November 13, 2013
In
Exhibitions
Group Exhibition
Seeing Paintings : Conversations Before The End Of History
Exhibition current until : November 26 2013
Curator : Aminudin Siregar
SEEING PAINTINGS:
CONVERSATIONS BEFORE THE END OF HISTORY
History consists of layers and slices. Both have discontinuities and patters within; and the deeper we enter, the rhythms of history we meet increase in variety.
Traditionally, history is understood as a process in recalling monumental events in the past, transformed into document form. At the end, history attempts to inform us about this recall system, although what is recalled is difficult to verbalize. Today, history has an ambition to transform those documents mentioned earlier into monuments. With a jungle of documents and monuments, history collects the tread marks left behind by humanity. And today, history spreads out so many elements that need to be collected and sorted, to create relevance and relation between each other, to form a totality.
Michel Foucault stated that in the practice of traditional history, questions often posed is “what relationship emerges from two different events?”; “what continuity does these events imply?” and “does it define a totality, or the reverse; that we must be satisfied by merely a connection between events?”. Currently, these questions have been replaced by others, such as: “Which layer of history needs to be separated from the others?” “How do we define the series of historical events?”1
This exhibition, which present paintings from different periods, follows the view mentioned above by demonstrating that Indonesian art history is not a unity. In fact, this exhibition, by considering how to view and how to understand paintings, is expected to shift the way we look, from the search of uniting themes like periods, chronicles, centuries – to the phenomena of ruptures and discontinuities. In historical continuity there is always sudden interruptions, of which, status and meaning is initially difficult to understand.
This exhibition consist of works from various Indonesian artists who have contributed in the “field of history” since the end of the 1930s to the end of the 1990s. By viewing it as a discontinuity, this exhibition is expected to define the difference between various domains, and at the same time, these domains can come into existence through comparison between them. Therefore, the paintings in this exhibition represent layers and slices of every historical period, presented in the aforementioned comparative structure.
When does Indonesian modern art begin, and in what era does it end?
Art critic Sanento Yuliman mentioned that Indonesia painting emerged from the cultural contact between Indonesia and the West. European painting was introduced to Indonesia through the Dutch, since their arrival with the Verenigde Oost-Indische Compagnieen (VOC) in the early 17th century. Among the VOC employees were a number of painters. Painting helped the trade union serve a number of functions, like gifts for local kings to fulfill their demand for European paintings. Paintings of this period also provided documentation services for the exploration of beaches and ports, nature, plants and animals, the local society and their culture, other than archeological documentation (especially the Hindu and Buddha temples)2. Despite this, since the prerequisite of modernity is the crystallization of a national identity forming the Indonesian nation, there are also views that indicates that modern art was born after independence was attained in 1945.3
Modern painting in Indonesia resulted from the meeting of Eastern and Western art, which is not wholly Eastern or Western. Using this assumption, art critic Kusnadi states that Indonesian modern art is an assimilation process with the West. A depiction of this assimilation, according to Kusnadi, happened during the early days of modern art pioneered by Raden Saleh. If there were no interruptions during the half century since the death of Raden Saleh in 1880, which was followed by an empty period with no painting activities until 1930, Kusnadi believes that Indonesian modern painting would be more than 100 years old, and had possibly progressed further.4
The modernity of Indonesian painting grew since Indonesia’s proclamation of independence in August 1945. The Persagi (Union Of Drawing Experts, 1938) period, with the appearance of S. Sudjojono in Indonesia’s art scene is viewed as a nationalistic era. Historians believe that the modern period only started in the 1960s. The characteristics of this period is the growth of painting associations, the presence of art academies, the birth of innovation and exploration towards form at the same time as comprehension of modern art knowledge, especially the much wider Western modern art. The style and aesthetics of Indonesian painting was constantly evolving, which brings a unique complexity in assessing today’s paintings.
Indonesian modern painting is an “entity with a unique and different existence”. To understand the core of the problem in history, individuals will need various perspectives. Painting cannot only be defined simply as art created in modern Indonesian times,
07
which is the period where people who lived in that era proclaimed their independence. Understanding modern painting is not as simple as showing nationalism as the base ideology, although it certainly was used as a tool for the nation. This problem must be seen as a discourse with a continued process towards “totality”. As a consequence, a historian researching about the history of Indonesian painting will experience difficulties in the analysis for this issue.
This exhibition is meant to provoke our critical views in observing the development of Indonesian painting by underlining Indonesia’s problems, methods and a language of its own that is immesenly different from the way painting has developed outside Indonesia.
