilan terbuka pameran Perupa Muda #3 dengan tajuk ‘RING ROAD’ kepada seluruh Perupa ‘muda’ yang berdomisili di Yogyakarta.
– Batas akhir pengumpulan karya tanggal 1 November 2018 !
– karya yang lolos seleksi akan diikut-sertakan dalam pameran di Bale Banjar Sangkring pada tanggal 7 Desember 2018.
*Syarat dan ketentuan lebih lengkap ada di poster. .
Tim Seleksi :
Kris Budiman ( Penulis, kurator)
Samuel Indratma (seniman)
Erizal Art ( seniman)
.
“Muda, Bugar, Bahagia dan Berkarya.”
Karena muda saja tidak cukup jika tidak bugar dan berbahagia dalam menghasilkan karya ?
.
SEMANGAT DARAH MUDA !
.
.
.
Info detail: @perupamuda @balebanjar.sangkring
.
#bukusenirupa #perupamuda #youngartist #balebanjarsangkring #sangkringart #opencall #opensubmission #infoseni #artnews #artinfo

BEBAS TUGAS (Karya Pilihan Tugas Akhir Seni Murni ISI 2018)

WhatsApp Image 2018-08-07 at 11.41.10 PM

Tugas Awal Sarjana Seni

Beragam karya seni yang dihadirkan pada pameran “Bebas Tugas” merupakan karya Tugas Akhir Mahasiswa Seni Murni ISI Yogyakarta dari berbagai angkatan dan jurusan. Beberapa karya sengaja diseleksi oleh pihak panita pameran lewat kunjungan studio, wawancara dan peninjuan kembali terkait material fisik juga gagasan yang memenuhi prasyarat eksperimen ataupun proyek. Pameran kembali dikemas masih dengan nuansa akademis dan bersifat edukatif. Pameran Tugas Akhir menjadi penting mengingat persiapannya yang panjang, seminimal 3,5 tahun dan selebihnya selama mereka belajar di Kampus. Pameran yang diikuti oleh 12 perupa muda ini juga sebagai upaya apresiasi kerja institusi seni sekaligus tawaran lain untuk menampilkan karya seni kepada publik secara lebih luas.

Gelar sarjana seni bagi kebanyakan seniman mungkin bukan suatu prioritas, tanpa ijazah siapapun bisa jadi seniman. Namun bukan berarti sekolah menjadi tidak penting, proses dan iklim kehidupan kampus itulah yang utama. Di sekolah memungkinkan mereka dapat bertemu dan mengenal teman-teman baru, hadir dalam iklim yang produktif dan kompetitif, sehingga memacu untuk terus kreatif. Lulus atau tidak, bagi para calon seniman dari kampus ISI lebih ke soal pilihan, meski memang ada mitos yang mengatakan “Kalau lulus tidak keren.” Pernyataan itu seperti tidak sedang dirayakan kebanyakan perupa hari ini. Slogan “Drop Out from Art School” yang populer lewat kawan-kawan Steak Daging Kacang Ijo contohnya, bukanlah upaya provokatif untuk tidak lulus, melainkan justru upaya membesarkan hati para jamaah drop out untuk tetap bekerja keras dalam berkarya.

Banyak dari perupa yang terlibat dalam pameran ini telah merintis karir kesenimannya di saat kuliah. Para mahasiswa seni sudah identik dengan kerja, kuliah seni bukan dalam rangka persiapan menuju dunia kerja. Tugas mereka ketika kuliah dan lulus barangkali sama, yaitu membuat karya seni. Aktivitas kreatif yang lebih mudah diapresiasi lingkungan sekitarnya, seringkali membuat mahasiswa jauh lebih sibuk dari dosennya, lebih menerima banyak proyek ketimbang gurunya. Bahkan para seniman masih punya sebutan khusus, tentang “bekerja atau berkarya”, “bekerja untuk dirinya atau orang lain”, “bekerja sekaligus berkarya”…  meski kesemuanya masih dalam lingkup aktivitas berkesenian.

Karya seni yang baik adalah karya yang memiliki manfaat, yang dalam pameran ini memiliki nilai guna baik bagi diri si seniman, kampus, galeri, dan masyarakat dengan berbagai cara. Pameran dimaksudkan akan menjadi ruang berbagai bentuk apresiasi. Alhasil, karya tugas akhir mereka sesungguhnya menjadi tugas baru, terutama dalam medan besar seni rupa, berhadapan pada permasalahan yang jauh lebih kompleks dibanding arena kampus. Lulus atau ‘lolos’ nya seorang perupa, bagi saya lebih mengidentifikasi pada jenjang kedewasaan seorang seniman.

