Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-19,page-paged-19,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Retropektive NYOMAN MANDRA Kamasan

Nyoman Mandra – Empu Seni Lukis Klasik Bali

Oleh Nyoman Mandra

Essai
Oleh I Nyoman Gunarsa
Sebagai seniman tradisional, Nyoman Mandra dengan teguh mengikuti panggilan jiwanya. Pengabdiannya kepada pekerjaan seorang seniman tradisional adalah sesuatu yang dikejarnya dengan sepenuh hati sejak kecil. Inilah tugas yang diwarisi dari para pendahulunya, misalnya pamannya, Nyoman Dogol, dan melanjutkan kerja yang telah ditekuni selama bergenerasi-generasi, sampai hari ini, di Desa Kamasan. Komitmennya kepada karier telah mengangkatnya menjadi tokoh penting, dan dia bahkan layak disebut Maestro, seniman paling unggul dalam seni lukis klasik di Pulau Bali kita tercinta. Kita semestinya bersyukur dan berterima kasih kepada Nyoman Mandra, karena darinya kita masih dapat belajar tentang makna keluar-masuk tradisi, menyaksikan karya-karya unggulnya, dan mengapresiasi seni rupa Bali gaya klasik.

I.Seni rupa klasik Bali yang saat ini dapat kita amati di Desa kamasan, Klungkung, adalah warisan masa lalu yang berkembang dan mencapai zaman keemasannya sepanjang abad 16, ketika Bali diperintah dari Gelgel oleh Raja Dalem Waturenggong, leluhur dinasti yang berlanjut turun-temurun ke keluarga kerajaan Klungkung pada masa kini. Seni lukis klasik ini adalah puncak dari seni rupa Bali yang telah menanggalkan pengaruh seni rupa Hindu di Jawa Timur, terlebih lagi realisme plastis seni rupa Jawa Tengah, di mana pengaruh seni rupa India, yang diilhami seni rupa Yunani, sesungguhnya masih berkuasa. Pada masa kekuasaan Raja Udayana, sekitar abad 8, kecil bedanya antara seni rupa Hindu kuno di Bali dan Jawa, sebagaimana dapat kita saksikan dalam sisa-sisa peninggalannya di Goa Gajah, atau di Pura Puseh Jagat di Bedulu, Gianyar. Dalam apa yang dapat kita saksikan dari peninggalan seni rupa Hindu-Budha di Borobudur dan Prambanan, pengaruh India masih kuat.Dalam perkembangannya kemudian, kesenian Hindu di Jawa Timur mengalami perubahan yang disesuaikan dengan selera Indonesia. Simbol-simbol yang bertampilan realistik digayakan menjadi bentuk-bentuk yang lebih abstrak, sehingga pahatan dan relief candi di Jawa Timur menjadi lebih penuh-sesak dan lebih dekoratif. Dalam gaya ini berkembang aneka motif dan elemen baru, seperti figur punakawan Semar, atau Malen dan Merdah, yang mendampingi para pahlawan satria dari kisah Ramayana dan Mahabharata. Pola-pola setempat juga muncul pada masa ini, misalnya desain “pecah daun” dan “mekar daun”. Semua ini diwarisi dalam tradisi Bali. Di Bali, seni rupa Hindu telah berkembang mencapai titik kesejatian dan keunikan, terbebas dari pengaruh pendahulu Jawa, terlebih lagi India. Itulah sebabnya seni rupa klasik Bali sangat unik coraknya.

Perkembangan ini menjadi sumber kebanggaan luar-biasa bagi kami orang Bali, bahwa kami memiliki seni adiluhung kami sendiri, seni yang memberi kami pijakan untuk mencapai dunia baru yang kami idealkan. Bahwa orang Bali jelas memiliki budaya adiluhung sendiri selama berabad-abad, adalah sesuatu yang menggugah kami untuk bertindak menciptakan masa depan yang lebih cerah sebagai insan berbudaya. Akar filosofis Hindu-Bali tertanam kuat dan dikembangkan dalam epos Ramayana dan Mahabharata, kisah Tantri, teater Gambuh, cerita Angling Darma, sendratari Arja, dan kronik Pararaton, semua yang akan menyinari dunia kreatif generasi muda Bali di masa depan. Mungkin kami bosan dengan berbagai tradisi tersebut, tapi akan tiba saatnya, dan ini bukan hanya “seandainya”, anak-cucu kami akan kembali meminati nilai-nilai para leluhur kami yang melandasi seni ini, dan akan mengembangkan kembali inspirasi darinya.

