Sangkring Art | Blog Large Image Whole Post
18956
paged,page-template,page-template-blog-large-image-whole-post,page-template-blog-large-image-whole-post-php,page,page-id-18956,page-child,parent-pageid-1815,paged-17,page-paged-17,ajax_updown_fade,page_not_loaded,,select-theme-ver-3.4,stockholm-kudaterbang-net,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12.1,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-22345

COURAGE by Noor Ibrahim @Sangkring Art Space

Pembukaan : Sabtu, 6 Juli 2011, Jam 19.30wib
Pameran dibuka oleh : arch.dipl.ing.Cosmas D. Gozali. IAI
Pameran berlangsung : 6 – 20 Juli 2011

COURAGE
ALLEZ COURAGE ……..! terdengar suara tegas seorang gadis Paris, ketika aku sedang membuat self potretnya distudio. Allez Courage, yang katanya bermakna ayo semangat, mengingatkan aku akan figur-figur karya seni patung binatang, yang sudah aku finishing untuk pameran di Sangkring. Binatang pada umumnya memiliki semangat dan keberanian, juga insting yang kuat untuk bertahan hidup dari alam yang keras dan berkuasa.

Kehidupan memang memiliki seleksi alam yang ketat, maka kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan binatang. Jika tidak memiliki semangat hidup yang lebih tinggi, maka alam akan melibasnya. Manusia seharusnya belajar dari intensitas binatang terhadap alam. Harmonis dan selaras dengan lingkungan alam dimana dia hidup. Karena binatang itu selalu mengambil secukupnya apa yang ada pada alam. Dalam pameran ini saya hanya ingin bicara tentang manusia melalui binatang. Yang membedakan manusia dengan binatang adalah otak atau pikirannya. Tetapi saya lihat banyak sekali manusia yang memuja kepandaian otaknya, kemudian menjadi kehilangan rasa kemanusiannya. Kecerdasan yang akhirnya saling menghancurkan.  Betapapun tingginya sains dan tehnologi yang sudah dicapai manusia. Jika dampak tehnologi itu masih merusak alam, maka akan sia-sialah kemajuan dan pencapaian tehnologi itu. Apalagi kita semua tahu bahwa sampah tehnologi menjadi racun yang mengancam kelayakan hidup umat manusia. Saya kira jika manusia tidak segera bisa mengenali siapa dirinya. Maka manusia itu akan mengalami ketakutan dan tidak punya semangat hidup.
Tidak memiliki keseimbangan antara dunia dalam tubuh dengan dunia diluar tubuh, semesta alam yang absolute.

-Noor Ibrahim-

Binatang-Binatang Ibrahim

Noor Ibrahim. Pematung bertubuh tambun dengan misai lebat dan kacamata mungil bergagang oranye ini menemurupakan binatang sebagai pokok perupaan dan perenungan dalam pameran tunggalnya ini kali.

Sudah barang tentu kita tahu bahwa pokok perupaan binatang bukanlah pokok perupaan baru dalam khazanah seni rupa—khususnya seni patung—di negeri ini. Alih-alih, pokok perupaan ini bak mataair inspirasi bagi para seni rupawan untuk menggambarkan dan menyatakan pemahaman dan penghayatan atas realitas sosial politik yang berlangsung di sekitarnya.

Noor Ibrahim menemurupakan sejumlah binatang—antara lain ayam, capung, gajah, kuda, burung, jerapah, kalajengking, dan semut—dalam bentuk alamiah dengan ukuran gigantik yang menumbuk mata.

Noor Ibrahim menemurupakan hewan-hewan itu secara ekspresionistis—dengan memalu dan mengelas—yang bekas-bekasnya meminta perhatian pemirsa untuk merenungkan kembali apa artinya mereka—binatang-binatang itu—dalam kehidupan sehari-hari manusia.

Dengan begitu, patung-patung hewan Ibrahim ini dipajang bukan sebagai sekadar model-penggambaran atau karya seni rupa sebagai suatu penggambaran seni rupawan atas suatu kenyataan, melainkan sebagai model-pernyataan atau karya seni rupa sebagai suatu pernyataan seni rupawan atas suatu fenomena.

Noor Ibrahim—melalui pameran ini—rupanya ingin menyatakan bahwa binatang, dengan segala kisah kehidupannya yang tersirat, dapat menghela manusia menuju hikmat kebijaksanaan dari kumpulan margasatwa yang berakal-budi.

—Wahyudin AS   

 

Image karya COURAGE

 

Opening COURAGE

Abu Bakar:Menyingkir by Abu Bakar @ Sangkring Art Project

Pembukaan : Kamis, 11 Agustus 2011, 19.30 wib
Pameran dibuka oleh : Ibu Dian Anggraeni
Diskusi : Jumat, 12 Agustus 2011, Jam 15.30 wib
Tema diskusi : Karya dan Intensitas perupa
Pembicara : Rain Rosidi, dan Abu Bakar
Pameran berlangsung : 11 – 25 Agustus 2011

Tentang Menyingkir

Menyingkir bukanlah tersingkir atau disingkirkan. Ia merupakan sebuah sikap yang dipilih secara sadar. Mungkin saja memang ada tekanan di sekitar atau oleh satu hal. Bentuknya tak hanya sakit dan derita, bisa pula iming-iming atau godaan untuk hidup nyaman dan mapan.  Namun bukan karena kalah kalau kemudian seseorang memutuskan untuk menyingkir. Seseorang yang menyingkir, hakikatnya adalah seseorang yang membuat jarak dengan pusat  “tekanan”. Tidak saja membuatnya jauh dari hiruk-pikuk, terhindar dari cipratan dan efek tak diinginkan, namun sekaligus membuatnya mencipta “jarak aman” untuk membaca keadaan dengan lebih jernih. Ia tidak lari apalagi bersembunyi; ia terus membaca keadaan dan tidak tinggal diam.

