Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-11,page-paged-11,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

Adu Domba #3_visageblanc sans visage_Erizal As vs I Nyoman Adiana_@ Sangkring Art Project

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Adu Domba #3 – visage blanc sans visage
Oleh : Erizal As & I Nyoman Adiana
Pembukaan : Kamis, 28 April 2016 Jam 19.00 wib
Di buka oleh : dr. Oie Hong Djien
Penulis : Apriadi Ujiarso
Pameran berlangsung : 28 April – 15 Mei 2016

visage blanc san visage

sans visage

Erizal As adalah perupa yang selalu punya perhatian kepada peristiwa sosial politik baik pada tingkat global maupun nasional yang menjadi trending topic melalui televisi atau media sosial. Sepuluh tahun lampau, minatnya sebagai ‘pengamat visual’ peristiwa politik pembentuk problematika sosial, menjadi dasar kreativitasnya dalam pameran tugas akhir di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Rupanya minat itu tak pernah terkikis, justru makin kokoh seturut pemahaman wacana, peningkatan kosa rupa dan kecakapan teknis yang terus diasah. Hal ini ada kegayutan dengan kekuatan akar budaya Minang yang manifestasinya pada perupa kelahiran Padang Panjang, diantaranya adalah mantapnya rasa percaya diri dan kecakapannya mengajukan wacana melalui karya – karya visualnya.

Erizal As, dalam pameran visage blanc sans visage” memilih pilah  enam karya visualnya yang menjadi representasi pemikiran dan ketekunannya dalam studi visual berbasis wajah, yang lantas disatukannya ke dalam tema Faceless series. Secara linear enam karya itu dipilah dalam tiga bagian, yaitu seri #1 awal 2015, terpilih dua karya berukuran 2 x 2 m. Seri #2 akhir 2015 terpilih dua karya dengan ukuran 1,4 x 1,9 m, dan seri #3 awal 2016 terpilih dua karya berukuran 1,8 x 1,8 m. Bisa kita lihat seluruh karya Faceless series memanfaatkan empat media utama, berupa acrylic, charcoal, oil bar, dan pastel yang aplikasinya diatas kanvas dilakukan secara acak dengan prosentase tak tentu. Modus berkarya perupa peraih banyak penghargaan ini adalah berangkat dari hasil pemikiran dan proses dialektika yang membuahkan gagasan dan struktur kreatif visual umum, yang disimpan di dalam lipatan otaknya. Menariknya Erizal As tidak pernah memulai prosesnya dengan basis sketsa atau rancangan awal. Satu pilihan yang dianggap paling mampu memfasilitasi luapan ekspresi kegelisahannya terhadap berbagai peristiwa (politik) yang menjadi fokus perhatiannya. Selebihnya Erizal As akan mengekspresikan sintaksis – sintaksis visual secara spontan dan bebas.

Apa yang ada dalam lipatan otak Erisal As yang divisualkan di dalam Faceless series ini adalah bahwa setiap peristiwa politik terkini, selalu memunculkan tokoh, yaitu elit politik bergaya hidup mewah, berciri metroseksual, pesolek, penuh gincu, suka berlagak namun punya karakter antagonis yang kental, rajin berjanji, cakap tipu – tipu, tukang bikin geger, ahli membuat hidup menjadi kemelut, dan cekatan menghisap kekayaan rakyat. Menariknya tema Faceless dari pemikiran Erizal ini mendapat makna terbaiknya dalam ungkapan bahasa Jawa. Lantas agaknya muncul pertanyaan bagaimana visualisasi dari orang atau tokoh yang statusnya “wis ora nduwe rai” itu. Disini perupa yang saat ini adalah ketua organisasi Sakato menemui “ruang kosong” yang membuka peluang besar baginya untuk melakukan berbagai eksplorasi yang sangat dirinya, bahkan dengan mencukupkan pada batas kop. Erizal As tetap bisa mengeluarkan semua teknik yang dikuasainya dengan baik, pada Faceless seri # 1, teknik sapuan kuas, lelehan, torehan, goresan, dan teknik pallete untuk menghasilkan tekstur di dalam komposisi …  . Tidak cukup dengan teknik itu, pada Faceless seri #2 dan Faceless seri # 3, Erizal menambah dua teknik yaitu cat yang dipencetkan langsung pada kanvas, dan teknik spray (acrylic). Dan seluruh teknik yang diaplikasi pada kanvas dilakukannya dengan berdiri, selalu memanfaatkan konsep “active seeing” dalam rangka mematangkan komposisi yang memuat tuturan ekspresi kegelisahan, keprihatinan atas kehadiran wajah – tokoh antagonis yang kabur identifikasinya, namun ahli dalam membalikkan huruf – huruf, ambigu, oportunis dan licik dalam perhitungan angka  – angka. Hasilnya adalah saat ini, enam karya visual sarat energi.

visage blanc

Nyoman Adiana adalah perupa yang gemar menelisik sejarah. Modus telisikannya tidak sebatas yang populer atau dikenal umum, namun ia sanggup menyusup hingga ke relung kedalaman sejarah. Lazimnya modus itu dilakukan agar bisa mencapai kamulan, meminjam kata dari bahasa Bali yang identik dengan kamimitan (bhs. Bali) dengan kata dasar wit, yang bermakna sumber atau asal muasal. Bertemu dengan sumber atau asal muasal adalah sebentuk puncak telisikan sejarah. Modus ini juga bisa membuat gembira si penelisik ketika menemukan kembali pelaku istimewa dengan peran pentingnya dalam linimasa sejarah, namun dilupakan atau sedikit orang yang ingat. Nyoman Adiana dalam visage blanc sans visage ini mengusung 18 karya visual sebagai representasi kekhusyukan terhadap studi visual berbasis wajah. Seluruh karyanya itu dihimpun ke dalam kesatuan tema whiteface series, yaitu satu seri potret perupa peletak dasar dan pembawa dinamika aliran impresionisme. Adiana menelisik aliran seni rupa yang penamaannya dipungut dari lukisan Claude Monet berjudul “Impression, soleil levant” (1860), dengan mulai memindai wajah tokoh penggerak Impresionisme. Terkesan olehnya komposisi visual kumis dan jenggot para impresionis.

Nyoman Adiana mulai memilih kuas, pisau pallete Bergino no. 3, kanvas berukuran 100 x 100 cm (4 buah) dan 80 x 90 cm (14 buah) serta dengan santai memilih dua tube acrylic hitam dan putih, dan mulai melukis dalam ukuran kop wajah Eugene Delacroix pencetus teori rupa : lukisan tak mesti dibentuk lewat pengolahan garis secara berlebih. Selanjutnya melihat karakter wajah Monet, Renoir dan Sisley. Adiana mulai melukis tiga sekawan pengagum teori Delacroix, yang menjadi dasar teoritik gerakan Impresionisme. Pada tahap ini dilukis pula wajah Frédéric Bazille, Édouard Manet, Edgar Degas, Camille Pissarro, Auguste Rodin dan Berthe Morisot, yang disebut terakhir adalah satu dari sedikit perupa perempuan dalam gerakan ini. Menjadi lengkap sudah Batignolle, nama kumpulan seniman yang suka nongkrong, minum kopi, dan menggelar obrolan perihal seni di café Guerbois. Situs warung kopi di Avenue de Clichy, Paris itu, di abad ke-19 adalah saksi bisu tumbuhnya gerakan, dinamika dan masa perpecahan Impressionisme. Di halaman cafe itu pula, di Februari 1870, oleh sebab obrolan makin memanas, Manet menantang duel Edmond Duranty. Duel dua sahabat itu tak terelakkan. Penulis Duranty terluka, meski tak parah. Baiknya lepas duel, keduanya tetap menjalin perkawanan.

