Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-4,page-paged-4,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Yogya Annual Art #6 – TRANSboundaries

Yogya Annual Art #6 (2021)

TRANSBOUNDARIES

 

 

Setahun lebih kita berada dalam alir-pusaran pandemik (“Circular Flow,” Triana Nurmaria). Mungkin kini saatnya kita refleksikan bagaimana pembatasan sosial diterapkan, terutama demi kehidupan yang lebih sehat (“Come On Live Healthier,” Joni Ramlan). Pembatasan ini ditujukan ke dalam diri dan interaksi sehari-hari sehingga pelan-pelan kita mulai beradaptasi. Para (maha)siswa, misalnya, harus “belajar di/dari rumah” (Raka Hadi Permadi). Menjaga jarak, meminimalkan tatap-muka, menjalani demobilisasi (Alit Ambara). Pada mulanya memang terasa janggal, namun lama-kelamaan terjadi pembiasaan, internalisasi, sekaligus juga pembangkangan diam-diam. Penetapan batas-batas yang relatif cair ini tidak jarang dinegosiasi, namun pilihan di tangan masing-masing. “Choose Now!” (Burhanudin Reihan Afnan). Di samping itu, sebagai suatu struktur, masyarakat memang niscaya dapat berjalan dan bertahan melalui sekian batas-batas sosial. Batas-batas ini memungkinkan individu merasa, dalam ungkapan Jawa, “empan-papan” (tahu menempatkan diri). Menyadari posisi di tengah masyarakat. Batas sosial yang paling struktural tentu kelas dan golongan. Kita menempatkan diri dalam kesadaran tentang posisi di dalam hierarki sosial. Dari pembedaan batas ini, misalnya, dapat kita kenali golongan/kelas sosial tertentu dan identitas-diri (A.T. Sitompul, “Be Somebody”). Batas-batas lainnya lebih kultural, semisal etnisitas, keagamaan, dan kebahasaan. Meski penanda batas ini mulur-mungkret, bukan berarti tidak genting. Ambil contoh penebalan batas identitas keagamaan. Kecenderungan ini kian ketara, sejak dari wajah intoleran keseharian hingga radikalisme yang gampang meletup.

 

Yogya Annual Art #6 2021, termasuk dua special projects oleh Made Wianta (1949-2020) dan Nyoman Nuarta, masih berhadapan dengan kondisi tersebut. Kita masih berada di dalam konteks sosiologis dan kultural yang sama, bukan saja sebagai “Hot News” (Hono Sun), melainkan juga “The Great Silence” (Fika Khoirun Nisa) yang berpotensi horor, mengancam. Sebab, di satu sisi, kita menyadari belum sepenuhnya terbebas dari kekangan wabah. Kita masih berupaya, dengan sabar dan tabah, mengentaskan diri dari kondisi pandemik beserta segenap pembatasannya itu. Di sisi lain, kita juga mengalami dan mengamati gejala penebalan batas-batas sosial tertentu yang berpotensi sebagai kendala dan ancaman bagi perubahan kultural dan sosial, dinamika kehidupan berbangsa, ke arah yang diharapkan lebih baik. Dengan latar belakang ini dapat dicermati karya 86 perupa dalam menyikapi upaya penetapan batas-batas sosial, negosiasi, dan pelintasan-pelintasan terhadapnya. Bersama dengan seluruh perupa yang berpartisipasi dalam YAA #6 ini, semoga kita dapat membaca secara lebih kritis arah-arah peralihan, kemungkinan perubahan, menafsir lintasan-lintasan dunia pasca-pandemik yang “Tak Terhingga” (Laila Tifah). Mari kita bangkit dan bertindak (“Resurraction”)! Seperti afirmasi Natalini Widhiasi melalui wall project-nya.

