Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-13,page-paged-13,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Solo Exhibition “GEGAT PENGGALIH GUGAT” by Sri Setyawati Mulyani (cipluk) @Sangkring Art Project

 

Selasa, 15 April 2014
Tuesday, April 15th 2014
 Pukul 19.00 wib
at 7.00 pm
Officiated by:
Subroto S.M 
exhibition until : April 27th 2014
Gegat Penggalih Gugat

Repetisi tubuh dalam konteks karya-karya yang dipamerkan kali ini menjadi sesuatu yang enigmatik lantaran dimanfaatkan sebagai suatu strategi yang dinamakan sebagai masquerade, yakni strategi penyelubungan identitas. Penyelubungan atas tubuh ini terutama beroperasi melalui proses-proses metaforik. Akan tetapi, metafora tubuhan (embodied metaphors) di dalam karya-karya Bu Cipuk ini tidaklah dimaksudkan untuk merujuk kepada metafora tentang tubuh atau yang dilekatkan pada tubuh, melainkan terutama kepada metafora yang muncul dalam pengalaman ketubuhan (bodily experience).

Dengan karya-karya visualnya, Bu Cipuk telah berupaya meng-gugat (untuk tidak mengatakannya sebagai melawan) pemosisian tubuh perempuan sebagai objek hasrat yang tanpa daya. Baginya tubuh itu pertama dan terutama adalah subjek yang mengalami. Dia menyodorkan ke hadapan kita makna terdalam dari menjadi-manusia (baca: perempuan) adalah menjadi tubuh yang mampu mengalami gegat penggalih, mengatasi luka (pain) dan alienasi diri, kemudian menjelmakannya sebagai—dalam ungkapan Bu Cupuk sendiri—ruang permenungan sekaligus siasat untuk bertahan hidup.

 

(Kris Budiman)

 

Art Work

Art Exhibition “FRIENDSHIP” of D’nyon2 n’ D’nyin2 by Septi Asri Finanda & Kadek Primayudi @ Sangkring Art Project

 

Sabtu, 29 Maret 2014
Saturday, March 29th 2014
 Pukul 19.00 wib
at 7.00 pm
Officiated by:
Koni Herawati
FRIENDSHIP

Pameran tunggal www.dnyonnyin.com merupakan pameran pertama sebagai upaya untuk kembali memperkenalkan karakter D’nyon2 n’ D’nyin2 (baca: de nyon nyon en de nyin nyin) yang selama ini teraplikasi dalam produk fashion. “Friendship of D’nyon2 n’ D’nyin2” merupakan penggambaran dari kedekatan hubungan kedua karakter yaitu D’nyon2 n’ D’nyin2 yang memiliki cerita kehidupan. Dua karakter ini tercipta dari persahabatan kreatornya yaitu Septi Asri Finanda (Septi) dengan teman semasa kuliahnya yaitu Setyo Eko Widodo (Dodo) sejak tahun 2005. Karakter ini diciptakan pada tahun 2008 dan mulai diperkenalkan ke masyarakat Yogyakarta dengan mengikuti Festival Kesenian Yogyakarta 2010.

Pada pameran ini mengikutsertakan dua peserta pameran yaitu Septi Asri Finanda sebagai kreator karakter dan Kadek Primayudi sebagai desainer grafis lepas yang akan merespon kedua karakter sebagai object eksplorasi. Karya-karya yang akan ditampilkan merupakan respon secara visual terhadap karakter moral dan pikiran yang dimunculkan oleh Septi seperti kelucuan, kegembiraan, kesedihan dan sebagainya. Oleh karena itu, Kadek, sebagai perespon harus mengetahui peran kedua karakter tersebut.

Friendship yang bermakna kedekatan hubungan, tidak hanya terjalin antara dua teman, tapi bisa muncul dari kedekatan dalam hubungan keluarga, antara Ayah dan Ibu, orang tua dan anak, maupun kakak dan adiknya. Kedekatan dari kedua karakter ini menjadi strategi bagi www.dnyonnyin.com untuk memposisikan merek dengan konsumen melalui aplikasi karakter ke dalam produk seperti tas, t-shirt, dompet, batik dan sebagainya. Kedekatan inilah yang ingin selalu dipertahankan sebagai benefit dan diperkuat melalui tagline www.dnyonnyin.com yaitu “Love Everybody Around You”.

