Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-20,page-paged-20,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

JEDA

JEDA
Oleh Robet Kan dan Nanang W
Pembukaan : 20 Juli – 5 Agustus 2008
Pameran dibuka oleh : Bpk. Ong Hari Wahyu

JEDA dalam derasnya ide-ide
Oleh: Barahasti
Jeda, merupakan waktu berhenti sebentar dari segala hal yang sedang dilakukan, waktu berhenti sebentar membebaskan otak untuk berfikir, waktu berhenti sebentar mengistirahatkan tubuh, waktu berhenti sebentar berbicara merilekskan otot-otot mulut, waktu berhenti sebentar menikmati segala yang ada. Mungkin juga Jeda adalah sebuah refleksi menelaah diri lebih dalam. Jeda, waktu berhenti sebentar dari apapun.
Jeda merupakan Judul puitik yang dipilih oleh dua pematung Robert Kirwanto (Sleman 1979) dan Nanang W (Klaten 1976) untuk pameran seni patungnya kali ini. Jeda untuk sekedar menbicarakan secara visual persoalan personal hingga persoalan sosial, Jeda untuk berenang-renang melawan arus konvensi seni patung, jeda untuk menjumputi gagasan-gagasan yang sering terpinggirkan. Ketika mereka penulis Tanya Kenapa Jeda? Mereka jawab,  “karena paling pas”. Jawaban tersebut menyeret paksa penulis untuk melihat lebih dekat ketika mereka berproses, dari hanya sekedar ngobrol ditemani anggur fermentasi hingga berjalan-jalan keluar studio, dari teh Pugeran sampai ke desa seni Nitiprayan. Bagi Robert dan Nanang yang menyandang fresh graduated dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, saat ini merupakan Jeda, berhenti sebentar setelah menamatkan studi mereka untuk selanjutnya menghadapi dunia nyata. Jeda yang membuat keduanya ingin balas dendam menuangkan deras ide-ide dari otak yang begitu penat tertahan. Dalam berproses, mereka mengaku bahwa siapapun, apapun diluar diri dan otak mereka adalah guru. Guru yang mampu mengajarkan sesuatu. Ketika mereka singgah kestudio-studio perupa, berbincang dengan orang dipinggir jalan atau bertemu sahabat, serta merta mereka mengubah diri menjadi spons yang berusaha sekuat mungkin menyerap ilmu-ilmu dunia. Kemudian memikirkan ulang, mengkolaborasikan paradigma, memaknai  referensi, mengendapkan satu-persatu keliaran ide, saling berbincang kembali, hingga mengeksekusi ide-ide tersebut dalam karya-karya seni patung mereka.
Narasi Karya dalam pameran ini cukup beragam. Namun Jeda dalam derasnya ide-ide, Jeda dalam himpitan waktu, Jeda dalam pertarungan pemikiran, adalah jeda-jeda yang melahirkan hampir keseluruhan Karya Robert dan Nanang W dalam pameran ini. Robert berusaha memvisualkan refleksi, membolak-balikkan figur, menggabungkannya dengan material disekitarnya, mengeksplorasi efek alumuniun, serta menambahkan warna-warna manis. Selain itu, Robert memain-mainkan idiom kata seperti dalam karyanya yang berjudul “Kamu tahu?” kanvas bergambar makanan tahu ia tusuk dengan garpu, secara visual memperlihatkan makanan tahu yang akan dimakan, sedangkan secara linguistik bertanya apakah anda paham akan sesuatu. Pada pameran Jeda ini, Nanang W mengklaim bahwa karya-karyanya yang memang terlahir dari Jeda, (ia mengeksplorasi gelas) tidak mempunyai tendensi untuk memojokkan sesuatu atau seseorang, ataupun memvonis mati Jeda. Namun benar-benar ia ciptakan ketika Jeda merajai waktunya. Pada karyanya yang berjudul “mayoritas diam” Nanang mensekrup gelas-gelas sloki ke papan kayu dengan posisi telungkup yang menggambarkan ke”diam”an. Hanya ada satu gelas yang disekrup dengan posisi normal seperti mau diisi. Memperlihatkan hanya ada satu yang berani menyuarakan pendapatnya.
Kepada Oom Robert dan Oom Nanang, Apapun idiom kata atau bahasa visual yang dipilih. Tetaplah beringas, Lintasi, tembuslah batas-batas jeda yang ada, dan Selamat Berpameran.

* Barahasti seorang kawan dan sahabat yang masih berusaha menyelesaikan Tugas Akhirnya di jurusan seni murni, minat utama seni grafis, Institut Seni Indonesia.

Pameran Kolaborasi Wayang Dalam Dua Pesona

5. Pameran Kolaborasi Wayang Dalam Dua Pesona
Dewasa ini, di sejumlah ruang pergelaran, kita menyaksikan pusparagam bentuk, tema dan gagasan karya seni rupa—yang mungkin dapat kita terjemahkan sebagai pertanda baik akan pertumbuhan dan perkembangan seni rupa Indonesia kontemporer.

Pada kesempatan ini, Sangkring Art Space menggelar pameran kolaborasi art fashion bertajuk “Wayang Dalam Dua Pesona”. Pameran ini mempertemukan dua seniman muda: Hanif ZR dan Yoel Fenin Lambert—yang memiliki latar belakang budaya dan karakter pribadi yang berbeda. Hanif ZR, seorang seniman kelahiran Klaten, Jawa tengah, dan lulusan Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, telah terbiasa atau tidak asing lagi dengan kesenian tradisional wayang, filosofi, dan pakemnya, sejak dari buain ibunya. Sebaliknya, Yoel Fenin Lambert, pemuda berdarah Timor Timur, mulai bersentuhan dengan dunia pewayangan dan tradisi batik, ketika mulai kuliah di ISI Yogyakarta.

Itu sebabnya, karya-karya mereka yang disandingkan dalam pameran ini memiliki bahasa rupa yang berbeda, tetapi saling berinteraksi dalam eksplorasi tematik yang sama.
Fenin Lambert menampilkan karyanya dalam bentuk fashion. Baginya fashion merupakan hasrat yang membangkitkan rasa, temperamen, estetika, gaya, dan fantasi kebudayaan tradisional, seperti batik dan wayang yang mengandung kekayaan representasi untuk disajikan dalam citra fashion yang glamour. Sedangkan Hanif ZR menggagas citra visual wayang dengan menggunakan media instalasi, fotografi, dan video art, sebagai karya adiluhung yang selalu berproses dan berkembang mengikuti kemajuan teknologi masyarakat pendukungnya dan bertahan sebagai tradisi yang membumi dan multidimensional.

Melalui kegiatan pameran ini, kita berharap dapat membangun persepsi baru tentang wayang sebagai warisan budaya leluhur selama berabad-abad yang mengalami perubahan dan perkembangan pencitraan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.

Yogyakarta, 23 Oktober 2007
—Sangkring Art Space