 

—-

We have been in a pandemic “Circular Flow” (Triana Nurmaria) for more than a year. Maybe now it is the time for us to reflect on how social restrictions are implemented, especially for a healthier life (“Come On Live Healthier,” Joni Ramlan). These restrictions are aimed at ourselves and daily interactions so that we slowly begin to adapt. The students, for example, have to “study at/from home” (Raka Hadi Permadi). To maintain distance, to minimize face-to-face contact, demobilized (Alit Ambara). At first it felt strange, but over time there was habituation, internalization, as well as silent disobedience. The determination of these relatively fluid boundaries is often negotiated, but the choice is in our hands. “Choose Now!” (Burhanudin Reihan Afnan). Beside that, society as a structure can indeed last and survive through various social boundaries. These boundaries allow the individual to feel, in Javanese terms, “empan-papan” (knowing one’s place). Be aware of position in society. The most structural social boundaries are of course social class and group. We place ourselves in an awareness of our position in the social hierarchy. From this boundary distinction, for example, we can identify certain social group/class and self-identity (A.T. Sitompul, “Be Somebody”). Other boundaries are more cultural, such as ethnicity, religion, and language. Although these boundary markers are elastic, it does not mean that they are not critical. Take for example the thickening of the boundaries of religious identity. This tendency is becoming more and more obvious, starting from the everyday look of intolerance to radicalism that easily explodes.

 

Yogya Annual Art #6 2021, including two special projects by Made Wianta (1949-2020) and Nyoman Nuarta, is still dealing with this condition. We are still in the same sociological and cultural context, not only as “Hot News” (Hono Sun), but also “The Great Silence” (Fika Khoirun Nisa) which has the potential to be horror, threatening. Because, on the one hand, we realize that we are not completely free from the plague. We are still trying, patiently and steadfastly, to rid ourselves of the pandemic condition and all its restrictions. On the other hand, we also experience and observe the phenomena of thickening of certain social boundaries that have the potential as obstacles and threats to cultural and social change, the dynamics of national life, in a direction that is expected to be better. With this background, we can observe the works of 86 artists in responding to efforts to establish social boundaries, negotiations, and crossings over them. Together with all the artists who participated in YAA #6, hopefully we can read more critically the directions of transition, the possibility of change, interpret the trajectories of the “Infinite” (Laila Tifah) post-pandemic world. Let’s get up, resurrect and take action (“Resurraction”)! As affirmed by Natalini Widhiasi through her wall project.

 

Kris Budiman

E-Katalog

(update e-catalog, versi 14 Juli 2021)

Tranceformation – Toto Sugiarto

Artist’s Statement 
Berkarya atau berkesenian adalah merupakan ekspresi artistik, estetika visual yang terinspirasikan oleh moment-moment, berbagai fenomena dan peristiwa dalam kehidupan saya yang mampu memprovokasi dan menyentuh emosi/perasaan saya yang saya ekspresikan ke dalam bentuk dua atau tiga dimensi.

Berkesenian adalah suatu kebutuhan spiritual dan sekaligus merupakan ritual artistik, merupakan ekspresi murni sebagai bentuk manifestasi yang dapat menjaga equilibrium  dalam kehidupan saya.

Adalah juga merupakan sebuah eksplorasi, komunikasi secara spiritual, dan bisa merupakan bentuk respon yang terinspirasikan oleh berbagai pengalaman pribadiku dalam kehidupan.

Becoming Smart City

Blue Chair

Akrilik di Kanvas

2021

Enforce

Akrilik di Kanvas

150 x 150 cm

2021

Enforced Trance Formation

Akrilik di Kanvas

165 x 200 cm

2021

Entrancedhumanism

Patung

Flying Kijing

Akrilik di Kanvas

150 x 380 cm

2021

Freaking News

Akrilik di Kanvas

150 x 200 cm

2021

FREAKING NEWS  

Menggambarkan betapa seringnya mas media menyiarkan kebohongan-kebohongan / propaganda yang besar, terutama mengenai masalah-masalah yang sangat penting yang seharusnya perlu diketahui oleh masayarakat. Tetapi yang sering terjadi adalah yang sebaliknya. Banyak berita yang dimanipulasi oleh para sponsornya media yang punya kepentingan, sehingga akhirnya media  membuat dan menyiarkan berita-berita yang nampaknya berita yang benar, tetapi ternyata hanya “half-truth” karena adanya conflict of interest dari para sponsor maupun dari pemilik dan/manajemennya.

Suasana toilet menggambarkan kualitas rendah news, yang saya digambarkan semacam bau yang keluar dari WC, bau yang tak sedap/tidak punya integritas. Sebagai representasi dari banyaknya kebohonga-kebohongan yang keluar dari mulut mereka / propaganda.

Tangan berdarah oleh dua orang pembaca berita sebagai representasi betapa bahayanya akibat dari fake-news tetapi dikemas sebagai “news”, di mana itu bisa mengubah persepsi masyarakat. Karena kebohangan adalah salah satu bentuk korupsi, maka hal seperti ini bisa mengakibatkan sangat destruktif untuk jangka panjang.

