Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-9,page-paged-9,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Art Review | Adu Domba #5: Gugatan Atas Warna yang Kurang Berwarna

17904373_10212185208255482_2907783585180991763_n

Beberapa waktu lalu, saya dan teman jadi korban serbuan klason di sebuah perempatan jalan padat di Yogyakarta. Kami tidak melakukan kesalahan apa-apa kecuali bahwa teman saya telat menarik gas motor setelah lampu berganti hijau 5 detik lalu. “Aku itu sebenarnya nggak bisa bedain lampu merah dan hijau,” ujarnya malu-malu. Setelah sekitar dua tahun berteman, baru siang itu saya tahu ia adalah penderita daltonism alias buta warna.

Dengan fakta bahwa 1 dari 10 orang di dunia menderita kelainan ini, buta warna bukanlah kasus yang langka. Tak perlu kaget kalau ada teman atau kerabat yang menderita kelainan ini. Buta warna adalah keadaan dimana retina tidak mampu membedakan warna-warna tertentu. Pada jenis paling parah, penderita hanya bisa melihat dunia dalam warna monokrom. Padahal tak bisa diingkari, warna membentuk persepsi kita tentang dunia. Merah, kuning, hijau, biru, dan ratusan warna lain tak pernah hanya sekedar nama, ia telah menjelma simbol untuk hampir segala hal dalam tataran personal maupun publik. Bahkan bukan tak mungkin warna turut berkontribusi terhadap perubahan di bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi.

17951812_10209567799612463_7061190643959241524_n

Warna-warna tertentu menyimbolkan sesuatu atas hasil dari konsensus publik, ia menjelma bahasa untuk menyampaikan pesan tertentu. Misalnya merah untuk pedas, biru untuk perasaan sedih, hijau untuk kesuburan, putih untuk hal-hal suci dan seterusnya. Lalu bagaimana jika seseorang tidak bisa melihat warna-warna tertentu? Bagaimana kalau langit tak selalu biru dan pisang tak kuning seperti yang kita tahu selama ini? Hal inilah yang digugat oleh Sekar Jatiningrum dan Sinta Carolina dalam pameran Adu Domba #5 di Sangkring Art Project.

Memasuki galeri Sangkring Art Project yang lapang, saya memulai rute dari bagian Sekar Jatiningrum. Enam buah neon box beragam ukuran terpajang di dinding, di atasnya huruf-huruf disusun dari lingkaran-lingkaran warna kecil tak beraturan, huruf-huruf Ishihara. Huruf-huruf ini akan mengingatkan kita pada sebuah praktek medis di ruang periksa mata, oleh dokter berbaju putih yang menanyakan “angka berapa yang anda lihat di sini?”. Tes Ishihara adalah salah satu metode paling mudah untuk mendeteksi gejala buta warna pada seseorang. Angka atau huruf tertentu dicetak dalam warna yang berbeda, warna-warna sensitif untuk penderita buta warna.

17990895_10212185208615491_4292497031370936036_n

Di tembok sebelah kirinya Sekar memajang karya yang hampir sama, walaupun tanpa neon box. Sementara di sisi setelahnya, huruf-huruf Ishihara lagi-lagi muncul dalam bingkai kaca. “Dari penggalan-penggalan huruf itu saja sudah bisa memancing perdebatan tentang mana yang benar dan mana yang salah, sebagai visualisasi situasi saat ini. Di mana pertentangan perebutan makna kebenaran begitu viral di jagat maya dan memperburuk hubungan sosial di dunia nyata.” Begitu Ida Fitri menulis mengenai karya ini dalam kuratorial. Namun sayangnya saya tak mendapat kesan itu. Mungkin karena kebetulan saya bukan penderita buta warna, jadi huruf-huruf acak tersebut dengan mudah bisa terbaca sebagai kata “ADU DOMBA” yang tak lain adalah judul dari pameran ini.

Secara visual pun, karya ini tak terlalu memancing penonton –atau setidaknya saya— untuk bermain anagram mencari kata atau kenyataan lain di karya tersebut. Selain tentu saya mempertanyakan alasan Sekar memilih judul pameran sebagai obyek karyanya, alih-alih kata lain yang mungkin akan lebih atraktif misalnya. Karya lain yang berjudul “Red Queen” juga menimbulkan kesan yang kurang lebih sama untuk saya. Dua lukisan sang ratu merah dari film Alice in Wonderland itu didominasi oleh warna merah-hijau dan biru-kuning-hitam, kombinasi warna yang paling awam bermasalah dari kasus daltonism. Lukisan ini seperti menyentil, bahwa untuk sebagian orang Red Queen bisa jadi Green Queen atau Yellow Queen. Namun lagi-lagi, karya ini tak berbicara banyak selain memberikan sensasi seolah simulator penglihatan ala penderita buta warna terhadap film kartun.  

