Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-10,page-paged-10,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Hadir Ruang Baru, Sangkring Stock Room (Library n Artshop)

Dengan misi untuk melengkapi Sangkring Art sebagai ruang seni yang utuh, Sangkring Art menghadirkan satu ruang lagi bernama Sangkring Stock Room. Ruang ini mulai beroperasi kembali pada Januari 2017 lalu. Sangkring Stock Room dibagi jadi dua area tanpa sekat, yaitu untuk perpustakaan dan artshop. Ruang baru ini terletak di ruangan bawah Sangkring Art Project di bagian tengah kawasan Sangkring. Sedikit berbeda dengan Sangkring Art Space, Sangkirng Art Project dan Bale Banjar yang biasa digunakan sebagai ruang pamer, Sangkring Stock Room ini merupakan ruang seni yang bersifat lebih praktis.

Sebagai perpustakaan, Sangkring Stock Room mempunyai koleksi cukup melimpah. Sekitar 2000 buku seni rupa berjajar di rak siap untuk mengisi referensi dan literasi seni rupa publik. Koleksi buku seni rupa tersebut terdiri dari banyak macam, membahas berbagai topik seni rupa dari dalam maupun luar negeri. Pengadaan perpustakaan seni rupa ini merupakan usaha bagus mengingat sedikitnya perpustakaan yang mengkhususkan diri pada koleksi buku seni rupa. Sangkring Stock Room ingin menyediakan sumber wacana yang tak habis-habis pada publik. Jumlah itu belum ditambah dengan ribuan katalog pameran seni rupa lintas jaman yang juga bisa diakses di Sangkring Stock Room.

Selain buku-buku dari pihak luar, di Sangkring Stock Room juga bisa ditemui buku-buku yang diterbitkan oleh Sangkring Art Space. Selama ini, selain menjadi ruang seni, Sangkring Art Space juga mencetak berbagai terbitan, khususnya buku. Buku-buku terbitan Sangkring ini bisa dibaca di perpustakaan maupun dijual di area sebelahnya, artshop.

Artshop di Sangkring Stock room ingin menjadi tempat apresiasi prakarya seni yang bersifat lebih praktis dan traksaksional. Di ruang ini, tersedia barang-barang crafty hasil karya para seniman.  Bentuknya pun beragam, ada fashion item, tembikar, patung, souvenir dan pernak-pernik. Barang-barang yang masuk di artshop tentu saja melalui kurasi tim Sangkring Art Space untuk menjamin kualitasnya. Disini, para kolektor seni dan publik seni yang lebih umum bisa mendapat produk-produk dari seniman yang mereka sukai.

Selain perpustakaan dan artshop, Sangkring Stock Room juga menyediakan pojok khusus untuk pendiri Sangkring Art Space yaitu Putu Sutawijaya. Seniman yang jadi pelopor gerakan seni rupa kontemporer Indonesia ini cukup banyak memberikan warna pada Sangkring Stock Room berkaitan dengan daerah asalnya, Bali. Disini cukup banyak koleksi pribadi Putu Sutawijaya yang berbau khas Bali, seperti buku-buku, lukisan dan barang-barang seni lain. Selain itu, pojok ini juga berfungsi sebagai mini museum yang mengikuti perjalanan kekaryaan Putu Sutawijaya dari awal sampai sekarang.

Sangkring Stock Room terbuka untuk umum. Fasilitas dan tata ruang yang nyaman cukup potensial sebagai ruang temu, seperti misalnya jadi tempat diskusi, presentasi atau screening. Pengelola Sangkring Stock Room sangat terbuka terhadap ide-ide segar yang siap diwujudkan. Saat ini, tautan termudah untuk memantau Sangkring Stock Room adalah melalui instagramnya di @sangkringstockroom.

 

ANTAGONISM by Agni Saraswati at Sangkring Art Project

unnamed

Cordially invites you to attend the opening ceremony of

Solo exhibition of Agni Saraswati “ANTAGONISM”

Writer : Sujud Dartanto

Officiated byHeri Dono

Music by :

Gong System Setiya

Sasana Hinggil

BBDKK

MC : Heni Siswantari

Opening Ceremony: Wednesday, 1 March 2017 at 7 pm

At Sangkring Art Project Nitiprayan no.88 Yogyakarta

Exhibition runs 1 -15 March 2017

 

—————————————————————————————————————————————–

 

Agni dan Antagonisme

Dimana ada represi disitu ada seni, adagium psikoanalitik itu sengaja saya awali untuk mempercapkan karya-karya Agni Saraswati, atau akrab dipanggil Agni. Perupa muda alumnus FSR ISI Yogyakarta ini memulai debut pameran tunggal pertamanya dengan mengangkat isu mengenai antogonisme. Sepanjang saya mengenalnya, sosok perempuan berkelahiran 1989 dari latar keluarga Jawa tulen ini tertarik pada hal yang berkenaan dengan psike, studi memahami bagaimana manusia memahami dirinya, melalui “yang lain”, dan selanjutnya, berkaitan dengan bagaimana diri berkembang seiring dengan proses pembudayaan.