Finally, the exhibition titled Seeing Paintings: Conversations Before the End of History is expected to present the “reality of Indonesia’s painting history” as a mode of discourse, consisting of a complicated web that resulted from the acculturation and enculturation process of vocabulary, speech, criticism, polemics, writing, doctrine, bureaucracy, study, social institutions and other variables.
MELIHAT SEJARAH:
PERCAKAPAN SEBELUM AKHIR SEJARAH
Sejarah memiliki lapisan dan irisan. Keduanya memiliki diskontinuitas maupun pola masing-masing. Semakin kita memasuki lapisan dan irisan yang lebih dalam, ritme-ritme sejarah yang kita temui pun semakin beraneka-ragam.
Secara tradisional, sejarah dipahami sebagai sebuah proses mengingat peristiwa-peristiwa monumental di masa lalu, lalu ditransformasikan ke dalam bentuk dokumen. Akhirnya, sejarah mencoba mengatakan kepada kita tentang sistem pengingatan ini, meskipun sesungguhnya apa yang akan diingat itu sulit diverbalkan. Dewasa ini sejarah justru berambisi mentransformasikan dokumen-dokumen tadi menjadi monumen-monumen. Di hutan belantara dokumen dan monumen inilah, sejarah mengumpulkan jejak demi jejak yang ditinggalkan manusia. Dewasa ini, sejarah menaburkan begitu banyak elemen yang harus dikumpulkan, dipilah-pilah sehingga menciptakan relevansi dan relasi antar satu dan lainnya sehingga menciptakan totalitas.
Michel Foucault menyatakan bahwa dalam praktik sejarah tradisional, pertanyaan yang sering dikemukakan adalah, “hubungan apa yang bisa dari dua peristiwa terpisah?” “Kontinuitas apa yang ada pada peristiwa-peristiwa tersebut?” dan “Apakah mungkin mendefinisikan sebuah totalitas, atau sebaliknya, kita harus puas hanya dengan membentuk ikatan-ikatan antar peristiwa?”. Di masa sekarang pertanyaan-pertanyaan itu telah digantikan oleh bentuk pertanyaan lain, seperti: “Lapisan sejarah manakah yang harus dipisahkan dari yang lainnya?” “Bagaimana kita menentukan tipe-tipe rangkaian (series of series) peristiwa sejarah tersebut?”
Pameran dengan materi lukisan-lukisan dari masa ke masa ini meneladani pandangan di atas dengan menawarkan sejarah seni rupa Indonesia bukanlah sebuah kesatuan (unities). Alih-alih, pameran ini, dengan menimbang cara melihat dan cara memahami lukisan, diharapkan bisa menggeser cara pandang kita dari pencarian tema-tema kesatuan seperti periode, babad, abad – menuju fenomena “retakan” (rupture) dan diskontinuitas. Sementara dalam kontinuitas sejarah, pastilah terdapat “selaan-selaan” (interruption) yang muncul tiba-tiba, yang pada mulanya status maupun hakikatnya sulit dipahami.
Pameran ini mengajak karya lukis sejumlah pelukis Indonesia yang dinilai telah berkontribusi di “lapangan sejarah“ semenjak akhir 1930-an hingga akhir 1990-an. Dengan melihatnya sebagai diskontinuitas, pameran ini diharapkan bisa menentukan perbedaan berbagai macam domain, dan pada saat yang sama, domain-domain itu bisa terwujud hanya dengan jalan mengomparasikan satu dengan yang lainnya. Karena itu, lukisan-lukisan dalam pameran ini mewakilkan lapisan dan irisan dalam setiap periode sejarah tampil dalam kerangka komparasi tersebut.
Kapan seni rupa modern Indonesia itu bermula dan di era mana itu berakhir?
Kritikus Sanento Yuliman mengatakan bahwa seni lukis Indonesia muncul dari hasil kontak kebudayaan antara Indonesia dan Barat. Seni lukis Eropa diperkenalkan ke Indonesia oleh orang-orang Belanda sejak mereka datang di dalam serikat dagang Verenigde Oost-Indische Compagnieen (VOC) di awal abad ke-17. Diantara pegawai VOC tersebut terdapat sejumlah pelukis. Seni lukis membantu upaya serikat dagang itu guna melayani sejumlah keperluan, misalnya menghadiahkan kepada raja pribumi, memenuhi pesanan mereka atas sejumlah lukisan Eropa. Seni lukis pada masa ini turut menyediakan layanan dokumentasi hasil eksplorasi pantai dan pelabuhan, keadaan alam, flora dan fauna, penduduk dan kebudayaan mereka disamping dokumentasi arkeologis (khususnya candi Hindu dan Budha). Kendati demikian, mengingat prasyarat modern adalah kristalisasi kebangsaan-nasional yang membentuk bangsa dan negara Indonesia, maka muncul pandangan yang mengatakan bahwa seni rupa modern ini lahir setelah kemerdekaan 1945.