Dengan demikian, seseorang yang menyingkir tidak memanggul dendam kesumat, tidak perlu merasa “dikutuk-sumpahi eros” atau merangkaki dinding buta, namun pasti membangun perhitungan untuk “sesekali betah bertahan.” Itulah sebabnya, menyingkir bisa pas bersebati dengan berbagai situasi yang bernilai perhitungan—mundur selangkah untuk maju beribu langkah—misalnya saja dalam konteks gerilya atau bahkan hijrah. Menyingkir dalam kamus gerilya bukanlah kekalahan, bukan pula ungkapan atau sikap yang tabu untuk dijalankan. Begitu pun dalam (peristiwa) hijrah: para kafilah secara sadar meninggalkan kota asal untuk menapaki kota lain, tidak saja membuat mereka lebih tenang membikin perhitungan, namun sekaligus bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang baru, khususnya yang sevisi dan seiman.

Segala sesuatu pun lalu menjadi mungkin. Kota asal atau markas yang ditinggalkan, tidak begitu saja lampus dalam kenangan melainkan justru hidup berkilap, dan seumpama lampu mungkin ia mencapai puncak paling terang; dari situ seseorang yang menyingkir memungut serpih dirinya, pengalaman dan peristiwa yang dialaminya. Ia akan mengolahnya sesuai posisi atau profesi. Bagi seorang kreator, itulah sumber penciptaan. Diaduk dengan realitas sekitar (wilayah kekinian tempatnya menyingkir), maka lahirlah karya-karya yang sanggup merefleksikan perjalanan hidup dalam segala keadaan.

Spirit inilah yang kita tangkap dari proses kreatif dan karya-karya Abu Bakar, ia yang secara sadar meninggalkan hiruk-pikuk kota besar (Denpasar, Jakarta, Bogor), menyingkir ke sebuah desa terpencil di lereng Gunung Merapi, Klaten. Begitulah ia menyelamatkan proses kreatifnya; menyingkir untuk waktu yang tak digariskan. Mungkin ia akan selamanya menyingkir, menghabiskan sisa umur di “sarang” yang membuat ia lebih tenang, tidak mengapa. Toh, ia bisa kembali, pergi dan pulang, ke luar-masuk ke berbagai tempat yang ia inginkan, melalui karya-karya rupa yang ia gubah dalam berbagai teknik dan ekspresi.  Sekaligus dengan itu, ia berhasil mengambil “jarak aman” dari sumber-sumber tekanan: penciptaan yang instan, trend dan perayaan, maupun tangan-tangan pasar-kapital yang berkelindan di seputaran dunia kreatif seniman. Dengan spirit menyingkir itulah, kini kita menikmati karya Abu Bakar yang sekaligus juga bernilai dokumentatif bagi kerja kesinamanannya yang panjang.

(Raudal Tanjung Banua)    

 

Melihat Kesenian Abu Bakar 

I

Kita tahu, realisasi pameran yang materi presentasinya sebagian besar dekat dengan proses kreatif sebuah genre Seni Rupa yang lazim disebut Seni Sketsa akan selalu memunculkan tantangan tersendiri. Bukan karena pemikiran kontroversialnya di seputar genitnya pertentangan kalangan akademis akan kelayakannya untuk disebut sebagai karya rupa yang utuh, karena adanya perdebatan yang menempatkan Seni Sketsa merupakan sekedar studi awal sebelum dilanjutkan menjadi sebuah lukisan. Tantangan signifikannya justru terletak pada semakin jarangnya pameran serta pewacanaan tentangnya. Berakibat pada terjadinya penghilangan potensi Seni Sketsa sebagai salah satu bahasa artistik dalam sebuah usaha representasi visual.

Padahal sejak awal munculnya Seni Rupa modern Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan, Seni Sketsa secara bentuk dan fungsi telah dipraktekan dan dibicarakan sebagai ekspresi rupa yang kompleks. Salah satu jejak yang dapat kita rujuk misalnya saat dibukukannya  karya-karya Seni Sketsa Henk Ngantung (1981) yang sebagaian besar merupakan dokumentasi peristiwa-peristiwa medan perang, suasana perjanjian-perjanjian dan kehidupan sehari-hari penduduk. Isi buku yang diseleksi dan diberi pengantar oleh Nashar dan Burhanuddin M.S tersebut memuat banyak pemikiran dan informasi perkembangan Seni Sketsa, termasuk kegiatan pameran-pameran selama periode revolusi kemerdekaan yang menyandingkan Seni Sketsa dengan genre Seni Rupa lainnya.

Permasalahan yang merisaukan ini, oleh Sanento Yuliman di pertengahan tahun 90-an ditengarai muncul dari sikap awal boom Seni Rupa yang memandang sebelah mata material kertas dan cat berbasis air dibandingkan material kain kanvas dan cat minyak pada Seni Lukis. Imbasnya langsung terlihat nyata pada  penyusutan dalam ragam medium, yaitu macam bahan dan teknik. Sikap ini berujung pada penyempitan wawasan medan dunia Seni Rupa yang gejalanya disebut Sanento sebagai fenomena pemiskinan.