Kesimpulan saya hanyalah untuk menggambarkan betapa telah matinya dunia jurnalisme dari media mainstream karena institusi-institusi mapan tersebut mendapat insentive yang luar biasa besar dari para sponsor mereka, sehingga menghasilkan jurnalisme yang perlu ditempatkan di WC karena tidak layak lagi untuk dikonsumsi oleh masyarakat yang malah dapat menimbulkan penyakit untuk masyarakat.  Media : AOC   Ukuran : 150 x 200  Tahun : 2021

Watch Out For Snake

AOC_

150 x 150 cm

2021

Watch Out For Snake

Akrilik di Kanvas

150 x 150 cm

2021

You Are Grounded, Young Man

Akrilik di Kanvas

150 x 400 cm

2021

Hexagon “Open House” Exhibition

HEXAGON OPEN HOUSE EXHIBITION - Poster full

 

PAMERAN SENI RUPA
HEXAGON “OPEN HOUSE” EXHIBITION

Sebuah perwujudan alam pikiran, ruang gagasan maupun rancangan konsep hasil pengalaman individual setiap seniman.
6 seniman dalam 6 ruang dengan karya dan cara penyampaiannya nya masing-masing memiliki sisi yang beragam bentuknya dan pada akhirnya pameran ini dikembalikan kepada kita semua dalam memaknainya.

Seniman :
@adityachandrah
@butoteror
@laksmishitaresmi
@ma_roziq
@octocornelius
@rudyatche

Penulis :
@aaknurjaman
@adhigium
@arham_rahman
Janu PU
Zarani Risjad

Pembukaan Pameran (Khusus Tamu Undangan ) :
Sabtu, 06 Maret 2021

Pameran Berlangsung :
6 – 20 Maret 2021
11.00 – 17.00 WIB ( Hari Minggu Tutup)

Pameran ini didukung oleh

@krjogjadotcom

@graceartevent

@sangkringart

 

Venue : Bale Banjar Sangkring

 

Katalog,

Belas(an) Kasih Sayang

Belas(an) Kasih Sayang_suka pari suka_pameran exhibition seniman 2021

 

 

Suka Parisuka dalam

“Belas(an) Kasih Sayang” (2021)