II.Nyoman Mandra adalah salah satu tokoh penting yang tetap produktif sebagai pelukis sampai sekarang. Kata “klasik” berasal dari kata “kelas”, dan bermakna yang terbaik, puncak, paling sempurna, dengan aturan-aturan baku dalam penciptaan – bukan hanya untuk bentuk atau wondo atau proporsi figur, ikonografi, raut wajah atau tokoh yang halus, kasar, seram dan figur-figur monster; penggunaan simbolis warna untuk membedakan sejumlah tokoh, seperti merah, kuning dan biru, dengan maknanya masing-masing; isyarat simbolis tangan (atau mudra) dari tiap figur, juga gerak kaki, sikap tubuh – semua ini mengikuti peraturan yang harus dipatuhi oleh penganut sejati gaya seni lukis klasik.

Selain berurusan dengan berbagai masalah pada tataran gagasan yang digarap dalam lakon-lakon Mahabrata, Ramayana dan sebagainya, dan melibatkan realisasi tatanan bentuk dan problem teknis, seni lukis ini juga melibatkan tahap-tahap yang harus diikuti di tatanan perilaku, demi mendapatkan hasil “klasik” yang maksimal. Contohnya, untuk menciptakan lukisan berdasarkan kisah Mahabharata, Nyoman Mandra harus mengawali dengan sketsa (ngereka). Dalam membuat figur, dia harus memperagakan penguasaan atas semua unsur bentuk pertunjukan wayang, sampai ke titik di mana ia dapat berkarya secara reflek dari ingatannya yang tajam tentang seperti apa ikonografi tiap tokoh, memakai sapuan yang seksama dan spontan, tapi tepat sasaran, dan tanpa pengulangan dalam mewujudkan tiap figur. Inilah bukti dari keempuannya.

Nyoman Mandra tak tertandingi di Kamasan dalam kepiawaian membuat sketsa figur wayang. Selain karyanya setara dengan karya seniman senior manapun dari seluruh penjuru Bali, penguasaannya atas figur-figur wayang yang sangat ekspresif begitu bagus. Dan ini terlepas dari fakta bahwa dia tidak pernah terlatih di akademi. Dia menguasai proporsi ideal wayang, termasuk kontur keseluruhan yang kemudian diperhalus dengan ketelitian dan perhatian terhadap detail. Nyoman Mandra adalah mahaguru Kamasan. Dia menyediakan sketsa dasar bagi semua orang yang berkarya di studionya, yang kemudian diambil-alih oleh para asisten atau cantriknya untuk diwarnai, lalu ditegaskan dengan garis yang lebih tebal, sebelum dipoles dengan kulit kerang untuk menyelesaikan dan mengilapkan permukaan lukisan.

Di era global, ketika Bali mengalami pergolakan yang melanda keseniannya akibat serbuan budaya luar, pariwisata dan aneka ragam seni yang aktif di Bali, Nyoman Mandra tetap konsisten, yakin dan tegar menjalankan misi budaya dan filosofi Hindu-Bali. Karya-karyanya telah menggugah dunia, dan melambungkan reputasi Bali dan rakyat Indonesia.

HEY GOD

“HEY GOD”
Oleh : Tomi Tanggara
Pembukaan : 1 September 2010
Pameran berlangsung : 1 – 10 September 2010
Pameran di buka oleh : Romo Subanar

Akhirnya pameran tunggal Tommy Tanggara bertajuk “Hey God” dapat terlaksana sesuai rencana pada awal bulan Sertember 2009 ini. Tema tersebut tentunya mempunyai makna lebih, dari sekedar sapaan terhadap Tuhan bagi perupa. Ide karyanya muncul dari kegelisahan perupa tentang konsep ketuhanan, pengalaman hidup sehari-hari dan ungkapan emosi yang sangat personal tentang dirinya, serta sosok yang di kenal –Nya.

Selain itu, karyanya bisa di lihat sebagai kombinasi dari penjelajahan imajinasi dan fantasi, didasari oleh rasa ingin tahu, kegelisahan terhadap berbagai hal. Di situ, perupa melakukan pencarian makna, dan ini merupakan pengalaman menarik yang mungkin berguna bagi perupa dalam menghadapi realitas kehidupan masa kini.

Karya Tommy Tanggara memiliki daya tarik, mengajak kita untuk menjelajahi gambar dengan mencari simbol-simbol atau tanda-tanda yang punya arti tersendiri baginya, misalnya karya berjudul : “Peace Master”,.