II

Istilah  Sketsa sering dipahami sebagai lintasan peristiwa, sekilas yang ditangkap dalam sekali pandang. Menurut Le Meyers (1969), Sketsa merupakan gambar catatan. Pada pengertian ini,  terdapat keinginan perupanya untuk merekam kejadian atau objek yang dilihat sebagai momen yang menarik perhatian dengan cepat dan spontan. Di sinilah, peran garis menjadi elementer karena kesederhanaan aplikasinya mendukung kepentingan pengabadian kesesaatan tersebut. Baik lewat goresan sebatang lidi maupun sapuan kuas. Baik lewat perpaduan beberapa warna maupun monokrom saja.

Jika kita mulai memperhatikan karya-karya Abu Bakar yang dipamerkan, dapat dikatakan ia masih terlihat menggeluti objek pokok tradisi seni Sketsa yaitu, manusia, tumbuhan dan bangunan. Namun nilai hasil bentuk dan isi sketsa Abu Bakar bukanlah terletak pada objek, tapi pada tenaga perasaan-perasaannya. Maka, tidak mengherankan dalam perkembangannya, objek pokok tersebut mengalami deformasi, baik lewat simplikasi, distorsi dan stilisasi. Corak ini, didorong oleh gejolak emosi dan spontanitas yang kuat, sebagai tanda bekerjanya tenaga yang menekan dan menarik bentuk. Karya dengan judul Tribute to Pak Lempad dan Dancer memberi penggambaran ini. Bahkan kemudian, muncul usaha Abu untuk memaksimalkan batas pencapaian potensi garis dan warna yang membawanya pada pemurnian objek. Sebuah konsekuensi ketertarikan pada permainan irama garis dan komposisi bidang yang memang merupakan unsur pokok menuju seni abstrak. Karya berjudul Sepatuku, Pending dan Oret-oret  adalah perwujudannya.

Menggoreskan garis juga adalah pernyataan pikiran, di mana sikap terhadap tema akan lahir. Tema-tema yang berpihak pada kondisi sosial banyak muncul dalam seni Sketsa Abu Bakar. Mulai dari isu lingkungan, kemiskinan sampai ancaman global senjata nuklir. Menariknya, cara menyatakan persoalan ini selalu memakai sudut pandang pengalaman dari dunia orang-orang yang paling lemah dan rentan. Kaum ini, biasanya terdiri dari perempuan dan anak-anak. Hal  yang dengan gamblang ditangkap pada karya Anak Jalanan, The Nucleer Menace dan Pohon Terakhir. Kalaupun kadang kaum lelaki hadir sebagai objeknya, seperti dalam judul  Tribute to Tjokot dan Pak Sito tetap saja hadir bukan sebagai tubuh yang tegap tapi sudah tua dan renta.

Dari sebagian besar karya seni Sketsa Abu Bakar yang dipamerkan terdapat juga karya-karya yang berbeda secara genre dan dapat dikatergorikan sebagai Seni Batik, Seni Grafis dan Seni Lukis. Namun jika diteliti dengan seksama, teknik yang digunakan untuk membentuk suasana objeknya tetaplah meninggalkan jejak ekspresi sebuah Seni Sketsa. Keberanian Abu Bakar untuk melakukan eksperimen terhadap  Seni Sketsanya dengan beragam bahan dan teknik, pantas mendapatkan apresiasi khusus. Salah satunya adalah penggunaan teknik Cetak Saring. Hal ini, pada prakteknya langka dilakukan, alasannya tentu untuk menjaga kepentingan ekspresi garisnya. Uniknya, Abu Bakar sukses mempertahankan kekuatan ekspresi garis pada karya cetaknya.

III

Dalam Seni Rupa Indonesia melalui tafsir “jiwa ketok” S. Sudjojono garis dipercaya memiliki hubungan erat dengan karakter dan ekspresi. Maksudnya, betapapun bentuk tercipta setelah sebuah garis ditorehkan, baik itu berbentuk lurus, patah-patah, melengkung dan berulang atau sebagainya, itu bukanlah yang utama. Sebab yang terpenting ia telah menunjukkan dengan gamblang bentuk karakter seseorang yang telah mewakili pengertiannya terhadap kenyataan sekelilingnya dengan jujur.

Pameran ini, adalah contoh dari upaya untuk mewarisi sikap jujur dalam menjalani proses berkarya Seni Rupa tersebut. Kita dibantu untuk mulai yakin bahwa hasil kesenian memiliki kesinambungan erat dengan karakter dan ekspresi yang diperjuangkan senimannya. Walaupun sialnya sikap ini, pada kenyataannya sering menggiring si seniman untuk senantiasa memilih menyingkir dari gelanggang dunia seninya yang acap kali dalam perkembangannya menjurus dekaden. Tapi jika dilihat dari konsekuensi dan capaian karyanya, Abu Bakar telah memberi nilai setimpal untuk hasil keseniannya.

(M. Yusuf Siregar)

Abu Bakar lahir di Sulawesi Selatan tahun 1925. Mengikuti pameran Adelaide Festival of Arts dan Christian Art Exibition Melbourne, Australia (1980), Christian Art in Asia, University of British Columbia, Vancouver, Kanada (1983) dan tahun 1986 bersama Ivan R berpameran di Goethe Institut, Jakarta. Mantan penata artistik Majalah Oukumene ini, pernah meraih Juara II Lomba Poster Internasional “Your Kingdom Come”, World Council of Churches, Swiss. Bukunya yang sudah terbit adalah Dolanan (kumpulan puisi, 2009) dan Sepilihan Karya Abu Bakar (kumpulan karya rupa, 2010).