Seni lukis modern Indonesia dihasilkan dari pertemuan antara seni Timur dan Barat yang tidak murni Timur maupun murni Barat. Dalam asumsi ini, kritikus Kusnadi mengatakan bahwa seni rupa modern Indonesia merupakan proses asimilasi dengan Barat. Gambaran asimilasi ini, menurut Kusnadi, terjadi pada masa perintisan seni lukis modern yang dimulai Raden Saleh. Andaikata tidak terputus selama setengah abad setelah wafatnya Raden Saleh pada 1880, menyusul terjadinya kekosongan waktu yang lama tanpa kegiatan seni lukis sampai 1930, Kusnadi meyakini bahwa seni lukis modern Indonesia akan berumur lebih dari satu abad dan memiliki kemungkinan perkembangan yang sudah lebih maju.
Kemodernan dalam seni lukis Indonesia tumbuh sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada Agustus 1945. Adapun periode Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar, tahun 1938) dengan kemunculan S. Sudjojono di kancah seni lukis Indonesia dipandang sebagai era nasionalisme. Sejarawan lalu meyakini bahwa periode modern nbaru dimulai pada era 1960-an. Karakteristik periode ini antara lain pertumbuhan asosiasi pelukis, keberadaan akademi seni, lahirnya inovasi dan eksplorasi baru terhadap bentuk bersamaan dengan tegaknya pemahaman atas pengetahuan seni modern, khususnya seni rupa modern Barat yang lebih luas. Gaya dan estetika seni lukis Indonesia terus berkembang. Karena itu, menilai seni lukis pada masa sekarang memiliki kompleksitas tersendiri.
Seni lukis modern Indonesia merupakan “entitas yang keberadaannya unik dan berbeda.” Untuk memahami inti permasalahannya dalam sejarah, seseorang membutuhkan berbagai sudut pandang. Seni lukis ini tidak bisa diartikan secara sederhana sebagai seni yang lahir di masa Indonesia modern saja, yaitu era ketika manusia yang menetap di kawasan ini memproklamirkan kemerdekaannya. Memahami seni lukis modern kita juga tidak semudah menunjuk nasionalisme sebagai dasar ideologinya, meskipun memang pernah ditempatkan sebagai instrumen kebangsaan. Masalah ini harus dilihat sebagai suatu diskursif yang terus menerus berproses menuju “totalitas”. Sebagai konsekuensinya, seorang sejarawan yang meneliti sejarah seni lukis Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menetapkan satu pisau analisa yang serba pasti mengenai hal ini.
Pameran ini ditujukan bisa memancing pandangan kritis kita dalam menyoroti perkembangan seni lukis Indonesia dengan menggarisbawahi bahwa Indonesia memiliki problematika, cara dan bahasa tersendiri yang tidak akan pernah sama persis sebagaimana perkembangan seni lukis di luar Indonesia.
Akhirnya, pameran Seeing Painting: Conversations Before the End of History ini diharapkan bisa memperlihatkan “kenyataan sejarah seni lukis Indonesia” sebagai sebuah mode of discourse yang terdiri dari jalinan-jalinan rumit akibat proses akulturasi dan inkulturasi dalam wujud kosa kata, tuturan, kritik, polemik, tulisan-tulisan, doktrin, birokrasi, sekolah, institusi sosial, dan lain sebagainya.
_______________________________
1 Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa, 2001, Jakarta: Penerbit Yayasan Kalam, hal. 55-57.
2 Sanento Yuliman: Modern Art in Indonesia, the exhibition catalogue of Contemporary
Indonesian Art: Painting and Print in The 5th Asian International Art Exhibition, 1991.
3 Kusnadi, Arti Luas Kepribadian Seni Lukis Modern Indonesia, Majalah Horison, September
1990. This article was also printed in Dermawan, Agus.T (ed.), Kusnadi: Kritikus, Seniman,
Pendidik, 1996, Jakarta: Penerbit Yayasan Seni Rupa AiA, p. 125- 135 and was reprinted
by Joseph Fischer (ed.), Modern Indonesian Art: Three Generations of Tradition and
Change, 1990, California: Berkeley, p. 42-47.
11