  1. Tema ini dipilih dalam kedekatan dengan beberapa konsep yang hadir dalam istilah khusus: “belas kasih”, “kasih sayang”, “belaian kasih sayang”. Masingmasing mempunyai rujukan yang berbeda satu sama lain. “Belas kasih” menunjuk pada keutamaan manusiawi antar sesama manusia. “Kasih sayang” menunjuk pada relasi dalam keluarga yang diikat dalam kedekatan suami – istri, orang tua – anak. “Belaian kasih sayang” menunjuk pada ekspresi fisik, badani sebagai ungkapan kasih sayang. Sepertinya urutannya berjenjang dari “Belas kasih” yang paling abstrak sampai “Belaian kasih sayang” yang sering menjadi kerinduan banyak orang untuk dialami….
  2. Dalam rangkaian pengertian itu, “Belas(an) Kasih Sayang” dapat ditempatkan untuk merujuk pada pengertian dan pengalaman yang saling berdekatan. Pelakunya, belasan perupa. Jadilah satu ungkapan gabungan menjadi  – belas(an) kasih sayang!
  3. Praktik ungkapan belas(an) kasih sayang yang dilakukan oleh para perupa yang tergabung dalam Suka Parisuka, bermula sekitar duabelas (12) tahun lalu. Dimulai dengan aksi melukis bersama dalam mengisi acara pergantian tahun 2008-2009. Perhelatan melukis bersama di Taman Budaya Yogyakarta yang diwarnai Pidato Kebudayaan Garin Nugroho, hasil akhirnya digelar dalam pameran “Seniku Tak Berhenti Lama” (2009). Sejak itu, menggelindinglah roda solidaritas Suka Parisuka.
  4. Mengapa diistilahkan roda solidaritas Suka Parisuka… Bagi para perupa, aktivitas melukis adalah aktivitas yang sangat privat, pribadi, personal, sarat dan penuh konsentrasi tinggi. Sehingga dilakukan di ruang pribadi yang bebas dari gangguan. Kesempatan pergantian tahun baru, hak khusus yang rutin sehari-hari itu ditabrak. Tiap perupa dipaksa membuka diri, melukis di tempat publik yang terbuka. Dipelototi berpasang-pasang mata. Dikomentari bermacam-macam ungkapan. Bahkan hasil goresan kuas yang sudah dibubuhkan di kanvas, ditimpa dan direspon perupa lain. Riuh rendah suasananya saat itu….. Eh, ternyata karya bersama di tempat publik tersebut kemudian dipamerkan. Sejumlah karya yang ada diminati dan dikoleksi oleh beberapa kolektor. Yang mencengangkan, dan tidak diperhitungkan sebelumnya, hasil penjualannya dijadikan modal untuk memberi santunan bagi para seniman. Santunan berupa sejumlah uang diberikan bagi yang berduka karena meninggalnya seorang anggota keluarga, atau kesusahan karena sakit dan membutuhkan perawatan dan pengobatan. Santunannya menjangkau para seniman, tidak terbatas pada perupa, tapi juga seniman lain seni panggung, sastrawan, pelawak, penyanyi. Bahkan alm Gandung yang berprofesi sebagai penarik becak, keluarganya juga memperoleh dana dari solidaritas Suka Parisuka.
  5. Waktu berjalan, sejarah terukir. Belasan kasih sayang para perupa Suka Parisuka telah menyapa tidak kurang dari 218 peristiwa kematian atau derita karena sakit yang dialami keluarga-keluarga seniman.
  6. Tahun lalu, dalam sudah suasana pandemi Covid 19, beberapa perupa senior yakni Bapak Djoko Pekik, Ibu Kartika Affandi, Mas Nasirun, dan Mas Hari Budiono, mendapat kesempatan kunjungan kekeluargaan ke kediaman Ibu Susi Pudjiastuti yang sudah tidak lagi menjabat Menteri Kelauatan dan Perikanan. Dalam suasana angin segar Pangandaran, mereka melukis bersama. Bahkan kemudian juga dihadirkan dalam programa Metro TV, “Susi Cek Ombak”.
  7. Tidak berhenti sampai di situ. Pundi-pundi dana abadi yang bunganya setiap kali digunakan untuk menyantuni solidaritas Suka Parisuka, mendapat kemurahan hati Ibu Susi Pudjiastuti dan jaringannya. Agaknya diketahui bahwa Solidaritas Suka Parisuka sering bersiasat. Bunga bank yang tidak banyak, terpaksa dicukup-cukupkan karena dana solidaritas kematian dan sakit tidak bisa ditunda. Setelah mendapat tambahan dana abadi, semoga tidak perlu lagi bersiasat menunggu bunga bank bulan berikutnya untuk menyantuni pihak yang membutuhkan.
  8. Itulah kisah roda solidaritas Suka Parisuka, yang tidak selalu lancar jaya. Alhamdulillah, 12 tahun sudah terlampaui.
  9. Setahun pandemi Covid 19, tidak menghentikan hasrat dan aksi belas(an) kasih sayang. Pusaran air pandemi Covid 19 yang membawa ke arus dalam kehidupan tidak menenggelamkan atau membunuh hasrat para perupa. Pasar seni boleh sepi. Kehidupan sosial diatur dengan penggunaan masker, kebiasaan mencuci tangan dan kontak perjumpaan yang menjaga jarak. Hidup sehari-hari yang mengencangkan ikat pinggang, dan penuh siasat agar asap dapur tetap bisa mengebul masih dilakoni setiap hari. Pagelaran Suka Parisuka dalam “Belas(an) Kasih Sayang” tetap akan diluncurkan.
  10. Kalau seniman hanya berpikir romantis, ya hanya berhenti pada bayangbayang, tidak pernah mewujud dalam hal konkrit. Tapi karena digerakkan oleh romantisme berpikir, justru inilah yang mendorong akan mewujudkan “Belas(an) Kasih Sayang”

 

 

  1. Seperti juga ada sekelompok orang yang mendendangkan Maskumambang untuk tolak pageblug, tembang yang mengekspresikan suasana hati dalam derita, tapi sekaligus juga menyiratkan pengharapan.

 

Udaning katresnan                 – hujan rahmat cinta

Kang diimpi-impi                   – yang dirindukan

Gya aparing daya                   – serentak memberi kekuatan gesang enggal mring pra jalmi – hidup baru bagi manusia

Siti suci hawa mulya”            – tanah suci, udara mulia.