 

Diskusi Abu Bakar Menyingkir by Abu Bakar


SAGE RESIDENCY #2 ‘Yogyakarta’ @ Sangkring Art Project

 

 

 

 

 

Artist :  Christopher H. Zamora (Philippine), Josef Zean Cabangis (Philippine), Choiruddin (Indonesia),  Nugroho Heri Cahyono (Indonesia), Chong Kim Chiew (Malaysia), Suddin Lappo (Malaysia)

Kurator : Hendra Himawan

Pameran berlangsung : 11 – 23 Juli 2011

Organizer : Tenggara, House of Matahati (HOM), Project space Pilipinas

Tempat : Sangkring Art Project

SAGE residensi 2011 : sebuah catatan ringkas

Yogyakarta, menjadi tempat singgah ke 2 program SAGE (South East Asia Group Exchange) Residensi 2011. Adalah sebuah program pertukaran seniman, program residensi, yang melibatkan kelompok  seni  visual dan perupa dari negara-negara di Asia Tenggara. Program ini bertujuan untuk menjalin  hubungan sesama seniman, sekaligus membuka kesempatan untuk membangun jaringan kesenian di antara negara-negara yang terlibat. Program residensi  ini digagas oleh Tenggara Artland (Indonesia), House of Mata Hati (Malaysia), Project Space Pilipinas (Philipina).

Menyertai mereka selama proses residensi, saya mencatat beberapa hal menarik dari proses kreatif yang  telah dilakukan. Suasana Yogyakarta yang hiruk pikuk dengan kehidupan seni rupa, menjadi bagian menarik sepanjang pelaksanaan residensi. Lawatan ke studio seniman, menyaksikan event pembukaan pameran, obrolan  dan diskusi bermalam-malam menjadi energi tersendiri. Wacana kesenian, market hingga perkara-perkara teknis penciptaan, menjadi bahan diskusi yang menarik untuk memahami kondisi medan seni rupa di negara masing-masing. Berpijak dari obrolan dan diskusi ini pula mereka mengancang karya-karya kolaborasi, di mana pertukaran gagasan, isu yang hendak dituju, pokok perupaan yang hendak dituangkan hingga pertimbangan material dan teknis penciptaan menjadi poin tersendiri. Kebiasan praktik kerja masing-masing seniman yang berlainan juga melahirkan negosiasi dan sharingkerja yang sangat menarik.

Menemani proses mereka berkarya, saya melihat ruh dan spirit yang sama dalam tajuk kekaryaan mereka, sebuah spirit dari masyarakat negara berkembang yang kritis dan terus bergeliat. Persoalan identifikasi diri, identitas, sejarah, akar kultur hingga persoalan modernitas dan globalisasi menjadi pertanyaan-pertanyaan kritis yang mereka lontarkan. Seperti Chong Kim Chiew menggunakan peta sebagai bahasa untuk mempertanyakan sejarah wilayah. Bagaimana kekuatan sosial politik, mampu merubah teritori, perbatasan hingga kontur demografis manusianya. Dengan media akrilik dan spidol boardmarker, ia pertemukan semua teks wilayah, jalan dan sungai, dan nama tempat dari seluruh wilayah dunia dalam selembar kertas. Carut marut tanda itulah yang menarik kita pada batas-batas memori akan ruang yang telah tererosi, sekaligus mengajak kita untuk menilik ulang konstruksi identitas. Ingatan akan kampung halamannya, Malaysia, menuntun Suddin Lappo untuk terus mengungkapkan kondisi negaranya saat ini. Bagaimana perjuangan rakyat Malaysia menegakkan demokrasi yang bersih disiratkannya dalam figur potret diri memegang kartu kuning. Warna yang identik dengan kompensasi pelanggaran dalam permainan sepak bola, di mana warna kuning juga menjadi simbol perjuangan rakyat Malaysia saat ini. Sebagai seniman, ia termasuk seniman yang kritis. Nada satire akan kebijakan negara berikut tingkah laku para aparatusnya seringkali tersemat dan terdengar dalam karya-karyanya.

Zean Cabangis, seniman muda dari Philipina ini banyak mencermati kontur lingkungan dari suatu tempat yang dikunjunginya, untuk kemudian disatukannya secara acak dalam bidang kanvas. Mulai dari figur, pohon, hingga benda-benda yang identik dengan tempat tersebut disusun dengan pendekatan teknik realism yang dipadu dengan corak-corak grafis sebagai elemen pendukung. Zean lebih banyak menyoal tentang identifikasi ruang berikut tegangannya dengan psikologi masyarakatnya, hingga respon audiens saat karya itu dipresentasikannya. Sementara Christopher Zamora asyik berkolaborasi dengan Nugroho Heri Cahyono. Persoalan globalisasi dan modernitas yang melanda dunia ketiga, telah menyebabkan masyarakatnya terkapar dengan kondisi ini. Konstruksi baja berbentuk diamond dimaksudkan sebagai ikon dari modernism, menindih sosok figur manusia yang menahannya tak berdaya. Seolah gambar bercerita, tubuh  sang figure itupun layuh pada panel berikutnya. “Inilah gambaran masyarakat yang tidak sanggup menanggung beban modernitas dan globalisasi, mereka menyerah dan jatuh terkapar”, demikian ungkap Heri.  Sementara persoalan art scene saat ini yang chaotic coba diungkapkan Choiruddin dalam potret seorang gadis yang dikelilingi buih. Samar-samar terlihat sobekan kertas bertulis ‘galeri’, suatu tanda yang mengundang konflik visual tersendiri. Apakah wacana art scene yang terkesan konseptualistik, molek dan cantik, hanyalah buih-buih basa yang hadir untuk menutupi kepentingan market yang sebenarnya?