Sepintas karya-karya Agni sebagian besar menunjukkan corak surreal, namun apabila kita melihat lebih dekat, karya-karya ini lahir dari minatnya pada seni yang bisa mengeluarkan kekuatan ‘teror’, suasana ‘horor’, dengan cara ganjil, namun sekaligus padat dengan humor-satire. Ekspresionisme jenis ini mengingatkan kita pada gaya ekspresionisme Jerman yang berkembang sebelum masa Perang Dunia Pertama, sebuah aliran yang mengeksplorasi kekuatan bahasa visual horor. Efek horrorisme ini memiliki kekuatannya sendiri, melintasi bidang, tidak hanya seni rupa, namun, arsitektur hingga film. Tim Burton, sutradara terkenal yang dikenal dengan film-filmnya yang ‘gothic’ juga disebut terpengaruh oleh ekspresionsime Jerman ini.

Sebagai sebuah gaya yang memikat banyak kalangan dan generasi, ekspresionisme Jerman ini sebaiknya kita alihkan untuk mengenal kekhasan karya-karya Agni yang dalam pembacaan saya perlu diletakkan dalam konteks sejarah seninya disini. Sebagai individu yang besar di Yogyakarta, dimana surealisme matang dikota ini, corak karya Agni bisa kita kaitkan dengan perkembangan lanjut dari surealisme Jogja dengan gejala yang berbeda. Corak penggambarannya berbeda dengan pengalaman sureal Ivan Sagito, Lucia Hartini, misalnya, namun sebagai perbandingan bisa kita lihat pada karya novelistik Wara Anindyah, Sekar Jatiningrum dan Ayu Arista Murti, misalnya.  Apa yang ditempuh oleh Agni menunjukkan eksplorasi yang memungkinkan dirinya bermain dengan simbol-simbol imajiner. Warna-warna karyanya bukanlah monokromatik seperti karya-karya ekspresionisme Jerman, namun meriah dengan warna ‘pucat’, dalam arti sebagai warna psikologis. Lihat pada karya “Madre” misalnya, warna-warna dalamnya Ia tampilkan dengan memperlihatkan raut-raut wajah yang menampilkan komposisi urat yang artistic. Selain wajah bisa menjadi sebongkah otak dengan tekstur daun, tampak gestur tangan yang mengundang teka-teki: menujukkan petanda apakah itu?

Pada “The Magic Box”, kita bisa melihat mata yang berubah menjadi beludru lembut pada semua perempuan dengan gaun klasik itu. Agni mengakui ia seperti membuat film atas karya-karyanya. Subyek dan objek-objek pada karyanya ditata dengan kesan filmis, dan ini menolongnya untuk mencapai efek-efek dramatis pada tiap lukisannya. Pada karya ini kita tidak sedang melihat suatu penggambarkan realisme, yakni ekspresi yang merekam objek apa adanya, namun Agni melalukan personifikasi atas subyek dan objek itu sebagai distorsi atas realisme, ini khas praktik surealisme: penggambarannya tidak menunjukkan objek langsung, namun diungkapkan secara simbolik, semacam pengalaman apokaliptik Agni atas imajinasi yang ia lihat, dan ia rasakan tentu saja, fase dimana ia memahami antagonisme sebagai sesuatu yang nyata.

Tepat pada itu, Agni ingin mengelola pengalaman kediriannya:  diantara bawah sadar dan sadar, antara dorongan untuk mengelola kepingan pengalaman menyenangkan, traumatis, dan sekalig keinginannya untuk keluar dari mozaik potongan-potongan memori dan kemudian menuju ke masa depan. Dengan cara apa Agni mengelolanya, dan seperti apa masa depan yang Ia bayangkan? Pada “The Vision”: tangan perempuan itu berjumlah empat, malaju diatas perahu dengan ombak kuat, sosok sentral bermata beludru lembut itu tersenyum dengan dua bongkah bulatan: yang satu tangan mengangkat objek keatas, satu lagi didekapnya dengan tersenyum, dua perempuan menyerah pada kakinya sementara perempuan lain melesat dengan kapal kertas. Semua sosok dalam lukisan ini tampil dengan gestur enigmatik dengan atribut-atributnya yang ganjil. Jika penghayatan atas karya ini berhasil maka kita bisa masuk kedalam “vision” Agni.