17951599_10212185208495488_516456333205040105_n

Lain halnya jika mungkin yang menikmati karya tersebut adalah orang yang buta warna. Anagram dari huruf Ishigara tersebut barangkali bisa menjelma jadi sengkarut teka-teki asik yang menantang untuk diselesaikan di tempat saat itu juga. Begitu juga dengan lukisan “Red Queen” yang mungkin akan membuat mereka bertanya-tanya tentang judul karyanya. Tapi bukankah rasanya kurang efektif ketika gugatan terhadap persepsi dengan kasus buta warna hanya bisa dinikmati oleh penderita buta warna saja?

Sinta Carolina di tembok seberangnya mencoba memainkan persepsi kita akan realita terhadap warna-warna ideal yang melekat pada obyek lewat gambar-gambar sureal. Dibuat menggunakan cat air dan pensil warna, dengan teknik gambar yang menyerupai coretan anak-anak, seri lukisan ini terlihat lebih bebas, dan pas untuk menggambarkan imaji sureal yang ingin disampaikan Sinta. Jika berjalan dari sisi selatan, anda akan paham bahwa lukisan tersebut jadi makin sureal semakin ke utara. Lukisan pertama “Welcome to The Jungle” adalah memulai perjalanan dari persepsi paling awam. Narasi sebuah hutan dan hewan-hewannya, dengan warna-warna yang sebagaimana seharusnya kita tahu. Berjalan ke lukisan berikutnya, anda akan menemui satu persatu realita ganjil yang masuk. Seekor singa menonton TV, di lukisan berikutnya mungkin seekor badak tengah berendam air hangat. Begitu terus sampai di lukisan terakhir anda akan menemukan hutan monokrom dengan daun-daun berwarna merah muda dan langit kuning menyala, dan Sinta tak sedang membicarakan musim gugur atau senja.

Permainan obyek dan warna yang tidak sesuai ini untuk saya terasa lebih subtil. Jika warna seolah membicarakan persepsi masalah buta warna secara literal dan praktikal dalam kehidupan sehari-hari, narasi sureal yang dihadirkan Sinta dalam lukisan-lukisannya seolah membawa kita pada angan-angan lebih jauh tentang dunia lain tersebut. Dunia yang satu, tapi tak pernah sama bagi setiap orang. Dua belas lukisan Sinta Carolina untuk saya juga memadamkan tuntutan saya tentang data medis tentang kasus buta warna. Saya tak mengharapkan pameran ini jadi pameran medis, tapi saya tak bisa menghilangkan keingintahunan untuk terlebih dulu memahami apa itu buta warna, atau misalnya lebih detil tahu bahwa ada tiga jenis buta warna, ia hanya menurun pada kromosom X, atau warna-warna apa saja yang jadi masalah untuk para penderita buta warna baru kemudian menikmati pameran yang menyoal buta warna.

17951964_10209567783132051_1533799134689253356_n

Dua seniman dalam satu galeri membahas satu topik, persepsi dunia dalam warna. Warna dalam berbagai persoalan keseharian punya hubungan sangat dekat dengan pengalaman visual. Sedang pengalaman visual adalah salah satu pengalaman yang paling mempengaruhi manusia. Untuk saya, pameran Adu Domba #5 ini masih kurang menghadirkan pengalaman visual yang masif, atau jika tak harus menyoal kuantitas, kurang atraktif. Potensi reaktif atau partisipatoris –mengingat yang dibahas sangat dekat dengan siapa saja— juga tak bisa banyak muncul. Persoalan persepsi dari praktik yang paling literal sampai subtil dan sentimentil harusnya bisa melibatkan eksplorasi yang lebih berlapis-lapis.

Melalui warna, lewat sepasang mata, cerita-cerita bisa menjadi berbeda dan realita tak pernah sama untuk tiap manusia. Di akhir kunjungan saya ke Sangkring Art Project hari itu, saya terpikir untuk kembali lagi esok hari mengajak teman yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Akan seperti apa kesan yang ia dapat ketika masuk ke galeri ini? Apakah dengan dunianya yang telah berbeda, ia merasakan sesuatu dari karya-karya Adu Domba #5 ini?

Titah AW

Mahasiswa Komunikasi UGM, Reporter Warning Magz, pernah mengikuti program Penulisan dan Kuratorial Seni Rupa yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta 2016

6 in 1 (6 Artist, 6 Writer, 1 Roof)

IMG-20170412-WA0005

Menyatu Bukan Melebur

Spirit edukatif dan kolektif yang jadi nilai dasar diciptakannya Bale Banjar Sangkring akhirnya menemukan momen perwujudannya dalam pameran kali ini. Pameran ini mengajak enam seniman, yaitu: Anggar Prasetyo, Bob Yudhita Agung, Bunga Jeruk, Feintje Likawati, Putu Sutawijaya dan Yustoni Volunteero. Berangkat dari konsep Bale Banjar Sangkring sendiri, masing-masing seniman memamerkan karya mereka dalam ruang tunggal yang dipisahkan melalui sekat-sekat terbuka. Selain mendapatkan ruang sendiri, tiap seniman pun mendapat kuratorial sendiri, ini tak ubahnya pameran tunggal yang diadakan bebarengan. Hal ini adalah sebagai wujud semangat kolektif para seniman dalam merepresentasikan semangat generasi seni rupa angkatan 1991, sekaligus tetap mempertahankan karakter masing-masing karya agar tetap berdiri sendiri. Pameran tunggal secara kolektif ini pada akhirnya menjadi bentuk nyata dari spirit ruang paling baru di Sangkring Art ini.