Merangkai setiap gagasan visual dan pemikiran mereka, saya menangkap sebuah gajala kritis mereka atas perkembangan seni rupa kontemporer saat ini. Bagaimana seni kemudian hadir sebagai sebuah strategi diplomasi kebudayaan yang menarik, beririrng dengan perputaran kapital yang maha dahsyat. Bukan untuk menafikkannya, akan tetapi menjalin sebuah pemahaman bersama untuk kemudian bersikap kritis dan seksama. Ada sebuah strategi kesenian yang mesti dibangun secara bersama-sama, tidak saja dalah satu teritori, namun melintas sekat pembatas negara.  Upaya kerja jaringan ini harus terus diupayakan dengan tetap berpijak pada identifikasi diri, meyakini identitas asal dan akar kultural serta menjalin kerja kolektif yang kontributif. Senyatanya setiap gagasan karya mereka mengancang pada persoalan identitas yang terbelah dan problematik. Setiap karya hadir dalam nuansa dan wacana yang dalam. Proses kerja mereka selama residensi menunjukkan karakter yang beragam. Layaknya sebuah motivasi, mencermati perspektif mereka terasa ad upaya identifikasi diri yang lebih, reposisi wacana kekinian, hingga upaya pemetaan posisi seni rupa kontemporer Asia Tenggara dalam peta seni dunia.

Program residensi SAGE ini merupakan sebuah program kerja jaringan yang sangat baik dalam membuka peluang komunikasi dan hubungan lintas budaya. Bagaimana seniman mampu membaca, memahami dan berkarya secara kontekstual di mana pun mereka berada. Adanya spirit akar rumpun yang sama juga memberikan motivasi yang menarik dalam melihat dan mencermati fenomena global yang ada. Berbincang dengan mereka senyatanya saya menangkap sebuah mimpi bersama, Asia Tenggara menjadi kiblat seni kontemporer dunia suatu hari nanti.

(Hendra Himawan. kurator)

Opening 

 

 

The ongoing impact of nuclear accidents in Russia, Ukraina, Belarusia and Kazakhstan, 25 years since Chernobyl by Robert Knoth

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

YOGYAKARTA
Opening : 1 July 2011, @ 7 pm
Curated : Malcom Smith
Exhibition : 1 until 25 July 2011
Sponsored : Greenpeace Asia Pacific
At : Sangkring Art Space

BANDUNG
Opening : 11 September 2011
Exhibition : 11 until 17 September 2011
At : Galeri Soemardja

The ongoing impact of nuclear accidents in Russia, 25 years since Chernobyl
This year marks the 25th anniversary of the Chernobyl disaster, and yet it is by no means the only, or the worst nuclear accident in Russia’s history. Today, thousands of people in Belarus, Ukraine, Khazakstan and Russia suffer from serious illnesses as a result of nuclear contamination. Many of these people were born years after the disasters happened, and they will continue to be affected for generations to come.
Robert Knoth has been visiting the sites of nuclear contamination since the early 1990’s, documenting the lives of ordinary people subjected to extraordinary negligence. Through Knoth’s images we are confronted not only by the tragic illnesses that individuals must live with, but also the hopelessness that they face with regards to their future and the sad disintegration of their families and communities.
While much of the nuclear debate focuses around statistics, Knoth‘s images remind us that for every statistic there is a human story. His images make a powerful contribution to the ongoing and highly controversial debate about the human cost of Nuclear power. After the recent tragic events at Fukushima, it is important that Indonesian people are well informed about the impact of Nuclear accidents as we reassess our plans to build reactors in this country.

Robert Knoth
Robert Knoth began his career as a photojournalist in 1993. Throughout the 90’s he covered many of the conflict zones in Africa, Asia and the Balkans. Since then his work has been widely published in international magazines, such as: New York Times, Der Spiegel, Sydney Morning Herald, La Repubblica, Sunday Telegraph Magazine, amongst many.
In recent years Robert Knoth has been working on long term projects as an autonomous documentary photographer. As well as his Russian Nuclear Disaster project, he has been following the conflict in Afghanistan and Pakistan since 1996 and is currently working on a book about Afghan heroin in cooperation with writer and broadcaster Antoinette de Jong. Throughout his career Robert Knoth has won numerous prizes, including two World Press Photo Awards in 2000 and 2006.

Text By Antoinette de Jong.
Curated by Malcolm Smith.
This exhibition has been generously sponsored by Greenpeace Asia Pacific.