“Beautiful Storm” adalah satu karyanya yang tampil dengan pola abstrak. Pada pucuk-pucuk badai itu muncul figur laki-laki dengan raut misterius: matanya tidak berbeludru, Agni menyebutnya sebagai sebuah badai cantik, ini tentu sebuah antagonisme. Pada pengertian normatif, badai adalah sebab alam yang bisa memorak-porandakan apa saja, namun Agni memaknainya sebagai produk alam yang cantik. Badai disitu bisa berarti gelora untuk hidup dengan suka, dan duka, dengan manis dan pahit, dengan utopianya, sekaligus distopianya, antagonisme yang tak terelak oleh sebab hidup memang adalah cermin yang retak, dan manusia selalu memiliki ilusi untuk menyatukannya kembali, merindukan masa aku dan ibuku menyatu dengan menyenangkan tanpa kehadiran sang-Ayah, sang realitas.

Karya-karya Agni bisa ditempatkan sebagai sebuah parade kisah-kisah hidupnya yang bertemali satu dengan lainnya. Karya-karyanya bisa menjadi jalan psikoanalitiknya, Ia leluasa mengungkapkan berbagai hal yang Ia alami, rasakan, dengan segala benturan, paksaan, dan hukum-hukum kenyataan. Karya-karyanya menjadi sebuah ruang percakapan antara aku yang berhasrat dengan aku yang harus tunduk pada prinsip-prinsip realitas. Dalam tautannya dengan pengalaman psiko-sosial kita, pengalaman psikoanalitik Agni bisa berarti sebuah jeritan atas persoalan psiko-sosial kita: tidakkah kita juga bagian dari antagonisme ini ditengah pertarungan abadi atas cara bagaimana seharusnya masyarakat dibentuk: yaitu dorongan menyatukan masyarakat kedalam satu ide saja, satu imajinasi, dimana ini asimetris dengan kenyataan bahwa masyarakat justru terbangun secara alami lewat antagonisme-anatagonismenya.

 

Yogyakarta, 20 Februari 2017

 

A.Sudjud Dartanto

Bumbon #2

bumbon 2

Sebagian besar roda kebudayaan digerakkan dari dapur. Urusan perut, bukan semata soal bertahan hidup. Api yang menyala di dapur, menggelindingkan peradaban manusia menjadi makin dinamis dan kompleks. Dengan demikian, disadari atau tidak, tangan-tangan yang bekerja di dapur, yang kerap kita semati sebagai wilayah ‘domestik’ perempuan, sejatinya menjadi pusat-tak-kasat-mata yang menggeret dunia.

Di wilayah yang paling dasar, dapur adalah tungku ekonomi-politik yang membara. Orang berbaku bunuh, saling ingin menguasai, menjajah, dimulai dari keinginan purba untuk mencoba memberi jaminan bahwa esok mereka masih punya masa depan. Masih punya tandon makanan. Dan di tingkat yang lebih renik, dapur adalah pusat seni: permainan rasa, atraksi pengolahan, eksperimen racikan, dan sekian deret ketrampilan yang penuh daya sebagaimana seni bekerja.

Salah satu yang menarik, adalah pemberian bumbu dalam makanan. Semua diperhitungkan, diuji coba, disebarkan, mendapatkan sentuhan-sentuhan baru, dan seterusnya. Tapi nyaris tidak ada timbangan di sana untuk memastikan rasa yang hendak disajikan. Bumbu-bumbu dicawuk, digenggam, dijumput, dengan takaran yang dirasa pas. Dicicip. Ada yang kurang, ditambah. Bumbu-bumbu dikerat, dipotong, digerus, diulek, dengan kepekaan yang tinggi tanpa harus dirinci. Begitu renik tapi tak terlihat rumit. Adonan dan komposisi yang sebetulnya ruwet tapi bisa disederhanakan.

Dengan dasar seperti itulah pameran Bumbon ini dihelat. Karya seni bukan lagi disikapi semata sebagai sebuah karya yang memang dikerjakan dengan waktu yang khusus. Para kreator perempuan ini menyadari betul bahwa karya seni mereka tidak bisa dilepaskan dari kegiatan sehari-hari: merawat anak, memperhatikan keluarga, mengurus urusan domestik yang lain. Dan apakah seni semacam ini dianggap sebagai kegiatan ‘sambil lalu’ atau justru sebaliknya?