Semoga pameran ini memberi makna yang lebih dari sebuah persahabatan dan mengajak kita untuk merangkul orang di sekitar kita.

 

ArtWork

 

Art exhibition “STORY TELLING” @ Sangkring Art Project

Group Exhibition

“STORY TELLING ”

Agni Saraswati, Ajar Ardianto, Akbar Hidayat, Dedi Irawan, Chrisna Bayu S, Haqiqi Nurcahyo, Lingga Ami L, Lukman Edi Santoso, Mieke Natalisa, Nur Wiryanto a.k.a Emprit, Ragil Surya Mega, Syamsul Ma’arif

Opening : Wednesday, February 26 2014  19.30 wib
Exhibition current until : March 9 2014

STORY TELLING 

            Karya seni yang ada di tengah-tengah masyarakat kita saat ini, bukan begitu saja hadir dan dihadirkan sebagai suatu pelengkap saja. Karya seni yang ada adalah suatu kesatuan yang utuh bagian dari masyarakat itu sendiri. Hadir lewat sebuah proses, karya seni seringkali dinilai hanya dari sudut pandang objektif saja yang melihat karya seni sebagai benda seni semata, bukan sebagai hasil dari sebuah proses. Orang acap kali menyamaratakan nilai suatu karya seni yang mereka temui tanpa secara lebih mendalam memaknai tentang bagaimana proses pewujudnyataan sebuah gagasan artistik yang kemudian dimunculkan dalam wujud karya seni yang dapat dinikmati masyarakat awam pada umumnya.

            Nilai yang terkandung dalam tiap-tiap karya seni jelas berbeda satu sama lain. Hal ini didasari oleh berbagai latar belakang yang membentuk karakter dari karya seni itu sendiri. Entah dari sang seniman sebagai pelaku seni, muapun dari lingkungan di mana seniman dan karyanya ini hidup dan dibentuk. Berbagai peristiwa serta fenomena yang terjadi di sekitar, adat istiadat, mainstream yang tengah hangat berkecamuk di tengah masyarakat memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam pembentukan nilai dari suatu karya seni. Karya seni yang hadir dari sebuah proses, inilah yang menjadi gagasan utama yang ingin diketengahkan dalam pameran Storytelling ini.

            Storytelling, menceritakan kembali sebuah cerita. Bercerita, sebuah kebiasaan yang seolah sudah mendarah daging dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari bangun tidur sampai waktu kita akan kembali tidur, kehidupan kita sarat dengan cerita. Obrolan yang terjalin dengan teman di sekolah, di lingkungan kampus, di masyarakat, dan dimana pun kita berada, hampir setiap saat kita melakukan aktivitas bercerita. Bercerita tidak hanya dapat dilakukan lewat media lisan saja tetapi juga bisa dilakukan melalui beragam media lainnya, diantaranya adalah penyampaian cerita melalui media seni (dalam hal ini karya seni). Setiap karya seni yang digubah oleh masing-masing seniman memiliki cerita mereka masing-masing yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Baik dari latar belakang, maupun berbagai aspek kekaryaan lainnya.

            Pameran yang digagas oleh sekelompok perupa muda yang berada dalam sebuah naungan institusi seni rupa, Institut Seni Indonesia  Yogyakarta ini  mencoba  menghadirkan sebuah pameran yang mengemas tidak hanya karya seni yang diciptakan oleh masing-masing perupa, tetapi juga proses penggubahan karya seni itu sendiri sebagai bagian utama dari pameran ini. Bermula dari obrolan ringan di kala senggang, yang dibalut dengan canda tawa dan guyonan hangat,  dari sanalah ide pameran ini digagas.

            Pameran ini mengemas karya 12 perupa muda ke  dalam sebuah pameran kolaborasi yang menampilkan tidak hanya lukisan ataupun drawing, tetapi juga karya patung,dan instalasi. Pameran ini menyuguhkan karya dari masing-masing perupa muda,lengkap dengan dokumentasi dari proses pembuatan karya. Dokumentasi yang dihadirkan dalam pameran ini bukan sekedar bahan dokumentasi semata. Akan tetapi, sebagai suatu bagian kesatuan yang utuh dengan karya seni yang digubah oleh masing-masing perupa.