Meski menyebut diri mereka dari angkatan 1991, enam seniman ini masih terlibat aktif di berbagai pameran dan kegiatan seni di medan seni rupa Indonesia hingga kini. Mereka juga konsisten mengeksplorasi topik yang sejak dulu digeluti. Anggar Prasetyo misalnya bereksplorasi dengan distorsi visual, memadukan teknik embos dan pencahayaan, ia seolah ingin membuat trik mengelabui mata untuk membicarakan ihwal persepsi. Bunga Jeruk pun masih konsisten mengangkat topik keseharian untuk membicarakan perjalanan manusia sebagai entitas personal maupun keberadaannya sebagai sebuah spesies. Sementara itu Bob Yudhita Agung kali ini mencoba sedikit keluar dari jalur pelukis-akademisnya dengan mengeksplorasi teknik automatisme yang meracaukan narasinya sendiri. Di ruang lain, Feintje Likawati bermain dengan konsep mimetis klasik seni Cina melalui lukisan potret anak-anak dan alasan sentimentil yang menjadikan karyanya cukup emosional walupun nampak sederhana. Begitu juga dengan Putu Sutawijaya lewat karya-karya panoramic-nya, ia bukan tengah melanggengkan seruan mooi indie, alih-alih ia sedang mencatat geliat alam lewat hal yang paling dikuasainya yaitu lukisan. Eksplorasi di ruang juga dilakukan Yustoni Volunteero lewat karya instalasinya yang berada di antara ranah fine art, fine craft dan desain.

Ke-khas-an masing-masing seniman dalam pameran di Bale Banjar Sangkring ini kemudian diharapkan bisa menyatu sebagai sebuah representasi tanpa harus meleburkan diri. Selamat menikmati!

Tim Sangkring Art

Adu Domba #5, Sekar Jatiningrum vs Sinta Carolina

image

Sinta dan Sekar, Bersama Menggugat Warna

Roses are red, violets are blueSugar is sweet, and so are you. Baris pertama kalimat yang berima ini sederhana, manis dan mengandung kebenaran. Di baris kedua, di mana sebaris kalimat rayuan ditempatkan, mencoba mendudukkan kebenaran ‘you’ yang manis setara dengan kebenaran manisnya gula, merahnya mawar dan birunya bunga violet.Mungkin klise, karena saking seringnya digunakan untuk merayu, jutaan kali sejak ditulis oleh Sir Edmund Spenser (1590), dimuat di Gammer Gurton’s Garland (1784) dan ditulis ulang oleh Victor Hugo (1862). Sementara dari sekian milyar jumlah manusia di bumi, 1 dari 12 pria dan 1 dari 200 perempuan akan menyangkal kebenaran kalimat itu. Sebab mereka melihat warna tertentu berikut gradasinya seperti merah, biru dan hijau secara berbeda, disebut buta warna atau menyandang visi warna berbeda. Mereka tak melihat mawar berwarna merah dan bunga violet yang biru.

Sinta Carolina menggugat warna melalui rangkaian duabelas gambar ilustratif. Gugatannya yang paling kuat ditujukan pada daun, yang mestinya tak selalu hijau, tetapi bisa coklat atau merah hati. Demikian juga tanah, ia memberi alternatif warna merah muda, bukan coklat seperti umumnya. Imajinasinya ini secara tak sengaja menjadi bisa dipahami sebagai sesuatu yang tidak mengada-ada. Sebab nyatanya, sebagian dari kita yaitu para penyandang visi warna berbeda memandang isi bumi dengan rona berbeda pula.

Sekar Jatiningrum menyodorkan permainan kata dari judul pameran ini sendiri, ADU DOMBA, menggunakan huruf Ishihara atau huruf tes buta warna. Susunannya dibuat membingungkan. Dari penggalan-penggalan huruf itu saja sudah bisa memancing perdebatan tentang mana yang benar dan mana yang salah, sebagai visualisasi situasi saat ini. Di mana pertentangan perebutan makna kebenaran begitu viral di jagat maya dan memperburuk hubungan sosial di dunia nyata.
Seniman, adalah pekerja yang bergelimang warna. Mereka mempersoalkan warna dan gradasinya secara rumit dan pelik, didudukkan sebagai unsur visual yang bermuatan simbolik dan memangku beragam derajat estetika. Sinta Carolina dan Sekar Jatiningrum, dua perupa perempuan yang tidak buta warna tetapi bersimpati pada mereka yang berbeda visi warna-nya, dalam pameran Adu Domba #5 ini sama-sama mengetengahkan warna sebagai bahasa ungkap utama atas gagasan yang ada di kepala.

.

Sebab, bagi mereka yang menyandang visi warna berbeda: roses are red, violets are too.

 

Selamat turut menggugat warna!