Apakah seni mengharuskan konsentrasi khusus, waktu-waktu yang istimewa, luang, tenang. Sehingga setiap karya bisa digarap dengan baik. Atau justru sebaliknya, ketika mereka harus pintar membagi waktu, mencari celah waktu, justru karya itu menemukan kekuatannya?

Saya memilih yang terakhir. Karena secara psikologis, tempaan rutinitas sehari-hari menghasilkan endapan dan lapisan estetika, yang akan bisa dieksekusi dengan baik justru dalam situasi yang serba ‘terbatas’.

Sehingga ketrampilan memberi bumbu di masakan, termanifestasi dengan baik di karya-karya mereka. Keterbatasan waktu, justru menjelma menjadi kekuatan sebagaimana masakan tetap lezat tanpa harus dikerjakan dengan waktu yang lama. Segala yang terbatas di proses kreatif, justru bukan merupakan kekurangan dan hambatan, melainkan menjadi kelebihan dan kekuatan pameran ini.

Ketika hidangan siap santap, semua perhatian tersedot pada sajian yang ada di atas meja. Semua fokus pada rasa masakan. Hingga kerap lupa pada apa yang sebelumnya bergemuruh dan menyala dari dapur: bertarung dengan bahan makanan, bumbon, dan waktu.

Apa yang Anda nikmati di ruang pajang ini, tak akan bisa menghapus jejak bahwa ketika karya-karya tersebut sedang dibuat, prosesnya itu sendiri sudah merupakan seni sehari-hari. Selamat menikmati.

Puthut E.A

Be(coming) Home Pameran Tunggal Koniherawati

unnamed

Be(coming) Home

Pameran Tunggal Koniherawati

 

Ada sepenggal dialog yang masih saya ingat persis dalam perjumpaan dengan Koniherawati sekian waktu lalu di sebuah kafe.

“Apa yang menjadi obsesimu akhir-akhir ini?” tanya saya.

“Rumah,” jawabnya singkat.

Cukup lama sesudah itu saya tidak berjumpa dengan Koni. Akan tetapi, berapa bulan kemudian saya sungguh beruntung menjadi salah seorang saksi pertama atas serangkaian karyanya—sebagian berupa lukisan kolase, sebagian lain karya terakota dan stoneware—yang menghadirkan makna-makna tentang rumah sebagai proses yang plural, bukan sebuah objek yang selesai. Itulah sebabnya, saya kira, mengapa pameran tunggal Koniherawati sekali ini dapat dirumuskan dengan baik memakai kata kerja yang polisemis: (be)coming – becoming yang sekaligus coming home.

Peluang tafsir paling awal atas karya-karya Koni dapat dirujuk pada proses menjadi (becoming) itu sendiri, yakni bagaimana tanda-tanda (qualisigns, menyitir Charles Peirce) yang sebelumnya masih ngendon di dalam benaknya, masih sebagai obsesi, kini merupa (menjadi rupa). Strategi merupa (visualizing strategies, pinjam istilah dari Nicholas Mirzoeff) yang ditempuh Koni pun ternyata tidaklah singular, baik dalam penjelajahan material maupun metodis. Penjelajahan material pada terakota dan stoneware memang sudah merupakan ciri pembedanya sampai sejauh ini, namun bagaimana dengan kolase tekstil di atas kanvas? Diksi material (kain-kain perca brokat, batik, bordir, renda…) yang feminin ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Koni sendiri tentang rumah sebagai kategori kultural yang ber-gender (gendered category), “[…] fungsi rumah itu mirip sekali seperti seorang ibu (perempuan) dalam memberi perlindungan pada sesuatu yang “rapuh” (mudah pecah) atau melindungi bayi yang lemah.” Tentu saja, di satu sisi, diksi material ini dapat membawa implikasi pada metode (baca: proses pen-jadi-an) yang cenderung feminin juga, entah dengan menempel, menjahit, merajut, menghias, bahkan mengadon tanah liat dan air; namun, di sisi lain, makna-makna hegemonis tentang pembangunan rumah yang telanjur male-oriented barangkali masih bertahan secara diam-diam.

Di sinilah karya-karya Koni tampak asyik bermain dengan ambivalensi makna, yang dalam pengamatan saya seakan-akan sedang bernegosiasi lagi dan lagi dengan sajak “Rumah” dari Mendiang Darmanto Jatman:

Rumah itu Omah

Omah itu Om dan Mah

Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang,

bersifat jantan

Mah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya tanah, 

bersifat betina.