            Pameran ini menyuguhkan karya-karya seni lukis dan drawing dari mahasiswa jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta, diantaranya karya  Haqiqi Nurcahyo, Akbar Hidayat, Lingga Ami L., Lukman Edi S., Ragil Surya M., Syamsul Ma’arif, Dedi Irawan, Agni Saraswati, dan juga Mieke Natalia R. Tidak ketinggalan pula karya seni patung dari mahasiswa patung ISI Yogyakarta,  Ajar Ardianto dan Nurwiyanto.

            Lepas dari keanekaragaman karakter dari masing-masing perupa dan karyanya yang dipamerkan dalam pameran ini, pameran ini adalah sebuah kesatuan dari proses berkarya dari masing-maisng perupa. Bertolak dari sebuah kesadaran bahwa karya seni hadir sebagai sebuah proses, demikianlah perupa-perupa muda ini akan terus berproses, lagi dan lagi dan terus dan lagi…

            Semoga semangat untuk terus berproses yang diusung oleh perupa-perupa muda yang tergabung dalam pameran ini dapat terus diproses lebih lanjut, bahkan oleh pecinta seni yang lain, entah oleh perupa ataupun para penikmat seni pada umumnya. Sehingga dunia seni rupa Indonesia khususnya, boleh semakin dibangun dan semakin maju, terus berproses dari waktu ke waktu.

Salam sahabat,

Mieke Natalia R.

 

Art Work

Dokumentasi Display

 

Solo Exhibition “Texture Structure II” Anggar Prasetyo & “Lakon II” Laksmi Shintaresmi @ Sangkring Art Space

Solo Exhibition

Anggar Prasetyo & Laksmi Shintaresmi

” Texture Structure II & Lakon II ”

Opening : Friday, February 14th 2014  7.30 Pm
Exhibition current until : March 3th 2014

Texture Structure II

       Texture adalah sifat khas suatu permukaan sebuah bentuk, structure bermakna sebagai cara mencipta, membangun, atau memandu beberapa bentuk. “Salah satu nilai seni” terletak pada elemennya itu sendiri, Persoalan seni rupa adalah persoalan (elemen visual) seni rupa itu sendiri. Karenanya, mengolah elemen visual adalah cara untuk menekankan bahwa seni rupa itu untuk mata, sebagai “apa yang tampil” bukan tentang “apa yang dihadirkannya”

Lakon II

     Sesulit apapun jalani saja hidup ini dengan lapang dan sumeleh, mawas diri, kesabaran dan ketenangan batin. Hidup hanya sekali, jadilah lakon/pemeran, janganlah jadi penonton. Jadilah lakon/pemain “yang berarti” bukan penonton yang “kosong”

Art Work Anggar Prasetyo ” Texture Structure II “

 

Art Work Laksmi Shitaresmi ” Lakon II “

Display Pameran

 

Finishing Display Pameran


Solo Exhibition Dwi Setianto : ” Lukisan dan Gambar ” @ Sangkring Art Project

 

Solo Exhibition

Dwi Setianto

“Lukisan dan Gambar”

Opening : Monday, February 3 2014  7.30 Pm
Exhibition current until : Februari 18 2013

 

 lukis dan Gambar” 

Satu hal yang ingin aku sampaikan dlm pameran ini adalah Aku ingin melukis,menggambar, membuat objek. Kegiatan tersebut memberikan kesehatan mental bagiku, disana adalah tempatku membebaskan energi yang ada.
Beberapa hal yang bisa menjadi dorongan dalam berkarya, diantaranya tempat, orang.
Tempat sangat banyak memberikan inspirasi untuk berkarya. Tempat juga mempengarui saya dalam mewujudkan karya.
Tempat mempunyai energi berbeda beda dan itu saya mau hormati.
Orang (pertemuan)menginspirasi saya berkarya. Melalui obrolan, diskusi yang akhinya bisa memberikan spirit untuk berkarya. Salah satunya dalam pameran ini yang rencananyasaya hanya ingin menampilkan lukisan dan gambar,tapi secara tidak sengaja saya bertemu dan berkenalan dengan seorang seniman (wukir) yang tertarik berkolaburasi membuat satu karya dengan saya, dan saya bersedia. Karena saya merasakan ada sebuah hal positif yang bisa disatukan dan bisa kita sajikan pada pecinta senirupa jogya.
Dan ada beberapa karya lain yang terwujud karena pertemuan dengan seseorang .