Ida Fitri

Yogyakarta, 1 April 2017

 

BLOOM IN DIVERSITY at BALE BANJAR SANGKRING

17424818_10209354131510894_9078228450556290201_n

 

Pameran Seni Rupa kolaborasi antara Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta  (FSR ISI Yogyakarta) dan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) pertama kali diselenggarakan pada tahun 2014 dengan judul “Equal Liberium” yang dilaksanakan di kota Bandung. Pameran kolaborasi dua institusi seni ini kembali akan diadakan pada tanggal 25 Maret 2017 dengan mengambil tempat di Bale Banjar Sangkring Art Space Yogyakarta. Pameran kali ini mengambil judul “BLOOM IN DIVERSITY”, sebuah tema yang diharapkan melampaui pembahasan mengenai relasi kedua institusi. Tema ini berangkat dari situasi keberagaman bangsa Indonesia secara luas yang memiliki sejarah panjang dalam mengelola kemajemukan.

Situasi hari ini mempertontonkan ujian yang semakin kompleks bagi kesepakatan kita berbangsa. Kebebasan berpendapat yang membuka ruang bagi beragam ekspresi identitas itu memiliki dua sisi, di satu sisi memberikan kesempatan yang luas bagi munculnya keberagaman, di sisi lain berdampak pula menggoyahkan simbol-simbol kesepakatan kita berbangsa. Bhinneka Tunggal Ika seakan mulai diabaikan karena konflik perbedaan kepentingan di antara bermacam identitas itu. Banyak lembaga baik pemerintah maupun swasta yang berusaha mengembalikan keutuhan tersebut, namun peran serta anggota masyarakat sebagai elemen terkecil bangsa ini perlu untuk ditumbuhkan kembali kesadarannya.

Di tengah gejolak persoalan yang krusial seperti ini, sudah saatnya bagi para mahasiswa seni yang kelak menjadi generasi penerus bangsa ini untuk ambil bagian dalam menyuarakan pernyataan mereka masing-masing terhadap persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Kedua institusi baik Institut Seni Indonesia Yogyakarta maupun  Institut Teknologi Bandung sudah memiliki modal pengalaman yang kuat perihal mengelola kebhinekaan dalam kehidupan kampusnya masing-masing. Mahasiswa kedua kampus ini berasal dari bermacam identitas, baik budaya, agama, etnisitas, maupun bahasa, yang secara organik menumbuhkan kesadaran masing-masing pribadi dalam memahami dan mengalami perbedaan. Pengalaman tiap-tiap individu itu diharapkan dapat menumbuhkan gagasan-gagasan kreatif dalam merespon persoalan keberagaman di Indonesia.

“BLOOM IN DIVERSITY” dalam bahasa Indonesia kurang lebih bermakna “Mekar dalam Keberagaman”. Diversity dalam konteks ini adalah suatu kondisi yang memiliki atau terdiri dari berbagai elemen yang berbeda. Mekar dalam perbedaan adalah harapan agar perbedaan itu dapat secara organik menumbuhkan kemampuan warga bangsa ini dalam mengelola dan belajar demokrasi secara terus menerus. Menjadi berbeda adalah memahami bahwa keberadaan masing-masing identitas itu ada karena adanya identitas yang lain. “Bloom in Diversity” ingin menyajikan masing-masing identitas itu bersanding dengan identitas yang lain secara bersama. Pengertian identitas pun dipahami bukan sesuatu yang statis, namun dinamis, negosiatif, dan partikular. Dalam pemahaman seperti itu, maka identitas menjadi hal yang selalu tumbuh dalam keberagaman; Bloom in Diversity.

Situasi global hari ini memberikan tempat pada keragaman justru melalui lanskapnya yang memiliki kanal-kanal instrumen yang sama. Dalam ranah seni rupa kontemporer, kanal-kanal itu antara lain institusi pendidikan, acara-acara seni rupa seperti biennale dan semacamnya, galeri seni, museum, media, pasar, dan para pelakunya. Pendidikan seni rupa yang mengadopsi banyak pola pendidikan sejenis di dunia global, pada satu sisi memberi perhatian yang lebih pada perkembangan seni modern dari barat, tetapi di sisi lain memberikan peluang bagi tampilnya ragam identitas yang dijalani para mahasiswa. Wacana seni kontemporer hari ini pun memberi perhatian pada perkembangan seni yang tidak tunggal, dan membuka peluang bagi munculnya praktik seni di luar arus sejarah utama sebelumnya yang terlalu mengacu ke barat. Peluang ini memungkinkan untuk menampilkan banyak identitas lain di luar arus utama yang selama ini menjadi perhatian.

Pada pameran ini, nampak bahwa para mahasiswa seni sudah melampaui perbincangan yang sebelumnya mengenai persoapan di dalam seni itu sendiri. Mereka dengan fasih menggunakan bermacam media seni sesuai dengan minat dan gagasannya, seperti fotografi, video, patung, instalasi, lukisan, grafis, kriya, dan sebagainya. Pilihan menggunakan bermacam media itu mereka gunakan untuk menampilkan ragam identitasnya, dalam situasi makin terbukanya sumber pengetahuan dan jaringan seni hari ini.  Setidaknya ragam karya yang tampil dalam pameran ini dapat menjadi salah satu gambaran dari praktik anak muda yang selalu bertumbuh dan berkembang dalam mempraktikan demokrasi sehari hari.