Pada sub tema berikut Nyoman Adiana melukis wajah Thomas Wilmer Dewing (AS) dan John Henry Twachtman (AS), demi menuturkan bahwa Impressionisme tak melulu terjadi di Perancis; Bahwa gerakan itu juga tumbuh di seantero Eropa, dilukislah wajah Joaquín Sorolla (Spanyol) dan Valentin Serov (Rusia). Namun saat akan menuturkan arah baru, Adiana menengok lagi situasi Perancis, ketika Pissaro, Renoir dan Degas tak sepaham lagi dengan Monet. Pada tahap ini Adiana melukis wajah para Post – Impresionis; Paul Cézanne, Paul Signac, Odilon Redon, dan Henri Rousseau. Saat melukis wajah Seurat, Adiana lama termangu. Ia bagai menatap wajah kosong perupa paling jenius, tapi mati muda (31 thn). Fakta ini membuat Adiana menjadi riuh, bolak – balik memeriksa wajah Seurat dan Le Cirque. Ditemuilah kemudian konsep visage blanc, pada Seurat dalam karya terakhirnya.

Sebelum mengakhiri proses, Nyoman Adiana melukis wajah Jan Theodoor Toorop, perupa Belanda kelahiran Purworejo, 20 Desember 1865. Bagi Adiana, Jan Toorop sungguh istimewa sebagai wakil Neo – Impresionisme. Perupa Belanda ini pada 1890 dengan rasa percaya diri tinggi mengembangkan gaya simbolis yang khas, desain lengkung dan garis dengan dinamika yang tak terduga, figur ramping penuh gaya, dengan basis motif elegan dari Jawa. Sebuah pengembangan yang mempengaruhi garis perkembangan seni rupa modern. Peneliti Robert Siebelhoff, menyatakan bahwa Jan Toorop. “… is to be regarded as one of the most important Dutch artist between Van Gogh & Mondriaan.” Siebelhoff meneruskan  “… It is equally certain that this part Dutchman, part Javanese was most inventive and influential during the last decade of the nineteenth century”.[1]

Nyoman Adiana dalam melukis wajah, rupanya mengandalkan pengamatan intens agar mendapat impresi. Pilihan ukuran kanvas memungkinkannya mengontrol seluruh aspek rupa yang diinginkan seturut pengembangan imajinasi sebagai bagian essensial dalam proses kreatif.  Tentu Adiana mendapat banyak keuntungan : pengamatan makin tajam, kepekaan meningkat dan kemampuan koordinasi mata dan ketrampilan memainkan pisau pallete makin cakap. Meski mengaku patuh kepada pola rupa tokoh terpilih, tak ada rencana membuat perubahan, namun tindakan deformasi wajah tetap dilakukan Adiana guna tercapai standar ukuran kop. Efek baiknya, muncul perhitungan baru berkait faktor cahaya, gelap dan terang.

Nyoman Adiana saat melukis pertama – tama memakai teknik kuas, yang segera berlanjut dengan teknik pallete hingga karya rampung. Dengan meniadakan teknik antara, dalam arti warna tidak dicampur di pallete, tetapi langsung diterapkan pada kanvas; Muncul peluang baginya memainkan pisau pallete secara optimal, terlebih bila terjadi proses dialog nan riuh atau intim di dalam lipatan otak yang berkelindan dengan jalinan rasa. Seluruhnya dilakukan dengan intensitas yang bisa berbeda dalam mencapai tujuan, keutuhan bentuk rupa dan tekstur wajah. Bila itu tercapai, maka ritual ziarah digital kepada para impresionis yang cakap mencermati teori rupa, gemar dengan teknik melukis, punya hati, keberanian, kemandirian dan penuh semangat, seluruhnya itu menjadikan proses kreatif Nyoman Adiana sarat makna.

 

Melalui Erizal As dan Nyoman Adiana, karya visual kita hari ini telah bercabang ke sejumlah arah, dimana si aku dalam karya visual bukan lagi wajah sang perupa. Seturut dengan itu bahasa visual mampu leluasa menampilkan keajaibannya. Sebagaimana Erizal As dan Nyoman Adiana, setiap perupa mestinya bergulat dengan bahasa dan tradisi visual yang ada sebelum ia, tak menghamburkan kediriannya, namun menjalinkan diri dengan para pendahulu yang lahir dari tanah air yang sama maupun pada berbagai tempat di belahan bumi. Akhir kata bersama rasa percaya diri dan tradisi yang terus dieksplorasi, karya – karya visual Erizal As dan Nyoman Adiana dalam pameran “visage blanc sans visage”, adalah karya visual hari ini kapan saja kita membaca dan menikmatinya.

apriadi ujiarso


[1] Siebelhoff, Robert, ”Jan Toorop and the year 1892”

 

Exhibition: BUMBON_19 Maret 2016 @Sangkring Art Project

BUMBON_

Pameran: BUMBON
Seniman: Caroline Rika Winata | Tina Wahyuningsih | Trie ‘Iin’ Afriza | Theresia Agustina Sitompul | Wahyu ‘Adin’ Wiedyardini
Penulis: Ida Fitri | Zuliati
Pembukaan: Sabtu, 19 Maret 2016
Di buka oleh: Yustina Neni
Pameran berlangsung: 19 Maret – 4 April 2016

 

BUMBON
Ida Fitri

Orang Jawa lebih sering menggunakan istilah “bumbon” –dengan makna majemuk, ketimbang istilah “bumbu” dengan makna singular. Karena masakan tak pernah cukup dengan satu jenis bumbu saja. Demikian, pameran bersama oleh lima perupa perempuan ini bermetafora. Satu bumbu atau sendirian dianggap tak cukup, maka mereka bersama-sama mengolah kemampuan dari dapur imajinasi untuk dicicipi oleh khalayak. Mereka tak hanya menguasai teknik secara baik, akurat dalam menakar, terampil membuat komposisi yang sesuai, tetapi juga setia menjaga api kreatifitas tetap menyala.

Pameran bersama para perupa perempuan, dibawah judul yang telanjur melekat sebagai domain perempuan –Bumbon, bisa menggiring pada pesan untuk dipahami sebagai isu feminis. Sesungguhnya tidak. Para perempuan ini tidak memerlukan penyetaraan karena posisinya tidak lebih rendah dari pria. Mereka yang memiliki kepekaan terhadap sekitar, bakat kuat dan juga kreatifitas tak terbatas ini, dengan caranya sendiri menunjukkan kualitas yang sama ada pada perupa pria.

Meskipun, sekali dua masih sering dibandingkan dengan perupa pria terkait intensitas berkarya, keterlibatannya dalam pameran dan jangkauan wacana yang ingin disampaikan. Hal ini bisa dilihat sebagai cerminan situasi struktur yang menopangnya ketimbang keterbatasan yang ada pada diri perupa perempuan. Yaitu pada kondisi eksternal, seperti pasar, situasi sosial, politik dan budaya yang merengkuhnya. Perempuan memang jarang membicarakan perkara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Tetapi pada kenyataannya, merekalah yang paling bernegosiasi dengan situasi ekonomi yang merugikan, kondisi sosial yang tidak mendukung dan paling lihai menyiasati imbas politik yang tak berpihak.