Di kampus para mahasiswa datang juga pergi, lulus memang seperti berkehendak menjauhkan siswa dengan sekolah. Membuat jarak jadi romantis, agar seseorang, seniman, dapat memaknai arti pendidikan. Maka sekolah pun selalu hadir, tertera dalam CV, akrab dalam biografi, juga ilmu yang tampil dalam perilaku. Bapak Seni Lukis Modern kita, S. Sudjojono, tak pernah bisa membayangkan dirinya jika ia tak pernah sekolah di Taman Siswa.

Huhum Hambilly

Sleman, 7 Agustus 2018

Yogya Annual Art #3 “Positioning”

31432637_10156400554994138_8504818369719051212_n

Yogya Annual Art #3 2018

Positioning

Sangkring Art

Jl. Nitiprayan no. 88, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta

Opening: 6 May 2018, Start 7pm

Exhibition at Sangkring Art Space – Sangkring Art Project – Bale Banjar Sangkring – Lorong Sangkring – Wall Art – Outdoor Area

Officiated by: Ridwan Muljosudarmo

Writer:

Kris Budiman, Huhum Hambilly, Apriadi Ujiarso, Alit Ambara, Dwi S. Wibowo, Yaksa Agus

Info: @yogya_annual_art / @sangkringart

www.sangkringart.com

#sangkringart #yogyaannualart

Pameran Yogya Annual Art #3 “Positioning” di Sangkring Art

Pada kurun waktu 6 sampai 31 Mei 2018, Sangkring Art bermaksud menggelar pameran seni tahunan “Yogya Annual Art” yang ke-3 dengan tajuk “Positioning”. Yogya Annual Art adalah pameran seni 2 dimensional yang menitikberatkan pada seni lukis sebagai laporan perkembangan seni lukis Yogyakarta Indonesia mutakhir. Tajuk “Positioning” sengaja dipilih sebagai upaya penempatan diri yang tepat dan strategis demi membuat penonton terpikat sekaligus terikat. Hal ini juga sebagai kelanjutan atas gelaran sebelumnya, yaitu “Niat” dan “Bergerak”. Bagi Panitia YAA, lewat tema yang diusung, pameran bermaksud mempresentasikan proses yang merupakan dasar-dasar bertindak dengan tujuan membuat gerakan ke arah yang yang benar.

Pameran diadakan di tiga galeri sekaligus, Sangkring Art Space, Sangkring Art Project dan Bale Banjar Sangkring dengan melibatkan sekitar 90 an seniman. Adapun ruang-ruang lain di areal Sangkring yang juga menjadi bagian dari YAA, seperti Lorong Sangkring, Tembok Galeri dan Halaman di sekitar Sangkring. Tak lupa, sebagaimana tradisi dalam tiap pergelaran YAA, yaitu mengundang ‘seniman kehormatan’ untuk menampilkan karyanya di dinding suci. Pada kesempatan ini  YAA menghadirkan karya dari tokoh dan akademisi Nyoman Gunarsa. Sosok Nyoman Gunarsa sengaja dipilih oleh sebab ia dikenal sebagai dosen yang sangat inspiratif dengan aneka provokasi unik yang mampu mengikat mahasiswa, dia adalah perupa yang pandai melakukan positioning yang tepat sekaligus strategis lewat karyanya yang memukau.

Sangkring Art Space

Di manakah posisi subjek dalam wacana? Dengan pertanyaan yang senada, dapat disimak pada karya-karya para perupa yang tengah digelar sekali ini di Sangkring Art Space. Bila karya-karya ini memproduksi pengetahuan (dan kuasa sekaligus), lalu di manakah posisi subjek pembaca atau penonton (audiens) di dalamnya? Pertama, tentu saja karya-karya ini memosisikan subjek-subjek yang selalu sudah tersubjeksi (subjected), terkondisi oleh konvensi dan tradisi genre masing-masing, yang sesungguhnya dalam setiap momen sejarah terus mengalami pergeseran dan pergesekan. Untuk sementara problem ini bisa kita tangguhkan dulu demi menengok posisi subjek yang kedua, yaitu penonton. Posisi subjek ini niscaya tak lepas pula dari jalinan kuasa/pengetahuan, sebab apa yang kita sebut sebagai penonton di sini hanyalah salah satu partisipan yang direpresentasikan (represented participant) oleh wacana. (Kris Budiman)