Sertifikat no. 000358

25 Tahun Setelah Chernobly
Dampak berkelanjutan petaka nuklir di Rusia, Ukraina, Belarusia dan Kazakhstan

Sangkring Art Space, Yogyakarta
1 sampai 25 Juli

Galeri Soemardja, Bandung
11 sampai 17 September

Tahun ini menandai peringatan bencana Chernobyl ke-25. Namun, bukan berarti bahwa dalam sejarah Rusia kecelakaan nuklir hanya terjadi di Chernobyl, bukan pula ia yang terburuk. Saat ini, ribuan orang di Belarus, Ukraina, Kazakstan, dan Rusia menderita berbagai penyakit serius akibat pencemaran nuklir. Banyak dari mereka yang lahir bertahun-tahun setelah rangkaian petaka itu terjadi, namun generasi demi generasi terus terkena dampaknya.
Robert Knoth dan Antoinette de Jong telah mengunjungi titik-titik pencemaran nuklir sejak akhir 1990-an, mendokumentasikan kehidupan orang-orang biasa yang terpapar kelalaian luar biasa. Melalui karya mereka, kita dihadapkan tidak hanya pada segala penyakit yang harus ditanggung tiap orang, tapi juga keputusasaan yang mereka hadapi berkaitan dengan masa depan, serta disintegrasi keluarga dan masyarakat yang memilukan.
Selain menyajikan kisah menggugah tentang dampak tenaga nuklir bagi manusia, pameran ini menanggapi berbagai isu etik terkait foto jurnalistik. Masyarakat kontemporer kita terus dibanjiri gambar-gambar voyeuristik berisi kekerasan dan bencana yang ditampilkan para “jurnalis publik” di blog, facebook, flickr, bahkan di media arus utama. Kekuatan di balik foto-foto Robert Knoth terletak pada keintiman yang ia bagi dengan subyek-subyeknya, serta rasa hormat yang ia tunjukkan pada mereka.
Ketika perdebatan nuklir kebanyakan berfokus seputar statistik, foto-foto Knoth dan pelaporan mendalam De Jong mengingatkan kita bahwa untuk tiap statistik terdapat sebuah kisah tentang manusia. Karya mereka memberi kontribusi besar pada perdebatan kontroversial tanpa henti tentang dampak energi nuklir terhadap manusia. Menilik kejadian-kejadian tragis di Fukushima baru-baru ini, penting bagi rakyat Indonesia — selagi rencana pembangunan berbagai pembangkit nuklir di negeri ini ditinjau ulang — untuk memahami segala dampak kecelakaan nuklir.

Robert Knoth
Robert Knoth memulai karir sebagai jurnalis foto pada tahun 1993. Sepanjang tahun 90-an ia meliput banyak zona konflik di Afrika, Asia, dan wilayah Balkan. Sejak saat itu karya-karyanya telah diterbitkan secara luas di majalah-majalah internasional antara lain New York Times, Der Spiegel, Sydney Morning Herald, La Repubblica, dan Sunday Telegraph Magazine.

Dalam beberapa tahun terakhir, sebagai seorang fotografer-dokumenter lepas, Robert Knoth tengah melakukan proyek-proyek jangka panjang. Selain proyek Bencana Nuklir Rusia, ia terus mengikuti konflik di Afghanistan dan Pakistan sejak tahun 1996. Dan saat ini, bekerjasama dengan Antoinette de Jong, ia tengah menggarap sebuah buku tentang heroin Afghanistan. Sepanjang karirnya, Robert Knoth telah memenangkan banyak penghargaan, termasuk dua World Press Photo Awards pada tahun 2000 dan 2006.

Antoinette de Jong
Antoinette de Jong adalah penulis dan penyiar yang berbasis di Belanda. Karya-karyanya telah muncul di radio dan televisi, termasuk beberapa film dokumenter untuk BBC World Service dan reportase feature latar belakang untuk VPRO dan Radio Netherlands World Service. Beragam karyanya telah diterbitkan oleh El Pais, the Australian, Marie Claire, Io Donna, Grande Reportagem, Unesco Courier, NRC Handelsblad dan Metro.

De Jong meliput perkembangan di Afghanistan dan Pakistan secara rutin selama hampir dua dasawarsa selain mengunjungi kawasan-kawasan lain di seluruh dunia termasuk India, Somalia, Irak, Asia Tengah, Kosovo, Albania, Bosnia-Herzegovina, Yugoslavia, Kamboja, Ukraina, Belarus, dan Rusia. Ia sering diundang sebagai analis dan komentator mengenai Afghanistan dan Pakistan.

Dikuratori oleh Malcolm Smith.

Pameran ini terselenggara berkat dukungan penuh Greenpeace Asia Tenggara – Indonesia

Foto by Robert Knoth


Opening @ Sangkring Art Space



 

 

BERITA CUACA by Kelompok DENTING @Sangkring Art Project

Pembukaan : Kamis, 16 Juni 2011, Jam 19.00 wib
Pameran di buka oleh : Bpk Nasirun
Penulis : Hendra Himawan
Pameran berlangsung : 16 – 28 Juni 2011
Tempat : Sangkring Art Project

“BERITA CUACA”

Dialektika antara kultur (culture) dan natur (nature) berikut tegangan-tegangan kausalitas yang terjadi diantaranya, adalah hal yang ingin diungkapkan oleh Kelompok Denting dalam pameran ini. Natur yang sejatinya tidak akan berubah kecuali untuk meregenerasi struktur ekologinya, seolah dipaksa untuk berubah karena perilaku manusia. Di lain pihak, kultur manusia pun tak luput dari kodrat untuk sebuah  perubahan seiring laju paradigma pemikiran mereka. Modernitas adalah bingkai perspektif yang merubah keduanya, sebagaimana yang dapat dilihat pada karya kelompok Denting ini. Jika tidak diimbangi dengan kesiapan, maka modernitas akan merubah natur, secepat ia merombak kultur manusia di dalamnya. Memang disayangkan, terkadang keinginan untuk mengikuti laju modernitas membuat manusia menafikkan natur yang seharusnya dipelihara. Keinginan untuk menjadi yang paling unggul, membuat mereka menghalalkan cara-cara yang pada akhirnya menyurukkan mereka, tak ubahnya seperti makhluk pada ras terendah. Berita Cuaca adalah sebuah pengkabaran. Ia bukan hanya slogan peduli alam dan lingkungan. Ia adalah pengingat, selayaknya alarm dan reminder. Bahwa manusia tidak bisa lagi untuk tidak peduli pada keseimbangan kultur dan natur.
Hendra Himawan