Bisa dikatakan, pameran ini adalah serangkaian testimoni yang terucap lewat karya. Pengakuan tentang bagaimana menjalani hidup di lingkaran sosial, lingkungan di dalam rumah dan di arena seni rupa. Karya-karya ini tidak hanya menggambarkan situasi dirinya dengan seni rupa, tetapi gambaran nyata situasi sosial yang lebih luas yang dialami perupa perempuan.

Caroline Rika Winata, Trien ‘Iien’ Afriza, Agustina Wahyuningsih, Theresia Agustina Sitompul dan Wahyu Adin Wiedyardini, dalam kesempitan bisa menghapus batas yang secara dikotomis membedakan peran perempuan yaitu domestik dan non-domestik. Dari bumbon dan pawon (dapur) sebagai representasi aktifitas dosmestik perempuan dan karya seni rupa di ruang pamer adalah aktifitas yang tak perlu dipisahkan. Dua hal yang bagi sebagian perempuan terkategori tidak mudah, tetapi nyata bisa. Dalam karya-karya ini mungkin tak terdeteksi bahwa terjadi negosiasi yang sulit antara diri dan situasi di sekitarnya saat berkarya. Strategi sebagai solusi yang dsepakati oleh mereka berlima adalah mengelola distraksi yang bertubi-tubi menjadi karya serta menganggap bahwa seni rupa merupakan urusan domestik yang mesti pula menjadi prioritas.

Hasilnya, Rika menggunakan bahasa jumputan di kain untuk membunyikan responnya terhadap situasi alam. Iien bersikeras untuk liat menghadapi kejutan dalam hidup seperti saat membuat keramik, tertempa dan terbakar. Sementara Tina melalui media soft sculpture, menggoyahkan pengkotakan karya yang membedakan craft dan art dengan menjahitkan berbagai wacana pada karya-karyanya. Begitu pula Adin, benda mainan anak-anak yang biasa berserakan di lantai diangkatnya menjadi karya yang semakin mengukuhkannya sebagai perupa perempuan. Di antara mereka, Tere memilih cetak karbon yang dikenal sebagai salah satu teknik seni grafis. Melalui jejak karbon dari benda-benda keseharian, Tere berhasil menyimpan memori-memori penting dalam hidupnya.

Selamat menikmati pameran lima perupa perempuan “Bumbon”, sejumput gagasan perupa perempuan, yang larut dalam cat di kanvas atau tercetak di lembar-lembar karbon, ditempa dan dibakar seperti keramik, tetapi tetap lembut seperti boneka.

 

Jogjakarta, 14 Maret 2016

ADU DOMBA #2 oleh I Wayan Agus Novianto vs Dadang Kurnia @Sangkring Art Project

Pameran : ADU DOMBA #2
Oleh : I Wayan Agus Novianto & Dadang Kurnia
Pembukaan : Rabu, 3 Februari 2016, Jam. 19.00 wib
Penulis : Ida Fitri
Pameran berlangsung : 3 – 27 Februari 2016

 

Adu Domba #2 – Babak Ketegangan

Ida Fitri

Pidato pertama KGPAA Pakualam X pada acara Jumenengan Dalem 7 Januari 2016 menyatakan posisinya sebagai pengemban kebudayaan yang berada di situasi perubahan. Sejarah mencatat bahwa perubahan selalu membawa ketegangan yang perlu dikelola dengan negosiasi dari pihak-pihak terlibat untuk melaluinya dengan nyaman. Dua seniman ini –Wayan Novi dan Dadang Kurnia, memang tidak berorasi kebudayaan seperti sang Adipati, tetapi sama-sama sedang menempatkan posisinya sebagai pelaku kebudayaan dalam konteks seni rupa. Mereka membentangkan visualisasi  perubahan tersebut karena turut merasakan ketegangan yang subtil.

Wayan Novi menganggap alam benda merupakan medan perubahan. Karena ia menyaksikan perubahan di sekitarnya melalui benda-benda. Ia menghadirkan kembali benda-benda lama dari masa lalunya dalam kanvas. Biasanya benda-benda tampil di kanvas hanya sebagai pemanis, penguat situasi atau pengisi ruang agar tak kosong. Namun Wayan justru melukiskannya untuk menjadi fokus utama. Uniknya, ia kemudian mengaburkan lukisannya. Menggunakan teknik pointilis, ia membuat tabir atau vitragedari titik-titik menggunakan spidol bagi benda-benda yang dilukis dengan menyederhanakan bentuk. Sayu dan ragu, demikian kesan yang mengemuka. Seperti perasaan sayu saat menatap masa yang akan segera berlalu, sekaligus ragu menjemput yang baru.

Sementara di sisi lain, himpunan simbol dengan warna monokrom, hitam putih dan sangat sedikit warna lain, dibuat oleh Dadang Kurnia dengan satu tangan yang segera direspons oleh tangan lainnya. Sejumlah simbol, serupa tattoo atau totem sesungguhnya asing bagi dirinya, sebab berasal dari tempat lain atau dari masa yang jauh. Inilah tanda-tanda yang hanya ada di waktu dulu sebagai media penghubung antara manusja dan sesuatu yang dipercaya berkuasa atas mereka. Peralihan kepada simbol atau ritual baru tidak selalu berjalan mulus. Dalam dimensi inilah Dadang memaknai ketegangan sebagai efek dari perubahan. Ia melukiskannya setajam dan setegas warna hitam dan putih yang dominan di kanvasnya.

Perubahan adalah niscaya. Ada ketegangan yang mengantarkan sesuatu sebelum menjadi masa lalu. Tapi, sebaik-baiknya perubahan adalah yang menyisakan sedikit tentang sesuatu itu agar kita tak benar-benar hilang menjadi sosok yang sama sekali baru. Bagian itu bernama kenangan, yang mesti dilalui bersama ketegangan.

Selamat menikmati “Babak Ketegangan” dalam Adu Domba #2

 Image Karya

 

Exhibition : ROAD TRIP TO CALIFORNIA 2015 @ Sangkring Art Space

Exhibition : Road Trip To California 2015

Artist : Ahmad Zakii Anwar, Heri Dono, Kow Leong Kiang, Putu Sutawijaya

Opening : Saturday, January 23, 2016, 7PM

Exhibition dates : January 23 – February 20, 2016

 

ROAD TRIP TO CALIFORNIA 2015

On September 12, 2015, Baik Art sent four Asian artists on a road trip to central and northern California. From September 13 to September 21, Ahmad Zakii Anwar, Heri Dono, Kow Leong Kiang and Putu Sutawijaya traveled together visiting many natural sites, including Big Sur and Yosemite National Park. The experience culminated in an open studios event at the 18th Street Arts Center in Santa Monica on September 22.

Each of the four artists is distinguished by the ways in which they address various themes through their work. Ah­mad Zakii Anwar was born in 1955 in Johor Bahru, Malay­sia. He uses paint and charcoal to develop highly realistic, metaphorical figures and still life compositions informed by his Islamic upbringing in Southeast Asia. Heri Dono, born in Jakarta, Indonesia in 1960, is often associated with the new internationalist movement in art. His paintings, sculptures and installations tend to combine humor and sociopolitical commentary. Kow Leong Kiang is known for his photographic portraits, in which a painterly, blurred quality is employed to alter the image’s aura. He was born in Selangor, Malaysia in 1970. Lastly, Putu Sutawijaya, born the same year in Tabanan, Bali, creates expressive paintings and sculptures often focused on the human fig­ure. His figures’ organic forms and sense of movement are also influenced by sacred sites in Bali and Java, as well as the concept of the body as a temple.