Sangkring Art Project

Menarasikan perupa muda hari ini yang pula berpredikat sebagai generasi milennial, menjadi ihwal cukup rumit dalam artian perlu banyak pertimbangan untuk menyiasatinya. Pola-pola lama guna ditasbihkan sebagai seniman seolah bukan jalan satu-satunya yang harus ditempuh. Internet mampu menjadi jalan tikus bagi perupa muda, di mana tentu saja konsekuensi tetap membayangi. Dengan kata lain, modal sosial semakin mudah diakumulasikan melalui jejaring yang aksesibel bagi para perupa muda, namun belum tentu dengan modal kultural guna menyematkan nilai simbolis melalui karyanya. Tetapi toh, lagi-lagi, para perupa muda ini sedang dalam masa inkubasi, di mana mereka sedang dalam proses menjadi yang merupakan jalan panjang. (Huhum Hambilly)

Bale Banjar Sangkring

Sepertinya tema positioning tidak menyentuh intensi personal tiga puluh lima perupa itu. Melalui garis dan warna tampak bahwa intensi karya terletak pada hasrat berbagi pengalaman dan pemikiran visual yang bernilai kepada publik seni. Beberapa karya menyatakan seni rupa abad ke – 21 makin kompleks. Periodisasi sejarah seni rupa perlu dipikir ulang, sebab di antara masa lalu dan masa kini, ada memori yang barusan berlalu yang patut dikenang secara visual. Seturut ruang penghayatan yang terbina, netralitas dan pemihakan dipertanyakan. Beberapa perupa memilih mematangkan gaya realisme, sebagian berkutat menyoal konsep. Lainnya melakukan eksperimen warna, dengan tujuan mendapat aspek pewarnaan yang keluar dari rumusan industrial. Pada arah lain berlangsung berbagai eksplorasi bentuk sebagai menu utama kekaryaan, baik ekspresif atau yang impresif. Terdapat pula eksplorasi naratif, yang tampaknya perlu pencermatan agar terjadi titik temu perspektif dan rasa yang lebih puitis. Menariknya beberapa perupa mengolah unsur air sebagai aspek penting dalam karya visualnya. Diambilnya kembali teknik – teknik tradisi, baik diterapkan pada garis atau pada warna, sungguh memperkaya pergerakan seni rupa Indonesia. Penuh dengan eunoia, pikiran yang baik; pemikiran yang indah disalurkan lewat garis dan warna. Tak berlebih bila di Bale Banjar Sangkring pada YAA #3 ini, publik seni melihat beragam karya lukis dengan karakter individual yang mantap. Hal ini tentu saja menggembirakan. (Apriadi Ujiarso)

Lorong Sangkring

Bikin poster itu gampang, semua orang bisa bikin poster. Poster mudah dibuat dan didistribusikan. Atraktif, platform yang mudah diakses untuk menyatakan pikiran, melibatkan orang dalam perdebatan, menciptakan diskusi yang dapat melintasi segenap spektrum masyarakat. Poster digunakan sebagai metode expresi sosial politik dan budaya. Sejak 2009 Alit Ambara secara intensif menggunakan poster untuk merespon isu-isu sosial-politik dan expresi personal. Dibawah label Nobodycorp. Internationale Unlimited sebuah inisiatif yang bertujuan mendorong diskursus serius tentang sosial atau sosial-politik melalui poster. Ia menggunakan setiap saluran media sosial yang tersedia di internet. (Alit Ambara)

Outdoor Area

Ada beberapa hal yang menarik untuk dilihat pada sejumlah karya mereka, terutama pada penempatan posisinya dalam merespon ruang. Berada di antara tiga bangunan yang demikian megah, tentu tidak mudah bagi karya-karya tersebut untuk menarik perhatian jika tidak disiasati dengan ukuran yang besar dan massif, ataupun pemilihan warna yang mencolok. Dari sini, kita dapat melihat bagaimana para pematung yang masih relatif muda ini begitu tanggap dan luwes dalam menempatkan karyanya. Selain itu, keenam pematung juga mengolah konsep yang hampir senada, sehingga memudahkan pemirsa untuk memahami masing-masing karya sebagai sebuah kesatuan yang saling terhubung satu sama lain. (Dwi S Wibowo)

Wall Art

Rujiman hadir dengan karya yang berjudul Koi Mili Gaya, dimana ikan –ikan koi ini bergerak , mengalir mengikuti arus dan dengan percaya diri untuk tebar pesona. Ikan Koi sebenarnya berasal dari Jepang, dipercaya membawa keberuntungan dan menjadi simbol harapan kesehatan dan kemakmuran. Bagi para Samurai, koi adalah simbol keberanian dan usaha pantang menyerah. Melalui Koi yang bergerombol bersama-sama meraih posisi ini, seolah-olah kita diajak untuk membaca dan memaknai tanda-tanda yang sesungguhnya sering tampak dalam dunia nyata, namun sering juga tidak kita sadari dan memaknainya.