Rain Rosidi, Hakim Faizal & Cindy Poh

Hadir Ruang Baru, Sangkring Stock Room (Library n Artshop)

Dengan misi untuk melengkapi Sangkring Art sebagai ruang seni yang utuh, Sangkring Art menghadirkan satu ruang lagi bernama Sangkring Stock Room. Ruang ini mulai beroperasi kembali pada Januari 2017 lalu. Sangkring Stock Room dibagi jadi dua area tanpa sekat, yaitu untuk perpustakaan dan artshop. Ruang baru ini terletak di ruangan bawah Sangkring Art Project di bagian tengah kawasan Sangkring. Sedikit berbeda dengan Sangkring Art Space, Sangkirng Art Project dan Bale Banjar yang biasa digunakan sebagai ruang pamer, Sangkring Stock Room ini merupakan ruang seni yang bersifat lebih praktis.

Sebagai perpustakaan, Sangkring Stock Room mempunyai koleksi cukup melimpah. Sekitar 2000 buku seni rupa berjajar di rak siap untuk mengisi referensi dan literasi seni rupa publik. Koleksi buku seni rupa tersebut terdiri dari banyak macam, membahas berbagai topik seni rupa dari dalam maupun luar negeri. Pengadaan perpustakaan seni rupa ini merupakan usaha bagus mengingat sedikitnya perpustakaan yang mengkhususkan diri pada koleksi buku seni rupa. Sangkring Stock Room ingin menyediakan sumber wacana yang tak habis-habis pada publik. Jumlah itu belum ditambah dengan ribuan katalog pameran seni rupa lintas jaman yang juga bisa diakses di Sangkring Stock Room.

Selain buku-buku dari pihak luar, di Sangkring Stock Room juga bisa ditemui buku-buku yang diterbitkan oleh Sangkring Art Space. Selama ini, selain menjadi ruang seni, Sangkring Art Space juga mencetak berbagai terbitan, khususnya buku. Buku-buku terbitan Sangkring ini bisa dibaca di perpustakaan maupun dijual di area sebelahnya, artshop.

Artshop di Sangkring Stock room ingin menjadi tempat apresiasi prakarya seni yang bersifat lebih praktis dan traksaksional. Di ruang ini, tersedia barang-barang crafty hasil karya para seniman.  Bentuknya pun beragam, ada fashion item, tembikar, patung, souvenir dan pernak-pernik. Barang-barang yang masuk di artshop tentu saja melalui kurasi tim Sangkring Art Space untuk menjamin kualitasnya. Disini, para kolektor seni dan publik seni yang lebih umum bisa mendapat produk-produk dari seniman yang mereka sukai.

Selain perpustakaan dan artshop, Sangkring Stock Room juga menyediakan pojok khusus untuk pendiri Sangkring Art Space yaitu Putu Sutawijaya. Seniman yang jadi pelopor gerakan seni rupa kontemporer Indonesia ini cukup banyak memberikan warna pada Sangkring Stock Room berkaitan dengan daerah asalnya, Bali. Disini cukup banyak koleksi pribadi Putu Sutawijaya yang berbau khas Bali, seperti buku-buku, lukisan dan barang-barang seni lain. Selain itu, pojok ini juga berfungsi sebagai mini museum yang mengikuti perjalanan kekaryaan Putu Sutawijaya dari awal sampai sekarang.

Sangkring Stock Room terbuka untuk umum. Fasilitas dan tata ruang yang nyaman cukup potensial sebagai ruang temu, seperti misalnya jadi tempat diskusi, presentasi atau screening. Pengelola Sangkring Stock Room sangat terbuka terhadap ide-ide segar yang siap diwujudkan. Saat ini, tautan termudah untuk memantau Sangkring Stock Room adalah melalui instagramnya di @sangkringstockroom.

 

ANTAGONISM by Agni Saraswati at Sangkring Art Project

unnamed

Cordially invites you to attend the opening ceremony of

Solo exhibition of Agni Saraswati “ANTAGONISM”

Writer : Sujud Dartanto

Officiated byHeri Dono

Music by :

Gong System Setiya

Sasana Hinggil

BBDKK

MC : Heni Siswantari

Opening Ceremony: Wednesday, 1 March 2017 at 7 pm

At Sangkring Art Project Nitiprayan no.88 Yogyakarta

Exhibition runs 1 -15 March 2017

 

—————————————————————————————————————————————–

 

Agni dan Antagonisme

Dimana ada represi disitu ada seni, adagium psikoanalitik itu sengaja saya awali untuk mempercapkan karya-karya Agni Saraswati, atau akrab dipanggil Agni. Perupa muda alumnus FSR ISI Yogyakarta ini memulai debut pameran tunggal pertamanya dengan mengangkat isu mengenai antogonisme. Sepanjang saya mengenalnya, sosok perempuan berkelahiran 1989 dari latar keluarga Jawa tulen ini tertarik pada hal yang berkenaan dengan psike, studi memahami bagaimana manusia memahami dirinya, melalui “yang lain”, dan selanjutnya, berkaitan dengan bagaimana diri berkembang seiring dengan proses pembudayaan.