Together, Anwar, Dono, Kiang and Sutawijaya visited Hearst Castle, Big Sur, San Francisco, Sacramento, and Yosemite National Park. At Hearst Castle, they explored California’s central coastline, and during their two days spent in Big Sur, the artists looked for sea otters and other sea creatures. They saw redwood trees and stopped to visit various surfing destinations. Their drive near Half-Moon Bay Area brought them close to Crystal Springs Reservoir and Mavericks, where some of the largest surfa­ble waves on earth can be found.

The artists spent two days in San Francisco, visiting historical sites such as the Golden Gate Bridge, Alcatraz Island, Chinatown, and Coit Tower. They also had the opportunity to drive through Golden Gate Park and spent time at Mount Tamalpais State Park. From San Francisco, they visited Sacramento where part of the old city has been left the underground.

Finally, they continued their trip to Yosemite National Park where they spent several days. While traveling south on their return trip to Los Angeles, the artists visited areas of California which none of them had ever seen near Se­quoia National Park, Bakersfield, and the Angeles National Forest.

Throughout the eight-day-long road trip, Ahmad Zakii Anwar, Heri Dono, Kow Leong Kiang and Putu Sutawijaya considered ways in which these natural and historical places had influenced their art practices

 

Image Karya Road Trip To California 2015

 

Group Exhibition “(Belum Ada Judul) ” @ Sangkring Art Space

Group Exhibition : …………………… (BELUM ADA JUDUL)

Seniman : Abdi Setiawan, Agung Kurniawan, Agus Suwage, Ahmad Zakii Anwar, Angki Purbandono, Anusapati, Arin Dwihartanto, Bagus Pandega, Besrizal Besta, Budi Kustarto, Bunga Jeruk Sumaatmaja, Dadang Rukmana, Dipo Andy, Eko Nugroho, Entang Wiharso,Faisal Habibi, FX Harsono, Handiwirman Saputra, Indieguerillas, Irwan Bagja Darmawan AKA. Iweng, Jumaldi Alfi, Kokok P. Sancoko, Laksmi Shitaresmi, I GD Mahendra Yasa, Mella Jaarsma, Pintor Sirait, Putu Sutawijaya, Rudi Mantofani, S. Teddy D, Syagini Ratna Wulan, Syaiful Garibaldi AKA. Tepu, Teguh Ostenrik, Terra  Bajraghosa, Theresia Agustina Sitompul, Tisna Sanjaya, Titarubi, Tromarama, Ugo Untoro, Uji Handoko, Wedhar Riyadi, Wimo Ambala Bayang, Yuli Prayitno, Yunizar, Yusra Martunus

Pameran + Peluncuran Buku : “Sesudah Aktivisme” : Sepilihan Esai Seni Rupa

Oleh : Enin Supriyanto (1994 – 2015)

Pembukaan Pameran dan Peluncuran Buku : Jumat, 6 November 2015, Jam 19.00 wib

Organizer by Enin Supriyanto

Mobilitas Tourism by I Gede Oka Astawa @ SAP

Exhibition : Mobilitas Tourism

Artist : I Gede Oka Astawa

Opening ceremonial : Selasa, 6 Oktober 2015

Opening by : Mikke Susanto

Organizer by : Oka Art Peoject 2015

 

Mobilitas Taourism

Citra popular tentang Bali “tradisional” sebagai “sorga terakhir” telah dilanggengkan dan dieksploitasi oleh sederet pemerintah, baik Belanda maupun Indonesia, dan oleh partai-partai dan para pemimpin politik yang berkepentingan atau menciptakan “tradisi” yang sepenuhnya baru dan lebih sesuai dengan kepentingan pribadi, politik atau kelas mereka. Citra ini digenjot oleh industri pariwisata multijutaan-dollar, yang menemukan skema yang menguntungkan dalam “tradisi” Bali.

Bali menjadi etalase dan daerah percontohan pembangunan pariwisata di Indonesia. Karena itulah rezim Orde Baru yang berkepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia memanfaatkan Bali sebagai daya tarik dengan industri pariwisatanya.

Pariwisata budaya dalam konteks Bali diartikan sebagai pengembangan pariwisata yang sedemikian rupa sehingga wisatawan dapat menikmati kebudayaan Bali, seperti menyaksikan tari-tarian Bali, mengunjungi ojek budaya, atau membeli cinderamata khas Bali, tetapi pada saat yang sama juga berasil melakukan konservasi terhadap kebudayaan Bali dari pengaruh pariwisata. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama, yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan, dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata.

Operasi kekuasaan dalam memanfaatkan “kebudayaan bali” sebagai nilai berharga menghasilkan sebuah kesan menjadikan Bali sebagai “museum hidup seni dan kebudayaan” dengan gincu dan pemanis bernama industri pariwisata yang menjanjikan kehidupan glamour pada rakyat Bali. Rezim Orde Baru dengan bujuk rayunya itu masuk dalam operasi kuasa disetiap jengkal kehidupan rakyat Bali yang paling privat. Operasi kekuasaan itu hadir lewat agensi manusia-manusia Orde Baru lewat desa adat bahkan keluarga.

Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para toris. Tidak salah memang, pembangunan dan pariwisata memang menjadi duet yang manis dan menjanjikan saat konsolidasi kekuasaan Orde Baru sampai dengan saat ini.

ADU KARYA DUA DOMBA

Sangkring Art Project menggelar pameran berjudul “Adu Domba” untuk kali pertama. Sebuah program baru yang bakal digelar setiap tiga bulan sekali selama dua tahun kedepan. Kelak, program yang berhasil dijalankan akan menjadi bagian dari proyek dokumentasi dalam rangka perayaan 10 tahun galeri Sangkring.

Sebanyak 12 karya menghiasi galeri Sangkring Art Project selama kurun waktu 25 Agustus sampai dengan 8 September 2015. Ada lukisan dengan mengambil objek berupa figur yang terbuat dari tanah liat. Sejumlah patung ukuran kecil dari tanah liat turut hadir berderet, yang juga sebagai objek dari lukisan itu sendiri. Karya tersebut dibuat oleh I Made Agus Darmika atau yang lebih akrab di panggil ‘Solar’. Karya berikutnya berupa kumpulan titik dan garis-garis. Saling melintang terkadang melengkung, namun seirama,  juga mengambil warna yang cenderung terang. Terdapat motif seperti yang sering kita jumpai pada anyaman, bisa juga kemeja atau sarung. Karya kedua dikerjakan oleh Putu Sastra Wibawa. Pameran sengaja digelar dalam rangka pemenuhan program galeri berjudul “Adu Domba #1”. Selama pameran berlangsung, keduanya, Solar dan Sastra tak ubahnya domba yang sedang di adu.

Perhelatan ini sukses digelar tanpa ada pihak yang menjadi korban atau dikalahkan. Gelaran ini sesungguhnya menjadi kemenangan sekaligus kekalahan bersama. Sebab seri pameran Adu Domba ini hanyalah rangkaian simulasi yang diinisiasi oleh Sangkring Art Project. Dalam pengantarnya, Ida Fitri, penulis pameran, menyampaikan “Seri pameran ini justru bermaksud memunculkan karakter dan kualitas pengkaryaan yang tangguh. Sebab dalam satu pameran, dua perupa akan mengasah konsep, menguji kemampuan teknik dan mempertaruhkan karya visual masing-masing untuk dipertandingkan dalam ruang pameran yang terbuka.” Jika kita melihat lebih jauh lagi, seringkali dalam laku adu domba terdapat persaingan yang keras, lalu masing-masing pihak mengerahkan kekuatan sebisa mungkin. Atmosfer inilah yang hendak panitia hadirkan dalam proses pengkaryaan peserta pameran.