Denting #3
Kelompok Denting Visual Art lahir menjadi sebuah wadah dari mereka yang masih menemukan sunyi dalam hingar bingarnya seni rupa, denting lahir dengan kesadaran terus akan saling belajar bersama maupun sendiri, saling berbagi pengalaman dengan tujuan berusaha menghasilkan karya yang lebih baik, yang masih percaya adanya keindahan dan kehangatan dalam proses kesenian, yang percaya masih adanya ketulusan didalam kebersamaan, yang menggenggam keyakinan bahwa dengan cara bahu-membahu dan saling mengulurkan tangan niscaya pohon estetika akan berbuah lebih manis dan cerah warnanya.
Denting menjadi wadah bagi gejolak kegelisahan serta kreatifitas setiap anggotanya yang mewadahi kelemahan dan bersama-sama mengolahnya menjadi sesuatu yang lebih berarti, setidaknya tetap setia memberikan sumbangsih goresan warna kepada masyarakat pecinta seni.
Kelompok Denting

Image karya

Opening


 

 


MACHINE NO. 6 by six A and six needles six @ Sangkring Art Project


Pembukaan : Rabu, 1 Juni 2011, Jam 19.00
Pameran berlangsung : 1 – 7 Juni 2011
Organizer : HONF (the house of natural fiber Indonesia)
Tempat : Sangkring Art Project

MESIN No # 6.

Sound: the invisible, pervasive energy source.

Suara mengelilingi kita secara keseluruhan, menghubungkan kita melalui komunikasi. Suara tersebut mengendap di sekitar kita selama kita masih ada. Hal tersebut membentuk sebuah dasar sound-scape untuk semua pengalaman sensorik kita. Kita berkomunikasi melaluinya, dan akhirnya menyadari bahwa nada dan tekanan suara memainkan peranan penting bagi penyampain kata dan makna.

Di pedesaan yang masih asri suara yang berasal dari kehidupan sehari-hari akan melintasi lembah lembah – elemen – elemen yang tampaknya acak dibangun secara rutin serta memberikan rasa keberadaan pada diri kita masing – masing. Pada sore hari ketika kabut menyelimuti secara perlahan sampai ke lembah itu, bagaikan sebuah perahu, menelan pemandangan; siluet gelap di batas pinggiran; turunnya cahaya melalui jendela dan bangunan sekitarnya hanya berubah menjadi serupa dengan potongan balok kayu  dan mengubah petualangan malam kami ke dalam sebuah perjalanan yang membuat gugup namun menakjubkan. Kita menjadi terlalu keras – sehingga terasa sebagai tindakan tidak terpuji. Kita bagaikan sebuah iring-iringan peziarah yang hilang ke dalam bayangan bunyi yang memekakan telinga : kelembaban kabut.

Machine no.#6 is an attempt to amplify the voice and energy of nature.

Di karya ini kami akan mencoba membuat sebuah konfigurasi sirkuit air yang berasal dari kehidupan sehari-hari, sesuatu yang tipis, benang halus yang menghubungkan rumah dengan rumah, tubuh dengan tubuh, tanah dengan tanah.

Air terdapat di mana-mana, di dalam tubuh kita, di pemandangan yang kita lihat, di dalam atmosfir kita – di lembabnya kabut tebal yang menyelimuti kami di desa. Gelombang dan struktur itu bergema di dalam tubuh kami. Ia menyesuaikan dan mengubah bentuk untuk lingkungan sekitarnya – seperti yang kami lakukan. Air adalah universal – melintasi budaya dan geografis. Kita dapat terhibur oleh bunyi itu, kita digantikan olehnya ketika mengkonsumsinya, di masa depan mungkin kita harus melakukan perang atas kepemilikannya – air sangat penting untuk keberadaan kita selanjutnya.

Namun – masih saja hal tersebut menghubungkan kita – makhluk-makhluk buta yang bersanding bersama- sama dengan cahaya lemah kita; suara suara yang mendesak dari dalam diri kita.

Suara kita mempunyai kemungkinan menghilangkan dan menenggelamkan bunyi dari hal lain yang memiliki irama lebih minim. Hanya di dalam keheningan dan di dalam sebuah kontemplasi kita berkemampuan untuk menerima bunyi; menjadikannya sebagai penerima bentuk energi yang begitu mudah untuk terabaikan.

Yogyakarta.

We land.

Kami berada di punggung sepeda motor melalui jalanan dengan lalu lintas yang padat . Semuanya terdapat disini – molekul-molekul ruang diantara obyek-obyek yang bergerak hampir semuanya terlihat sebagaimana kendaraan-kendaraan berlalu dengan intuisi-intuisi yang hampir tidak nampak. Proses dari bel-bel kendaraan yang menemani padatnya lalu lintas; bagaikan sinyal-sinyal sonar yang memberikan batasan bagi para pengendara yang bersangkutan.

Bersama kita berkumpul dan mendiskusikan berbagai kemungkinan konstruksi. Di antara pengembangan organisme kota ini tampaknya tepat untuk bekerja sama mengkonsolidasikan sebuah struktur. Jalan-jalan telah berevolusi untuk mengisi semua ruang yang tersedia. Kami merasa jenuh dengan situasi di kota. Kami memaksa diri kami untuk mengumpulkan ide ide dan memolesnya di antara kata-kata bagaikan mengasah batu yang berharga. Yang terjadi sangatlah mengejutkan semuanya terangkum dalam sebuah kesimpulan yang sempurna : sirkuit sederhana ; yang menunjukkan sebuah sistem kerja sederhana: Air, bekerja dan melawan gravitasi; dan semuanya berarti menyuarakan energi yang melekat pada sumber daya alam.