Sepintas karya-karya Agni sebagian besar menunjukkan corak surreal, namun apabila kita melihat lebih dekat, karya-karya ini lahir dari minatnya pada seni yang bisa mengeluarkan kekuatan ‘teror’, suasana ‘horor’, dengan cara ganjil, namun sekaligus padat dengan humor-satire. Ekspresionisme jenis ini mengingatkan kita pada gaya ekspresionisme Jerman yang berkembang sebelum masa Perang Dunia Pertama, sebuah aliran yang mengeksplorasi kekuatan bahasa visual horor. Efek horrorisme ini memiliki kekuatannya sendiri, melintasi bidang, tidak hanya seni rupa, namun, arsitektur hingga film. Tim Burton, sutradara terkenal yang dikenal dengan film-filmnya yang ‘gothic’ juga disebut terpengaruh oleh ekspresionsime Jerman ini.

Sebagai sebuah gaya yang memikat banyak kalangan dan generasi, ekspresionisme Jerman ini sebaiknya kita alihkan untuk mengenal kekhasan karya-karya Agni yang dalam pembacaan saya perlu diletakkan dalam konteks sejarah seninya disini. Sebagai individu yang besar di Yogyakarta, dimana surealisme matang dikota ini, corak karya Agni bisa kita kaitkan dengan perkembangan lanjut dari surealisme Jogja dengan gejala yang berbeda. Corak penggambarannya berbeda dengan pengalaman sureal Ivan Sagito, Lucia Hartini, misalnya, namun sebagai perbandingan bisa kita lihat pada karya novelistik Wara Anindyah, Sekar Jatiningrum dan Ayu Arista Murti, misalnya.  Apa yang ditempuh oleh Agni menunjukkan eksplorasi yang memungkinkan dirinya bermain dengan simbol-simbol imajiner. Warna-warna karyanya bukanlah monokromatik seperti karya-karya ekspresionisme Jerman, namun meriah dengan warna ‘pucat’, dalam arti sebagai warna psikologis. Lihat pada karya “Madre” misalnya, warna-warna dalamnya Ia tampilkan dengan memperlihatkan raut-raut wajah yang menampilkan komposisi urat yang artistic. Selain wajah bisa menjadi sebongkah otak dengan tekstur daun, tampak gestur tangan yang mengundang teka-teki: menujukkan petanda apakah itu?

Pada “The Magic Box”, kita bisa melihat mata yang berubah menjadi beludru lembut pada semua perempuan dengan gaun klasik itu. Agni mengakui ia seperti membuat film atas karya-karyanya. Subyek dan objek-objek pada karyanya ditata dengan kesan filmis, dan ini menolongnya untuk mencapai efek-efek dramatis pada tiap lukisannya. Pada karya ini kita tidak sedang melihat suatu penggambarkan realisme, yakni ekspresi yang merekam objek apa adanya, namun Agni melalukan personifikasi atas subyek dan objek itu sebagai distorsi atas realisme, ini khas praktik surealisme: penggambarannya tidak menunjukkan objek langsung, namun diungkapkan secara simbolik, semacam pengalaman apokaliptik Agni atas imajinasi yang ia lihat, dan ia rasakan tentu saja, fase dimana ia memahami antagonisme sebagai sesuatu yang nyata.

Tepat pada itu, Agni ingin mengelola pengalaman kediriannya:  diantara bawah sadar dan sadar, antara dorongan untuk mengelola kepingan pengalaman menyenangkan, traumatis, dan sekalig keinginannya untuk keluar dari mozaik potongan-potongan memori dan kemudian menuju ke masa depan. Dengan cara apa Agni mengelolanya, dan seperti apa masa depan yang Ia bayangkan? Pada “The Vision”: tangan perempuan itu berjumlah empat, malaju diatas perahu dengan ombak kuat, sosok sentral bermata beludru lembut itu tersenyum dengan dua bongkah bulatan: yang satu tangan mengangkat objek keatas, satu lagi didekapnya dengan tersenyum, dua perempuan menyerah pada kakinya sementara perempuan lain melesat dengan kapal kertas. Semua sosok dalam lukisan ini tampil dengan gestur enigmatik dengan atribut-atributnya yang ganjil. Jika penghayatan atas karya ini berhasil maka kita bisa masuk kedalam “vision” Agni.

“Beautiful Storm” adalah satu karyanya yang tampil dengan pola abstrak. Pada pucuk-pucuk badai itu muncul figur laki-laki dengan raut misterius: matanya tidak berbeludru, Agni menyebutnya sebagai sebuah badai cantik, ini tentu sebuah antagonisme. Pada pengertian normatif, badai adalah sebab alam yang bisa memorak-porandakan apa saja, namun Agni memaknainya sebagai produk alam yang cantik. Badai disitu bisa berarti gelora untuk hidup dengan suka, dan duka, dengan manis dan pahit, dengan utopianya, sekaligus distopianya, antagonisme yang tak terelak oleh sebab hidup memang adalah cermin yang retak, dan manusia selalu memiliki ilusi untuk menyatukannya kembali, merindukan masa aku dan ibuku menyatu dengan menyenangkan tanpa kehadiran sang-Ayah, sang realitas.