Hadirnya ruang Sangkring Art Project memang sengaja untuk membuka kemungkinan bagi para perupa dan penghayat seni dalam melakukan eksplorasi artistik dan produksi pengetahuan. Bentuknya bisa pameran, pengkajian estetika dan riset visual. Adu Domba berangkat dari rancangan itu. Dalam kesempatan ini menghadirkan perupa yang boleh dibilang masih baru dalam memulai karir keseniannya. Solar dan Sastra, keduanya juga tercatat sebagai mahasiswa akhir di kampus ISI Yogyakarta jurusan Seni Lukis. Mereka juga berasal dari tempat lahir yang sama, Bali. Titik utama Adu Domba adalah melibatkan dua seniman yang bisa di kata sepadan, baik karya dan kesenimanan-nya. Sementara, Ida Fitri dipilih sebagai penulis yang memiliki latar belakang mahasiswa CRCS UGM juga penyiar radio Sonora FM. Ia menyajikan karya tulis yang khas dengan sudut pandang ilmu sosial. Disinilah eksperimen terbentuk. Satu sama lain saling berbagi dan mengisi.

Pada malam pembukaan, seremonial dipimpin oleh Samuel Indratma. Ia mengantarkan upacara pembukaan yang justru sama menariknya dengan karya pameran. Atmosfer humor sekaligus provokatif mengalir, dibungkus dengan gimmick panggung yang responsif, misal seperti saat kedua perupa dipanggil ke depan untuk saling beradu arguman, tentu dengan pertanyaan yang tidak umum. Tersimpul bahwa pameran berlangsung bukanlah bentuk perayaan, namun ujian. Berikutnya, Putu Sutawijawa turut memberikan sambutan mewakili galeri. Ia mengungkapkan latar belakang hadirnya pameran.  Suatu kisah tersampaikan, sebenarnya Adu Domba adalah hal yang selalu ada tanpa kita sadari, hampir di berbagai aspek kehidupan. “Saya terinspirasi ketika bermain jejaring sosial, saat itu saya dan teman-teman (Folk Mataraman Institute) membuat turnamen berhadiah dua ekor ayam, yaitu dengan melakukan sesuatu di dunia kreatifitas.” ucap Putu. Pemilik Galeri Sangkring ini melihat bahwa  proses itu justu menghasilkan hal luar biasa, “Ada sikap berfikir dengan cara main-main, akhirnya kenapa tidak dijadikan konsep berkarya saja, agar bisa naik kualitasnya, karena kebetulan kami punya ruang”. Pemilihan nama ‘domba’ sendiri agar terlihat lebih elegan, jika mau dibandingkan dengan ayam. “Kita memang terlihat selalu banyak gojeknya, tapi kita berfikir terbalik, dari gojek jadi serius” tutup Putu.

Pameran dibuka oleh Edi Sunaryo, seniman yang juga staf pengajar Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta. Sebelumnya, ia memberi sambutan, menyampaikan perihal proses kreatif di berbagai lapangan, dari perupa berumur sampai pemula. Ia juga merasa spesial dengan karya yang hadir, di mana menurutnya punya potensi berbahaya. Lebih dari itu, juga menyinggung soal pendidikan. “Aktifitas galeri seni juga sebagai pendidikan alternatif sekaligus praktik langsung karir kesenimanan. Seperti menyiapkan pameran dengan matang, dan bekerja bersama kurator maupun publik”. Lebih dari itu, Edi Sunaryo juga terbuka dengan berbagai masukan tentang wacana di luar kampus, nantinya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pendidikan formal. Ida Fitri juga turut memberikan sedikit sambutan, ia menyampaikan bahwa gelaran memang meniru situasi adu domba. “Dengan ini, jika para perupa suatu saat menghadapi, berkontestasi, kemudian mendapatkan pertentangan. Maka dapat menyikapi hal tersebut dengan cara  elegan.”

Terselenggaranya pameran Adu Domba memiliki kesan tersendiri bagi Sastra. Dapat berpameran di galeri Sangkring merupakan kebanggaan tersendiri, sesuatu yang luar biasa. “Sebagai perupa muda, ruang seperti ini sangat perlu dihidupkan. Banyak pelajaran dan pengalaman yang menarik ketika saya pameran di Sangkring.” ucap perupa yang pernah meraih “Best Award 1st Painting Dies Natalis XXXI ISI Yogyakarta 2015”. Galeri Sangkring bekerja dengan professional, menempatkan orang-orang sesuai bidangnya, dari pendisplay juga update informasi seputar pameran. “Saya sangat dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang ada, terima kasih atas kerjasamanya dalam pameran” terangnya. Sementara bagi Solar, sebagai rival ia menyatakan “Melalui program Adu Domba, Sangkring telah mendukung ekspresi bagi perupa muda, dan cukup kreatif untuk memacu semangat perupa muda secara total, demi berkembangnya gagasan-gagassan baru.” Kinerja manajemen  baik, dengan sigap menerima informasi yg di butuhkan seniman. “Dan yang paling oke adalah kinerja tim display yang cekatan, rapi dan profesional.”

Menilik Gelaran Adu Domba 1 yang diikuti oleh dua perupa Bali, terlihat kedua perupa memiliki kecenderungan dalam mengeksplor ke-bali-annya, baik secara tersirat maupun tersurat. Seolah Bali dengan segala daya hidupnya, baik sebagai ide juga realitas merupakan materi yang tak pernah habis untuk digali. Dalam hal ini terlihat bagaimana karya Sastra Wibawa menghadirkan alam bali melalui garis dan titiknya. Begitu juga Agus Darmika, menyandingkan tanah liat yang merepresentasikan rasa cinta kepada ibu, dan segala cerita – kebiasaan di Bali, terutama di masa lampau. Sementara, pertimbangan estetika karya menjadi perhatian tersendiri, terlihat molek dan jinak. Perjalanan Adu domba tahap pertama menjadi rangkuman mengenai ruang eksperimen, persilangan disiplin ilmu, kecenderungan karya, dan juga upaya alternatif dalam rangka memberikan ‘sesuatu’ bagi dunia seni rupa. Sangkring masih terus mencari domba dan membuka pintu lebar bagi publik yang ingin turut serta. (Sangkring/ Huhum Hambilly)

 

Bingkai Gerak dan Suara, Noella Roos

Selama tanggal 14 hingga 31 Agustus 2015, Sangkring Art Space menggelar pameran bertajuk “Between The Lines” karya seniman Noella Roos. Pada malam pembukaan turut dihadirkan ‘Live Art Performance’. Sebuah pertunjukan hasil kerja tiga wilayah seni: rupa, tari dan musik.

 

Di galeri seluas 200 meter persegi itu, panggung dan ruang pamer nampak gelap. Perlahan terdengar suara dari gesekan senar contra bass. Terdapat sebuah papan putih dengan memanfaatkan bola sebagai penyangga. Di atasnya, tubuh serba putih meliuk gemulai, menari bebas sembari tetap menjaga keseimbangan. Sementara seorang perempuan tengah menghadap papan gambar berbekal charcoal. Menikmati suara dan memperhatikan penari, ia hanyut dalam momen. Lampu mulai menyala remang, ketiganya saling menghayati satu sama lain.