Langkah penafsiran selanjutnya atas karya-karya Koni dapat ditelusuri dari implikasi gagasan tentang pulang (coming home) itu sendiri. Kita tahu bahwa hanya mereka yang (sudah) memiliki rumah sajalah yang bisa berpamitan pulang. Apakah lema pulang terdapat di dalam kamus para gelandangan, para burung yang tak (lagi) memiliki sarang? Dalam dunia kontemporer yang disebut oleh Arjun Appadurai sebagai ethnoscape—yakni ruang-ruang migrasi tanpa jalan pulang, yang tak lagi mengenal kata pulang, apakah ide tentang tanah dan air yang feminin (motherland atau homeland) tak lagi bermakna? Bagaimanakah kita, kaum migran yang serupa angin atau gelombang menggelandang ini, bisa kembali merasakan at home atau kerasan di dalam suatu dunia transisional tanpa tepi? Agaknya proses pulang pun merupakan proses yang tiada pernah rampung, yakni sebagai proses migrasi yang terus-menerus. Proses coming home adalah sebuah kepulangan yang metaforis: pencarian atas ruang-ruang baru yang di situlah barangkali kita masih bisa merasakan makna-makna home lagi, meskipun niscaya sementara. Nah, di hadapan serangkaian “bingkai virtual” yang disajikan oleh Koni dalam pamerannya kini, apakah kita selalu sudah menjadi bagian dari komunitas kembara imajiner yang tidak lagi berhasrat akan huma (home) sehingga tiada lagi merindukan kepulangan?

Katakanlah, wahai katakanlah

Di mana angin bersarang

Gelombang tidur

Awan melepaskan penatnya

Dan hari melepaskan diri? – demikian tanya seekor Darmanto Jt.

____________________

 Kris Budiman

Seorang penulis dan pengajar di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

 

 

Diskomviust

15202699_10207464855287178_2268588549646714591_n

Pendidikan Seni Rupa

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.

Present

DISKOMVIUST

1-3 Desember 2016

Sangkring Art Project

Environmental Graphic Design

Logo

Public Service Announcements

Opening

Rabu 1 Desember 2016 | 10.00 wib

Appreciaton Designs

Sabtu 3 Desember 2016 | 09.00 wib

Creative Sharing

Sabtu 3 Desember 2016 | 13.00 wib

Farid Stevy Asta (dalam konfirmasi)

Kadek Primayudi

Nugroho Siswanto

Everythink, Urban Art Exhibiton

Bentuk selebrasi dari sebuah proses kekaryaan seniman bisa macam-macam bentuknya. Salah satunya adalah membuat pameran yang mengambil titik temu mendasar yang bisa merangkul berbagai prinsip, teknik, maupun medium yang biasa digunakan. Berawal dari pertemuan akrab di jeda kerja-kerja seni industrialis yang menciptakan subkultur di kawasan urban, Everythink terbentuk. Sebagai sebuah kolektif, sekaligus judul pameran perdana mereka. Pameran bertajuk Everythink, Collective Art Exhibition ini akan diadakan pada 18-25 November 2016 di Sangkring Art Project, Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta.

Everythink merangkul 9 seniman muda yang sebelumnya bergerak di berbagai bidang sub culture seperti musik, skate, skate, BMX, street art, crafter, desain grafis dan tato. Mereka adalah Artz, Asgra, Blackface13, Esa Adi, Fajar Abadi, Nandi Yoga, Pofobag, R Fajar, dan Silencer8. Sepak terjang mereka biisa ditrack lewat berbagai ilustrasi produk seperti cover album, kaos, tato, sampai grafiti di jalan. Pameran ini ditulis oleh Huhum Hambilly, selaku pegiat dan pengamat subkultur.

Keberagaman medium dan teknik mereka ini disatukan dalam kerangka ‘pameran drawing’. Sebuah praktik yang menyublim dalam keberagaman kekaryaan mereka. ‘Every’ dalam tajuk pameran ini digunakan sebagai representasi keberagaman yang mereka usung, sementara ‘Think’ yang digubah dari ‘Thing’ menyatakan bentuk, yang kemudian memasukkan ‘Ink’ yang merupakan medium pokok dalam karya-karya pameran ini.

Malam pembukaan pameran Everythink akan dimeriahkan oleh beberapa penampil, yaitu Syarif Hidayatullah, Half Eleven PM, Stanizters dan Cut of Depth. Selama pameran berlangsung, Everythink juga akan hadir dalam berbagai bentuk kegiatan. Seperti Workshop Drawing and Typography yang akan diisi oleh peserta pameran, Workshop Patch-making oleh Esa Adi dan Aswina Gunari, Workshop Tattoo oleh Nandi Yoga (Mangsi Tattoo), dan Screening & Discussion yang akan memutar Bless This Mess dan Penyintas Tato dengan beberapa pembicara ciamik. Sampai kemudian malam penutupan pameran ini akan dipungkasi oleh pidato urban yang mencoba mengulas jalannya pameran Everythink ini, disertai oleh penampilan musik kembali oleh Gie, Afapika, dan Jeraharu.