Karya-karya Agni bisa ditempatkan sebagai sebuah parade kisah-kisah hidupnya yang bertemali satu dengan lainnya. Karya-karyanya bisa menjadi jalan psikoanalitiknya, Ia leluasa mengungkapkan berbagai hal yang Ia alami, rasakan, dengan segala benturan, paksaan, dan hukum-hukum kenyataan. Karya-karyanya menjadi sebuah ruang percakapan antara aku yang berhasrat dengan aku yang harus tunduk pada prinsip-prinsip realitas. Dalam tautannya dengan pengalaman psiko-sosial kita, pengalaman psikoanalitik Agni bisa berarti sebuah jeritan atas persoalan psiko-sosial kita: tidakkah kita juga bagian dari antagonisme ini ditengah pertarungan abadi atas cara bagaimana seharusnya masyarakat dibentuk: yaitu dorongan menyatukan masyarakat kedalam satu ide saja, satu imajinasi, dimana ini asimetris dengan kenyataan bahwa masyarakat justru terbangun secara alami lewat antagonisme-anatagonismenya.

 

Yogyakarta, 20 Februari 2017

 

A.Sudjud Dartanto

Bumbon #2

bumbon 2

Sebagian besar roda kebudayaan digerakkan dari dapur. Urusan perut, bukan semata soal bertahan hidup. Api yang menyala di dapur, menggelindingkan peradaban manusia menjadi makin dinamis dan kompleks. Dengan demikian, disadari atau tidak, tangan-tangan yang bekerja di dapur, yang kerap kita semati sebagai wilayah ‘domestik’ perempuan, sejatinya menjadi pusat-tak-kasat-mata yang menggeret dunia.

Di wilayah yang paling dasar, dapur adalah tungku ekonomi-politik yang membara. Orang berbaku bunuh, saling ingin menguasai, menjajah, dimulai dari keinginan purba untuk mencoba memberi jaminan bahwa esok mereka masih punya masa depan. Masih punya tandon makanan. Dan di tingkat yang lebih renik, dapur adalah pusat seni: permainan rasa, atraksi pengolahan, eksperimen racikan, dan sekian deret ketrampilan yang penuh daya sebagaimana seni bekerja.

Salah satu yang menarik, adalah pemberian bumbu dalam makanan. Semua diperhitungkan, diuji coba, disebarkan, mendapatkan sentuhan-sentuhan baru, dan seterusnya. Tapi nyaris tidak ada timbangan di sana untuk memastikan rasa yang hendak disajikan. Bumbu-bumbu dicawuk, digenggam, dijumput, dengan takaran yang dirasa pas. Dicicip. Ada yang kurang, ditambah. Bumbu-bumbu dikerat, dipotong, digerus, diulek, dengan kepekaan yang tinggi tanpa harus dirinci. Begitu renik tapi tak terlihat rumit. Adonan dan komposisi yang sebetulnya ruwet tapi bisa disederhanakan.

Dengan dasar seperti itulah pameran Bumbon ini dihelat. Karya seni bukan lagi disikapi semata sebagai sebuah karya yang memang dikerjakan dengan waktu yang khusus. Para kreator perempuan ini menyadari betul bahwa karya seni mereka tidak bisa dilepaskan dari kegiatan sehari-hari: merawat anak, memperhatikan keluarga, mengurus urusan domestik yang lain. Dan apakah seni semacam ini dianggap sebagai kegiatan ‘sambil lalu’ atau justru sebaliknya?

Apakah seni mengharuskan konsentrasi khusus, waktu-waktu yang istimewa, luang, tenang. Sehingga setiap karya bisa digarap dengan baik. Atau justru sebaliknya, ketika mereka harus pintar membagi waktu, mencari celah waktu, justru karya itu menemukan kekuatannya?

Saya memilih yang terakhir. Karena secara psikologis, tempaan rutinitas sehari-hari menghasilkan endapan dan lapisan estetika, yang akan bisa dieksekusi dengan baik justru dalam situasi yang serba ‘terbatas’.

Sehingga ketrampilan memberi bumbu di masakan, termanifestasi dengan baik di karya-karya mereka. Keterbatasan waktu, justru menjelma menjadi kekuatan sebagaimana masakan tetap lezat tanpa harus dikerjakan dengan waktu yang lama. Segala yang terbatas di proses kreatif, justru bukan merupakan kekurangan dan hambatan, melainkan menjadi kelebihan dan kekuatan pameran ini.

Ketika hidangan siap santap, semua perhatian tersedot pada sajian yang ada di atas meja. Semua fokus pada rasa masakan. Hingga kerap lupa pada apa yang sebelumnya bergemuruh dan menyala dari dapur: bertarung dengan bahan makanan, bumbon, dan waktu.