  1. Semoga!

 

 

E-Catalogue

Yogya Annual Art #5 2020, Hybridity

Katalog YAA #5 Sangkring Art Space

Katalog YAA #5 Sangkring Art Space, Special Project Djaduk Ferianto

Katalog YAA #5 SAngkring Art Project

Katalog YAA #5 Bale Banjar Sangkring


 

[Pameran] Nol

NOL : Pertemuan dan Permulaan

 

Nol, adalah sebuah pameran seni lukis yang digagas oleh tujuh orang perupa yang berdomisili di Yogyakarta. Ketujuh perupa ini adalah Arbi Rangkito, Ary Kris Susanto, Bagus Sadewa, M Syarif Hidayatullah, Nur Aziz, Ramadhyan Putri Pertiwi dan Sidik Ardiansyah. Dalam definisinya, nol adalah salah satu dari bilangan angka yang secara umum dapat dipahami sebagai salah satu nilai kuantitas. Pemaknaan yang dimaksud oleh ke-tujuh perupa ini dengan mangangkat tajuk “Nol” adalah untuk menggambarkan situasi dan kondisi sebelum menggagas pamerannya, dan tidak terlepas juga pengangkatan tajuk tersebut berkaitan dengan salah satu titik di pusat kota Jogja yaitu Nol kilometer, tempat dimana ketujuh perupa ini memulai pertemuannya. Pertemuan inilah yang akhirnya membentuk energi baru bagi mereka dan tanpa disadari saling memberikan support  dan spirit baru dalam berkarya sehingga menggiring pertemanan yang semula biasa saja menjadi lebih dekat melalui jalan berkesenian.

Dalam berkarya, ke-tujuh perupa ini tentu saja memiliki perbedaan baik dari segi teknik, corak maupun gagasan yang dituangkan pada karya. Arbi Putra, dalam berkarya banyak terisnpirasi dari kepolosan dan spontanitas coretan anak-anak. Karya-karyanya mengungkapkan perasaan yang berkelana dengan goresan yang ekspresif. Setiap goresan merupakan visualisasi dari perasaan yang berkelana dari satu emosi ke emosi yang lain. Bagus Sadewa, berkarya dengan menangkap emosi yang ada dalam sebuah lagu. Perasaan serta pengalaman estetik saat mendengarkan lagu atau musik seakan terkontemplasi menjadi pengalaman tersendiri baginya dan dituangkan ke dalam sebuah karya. Ramadhyan Putri berkarya dengan mengambil tema besar irama alam. Momen-momen estetis yang ditangkap melalui indera perasaan memberikan kesan tersendiri baginya dalam memahami kebesaran Sang Pencipta. Syarif Hidayat berbicara tentang kehidupan yang penuh dengan cinta dan kasih sayang dalam karyanya. Eksplorasi emosionalnya tidak sebatas keindahan cinta itu sendiri, tetapi juga termasuk segala akibat dari cinta dan kasih sayang itu sendiri yang menjadi kecenderungannya dalam berkarya. Nur Aziz mengangkat kekakayan alam dalam berkarya. Kekayaan alam yang memberikan banyak manfaat bagi manusia. Ada sedikit yang berbeda dari teman perupa lainnya di kelompok ini, Aziz cenderung mencipta karya dengan eksplorasi media yang terinspirasi dari seni rajut yang memberikan kesan tersendiri pada karyanya. Ary Kris Susanto, menuangkan keresahan dalam karyanya. Baginya, kerusakan alam yang terjadi di kampung halamannya di Dompu, Nusa Tenggara Barat sangat mengkhawatirkan. Abstrak figuratif adalah cara Kris dalam mencurahkan keresahannya terhadap permasalahan alam yang terjadi. Sidik Ardiansyah, tidak jauh berbeda dengan Kris, Sidik mengangkat tema besar tentang kerusakan alam semesta dan kerusakan pada manusia. Eksploitasi besar-besaran yang terjadi secara tidak langsung menunjukan sifat manusia yang serakah. Kekecewaan akan hal itu yang mendorong Sidik dalam berkarya dengan mengabstraksi emosi dari kerusakan yang terjadi.