Pameran kali ini adalah pameran tunggal saya yang ke tiga di indonesia. Sejak taun 1996 saya berdomosili di finlandia, dan saya masih merasa masih mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan indonesia. Saya juga masih berkeinginan untuk berkarya dan berbagi energi estetik dengan teman-teman dan pecinta seni di indonesia jogya khususnya.
Tidak ada satu statement yang bisa saya sajikan dipameran ini, karena saya masih merasa sebagai pengembara di musim hujan di negeri ini.

Satu karya di pameran ini adalah hasil kolaburasi dengan Wukir.bantuan teknis elektronik oleh igbal sangkakala dan beberapa teman lain dalam pengerjaan fisik karya.

Dwi setianto

 

Dokumentasi Display

 

Solo Exhibition dewa Budjana : ” dawai dawai dewa budjana ” @ Sangkring Art Space

 

Solo Exhibition

dewa Budjana

“dawai dawai dewa budjana”

Opening : Thursday, January 9 2014  7.30 Pm
Exhibition current until : January 21 2014

Seniman yang terlibat:
Janggo Paramartha, Made Sumadiyasa, Putu Sutawijaya,
Pande ketut Taman,

I Nyoman Masriadi, Nyoman Gunarsa,

Made Wianta, Made Djirna, Made Budjiana, Mangu Putra,
Nyoman Nuarta, Runi Palar, Wayan Tuges, Nyoman Mandra,
Pande Sumantra, Nyoman Meja, Ketut Murtika, Srihadi Soedarsono,
Djoko Pekik, Sunaryo, Jeihan Sukmantoro, Heri Dono, Agus Suwage,
Nasirun, Yunizar, Handiwirman Saputra, Erica Hestu Wahyuni,
Bob Sick, Ay Tjoe Christine, Teguh Ostenrik, Astari Rasjid,
Midori Hirota, Syagini Ratna Wulan, Arie Smit

 

Seeing Paintings : Conversations Before The End Of History Ogz Gajah Galery @ Sangkring Art Space

 

Group Exhibition

Seeing Paintings : Conversations Before The End Of History
Exhibition current until : November 26 2013

Curator : Aminudin Siregar

SEEING PAINTINGS:
CONVERSATIONS BEFORE THE END OF HISTORY

History consists of layers and slices. Both have discontinuities and patters within; and the deeper we enter, the rhythms of history we meet increase in variety.

Traditionally, history is understood as a process in recalling monumental events in the past, transformed into document form. At the end, history attempts to inform us about this recall system, although what is recalled is difficult to verbalize. Today, history has an ambition to transform those documents mentioned earlier into monuments. With a jungle of documents and monuments, history collects the tread marks left behind by humanity. And today, history spreads out so many elements that need to be collected and sorted, to create relevance and relation between each other, to form a totality.

Michel Foucault stated that in the practice of traditional history, questions often posed is “what relationship emerges from two different events?”; “what continuity does these events imply?” and “does it define a totality, or the reverse; that we must be satisfied by merely a connection between events?”. Currently, these questions have been replaced by others, such as: “Which layer of history needs to be separated from the others?” “How do we define the series of historical events?”1

This exhibition, which present paintings from different periods, follows the view mentioned above by demonstrating that Indonesian art history is not a unity. In fact, this exhibition, by considering how to view and how to understand paintings, is expected to shift the way we look, from the search of uniting themes like periods, chronicles, centuries – to the phenomena of ruptures and discontinuities. In historical continuity there is always sudden interruptions, of which, status and meaning is initially difficult to understand.

This exhibition consist of works from various Indonesian artists who have contributed in the “field of history” since the end of the 1930s to the end of the 1990s. By viewing it as a discontinuity, this exhibition is expected to define the difference between various domains, and at the same time, these domains can come into existence through comparison between them. Therefore, the paintings in this exhibition represent layers and slices of every historical period, presented in the aforementioned comparative structure.