EVERYTHINK
Collective Art Exhibition

18-25 November 2016
Sangkring Art Project
Jl. Nitiprayan no.88, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta

Pameran:
ARTZ – ASGRA5 – BLACKFACE13 – ESA ADI – FAJAR ABADI – NANDI YOGA – POFOBAG – R FAJAR – SILINCER8

Penulis:
HUHUM HAMBILLY

Dibuka:
ARSITA PINANDITA

MC:
KUKUH & ICHIDILAGA

Musik:
SYARIF HIDAYATULLAH
HALF ELEVEN PM
DJ EYESKUNK
DJ GUNSKY
STANIZTERS
CUT OFF DEPTH

Program
Workshop Drawing & Typography
With: Everythink Artist
At Sangkring, 20 November 2016

Workshop Tattoo
At Sangkring, 22 November 2016
With: Nandi Yoga & Asgra5

Workshop Hardboard Cut Patch
With: Esa Adi & Aswin Gunari
At Yogyatourium, 24 November 2016

Screening and Discussion:
Documenter film: Bless This Mess & Penyintas Tato
With: Panca Dz
At Sangkring, 22 November 2016

More info: www.instagram.com/everyth.ink

Sponsor:
More Vapor | Mangsi Tattoo | Niat Jahat | Bad Bird Artwear | Squad Store | Enslaved | Soldierside | Strike | Diosdela Muertos | Rillingen | Souldado | Kimber | Laras Catering | Wadezig| Mouton | Fiftyfovr | Frogstone | Deadbeat | Wilddrop | Did More Sucks Studio

Production Partner:
Colorize Photography, Hitam Graphic, Zhufu Sound System

Program Partner:
Yogyatourium | Indonesian Subculture | Magic Ink | Toxic Tattoo Park | Mangsi Tattoo Studio

Media Partner:
Penahitam Arts | Magic Ink | Indonesian Street Art Database | Weldgod Magz | Warning Magz | Kind Magz | Majalah Sarasvati | Kanal Tigapuluh | Blurg | We Need More Stages | Pamit Yang2an | Ngadem.com

Organized:
SangkringArt X Everythink

PERUPA MUDA 2016 @Bale Banjar Sangkring

Pameran: Perupa Muda 2016
Oleh: Kelompok Perupa Muda
Penulis: Yuswantoro Adi
Pembukaan: Minggu, 11Desember 2016
Di buka oleh: Heri Dono
Pameran berlangsung : 11 September – 11 Oktober 2016

Perupa(masih)Muda yang(sudah)Berjuang

Umur berapakah disebut muda? Sebelum menjawab pertanyaan itu, pastikan terlebih dahulu; muda bagi siapa. Atau lebih tepatnya untuk profesi apa. Karena seseorang baru berumur 20 tahun sudah dianggap terlalu uzur jika ia atlit senam. Bagi pemain sepakbola, umur 30 sudah termasuk tua. Secara umum, usia 35 tahun adalah waktunya pensiun bagi atlit/olahragawan. Namun di usia 35 yang sama, akan terlihat belia apabila engkau berhasil menjadi pengusaha. Bahkan ketika 40 tahun sekalipun masih dikatakan sebagai muda jika sampeyan adalah pejabat publik atau berada dalam lingkaran kekuasaan politik. Barangkali untuk jabatan presiden, ketua partai, guru besar, rektor, menyandang gelar maestro atau empu ketika umurmu 45 tahun adalah muda!

Untuk seorang perupa, kisaran usia 20 hingga 30 tahun sangat layak disebut sebagai muda. Dengan asumsi di rentang usia itulah seseorang memulai sekaligus meniti karirnya sebagai perupa. Mereka bisa jadi masih kuliah atau belum terlalu lama lulus kuliah senirupa. Dan umumnya (maaf) jarang di usia itu sudah jadi perupa yang benar-benar jadi. Pun kalau ada jumlahnya tidak seberapa. Kesenian, terutama senirupa selalu membutuhkan proses dan masa inkubasi yang cukup untuk mematangkannya. Maka pameran istimewa ini hanya boleh diikuti oleh perupa berumur 20 hingga 30 tahun saja –meski ada satu atau dua nama yang usianya kelebihan satu atau dua tahun— dirancang sebagai perayaan proses tersebut di atas.