Sebuah pameran seni rupa tidak mungkin terbentuk begitu saja tanpa didasari sesuatu yang menjadi pemicunya. Secara umum pameran seni rupa bisa dibilang sebagai ajang apresiasi. Begitu pula dengan ketujuh perupa ini yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda serta berasal dari daerah yang berbeda pula dan pada akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah pameran kelompok perdana mereka. Tema “Kami” diangkat dalam pameran ini yang mana memiliki korelasi yang erat dengan tajuknya, yaitu sebagai perkenalan tentang siapa mereka dan faktor apa yang mempengaruhi mereka dalam berkarya. Tema ini diangkat bukan hanya sebagai acuan dalam membentuk keharmonisan kelompok semata, melainkan sebagai sebuah salam perkenalan kepada khalayak seni dan dunia apresiasi serta tentunya sebagai penyampaian dari pemikiran maupun pangalaman estetis berdasarkan latar belakang masing-masing ketujuh perupa yang diwadahi dalam tajuk “Nol” tersebut secara bebas.

 

 

 

[Pameran] Beauty of Art

Sangkring Art Space akan menjadi saksi dari Lima wanita pelukis yang berbeda latar belakang dan pengalaman bersepakat untuk menampilkan apa yang mereka sebut sebagai inner beauty.
Membicarakan – mengeksploitasi dan mengekspresikan serta mengapresiasikeindahan alam, keindahan moral, keindahan seni, keindahan intelektual menjadi sebuah estetika murni bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan energy ekstra untuk mencerap dan melontarkan pengalaman estetis menjadi sebuah karya seni yang jujur pada apresian-nya.
Pengalaman estetis setiap orang berhubungan erat dengan kesehariannya dan segala pemikiran serta aktivitas maupun linkungannya.
Keindahan dalam arti estetika murni, menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya.

Ada pendapat bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat. Keindahan bagi masing-masing orang terkadang apresiasinya tergantung pada pribadi yang bersangkutan sebab sesuatu dapat dikatakan indah namun orang lain menganggapnya tidak indah, demikian pula sebaliknya.
Apresiasi pesona seni tak hanya bagaimana menangkap makna atau pesan yang disampaikan oleh karya seni, akan tetapi lebih jauh lagi adalah menghayati dan mengambil manfaat dari makna yang terserap.

Untuk dapat mengapresiasikan karya seni diperlukan sejumlah perangkat diantaranya adalah kepekaan analisis sintesis dan sensibilitas, intelektualitas, dan moralitas, yang dapat mengukur keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Sumber inspirasi karya seni berada pada keindahan alam dan budaya manusia, sedangkan seni hanya merupakan upaya seniman untuk mengapresiasikan hasil tiruannya.

Immanuel Kant mendefinisikan estetika sebagai kesenangan yang dirasakan pada saat melihat benda, namun tidak berkaitan dengan benda tersebut. Menurut Immanuel Kant estetika hanya sekedar perasaan melihat sesuatu, tanpa adanya karakteristik objektif keindahan pada benda/karya yang disebut berhasil.
Immanuel Kant juga meninjau keindahan dari dua segi, yaitu sebagai berikut.
Subyektif; Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa disaingkutpautkan dengan kegunaan praktis dapat mendatangkan rasa senang.
Obyektif; Keindahan adalah keserasian suatu obyek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh objek tersebut tidak ditinjau dari segi fungsi.

Penganut teori obyektif selalu menempatkan rasa estetis dalam benda yang dinikmatinya, sehingga ada alasan-alasan kenapa seseorang menyukai benda tersebut. Sebaliknya, penganut teori subyektif selalu meletakkan keindahan dalam diri orang yang menikmati benda seni, sehingga ia tidak dapat memberi alasan logis mengapa menyukai suatu benda. Secara umum kita sering menafsirkan keindahan (estetika) itu selalu bernilai seni (artistika). Padahal, pada kenyataannya, tidak semua yang indah itu bernilai seni. Banyak keindahan-keindahan di luar karya seni.

Licu Linggartono, Maria Tiwi, Mona Palma, Pini Fe dan Ulil Gama mengekspresikan semua pengalaman estetisnya ke dalam kanvas dengan garis-gaya-warna tanpa terikat fungsi keindahan.
Apa yang mereka serap dalam keseharian yang didapatkannya dari alam dan bathin ditumpahkannya sepenuh hati ke dalam taferil putih sejujur-jujurnya sehingga mewakili persona masing-masing jiwa pelukisnya. Keindahan alam, keindahan moral, keindahan seni, keindahan intelektual menjadi estetika murni.

Jan Praba
20200221_poster_silvana-OK_low