When does Indonesian modern art begin, and in what era does it end?

Art critic Sanento Yuliman mentioned that Indonesia painting emerged from the cultural contact between Indonesia and the West. European painting was introduced to Indonesia through the Dutch, since their arrival with the Verenigde Oost-Indische Compagnieen (VOC) in the early 17th century. Among the VOC employees were a number of painters. Painting helped the trade union serve a number of functions, like gifts for local kings to fulfill their demand for European paintings. Paintings of this period also provided documentation services for the exploration of beaches and ports, nature, plants and animals, the local society and their culture, other than archeological documentation (especially the Hindu and Buddha temples)2. Despite this, since the prerequisite of modernity is the crystallization of a national identity forming the Indonesian nation, there are also views that indicates that modern art was born after independence was attained in 1945.3

Modern painting in Indonesia resulted from the meeting of Eastern and Western art, which is not wholly Eastern or Western. Using this assumption, art critic Kusnadi states that Indonesian modern art is an assimilation process with the West. A depiction of this assimilation, according to Kusnadi, happened during the early days of modern art pioneered by Raden Saleh. If there were no interruptions during the half century since the death of Raden Saleh in 1880, which was followed by an empty period with no painting activities until 1930, Kusnadi believes that Indonesian modern painting would be more than 100 years old, and had possibly progressed further.4

The modernity of Indonesian painting grew since Indonesia’s proclamation of independence in August 1945. The Persagi (Union Of Drawing Experts, 1938) period, with the appearance of S. Sudjojono in Indonesia’s art scene is viewed as a nationalistic era. Historians believe that the modern period only started in the 1960s. The characteristics of this period is the growth of painting associations, the presence of art academies, the birth of innovation and exploration towards form at the same time as comprehension of modern art knowledge, especially the much wider Western modern art. The style and aesthetics of Indonesian painting was constantly evolving, which brings a unique complexity in assessing today’s paintings.

Indonesian modern painting is an “entity with a unique and different existence”. To understand the core of the problem in history, individuals will need various perspectives. Painting cannot only be defined simply as art created in modern Indonesian times,

07

which is the period where people who lived in that era proclaimed their independence. Understanding modern painting is not as simple as showing nationalism as the base ideology, although it certainly was used as a tool for the nation. This problem must be seen as a discourse with a continued process towards “totality”. As a consequence, a historian researching about the history of Indonesian painting will experience difficulties in the analysis for this issue.

This exhibition is meant to provoke our critical views in observing the development of Indonesian painting by underlining Indonesia’s problems, methods and a language of its own that is immesenly different from the way painting has developed outside Indonesia.

Finally, the exhibition titled Seeing Paintings: Conversations Before the End of History is expected to present the “reality of Indonesia’s painting history” as a mode of discourse, consisting of a complicated web that resulted from the acculturation and enculturation process of vocabulary, speech, criticism, polemics, writing, doctrine, bureaucracy, study, social institutions and other variables.

MELIHAT SEJARAH:
PERCAKAPAN SEBELUM AKHIR SEJARAH

Sejarah memiliki lapisan dan irisan. Keduanya memiliki diskontinuitas maupun pola masing-masing. Semakin kita memasuki lapisan dan irisan yang lebih dalam, ritme-ritme sejarah yang kita temui pun semakin beraneka-ragam.

Secara tradisional, sejarah dipahami sebagai sebuah proses mengingat peristiwa-peristiwa monumental di masa lalu, lalu ditransformasikan ke dalam bentuk dokumen. Akhirnya, sejarah mencoba mengatakan kepada kita tentang sistem pengingatan ini, meskipun sesungguhnya apa yang akan diingat itu sulit diverbalkan. Dewasa ini sejarah justru berambisi mentransformasikan dokumen-dokumen tadi menjadi monumen-monumen. Di hutan belantara dokumen dan monumen inilah, sejarah mengumpulkan jejak demi jejak yang ditinggalkan manusia. Dewasa ini, sejarah menaburkan begitu banyak elemen yang harus dikumpulkan, dipilah-pilah sehingga menciptakan relevansi dan relasi antar satu dan lainnya sehingga menciptakan totalitas.