Pada mulanya ada sejumlah nama yang diminta oleh Bale Banjar Sangkring untuk menginisiasi pameran ini. Selanjutnya kelompok ini menamakan dirinya “Perupa Muda” dan memakai simbol tunas kelapa Praja Muda Karana (Pramuka) sebagai logonya. Perjuangan mereka dimulai dengan membuka kesempatan kepada perupa sebaya lainnya untuk bergabung melalui pengajuan aplikasi. Terdapat 99 nama yang berminat. Terpilih 26 nama saja melalui seleksi ketat. Saya ikut terlibat dalam pemilihan itu. Ditambah 20 yang sudah diseleksi secara internal sebelumnya, sehingga jumlah keseluruhan peserta adalah 46 perupa muda.

Dan lihatlah betapa para perupa tersebut mampu menghasilkan karya yang menjanjikan. Sebut saja Deki Hediana dengan menggunakan teknik wood cut menampilkan kesederhanaan visual namun sangat memikat. Menyerupai goresan tinta cina yang ditorehkan oleh seorang virtuoso. Perhatikan pula Dery Pratama yang menunjukkan bahwa plat nomor kendaraanpun bisa sedemikian artistiknya. Lihatlah karya Putu Adi Suanjaya, ia merayu kita untuk selalu tersenyum ceria meski dalam keterhimpitan. Lain halnya dengan Ngakan Putu Agus Arta Wijaya; hal yang seharusnya mengerikan menjadi amat lucu dan bikin terbahak-bahak. Bagaimana tidak, dengan gaya melukis setengah surrealisme dicampur sedikit karikatural dilengkapi khasanah fabel, ia meramu peperangan nan sungguh jenaka.

Janur Kilat Ayu Utami adalah nama yang bagus. Beruntunglah karyanya sebagus namanya. Menggunakan media kayu dan benang menghasilkan objek yang tidak bisa dikatakan sebagai boneka semata melainkan komposisi artefak kesenirupaan yang indah. Visual sama menariknya dapat kita temui di sepasang tas cantik bikinan Sandat Wangi. Bahkan kecantikan bisa mewujud di bentukan wayang dan gunungan yang dibuat oleh Vina Puspita. Triana Nurmaria bukan perupa perempuan yang menghasilkan karya teridentifikasi sebagai cantik. Sebaliknya lukisannya cenderung ekspresif ke arah abstraksi. Namun jika mau sedikit teliti, akan Anda temui beberapa figur tersembunyi di dalamnya. Ini unik sekaligus segar.

Ketelitian dan kesabaran tinggi pasti dimiliki oleh Adek Dimas Ajisaka sehingga berhasil menciptakan sebuah karya senirupa baru di atas selembar daun yang luar biasa. Tentu ia bukan satu-satunya, masih banyak perupa lainnya juga luar biasa, teliti, sabar, unik, segar, bagus, menarik, cantik, indah, artistik dan aneka hal terpuji lainnya di pameran ini. Namun karena keterbatasan halaman, ijinkanlah saya untuk menutup tulisan ini dengan sebuah sesanti; “ Wahai Perupa Muda, Di Tanganmu Masa Depan Senirupa Indonesia Kami Titipkan. Selamat Berjuang. Selamat Beribadah Berkesenian!”

 

Yuswantoro Adi

Pelukis tinggal di Yogyakarta

 

LOREM IPSUM: SISYPHUS AND THE STONE @Sangkring Art Project

Pameran: LOREM IPSUM: SISYPHUS AND THE STONE
Oleh: Bibiana lee (Jakarta), Daniel Rudy Haryanto (Jakarta), Dedy Sufriadi (Yogyakarta), Dedy Shofianto     (Yogyakarta), Franziska Fennert (Yogyakarta), Ida Bagus Putu Purwa (Bali), Ismanto Wahyudi (Yogyakarta), Joko ‘Gundul’ Sulistiono (Yogyakarta), M.A. Roziq (Yogyakarta), Safrie Effendi (Jakarta), Suharmanto (Yogyakarta), Wayan Paramartha (Bali)
Penulis: Dedi Yuniarto
Pembukaan: Kamis, 16 Juni 2016
Di buka Oleh: Ronnie S. Haryanto
Pameran berlangsung : 16 Juni – 19 Juli 2016

 

“LOREM IPSUM: Sisyphus and the Stone”

“Tidak ada yang menyukai kepedihan, yang mencarinya dan ingin merasakannya, semata karena pedih rasanya…”

— Marcus Tullius Cicero

         LOREM IPSUM terlanjur dikenal sebagai teks standar yang berfungsi sebagai demostrator elemen grafis atau presentasi visual seperti menyangkut font, typografi serta tata letak. Ia telah menjadi standar contoh teks sejak tahun 1500-an, saat seorang tukang cetak tak dikenal mengambil sebuah kumpulan teks dan mengacaknya untuk menjadi buku contoh huruf. Sementara maksud penggunaan lorem ipsum itu sendiri agar pengamat tidak terlalu berkonsentrasi kepada arti harfiah per-kalimat, melainkan lebih kepada elemen teks serta desain (dummy) yang hendak dipresentasikan.