Apa yang Anda nikmati di ruang pajang ini, tak akan bisa menghapus jejak bahwa ketika karya-karya tersebut sedang dibuat, prosesnya itu sendiri sudah merupakan seni sehari-hari. Selamat menikmati.

Puthut E.A

Be(coming) Home Pameran Tunggal Koniherawati

unnamed

Be(coming) Home

Pameran Tunggal Koniherawati

 

Ada sepenggal dialog yang masih saya ingat persis dalam perjumpaan dengan Koniherawati sekian waktu lalu di sebuah kafe.

“Apa yang menjadi obsesimu akhir-akhir ini?” tanya saya.

“Rumah,” jawabnya singkat.

Cukup lama sesudah itu saya tidak berjumpa dengan Koni. Akan tetapi, berapa bulan kemudian saya sungguh beruntung menjadi salah seorang saksi pertama atas serangkaian karyanya—sebagian berupa lukisan kolase, sebagian lain karya terakota dan stoneware—yang menghadirkan makna-makna tentang rumah sebagai proses yang plural, bukan sebuah objek yang selesai. Itulah sebabnya, saya kira, mengapa pameran tunggal Koniherawati sekali ini dapat dirumuskan dengan baik memakai kata kerja yang polisemis: (be)coming – becoming yang sekaligus coming home.

Peluang tafsir paling awal atas karya-karya Koni dapat dirujuk pada proses menjadi (becoming) itu sendiri, yakni bagaimana tanda-tanda (qualisigns, menyitir Charles Peirce) yang sebelumnya masih ngendon di dalam benaknya, masih sebagai obsesi, kini merupa (menjadi rupa). Strategi merupa (visualizing strategies, pinjam istilah dari Nicholas Mirzoeff) yang ditempuh Koni pun ternyata tidaklah singular, baik dalam penjelajahan material maupun metodis. Penjelajahan material pada terakota dan stoneware memang sudah merupakan ciri pembedanya sampai sejauh ini, namun bagaimana dengan kolase tekstil di atas kanvas? Diksi material (kain-kain perca brokat, batik, bordir, renda…) yang feminin ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Koni sendiri tentang rumah sebagai kategori kultural yang ber-gender (gendered category), “[…] fungsi rumah itu mirip sekali seperti seorang ibu (perempuan) dalam memberi perlindungan pada sesuatu yang “rapuh” (mudah pecah) atau melindungi bayi yang lemah.” Tentu saja, di satu sisi, diksi material ini dapat membawa implikasi pada metode (baca: proses pen-jadi-an) yang cenderung feminin juga, entah dengan menempel, menjahit, merajut, menghias, bahkan mengadon tanah liat dan air; namun, di sisi lain, makna-makna hegemonis tentang pembangunan rumah yang telanjur male-oriented barangkali masih bertahan secara diam-diam.

Di sinilah karya-karya Koni tampak asyik bermain dengan ambivalensi makna, yang dalam pengamatan saya seakan-akan sedang bernegosiasi lagi dan lagi dengan sajak “Rumah” dari Mendiang Darmanto Jatman:

Rumah itu Omah

Omah itu Om dan Mah

Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang,

bersifat jantan

Mah artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya tanah, 

bersifat betina.

Langkah penafsiran selanjutnya atas karya-karya Koni dapat ditelusuri dari implikasi gagasan tentang pulang (coming home) itu sendiri. Kita tahu bahwa hanya mereka yang (sudah) memiliki rumah sajalah yang bisa berpamitan pulang. Apakah lema pulang terdapat di dalam kamus para gelandangan, para burung yang tak (lagi) memiliki sarang? Dalam dunia kontemporer yang disebut oleh Arjun Appadurai sebagai ethnoscape—yakni ruang-ruang migrasi tanpa jalan pulang, yang tak lagi mengenal kata pulang, apakah ide tentang tanah dan air yang feminin (motherland atau homeland) tak lagi bermakna? Bagaimanakah kita, kaum migran yang serupa angin atau gelombang menggelandang ini, bisa kembali merasakan at home atau kerasan di dalam suatu dunia transisional tanpa tepi? Agaknya proses pulang pun merupakan proses yang tiada pernah rampung, yakni sebagai proses migrasi yang terus-menerus. Proses coming home adalah sebuah kepulangan yang metaforis: pencarian atas ruang-ruang baru yang di situlah barangkali kita masih bisa merasakan makna-makna home lagi, meskipun niscaya sementara. Nah, di hadapan serangkaian “bingkai virtual” yang disajikan oleh Koni dalam pamerannya kini, apakah kita selalu sudah menjadi bagian dari komunitas kembara imajiner yang tidak lagi berhasrat akan huma (home) sehingga tiada lagi merindukan kepulangan?

Katakanlah, wahai katakanlah

Di mana angin bersarang

Gelombang tidur

Awan melepaskan penatnya

Dan hari melepaskan diri? – demikian tanya seekor Darmanto Jt.

____________________

 Kris Budiman

Seorang penulis dan pengajar di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.