Michel Foucault menyatakan bahwa dalam praktik sejarah tradisional, pertanyaan yang sering dikemukakan adalah, “hubungan apa yang bisa dari dua peristiwa terpisah?” “Kontinuitas apa yang ada pada peristiwa-peristiwa tersebut?” dan “Apakah mungkin mendefinisikan sebuah totalitas, atau sebaliknya, kita harus puas hanya dengan membentuk ikatan-ikatan antar peristiwa?”. Di masa sekarang pertanyaan-pertanyaan itu telah digantikan oleh bentuk pertanyaan lain, seperti: “Lapisan sejarah manakah yang harus dipisahkan dari yang lainnya?” “Bagaimana kita menentukan tipe-tipe rangkaian (series of series) peristiwa sejarah tersebut?”

Pameran dengan materi lukisan-lukisan dari masa ke masa ini meneladani pandangan di atas dengan menawarkan sejarah seni rupa Indonesia bukanlah sebuah kesatuan (unities). Alih-alih, pameran ini, dengan menimbang cara melihat dan cara memahami lukisan, diharapkan bisa menggeser cara pandang kita dari pencarian tema-tema kesatuan seperti periode, babad, abad – menuju fenomena “retakan” (rupture) dan diskontinuitas. Sementara dalam kontinuitas sejarah, pastilah terdapat “selaan-selaan” (interruption) yang muncul tiba-tiba, yang pada mulanya status maupun hakikatnya sulit dipahami.

Pameran ini mengajak karya lukis sejumlah pelukis Indonesia yang dinilai telah berkontribusi di “lapangan sejarah“ semenjak akhir 1930-an hingga akhir 1990-an. Dengan melihatnya sebagai diskontinuitas, pameran ini diharapkan bisa menentukan perbedaan berbagai macam domain, dan pada saat yang sama, domain-domain itu bisa terwujud hanya dengan jalan mengomparasikan satu dengan yang lainnya. Karena itu, lukisan-lukisan dalam pameran ini mewakilkan lapisan dan irisan dalam setiap periode sejarah tampil dalam kerangka komparasi tersebut.

Kapan seni rupa modern Indonesia itu bermula dan di era mana itu berakhir?

Kritikus Sanento Yuliman mengatakan bahwa seni lukis Indonesia muncul dari hasil kontak kebudayaan antara Indonesia dan Barat. Seni lukis Eropa diperkenalkan ke Indonesia oleh orang-orang Belanda sejak mereka datang di dalam serikat dagang Verenigde Oost-Indische Compagnieen (VOC) di awal abad ke-17. Diantara pegawai VOC tersebut terdapat sejumlah pelukis. Seni lukis membantu upaya serikat dagang itu guna melayani sejumlah keperluan, misalnya menghadiahkan kepada raja pribumi, memenuhi pesanan mereka atas sejumlah lukisan Eropa. Seni lukis pada masa ini turut menyediakan layanan dokumentasi hasil eksplorasi pantai dan pelabuhan, keadaan alam, flora dan fauna, penduduk dan kebudayaan mereka disamping dokumentasi arkeologis (khususnya candi Hindu dan Budha). Kendati demikian, mengingat prasyarat modern adalah kristalisasi kebangsaan-nasional yang membentuk bangsa dan negara Indonesia, maka muncul pandangan yang mengatakan bahwa seni rupa modern ini lahir setelah kemerdekaan 1945.

Seni lukis modern Indonesia dihasilkan dari pertemuan antara seni Timur dan Barat yang tidak murni Timur maupun murni Barat. Dalam asumsi ini, kritikus Kusnadi mengatakan bahwa seni rupa modern Indonesia merupakan proses asimilasi dengan Barat. Gambaran asimilasi ini, menurut Kusnadi, terjadi pada masa perintisan seni lukis modern yang dimulai Raden Saleh. Andaikata tidak terputus selama setengah abad setelah wafatnya Raden Saleh pada 1880, menyusul terjadinya kekosongan waktu yang lama tanpa kegiatan seni lukis sampai 1930, Kusnadi meyakini bahwa seni lukis modern Indonesia akan berumur lebih dari satu abad dan memiliki kemungkinan perkembangan yang sudah lebih maju.