         Lorem ipsum berakar dari sebuah naskah sastra latin klasik yang ditulis sekitar era 45 SM. Ia berasal dari bagian naskah berjudul “de Finibus Bonorum et Malorum” atau “Sisi Ekstrim dari Kebaikan dan Kejahatan” sebuah karya Marcus Tullius Cicero. Karya sastra ini merupakan risalah dari teori etika yang sangat terkenal pada masa Renaissance. Pada bagian akhir naskah tercantum paragraf yang berbunyi sebagai berikut:

“Neque porro quisquam est, qui dolorem ipsum, quia dolor sit, amet, consectetur, adipisci velit, sed quia non numquam eius modi tempora incidunt, ut labore et dolore magnam aliquam quaerat voluptatem. Ut enim ad minima veniam, quis nostrum exercitationem ullam corporis suscipit laboriosam, nisi ut aliquid ex ea commodi consequatur? Quis autem vel eum iure reprehenderit, qui in ea voluptate velit esse, quam nihil molestiae consequatur, vel illum, qui dolorem eum fugiat, quo voluptas nulla pariatur?”

 

Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia adalah sbb:

“Demikian pula, tidak adakah orang yang mencintai atau mengejar atau ingin mengalami penderitaan, bukan semata-mata karena penderitaan itu sendiri, tetapi karena sesekali terjadi keadaan di mana susah-payah dan penderitaan dapat memberikan kepadanya kesenangan yang besar. Sebagai contoh sederhana, siapakah di antara kita yang pernah melakukan pekerjaan fisik yang berat, selain untuk memperoleh manfaat daripadanya? Tetapi siapakah yang berhak untuk mencari kesalahan pada diri orang yang memilih untuk menikmati kesenangan yang tidak menimbulkan akibat-akibat yang mengganggu, atau orang yang menghindari penderitaan yang tidak menghasilkan kesenangan?”

         Sebagaimana makna naskah Cicero di atas, bisa jadi dunia manusia digambarkan sebagai dunia Sisifus yang dikutuk oleh Dewa Zeus untuk menggendong sebongkah batu berat ke atas puncak gunung, dan tiap kali sampai di puncak, batu itu digelindingkannya kembali ke dasar. Diangkatnya batu ke puncak, dan digelindingkannya kembali. Demikian selama-lamanya. Namun perbuatan yang berulang-ulang itu kian lama justru menumbuhkan semacam hubungan imbal-balik antara Sisifus dengan batu yang digendongnya. Wajah dan seluruh otot-otot tubuhnya yang seraya bekerja keras dan begitu dekat dengan batu itu, perlahan-lahan berubah menjadi sekeras benda yang digendongnya. Sisifus bahkan lebih keras ketimbang batu karang.

         Penderitaan bukanlah lagi semata-mata sebagai ‘beban’ manakala kita berhasil mengabstraksikannya ke dalam alam pikiran sebagai ‘proses’ dari kehidupan. Situasi-situasi tidak ideal bisa menjadi bahan bakar untuk terus kreatif. Penderitaan dan kebahagiaan tidak berdiri sendiri, ia adalah dua kutub aksi dan reaksi yang timbul tenggelam di tengah luasnya samudera abstraksi pikiran-pikiran manusia. Penting artinya untuk berkembang menjadi pribadi yang kuat di tengah-tengah lingkungan yang tidak ideal. Demikian halnya sebagai seniman yang seringkali berada di tengah situasi dunia seni rupa yang melulu tidak ideal.

         Tema pameran yang diangkat kali ini masih memiliki korelasi dengan pameran Jago Tarung Yogyakarta sebelumnya“And the Cocks are Still Fighting” di Syang Art Space, Magelang, tahun 2012 yang lalu. Dimana maksud utamanya adalah menyemangati spirit kreativitas seniman-seniman independent untuk terus kreatif menerabas keterbatasan-keterbatasan dan menjaga profesionalitas kerjanya. Pameran ini sekaligus sebagai perayaan hari jadi Jago Tarung Yogyakarta yang ke-6.