Pertunjukan tersebut ditampilkan oleh Fendy Rizk pemain contra bass, Ari Rudenko penari, dan Noella Roos penggambar. Live Art Perform merupakan bagian dari pameran tunggal Noella Roos bertajuk “Between The Lines”. Noella Roos (46), adalah perempuan berkebangsaan Belanda yang sudah 5 tahun menetap di Ubud, Bali. Pameran bermaksud mengungkapkan ekspresi, sensualitas, kehidupan dan emosi yang hadir di antara garis pada setiap karyanya. Pameran menghadirkan 20 karya besar berukuran 150cm x 180cm, juga dua film dokumenter mengenai proses pengkaryaan. Ini merupakan pameran tunggal pertamanya selama ia tinggal di Indonesia. Pameran sengaja di kemas dengan tour, sebelumnya ia telah memamerkan di Cemara Galeri, Jakarta pada Juli 2015.

Tari, musik dan gambar adalah tiga wilayah berbeda yang ingin ditampilkan Noella dalam satu karya seni. Karya yang digambar dalam pameran adalah objek bergerak. Seniman ini memiliki cara tersendiri, ia sengaja tidak melakukan kontak percakapan dan tidak mengarahkan gaya apapun. Proses ini sama persis ketika dihadirkan bersama musik. Jadi hasil gambar bukanlah dokumentasi dari tari ataupun musik. Namun karya gambar adalah hasil kerja bersama, baik dengan pemusik maupun penari. Mereka saling berbagai energi dengan porsi yang sama. Jika di Bali kita mengenal Taksu, maka proses pengkaryaannya bisa diibaratkan demikian. Proses menggambar menjangkit wilayah trance untuk beberapa saat. Ketika energi hadir padanya, juga satu sama lain. Semua akan berjalan selaras, jika musik bermain lembut, maka penari bergerak dengan pelan, begitu juga menggambar dengan lebih tenang. Namun di saat musik lebih keras, keduanya akan tampil semakin ekspresif. Uniknya tak pernah dapat di duga kapan momen pelan dan keras akan terjadi. Seolah seperti dikendalikan oleh kekuatan lain.

Perempuan kelahiran Amsterdam ini menaruh ketertarikan khusus kepada dunia tari, terlihat dari karya lukis yang ia kerjakan semenjak tahun 1998. Ia banyak menghadirkan gambar penari, baik tradisional maupun kontemporer. Dihadirkan dalam bentuk potret yang tidak begitu ekspresif. Khasnya, menggunakan background kosong nan gelap. Hal ini menurutnya, dengan tujuan agar ia dapat menjelajahi dunia batin si obyek. Noella sangat merasakan bahwa sebuah tarian menggambarkan kehidupan nyata, ”Ibarat kehilangan seorang kekasih, pasti ada awal di mana ada argumen terlebih dahulu, lalu pertengkaran dan lain sebagainya.” ungkapnya. Bahkan selama dua tahun ia mengikuti kehidupan penari dan turut beraktifitas dalam kehidupan tari. Ia juga belajar menari untuk karya lukisnya.

Menurutnya, arena tari adalah hal personal. Ketika melihat orang menari, Noella merasa sedang berkomunikasi. Gerakan tari sebagai komunikasi yang sangat personal. Ia mengibaratkan “Jika anda menyuruh seseorang duduk, ia akan duduk tegap. Namun ketika seorang penari anda suruh duduk, penari itu akan memberikan arti sendiri lewat cara dia duduk.” Mengenai pengaruh ke-indonesiaan dalam karyanya, ia menjawab “Aku tidak memutuskan menghadirkan tema tentang Indonesia, meskipun beberapa gambar berisi para penari tradisional, aku lebih nyaman untuk menjadikan tema karya sebagai bagian dari personalitas atas tarian.” Sejauh pengalamannya melukis, justru Noella selalu merasa kalau lukisan yang ia ciptakan adalah untuk orang lain.

Proses kerja dari karya yang dipamerkan telah memakan waktu selama dua tahun. Ia menyisihkan porsi waktu selama 4 jam dalam sehari untuk melihat, merasakan, dan kontak langsung dengan penarinya. Dua jam pertama, ia menonton. Dua jam selanjutnya ia berkoneksi, bertukar energi “Taksu” (menggambar). Ketika proses tersebut dihadirkan secara live Ia mendapat banyak kejutan. Bulan lalu pada saat perform di Jakarta, pengunjung sampai ada yang menangis. Respon ini sempat membuat heran kolaborator Fendy Risk. Ia tak pernah membayangkan jika musiknya dinikmati sedalam itu. Lain hal ketika dilangsungkan di Sangkring Art Space. Noella merasa mendapat sebuah kehormatan. Oleh karena dihadiri penari Didik Nini Thowok juga Kartika Affandi. Performance malam itu sempat mengingatkan Kartika dengan sosok maestro Affandi, beliau gemar melukis on the spot dengan begitu ekspresif.

Mengenai pemilihan lokasi pameran di Sangkring Ar Space, Noella menyampaikan pendapatnya bahwa ia merasa senang dapet berpameran di Sangkring. Meski sebelumnya ia belum begitu tahu banyak mengenai Galeri Sangkring. Bahkan ketika berkomunikasi dengan manajemen via Vi Mee Yei, ia sempat menganggap Sangkring sebagai Galeri yang terlalu komersil. Ternyata itu hanya soal miskomunikasi. Justru ketika bertemu langsung dengan pihak-pihak Sangkring ia berubah pandangan kalau Sangkring benar-benar ruang seni seperti apa yang ia harapkan. Noella mengambil kesan, kesempatan pameran di Sangkring dapat membuat karyanya menonjol. Sangkring punya posisi sendiri dalam memamerkan karya. Kinerja bagus dan di bantu tim display yang professional. Noella tidak tahu persis bagaimana pengunjung, khususnya masyarakat Jogja dapat menerima karya-nya atau tidak. Tapi yang jelas gelaran pameran di Sangkring cukup sukses baginya, dan ia merasa puas. (Sangkring/Huhum Hambilly)

ADU DOMBA #1 by I Made Agus Darmika vs Putu Sastra Wibawa @SAP

Pameran : Adu Domba #1
Oleh : I Made Agus Darmika & Putu Sastra Wibawa
Pembukaan : Selasa, 25 Agustus 2015 Jam 19.30 wib
Penulis : Ida Fitri
Pameran berlangsung : 25 Agustus – 8 September 2015

 

Adu Domba –sebuah simulasi
Ida Fitri

simulasi/si·mu·la·si/n1 metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya

Seri Pameran Adu Domba adalah rangkaian simulasi mengadu dua orang perupa dalam satu arena.Sebagai sebuah simulasi, pameran ini merupakan peragaan sesuatu dalam bentuk tiruan, mirip dengan keadaan yang sesungguhnya. Yang dimaksud dengan hal ini adalah sebuah tiruan dari situasi adu domba, yaitu Sangkring Art Project seolah-olah membuat arena untuk mengadu dua orang perupa melalui karya-karya visualnya.