Tepat diseberang karya Rujiman ada seorang perupa muda Yogi Septifano (OGGZ) dan Regian Hilarius (REX) ia menghadirkan karya Street Art dengan merespon luar ruang (outdoor). Mereka berdua berkolaborasi merespon dinding dengan 41 plat besi yang diikat dalam tajuk “One way /Satu arah”, yang bermakna satu jalan/jalur untuk melihat suatu pameran–dimulai dari Sangkring Art Space menuju Sangkring Art Project, dan menuju Bale Banjar Sangkring. Di situ akan menjadi jalur padat karena banyaknya tamu yang datang dan pulang melalui satu jalan, satu arah akan menjadi dua arah. (Yaksa Agus)

Locus Utopia – Katirin, Single Fighter #2

Locus Utopia

 IMG-20180205-WA0030

The artist is an inventor of places. He shapes and incarnates spaces which had been hitherto impossible, unthinkable…..

(Didi-Huberman, 1990: 6)

Saat melihat lahan di Gunung Bangkel bagian atas, Katirin telah menemukan yang dicarinya selama dua bulan lebih. Seturut perspektifnya, lahan berbatu masif dengan kontur bervariasi dan elevasi sekitar 150 mdpl itu, memiliki akses dua pemandangan, di utara gunung Merapi yang megah dan di selatan jajaran perbukitan segmen Patuk – Dlingo. Masih ditambah pula bonus pemandangan sawah dan hiruk pikuk jalan raya Jogya – Wonosari km 9.

Seturut pemikiran Faucault dalam Of the Space (1967), lahan temuan Katirin itu termasuk kategori locus utopia. Sebagai konsep, locus utopia kerap disebut Heterotopia, yaitu lokasi dari utopia yang nyata ada, namun kerap diposisikan sebagai ruang yang berbeda. Di dalam homogenisasi ruang perkotaan, heterotopia dianggap berada di wilayah antah berantah. Hanya single fighter sejati yang berani mencari, menemukan locus utopia dan secara simultan memanifestasikannya ke berbagai wujud representasi. Meski belum tuntas, di lahan milik Katirin itu kini telah berdiri, tiga ruang yang berbeda fungsi. Pertama rumah, kini ditinggalinya bersama keluarga. Kedua, teras belakang yang didirikan tepat di bibir jurang. Dan ketiga adalah studio, tempatnya berkarya.

Dari locus utopia di gunung Bangkel dan karakter bentukan ruang yang diolah oleh Katirin,  sepertinya berbalik mempengaruhinya. Berbagai hal yang sebelumnya dipandang tidak mungkin dan tak terpikirkan telah membentuk cakrawala pengetahuan baru, dan memperkaya ruang batin Katirin. Perspektif baru itu lebih jauh mendorongnya untuk mengeksplorasi cara – cara yang lebih memajukan simpati dan empati terhadap obyek atau subyek pemantik gagasan – gagasan visualnya. Dari tempat itu pula berlangsung pergeseran dominasi warna pada karya – karya Katirin ke warna – warna bebatuan, sephia, oker, cokelat, dan abu – abu. Meski tetap memuat tema kegamangan manusia dalam pergulatannya dengan kehidupan di era modern, karya – karya yang disiapkan Katirin untuk pameran Single Fighter #2 ini, menyajikan pula tema berkait keruangan (spasial), yang fisikal sekaligus yang mental. Katirin mulai menyisir makna ruang – ruang fisik yang pernah ditinggalinya memautkannya, melalui permenunganya, bersama memori, gagasan, mimpi dan refleksi pengalaman hidup yang telah dan tengah dijalaninya.

Delapan belas karya Katirin bisa dilihat pula sebagai metafora karakter kehidupan kontemporer yang mewujud menjadi abstraksi dan figurasi yang hadir terikat oleh cahaya, warna, bentuk, dan pola. Begitu pula fragmen fisik, tubuh, dan kenangan visual hadir dalam karya – karya Katirin. Bentuk, garis tampil membangun ruang kedalaman seturut lokus dan modalitasnya. Tantangan utama pada karya – karya Katirin adalah karakter visualnya yang kuat namun tidak informatif. Meski merupakan narasi personal, Katirin lebih memilih menyajikan ketenangan visual dan vernakuler, seluruhnya dieksekusi dengan sangat percaya diri dan membebaskan. Menjadikan seni rupa Katirin bukan lagi semata destinasi, namun merupakan representasi perjalanan tubuh dan jiwa di tengah pencarian locus utopia, melintasi wilayah peripheri, pusat kota dan urban, pantai, sungai, hutan dan gunung. Seni rupa Katirin berdiri dalam ujian waktu, menjadi penegasan kekuatan hidup yang kuat dan berani !!!

Apriadi Ujiarso