Berkarya bagi perupa merupakan sebuah media ekspresi, penjelajahan dalam mewujudkan kegelisahan, fantasi dan imajinasinya. Harapan kami selain pameran ini berlangsung dengan baik dan sukses, juga dapat diapresiasi seturut kadar penciptaan karya perupa dengan olah teknik, tema, maupun gaya yang dapat menambah khasanah dunia berkesenian. Terima kasih dan selamat kepada perupa yang berpameran, serta pihak-pihak yang telah mendukung terselenggaranya pameran ini.

– Sangkring Art Space

Manunggaling Kala Desa

Manunggaling Kala Desa

I Wayan Setem Solo Exhibition

Berangkat dari pengamatan terhadap lingga-yoni dan setelah melakukan eksplorasi maka muncul gagasan ”Manunggaling Kala Desa, Melintas Fenomena Ruang dan Waktu” sebagai tema. Manunggaling kala desa berasal dari  bahasa Sansekerta yang artinya waktu dan tempat/ruang. Bila ditinjau dari sudut antropologi, dengan bantuan konsep psiko-analitis Freudian, lingga-yoni merupakan simbol Tuhan yang dipercaya sebagai bapak dan ibu di alam semesta ini. Kemanunggalannya akan melahirkan kehidupan, dalam artian hubungan langit dan bumi menimbulkan ruang tempat kehidupan dan keseimbangan kosmos. Di sinilah lingga dan yoni merupakan kesatuan dinamis, seperti halnya pikiran dan hati yang saling melengkapi. Sulit dibayangkan bumi tanpa langit, ruang tanpa waktu. Pada wilayah ini pula lingga-yoni yang berwujud kelamin menjadi sangat sakral dan suci, sebagaimana adi kodrati-Nya.

Persepsi saya terhadap lingga-yoni yang terkait dengan manunggaling kala desa tidak semata-mata diartikan sebagai kualitas pengindraan, tetapi mengandaikan proyeksi atas nilai-nilai dengan melibatkan interpretasi. Saya dapat menghayati lingga-yoni menjadi bermakna, sehingga dapat menyadari hubungannya dengan ruang (desa) dan waktu (kala). Dalam hal ini, persepsi tidak hanya ditujukan kepada pencapaian pengetahuan kognitif, tetapi membawa muatan pada feeling yang berkaitan dengan nilai-nilai estetik, moral, dan religius.

Perlu dijelaskan, dalam masyarakat Bali kesadaran kolektif tentang dunia dan alam semesta yang kosmo-centris sangat menentukan gambaran mengenai ruang dan waktu yang dianggap sebagai daya kekuatan maha besar mengatur kehidupan penghuni semesta raya ini. Manusia berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber dari pada penjuru mata angin, pada binatang-binatang dan planet-planet. Kekuatan ini dapat menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, atau sebaliknya dapat menimbulkan kehancuran tergantung pada keberhasilan individu, masyarakat atau negara dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatannya dengan jagat raya.

Namun dalam era ”glo-Bali-sasi” masyarakat mengalami benturan kebudayaan. Tabrakan waktu kapitalisme dengan waktu khas agraris Bali terjadi sangat dashyat serta selalu terjadi dualisme antara keinginan untuk mempertahankan tradisi dan menerima modernisasi sebagai tuntutan zaman. Di lain sisi saya merasakan tidak begitu kuasa berhadapan dengan investasi global, ruang dan waktu tidak lagi menjadi bagian utuh penduduk Bali. Dengan demikian akan mengundang berbagai masalah di segala bidang termasuk pula perubahan tatanan ruang dan waktu.

Renungan masalah ruang dan waktu menarik dicermati kembali terutama di dalam dimensinya yang suci atau keramat agar dapat menangkap maknanya sehingga meminimalisasikan tabrakan ideologi. Selanjutnya akan terbuka ruang untuk hibriditas dan dimensi transnasional yang lebih dinamis.

Pada konteks itulah, saya menempatkan eksplorasi kreatif penciptaan karya seni lukis sebagai upaya refleksi kritis melintas fenomena ruang dan waktu dengan tajuk ”manunggaling kala desa”. Di dalam ketegangan kreatif serupa itu saya ingin mengkritisi kondisi Bali yang telah menjadi ajang “pertempuran” berbagai ideologi akibat globalisasi.