Kemodernan dalam seni lukis Indonesia tumbuh sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada Agustus 1945. Adapun periode Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar, tahun 1938) dengan kemunculan S. Sudjojono di kancah seni lukis Indonesia dipandang sebagai era nasionalisme. Sejarawan lalu meyakini bahwa periode modern nbaru dimulai pada era 1960-an. Karakteristik periode ini antara lain pertumbuhan asosiasi pelukis, keberadaan akademi seni, lahirnya inovasi dan eksplorasi baru terhadap bentuk bersamaan dengan tegaknya pemahaman atas pengetahuan seni modern, khususnya seni rupa modern Barat yang lebih luas. Gaya dan estetika seni lukis Indonesia terus berkembang. Karena itu, menilai seni lukis pada masa sekarang memiliki kompleksitas tersendiri.

Seni lukis modern Indonesia merupakan “entitas yang keberadaannya unik dan berbeda.” Untuk memahami inti permasalahannya dalam sejarah, seseorang membutuhkan berbagai sudut pandang. Seni lukis ini tidak bisa diartikan secara sederhana sebagai seni yang lahir di masa Indonesia modern saja, yaitu era ketika manusia yang menetap di kawasan ini memproklamirkan kemerdekaannya. Memahami seni lukis modern kita juga tidak semudah menunjuk nasionalisme sebagai dasar ideologinya, meskipun memang pernah ditempatkan sebagai instrumen kebangsaan. Masalah ini harus dilihat sebagai suatu diskursif yang terus menerus berproses menuju “totalitas”. Sebagai konsekuensinya, seorang sejarawan yang meneliti sejarah seni lukis Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menetapkan satu pisau analisa yang serba pasti mengenai hal ini.

Pameran ini ditujukan bisa memancing pandangan kritis kita dalam menyoroti perkembangan seni lukis Indonesia dengan menggarisbawahi bahwa Indonesia memiliki problematika, cara dan bahasa tersendiri yang tidak akan pernah sama persis sebagaimana perkembangan seni lukis di luar Indonesia.

Akhirnya, pameran Seeing Painting: Conversations Before the End of History ini diharapkan bisa memperlihatkan “kenyataan sejarah seni lukis Indonesia” sebagai sebuah mode of discourse yang terdiri dari jalinan-jalinan rumit akibat proses akulturasi dan inkulturasi dalam wujud kosa kata, tuturan, kritik, polemik, tulisan-tulisan, doktrin, birokrasi, sekolah, institusi sosial, dan lain sebagainya.

 

_______________________________

1 Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa, 2001, Jakarta: Penerbit Yayasan Kalam, hal. 55-57.

2 Sanento Yuliman: Modern Art in Indonesia, the exhibition catalogue of Contemporary

Indonesian Art: Painting and Print in The 5th Asian International Art Exhibition, 1991.

3 Kusnadi, Arti Luas Kepribadian Seni Lukis Modern Indonesia, Majalah Horison, September

1990. This article was also printed in Dermawan, Agus.T (ed.), Kusnadi: Kritikus, Seniman,

Pendidik, 1996, Jakarta: Penerbit Yayasan Seni Rupa AiA, p. 125- 135 and was reprinted

by Joseph Fischer (ed.), Modern Indonesian Art: Three Generations of Tradition and

Change, 1990, California: Berkeley, p. 42-47.

11

Solo Exhibition Meta/Mata by Pupuk Daru Purnomo @ Sangkring Art Space

Solo Exhibition

Pupuk Daru Purnomo

“Meta/Mata”

Opening : Saturday, October 26 2013  19.30 wib
Exhibition current until : November 8 2013