Tema ini berangkat dari kesadaran bahwa dunia seni rupa tidak berbeda dengan bidang-bidang lain, di mana perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan tidak bisa dihindari. Perbedaan yang beragam itu merupakan bibit persaingan, kontestasi, perpecahan bahkan konflik. Suasana terbelah dan perilaku mengelompok yang kuat, jika tidak disikapi dengan baik akan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain dengan menggunakan mekanisme adu domba.

Aduan –apalagi adu domba, berkonotasi negatif, sebab digerakkan secara diam-diam dan licik oleh pihak ketiga dengan motivasi melemahkan dua pihak. Seperti pada zaman penjajahan, ketika adu domba dijadikan alat untuk memecah Indonesia. Saat itu kesatuan bangsa ini menjadi ancaman bagi kekuatan kolonial. Namun seri pameran ini justru bermaksud memunculkan karakter dan kualitas pengkaryaan yang tangguh. Sebab dalam satu pameran, dua perupa akan mengasah konsep, menguji kemampuan teknik dan mempertaruhkan karya visual masing-masing untuk dipertandingkan dalam ruang pameran yang terbuka.

Dalam simulasi adu domba ini, keragamantetap dibiarkan tumbuh subur. Perbedaan tidak dimatikan dengan perlombaan, yang melahirkan satu peserta menjadi pemenang tetapi peserta lainnya harus mengakui kekalahan. Selain itu, semua pihak yang terlibat sepakat dan bersedia untuk bermain dalam sebuah simulasi untuk memahami bagaimana mesti berperilaku dalam situasi adu domba.Asumsi bahwa situasi tenang, damai dan serasi cenderung membuat keadaan menjadi statis dan apatis, sehingga suasana bersaing dan berkontestasi harus selalu dipelihara untuk menyuburkan sikap kritis dan laku kreatif.

 

Adu Domba #1 – Hikayat tentang Permulaan

Darmika dan Sastra, adalah dua perupa muda yang sedang menerjemahkan permulaan. Tidak hanya karena mereka sedang memulai langkah di arena seni rupa, tetapi karena mereka meyakini bahwa pencapaian hanya bisa dimulai dengan bertekun pada yang paling mula-mula atau paling mendasar. Dengan caranya masing-masing, keduanya bergelut dengan hal-hal elementer. Jika permulaan bagi Darmika adalah tanah –seperti seorang ibu, dari mana sebuah kehidupan berawal dari rahimnya. Sementara Sastra, begitu teguh dengan titik dan garis sebagai unsur mendasar sebuah permulaan.

Karena ini mengenai permulaan langkah perupa muda yang bertarung dengan unsur-unsur paling mula-mula pula, maka menjadi tepat jika Seri Pameran Adu Domba yang diselenggarakan oleh Sangkring Art Project dimulai oleh Darmika dan Sastra.Sebuah pameran yang memberikan ruang bagi potensi yang laten bernama persaingan, kontestasi atau kompetisiuntuk dimanifestasikan dalam bentuk visual.

 

# I Made Agus Darmika a.k.a Solar

Mahasiswa Institut Seni Indonesia – Yogyakarta tingkat akhir ini telah menjatuhkan pilihan pada tanah liat sebagai media ekspresi dan eksplorasi bagi energi kreatifnya. Tanah ia yakini sebagai sebuah permulaan, awal dan sumber kehidupan seperti seorang ibu dengan rahimnya. Begitu pula dalam berkarya, tanah merupakan awal kelahirannya sebagai seniman sekaligus rahim bagi sumber inspirasi yang tak kunjung habis.

Tanah yang dianggap benda mati itu, menghidupkan segala sesuatu. Seperti mesin produksi yang menyediakan manfaat tak terbatas bagi setiap makhluk agar bisa hidup. Sehingga daur hidup manusia, tumbuhan dan hewan –lahir, tumbuh dan mati, mutlak tergantung padanya. Dari kesadaran ini, sikap kritis Darmika terbentuk, bahwa manusia tak lebih berharga dari segenggam tanah jika ia tak bermanfaat bagi makhluk lain.

Ibu, adalah sosok yang berperan dalam memperkenalkan tanah padanya. Saat masih kanak-kanak, ia memperhatikan ibunya yang membuat genteng dan barang-barang tembikar.Tanpa disadari ia telah belajar. Tanah menjadi media yang paling dekat dengan dirinya, terutama sejak ia bisa menciptakan ogoh-ogoh kecil bersama teman-teman sepermainan.

Kini, Darmika tak lagi membuat ogoh-ogoh sebagai benda mainan masa kecilnya. Ia menciptakan figur-figur tanah liat dengan melekatkannilai padanya.Narasi ia bangun dengan memindahkan figur-figurtiga dimensi dari lempung itu ke dalam kanvas menggunakan cat dan kuas. Kemampuan dalam memanfaatkan teknik gelap-terang menimbulkan tekstur semu yang seolah nyata sebagaimana tampaknya patung lempung sesungguhnya.

Dalam pameran ini, enam karyanya bisa bercerita secara linear. Diawali dengankarya berjudul “Ibu”, bernarasi mengenai ibunya yang ia anggap sebagai sebuah permulaan nyata membuatnya ada. Ia memberi nilai tertinggi untuk ibu, karena sosok ibu berperan ganda dalam karya-karya Darmika. Pertama, seperti disebutkan sebelumnya, ibu merupakan awal kehidupannya dan selanjutnya, ibu pula yang memperkenalkan pada material tanah di permulaan ia bersentuhan dengan seni.

Kemudian karya berjudul “Evolusi Tanah”, berkisah tentang perubahan yang niscaya. Seperti dirinya dan juga makhluk lainnya yang lahir, tumbuh, berkembang dan berubah dengan bergantung pada manfaat-manfaat tanah. Dalam perjalanan evolusinya, makhluk hidup tidak hanya makan dan minum seturut metabolismenya. Manusia berinteraksi dengan sesamanya dan dengan makhluk lain, yaitu siapapun dan apapun yang berbagi ruang hidup dengannya. Kehidupan bersama yang tidak selalu mudah, seringkali membuat ketegangan dan ketidaknyamanan, seperti karya berjudul “Complicated Connection”. Darmika membuat benang-benang yang terburai dari gulungannya, melingkar-lingkar dan melilit sebagai gambaran hubungan dua figur yang duduk dalam sebuah bangku kayu. Benang yang melilit-lilitrumit merupakan refleksi relasi yang tidak mudah, sehingga komunikasi dibutuhkan, yaitu melalui duduk bersama dan bercakap demi meluruskan hubungan yang kusut.

Dalam dua karya selanjutnya, Darmika melakukan eksperimen dengan menempatkan objek-objek lain selain tanah liat dalam satu bidang kanvas. Jika dalam “Complicated Connection”sebuah bangku kayu dan benang turut menjalin cerita. Namun dalam karya berikutnya, Darmika tidak hendak menceritakan tentang sesuatu. Meskipun selain figur tanah liat bermuka kuning, ia pula masukkan kursi lipat dan celengan ayam yang juga berwarna kuning ke dalam kanvas. Ayam yang menjadi tunggangan tentara itu memancing intrepretasi, tetapi sengaja dipungkas oleh Darmika dengan memberinya nama“Untitled”.

Demikian pula dengan “Head”. Dalam karya ini, ia tidak hendak menyampaikan kisah tertentu, tetapi ia maksudkan sebagai studi lanjut mengenai teknik dan bentuk yang diterapkan dalam pengkaryaan.Sesuai judulnya, Darmika hanya menampilkan bagian kepala memenuhi hampir seluruh permukaan kanvas. Di karya ini, tekstur khas tanah liat bisa sangat jelas dilihat seperti nyata. Ia melukiskan kepala dengan tanah liat yang terlihat masih basah, sehingga menampakkan bekas tekanan jari, cubitan dan goresan kuku pada wajah yang belum selesai dibuat.