MEMOAR MAINAN

Oleh : Kriya 2001 (ISI Yogyakarta)
Pameran berlangsung : 15 – 24 Mei 2009
Penulis : Sujud Dartanto
Pameran di buka oleh : Drs. M. Agus Burhan M,hum

Memoar Mainan
Dalam perkembangan seni rupa kontemporer dewasa ini memperlihatkan kecenderungan untuk mengolah kembali tema-tema lokal, domestik dan personal. Yaitu, seni rupa yang mengutamakan narasi diri, persoalan sosial yang dekat dengan lingkungan perupa, dan budaya yang membesarkan diri perupa.
Kecenderungan ini sesungguhnya sudah menjadi nature dari insan kriya yang telah lama bergulat dengan isu-isu lokal. Dalam praktik akademis, insan-insan kriya beroleh pengetahuan dan praktik pengalaman untuk mengenali ragam dan corak tradisi. Angkatan 2001 ini memiliki kekhasan jiwa angkatan, mereka menamakan angakatan mereka “Mulyo Karyo”. Pengambilan idiom lokal dari khazanan budaya Jawa ini menandakan adanya empati mereka terhadap budaya lokal setempat. Nama ini menyiratkan spirit mereka akan etos kerja.
Pameran ini mengambil tema ” Memoar Mainan”. Pameran ini sengaja ingin menampilkan ingatan peserta pameran pada beragam mainan yang menemai masa kecil mereka. Jenis mainan yang dipilih adalah mainan lokal. Seperti apakah bentuknya? Bisa kita lihat pada hasil kreasi mereka ini. Mainan terlintas seperti praktik remeh temeh, sepele, dan lekat dengan waktu luang. Juga sering diasosiakan oleh dunia anak-anak. Lewat pameran ini, “Memoar Mainan” ingin membuktikan bahwa masa kecil bisa diangkat ulang dan dihadirkan dengan sentuhan ekspresi personal.
Tujuan pameran ini, pertama, ingin mengangkat ingatan mainan masa kecil. Apa yang diingat dan dihasrati. Mainan dalam pameran ini juga bisa dibaca sebagai sebuah representasi. Kedua, pameran ini ingin menunjukkan bentuk alternatif sebagai bentuk pengucapan lain dalam khazanah seni rupa kontemporer yang menjunjung nilai-nilai lokalitas.
Peserta pameran ini adalah kelompok MAKARYO alumni mahasiswa jurusan kriya ISI yogyakarta angkatan 2001 Pameran ini menggunakan media kayu, logam, tekstil, kulit dan keramik. Dan menggunakan berbagai teknik penciptaan. Sejumlah karya-karya juga memperlihatkan bentuk mixed media.

Pameran Art After Art Day

Foto Pembukaan

Dalam perjalanan menempuh jenjang studi S2, mahasiswa Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia angkatan 2006 merasa bahwa tumbuh kembang dan alur berkesenian masing-masing individu yang tergabung di dalam angkatan tersebut perlu mendapatkan ‘orgasme’ estetis dan pencapaian total ending yang menggugah selera berkesenian dunia luar ISI. Karya-karya puncak yang dihasilkan harus mampu memberi sumbangsih yang nyata dalam ranah berkesenian secara global.

Secara akademik pencapaian karya puncak tersebut terwadahi dalam Ujian Tugas Akhir, namun itu hanya terbatas pada penilaian dalam ranah akademik yang ditentukan dalam nilai dan abjad. Ekses yang diharapkan muncul di masyarakat masih tipis dan terbatas. Penilaian sebetulnya bukan hanya diukur dari sekedar nilai A, B atau C, tapi lebih kepada tanggapan masyarakat dalam melihat, mencermati, menikmati dan mengapresiasi karya-karya tersebut dalam ruang yang lebih luas bahkan dalam tinjauan yang lebih membuka berbagai prespektif yang mengundang wacana baru di masyarakat pecinta seni. Sehingga, nilai berkesenian para mahasiswa PPs ISI angkatan 2006 ini setidak-tidaknya mampu memberi arti dan sedikit goncangan dalam ranah budaya seni yang maha luas ini.

Untuk itulah kami menyelenggarakan sebuah event yang kami beri tajuk Art After Artday, kami berkeyakinan bahwa event ini akan mampu merangkum totalitas ‘orgasme’ estetis mahasiswa tersebut di samping mampu membuka kesadaran masyarakat dan para pelaku serta pecinta seni untuk lebih mengenal karya nyata, kehebatan, totalitas berkesenian, keberadaan dan sumbangsih para seniman dan peneliti seni melalui mahasiswa PPs ISI Yogyakarta angkatan 2006.  Disamping itu, event Art After Artday menjadi semacam titik tolak yang memotivasi setiap individu yang berada dalam lingkup mahasiswa angkatan 2006 PPs ISI Yogyakarta untuk tetap mempertahankan kegairahan berkeseniannya secara terus menerus dan berkelanjutan sebagai sebuah dogma dan nafas hidup yang tiada henti. Sehingga ranah dunia seni nusantara semakin berwarna, variatif dan lebih inovatif dengan karya-karya yang dihasilkannya.