Curator : Soewarno Wisetrotomo 

Meta/Mata

(Karya-karya Pupuk Daru Purnomo Pascadrama Mata dan Telinga)
Memahami kisah dramatik yang dialami Pupuk Daru Purnomo (dilahirkan di Yogyakarta, 16 Juni 1964, selanjutnya ditulis Pupuk ) ketika berurusan dengan perkara yang menimpa matanya, dan kemudian apa yang terjadi sesudahnya (termasuk gangguan pada telinganya), segera saya menyimpulkannya dengan dua kata; “Meta/Mata”. Pada suatu waktu, matanya terancam tidak berfungsi dengan baik, terkait retina dan katarak. Maka segera ia melakukan ikhtiar-ikhtiar untuk pengobatan, menemui dokter ahli atau spesialis, tak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri, hingga menggunakan waktu yang sangat melelahkan. Tak terelakkan, aspek psikologisnya terguncang. Menghadapi drama itu semua, saya mendengarkan dan menyaksikan seorang Pupuk melakukan keputusan-keputusan dan cara-cara ‘melawan’ situasi tersebut , dengan sangat menyentuh dan menginspirasi. Jalan kesenian – seni lukis – pada akhirnya yang menyelamatkan situasi dirinya. Terhadap semua yang terjadi, terutama dalam aktivitas berseni rupa, dalam pandangan saya berada pada level “melampaui mata”, berada dalam suatu derajat “meta-mata”.

Saat-saat kritis menghadapi gangguan mata, dapat dikatakan, merupakan sepenggal waktu yang mengguncang dirinya lahir batin. Aktivitas kerja melukis turun drastic, karena tak ada konsentrasi, dan sebagian besar waktunya untuk ikhtiar penyembuhan . Demikian pula saat mengalami gangguan telinga, waktunya juga lebih banyak tersita untuk urusan konsultasi dokter. Kondisi dan suasana batin yang penuh guncangan, juga kesadaran terhadap “keanehan” yang diidapnya (Pupuk mendefinisikan atau tepatnya mengidentifikasikan dirinya dengan menarik, seperti katanya, “keseluruhan penampilan fisik saya, termasuk pakaian yang saya kenakan, sangat normal, dan biasa-biasa saja, tetapi suasana dan kondisi dunia dalam/jiwa saya sangat tidak normal”; sambil membandingkan sebagian besar kawan-kawannya yang “aneh dalam penampilan fisik” tetapi biasa-biasa/normal kondisi dunia dalam/jiwanya).

“Meta/Mata” pada akhirnya merupakan konfirmasi terhadap sepenggal waktu yang dialami dan dilalui Pupuk, tetapi sangat menentukan peta jalan keseniannya. Penjelajahan dilakukan setelah ia mengalami kejadian-kejadian yang tak mudah, dan harus dilaluinya. Karya-karya pascadrama ini lebih ditentukan oleh kemampuannya dalam melewati mata telanjang. Dengan kata lain, karya-karya yang digubah pascadrama, adalah karya-karya yang memiliki ketajaman ‘melampaui mata’ berupa ide-ide, imajinasi, fantasi, harapan, dan afirmasi yang berkelindan dalam diri Pupuk.

Karya-karya Pupuk Daru Purnomo memberikan sugesti yang kompleks pada penonton; kelincahan garis, penguasaan bentuk, ketajaman menangkap karakter, tetapi juga narasi yang berlapis-lapis. Antara keindahan dan kemuraman saling mengisi, saling membalut, juga saling menajamkan.
Terhadap nilai-nilai semacam itu, saya semakin percaya, bahwa berkarya seni tak cukup hanya mengandalkan ketrampilan (teknis) semata, tetapi juga memerlukan ketajaman cara pandang, kecerdasan dalam memahami persoalan, dan kepiawaian menemukan bentuk-bentuk yang dianggap mewakili gagasan-gagasannya. Aspek lain yang tak kalah penting adalah, seberapa berkualitas pengalaman hidup dan kehidupan seorang seniman (perupa), akan menentukan kualitas karya-karya gubahannya. Pupuk, dalam pandangan saya memiliki kelengkapan modal semacam itu, betapapun, sebagian modalnya berupa ujian bagi hidup dan kehidupannya yang tak ringan, juga tak mudah untuk ditanggung. Pupuk lolos dari ujian dan beban itu. Alhasil, ia menunjukkan ketangguhannya sebagai seniman, sebagai perupa, dan lebih dari segalanya adalah sebagai manusia dengan segenap tanggungjawabnya.

(Suwarno Wisetrotomo)

 

Dokumentasi Display

 

Transitions In UX Design

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat. READ MORE