Lima karya Darmika yang berbentuk dua dimensi melalui proses yang sama. Ia membuat bentuk tiga dimensinya terlebih dahulu menggunakan tanah liat yang selanjutnya ia sebut sebagai artefak. Dalam pameran ini, ia membawa serta beberapa figur-figur yang dijadikan model bagi karya-karya lukisnya dengan judul “Artifact”. Dengan menghadirkan patung-patung tanah liat ini berdekatan dengan lukisan-lukisannya, berarti Darmika mengajukan dirinya untuk dinilai, apakah sudah ada cukup kesesuaian antara konsep yang ia pikirkan, eksperimen yang ia rancang dan teknik yang ia gunakan dengan hasil final dari karya-karya visualnya.

 

# Putu Sastra Wibawa

Permulaan bagi Sastra adalah titik dan garis. Setelah ia menganggap rampung seri wajah wanita yang tersusun dari tebaran alphabet dalam karya-karya sebelumnya, kini ia mantap dengan unsur-unsur yang paling elementer dalam seni rupa: titik dan garis. Titik adalah permulaan dari segalanya. Sebuah bintik yang memulai semua garis, bentuk dan bidang. Dari satu titik, ia menyeret kuas untuk terhubung dengan satu titik lainnya menjadi sebuah garis. Demikian seterusnya. Berawal dari sebuah bintik kecil menjadi jutaan garis untuk melukiskan alam yang dekat dengannya, alam Bali.

Seluruh karya Sastra dalam pameran ini merupakan refleksi atas relasinya dengan alam. Jika ada istilah ‘natura artis magistra’ yang mengatakan bahwa alam adalah guru para seniman, maka Sastra adalah salah satu yang mengakui. Tidak untuk mengikuti seniman-seniman lain yang lebih dahulu mengeksplorasi alam, tetapi karena ia telah mengalaminya dari sangat dekat. Mengenai proses teknis, karena ia adalah perupa muda yang lahir sebagai generasi ‘digital native’ (generasi yang lahir di era digital), maka dapat dimengerti jika ia memilih untuk tidak melukis alam dengan gayamooi indie. Ia menggabungkan antara olahan Photoshop dengan fantasinya untuk memberikan kemungkinan bentuk baru menggunakan titik dan garis dengan yakin dan teguh. Ia membuat lukisan yang tampak grafis, unik dan misterius, seperti alam itu sendiri.

Mahasiswa tingkat akhir dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini lahir dan tumbuh di Bali –sebuah tempat dengan lanskap alam yang tak pernah habis diserap untuk gagasan karya. Sawah dengan sistem pengairan yang unik dan kuno tetapi bertahan ratusan tahun itu menjadi karya berjudul “Cerita Sawah”. Persis seperti subak, air yang ia wakili dengan garis-garis vertikal berwarna biru dihadirkan bersama larik-larik horizontal berwarna hijau yang ia maknai sebagai sawah. Tak ketinggalan pematang-pematang yang menjadi garis pembatas petak sawah satu dengan petak sawah lainnya, seringkali membentuk gelombang yang meliuk, ia hadirkan dengan warna hitam. Dalam kanvas berbentuk bundar, semua itu disajikan dalam keteraturan, sebab ini berkisah tentang sawah yang selalu berpola, tertib dengan musim dan sistem pengairan yang teratur.

Sastra memandang alam dengan cara yang tidak biasa. Ia mengabstraksikan alam menjadi kumpulan titik-titik dan tarikan-tarikan garis. Dalam “Irama Alam”, ia menyadari bahwa alam memiliki irama yang teratur meskipun terdiri dari beragam elemen. Setidaknya di Bali, ia masih menyaksikan birunya langit dan laut, batu yang hitam, hijau sawah dan pepohonan, adalah kesatuan yang menciptakan irama indah. Dengan bantuanPhotoshop, Sastra membuat semua itu menjadi semacam gambar grafis yang pecah dan blur. Dengan membuat blur seluruhnya, ia bermaksud untuk tidak menampilkan fokus tertentu. Segala sesuatu menjadi sama –sama-sama penting atau sama-sama tidak penting. Sebab, semua unsur dari alam itu sama penting maka tidak ada titik berat untuk menampilkan salah satu unsur lebih dominan dari unsur lainnya.

“Dunia Haru Biru” adalah karya dari sebuah foto alam yang ia pecah menggunakan olahan digital hingga tampak kabur. Tetap memanfaatkan garis-garis, Sastra membuat efek lukisannya seperti hasil cetak atau print yang rusak. Demikian pula ia mencermati alam, kerusakan pada bumi telah mendekati kehancuran, di mana lautan mengancam dan daratan mengandung bencana. Meskipun  bumi semakin tua, tetapi belum terlambat bagi manusia untuk mengubah sikap, mengembalikan kenyamanan bumi atau paling tidak memperlambat laju kerusakan.

Pada karya berikutnya, “Lanscape Yang Hilang”, Sastra membuat garis-garis horizontal berwarna merah muda yang lebih dominan ketimbang garis-garis putih di atasnya dan warna hijau di dasar kanvas. Horizontal adalah garis yang mewakili lanskap, sehingga jenis ini ia gunakan untuk mewakili ladang bunga. Berbeda dengan lima karya lainnya, secara khusus Sastra menciptakan efek bergerak (moving), seperti melihat pemandangan ladang bunga dari atas kereta cepat. Semakin cepat kereta bergerak, maka semakin kabur pula pemandangan hingga menjadi gugusan garis yang tak putus-putus. Pemandangan ini lambat laun menghilang, namun keindahan yang sempat dilihat akan tetap tinggal di ingatan.

Dalam keseimbangannya memandang alam, Sastra membuat karya “Tersudut & Terhimpit #1” dan “Tersudut & Terhimpit #2”. Pada lukisan yang pertama, ia tak hanya menggunakan titik-titik tetapi juga garis-garis untuk menyampaikan ketegasan optimisme, bahwa pada satu sisi alam masih bisa melahirkan hal-hal terbaik meskipun sudah tersudut dan terhimpit oleh ulah serakah manusia. Titik dan garis yang dominan berwarna hijau dengan gradasinya itu, merupakan representasi harapan seperti tunas yang menolak menyerah untuk tumbuh. Sementara lukisan yang kedua adalah paradoks. Sebab pada sisi yang lain, alam telah demikian tersudut dan terhimpit hingga membuatnya menyerah seperti daun yang menguning lalu gugur. Sementara gaya sebar kerusakan yang tak bisa diselamatkan itu seperti gempa yang menjalar dari episentrum.

Demikian Sastra mengabstraksikan alam dengan pola-pola yang detail, garis-garis yang tegas, titik-titik yang tajam serta yakin dengan keteraturan dan perhitungan. Sebab alam sesungguhnya  juga digerakkan oleh keteraturan semesta dan perhitungan sebab-akibat yang rigid. Demikian pula dalam pameran ini, Sastra telah berguru pada alam: bagaimana mempersiapkan segala sesuatunya dengan teratur, dilambari kesadaran tentang sebab-akibat atas pilihan teknik dan komposisi, serta ketegasan dalam menerima tantangan adu domba, seteguh titik dan setegas garis.