Karya Art After Art Day

JEDA

JEDA
Oleh Robet Kan dan Nanang W
Pembukaan : 20 Juli – 5 Agustus 2008
Pameran dibuka oleh : Bpk. Ong Hari Wahyu

JEDA dalam derasnya ide-ide
Oleh: Barahasti
Jeda, merupakan waktu berhenti sebentar dari segala hal yang sedang dilakukan, waktu berhenti sebentar membebaskan otak untuk berfikir, waktu berhenti sebentar mengistirahatkan tubuh, waktu berhenti sebentar berbicara merilekskan otot-otot mulut, waktu berhenti sebentar menikmati segala yang ada. Mungkin juga Jeda adalah sebuah refleksi menelaah diri lebih dalam. Jeda, waktu berhenti sebentar dari apapun.
Jeda merupakan Judul puitik yang dipilih oleh dua pematung Robert Kirwanto (Sleman 1979) dan Nanang W (Klaten 1976) untuk pameran seni patungnya kali ini. Jeda untuk sekedar menbicarakan secara visual persoalan personal hingga persoalan sosial, Jeda untuk berenang-renang melawan arus konvensi seni patung, jeda untuk menjumputi gagasan-gagasan yang sering terpinggirkan. Ketika mereka penulis Tanya Kenapa Jeda? Mereka jawab,  “karena paling pas”. Jawaban tersebut menyeret paksa penulis untuk melihat lebih dekat ketika mereka berproses, dari hanya sekedar ngobrol ditemani anggur fermentasi hingga berjalan-jalan keluar studio, dari teh Pugeran sampai ke desa seni Nitiprayan. Bagi Robert dan Nanang yang menyandang fresh graduated dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, saat ini merupakan Jeda, berhenti sebentar setelah menamatkan studi mereka untuk selanjutnya menghadapi dunia nyata. Jeda yang membuat keduanya ingin balas dendam menuangkan deras ide-ide dari otak yang begitu penat tertahan. Dalam berproses, mereka mengaku bahwa siapapun, apapun diluar diri dan otak mereka adalah guru. Guru yang mampu mengajarkan sesuatu. Ketika mereka singgah kestudio-studio perupa, berbincang dengan orang dipinggir jalan atau bertemu sahabat, serta merta mereka mengubah diri menjadi spons yang berusaha sekuat mungkin menyerap ilmu-ilmu dunia. Kemudian memikirkan ulang, mengkolaborasikan paradigma, memaknai  referensi, mengendapkan satu-persatu keliaran ide, saling berbincang kembali, hingga mengeksekusi ide-ide tersebut dalam karya-karya seni patung mereka.
Narasi Karya dalam pameran ini cukup beragam. Namun Jeda dalam derasnya ide-ide, Jeda dalam himpitan waktu, Jeda dalam pertarungan pemikiran, adalah jeda-jeda yang melahirkan hampir keseluruhan Karya Robert dan Nanang W dalam pameran ini. Robert berusaha memvisualkan refleksi, membolak-balikkan figur, menggabungkannya dengan material disekitarnya, mengeksplorasi efek alumuniun, serta menambahkan warna-warna manis. Selain itu, Robert memain-mainkan idiom kata seperti dalam karyanya yang berjudul “Kamu tahu?” kanvas bergambar makanan tahu ia tusuk dengan garpu, secara visual memperlihatkan makanan tahu yang akan dimakan, sedangkan secara linguistik bertanya apakah anda paham akan sesuatu. Pada pameran Jeda ini, Nanang W mengklaim bahwa karya-karyanya yang memang terlahir dari Jeda, (ia mengeksplorasi gelas) tidak mempunyai tendensi untuk memojokkan sesuatu atau seseorang, ataupun memvonis mati Jeda. Namun benar-benar ia ciptakan ketika Jeda merajai waktunya. Pada karyanya yang berjudul “mayoritas diam” Nanang mensekrup gelas-gelas sloki ke papan kayu dengan posisi telungkup yang menggambarkan ke”diam”an. Hanya ada satu gelas yang disekrup dengan posisi normal seperti mau diisi. Memperlihatkan hanya ada satu yang berani menyuarakan pendapatnya.
Kepada Oom Robert dan Oom Nanang, Apapun idiom kata atau bahasa visual yang dipilih. Tetaplah beringas, Lintasi, tembuslah batas-batas jeda yang ada, dan Selamat Berpameran.

* Barahasti seorang kawan dan sahabat yang masih berusaha menyelesaikan Tugas Akhirnya di jurusan seni murni, minat utama seni grafis, Institut Seni Indonesia.