Kami akan membuat saluran pipa untuk jalannya aie, mengarahkannya ke segala penjuru ruang bagaikan aliran arteri; dan air akan membentukkan dirinya ke dalam aliran yang berkesinambungan. Bambu membentuk sebuah strata yang terisi cekungannya oleh bentukan tangan; sebuah bentuk yang mengadaptasi medan alami dari air yang jatuh. Dan ini terletak – di atas struktur rancangan besi, kemudian di tempelkan ke beberapa titik, sensor-sensor yang dapat mendeteksi bunyi energi yang berasal dari air yang diubah terlebih dahulu menjadi sebuah gelombang suara, kemudian menjadi sebuah bunyi orkestra yang abstrak. Tidak ada rekayasa efek bunyi-instalasi ini hanya mempresentasikan yang ada-esensi dari energi yang terkandung pada sirkuit air, memberikan suara untuk didengar.

The Long Table experiment

Banyak tangan untuk melakukan pekerjaan ringan? Terlalu banyak koki akan merusak kaldu?

Praktek kolaboratif adalah proses penyeimbangan yang menawarkan kesempatan untuk memohon, meminjam dan bertukar ketrampilan serta ide dengan seniman lain. Dalam hal ini – kesempatan untuk bertukar ide antar budaya yang berbeda adalah hal yang tak ternilai harganya.. Kami memiliki perbedaan pada latar belakang, media, pengalaman dan pengetahuan – sebuah bank informasi yang mengesankan untuk digambarkan secara kolektif.

Kami datang dengan kekayaan kami akan pengetahuan ini kemudian terjalin menjadi sebuah konsep yang jauh lebih baik; seperti bagaimana pipa-pipa di desa saling berhubungan, seperti juga lalu lintas yang mulus dan lancar, kami mengkombinasikan pikiran-pikiran bebas kami menjadi satu suara padu.

Kami melakukan segala sesuatunya sendiri – berjalan berpasangan maupun sendiri di antara masing-masing kelompok, kami melakukan penyelidikan tentang diri kami dalam hubungannya dengan air, dan ini berkaitan juga dengan keragaman unsure yang melekat pada air dengan mempelajari efek pada awan, resonansi morfik, teori warna, menggerakkan buih, serta komunikasi. Kesemuanya ini memainkan peranan di antara eksperimen serta menghasilkan sebuah meomentum untuk sekali lagi mengembangkannya melalui hasil yang kolektif.

Kami menggunakan papan sirkuit untuk melajutkan metafor mengenai proses kolaborasi dan tentang hidup itu sendiri. Masing-masing komponen memainkan peranan pentingnya sendiri sendiri – sirkuit tidak akan terbentuk tanpa kontribusi dari masing-masing aspek- secara mirip dapat dikatakan bahwa dinamisme proses bekerja secara kolaboratif terletak pada proses komunikasi yang terbuka dan transparan; sebuah transmisi dari ide-ide dan pengetahuan, serta yang paling dibutuhkan adalah sistem tanpa horarki diantara struktur kerja kolaborasi.

MACHINE No. #6 and The Long Table experiment is:

Sebuah kolaborasi performans dan instalasi antara seniman Tasmania Six_a (mish Meijers, Amanda Shone, Astrid Woods-Joyce and Trcky Walsh) and seniman kolektif asal Yogyakarta Six needle Six (Ipo Synthetic, Robert Kan, Fahla Fadhillah dan R.Bonar Diat). Para seniman ini diperkenalkan melalui HONF dan kemudian mereka menghabiskan waktu selama satu minggu penuh di sebuah dusun kecil, di ujung pegunungan menoreh, Kulon Progo, satu jam dari Yogyakarta. Di sana mereka secara bersama-sama mengembangkan dasar-dasar dari instalasi ini.

Proses kolaborasi diantara dua kelompok yang jauh berbeda tersebut bertujuan untuk menemukan sebuah format sederhana yang dapat mewakili ide dan visi ke 8 seniman di dalamnya. Berkolaborasi dengan seniman lokal memberikan pandangan dan wawasan baru kepada seniiman yang berkunjung tentang bagaimana kebudayaan di Indonesia sesungguhnya, hingga pada hal yang paling sederhana.Inspirasi mereka pada pameran ini  adalah pengetahuan lokal yang didapat selama tinggal di sebuah dusun kecil. Melalui pengalaman tinggal disana, kedua kelompok sepakat untuk menggunakan pengalaman sehari-hari tentang pergulatan mereka dengan masalah air sebagai pacuannya.

Diskusi dimulai dengan munculnya kemungkinan untuk menciptakan sebuah perangkat pengarah air dan kolaborasi berubah ketika menyaksikan kenyataan di dusun; di mana masyarakat dusun memperdayagunakan sumber material lokal (kebanyakan bambu) untuk membangun, menyaring dan melakukan distribusi air ke seluruh lembah. Pemilihan material bambu sangat ‘terjangkau’ ,mudah didapat bagi para seniman lokal sedangkan bagi para seniman dari Tazmania, bamboo adalah sesuatu yang baru dan menarik yang belum pernah mereka temukan sebelumnya. Bambu kemudian menjadi salah satu elemen kunci pada diskusi-diskusi selanjutnya karan sifatnya yang fleksible, bermanfaat, bersahaja serta elegan

Elemen performatif pada pameran kali ini akan ditampilkan di sebuah meja panjang dimana setiap seniman akan melakukan eksperimen menggunakan air yang diambil dari sirkuit. . Air yang ‘telah terenergi ini’ digunakan sebagai dasar untuk setiap aliran yang akan dinvestigasi oleh setiap seniman yang berpartisipasi. Disini, performans akan disampaikan dengan penuh permainan dan melalui proses imajinasi ilmiah melalui investigasi akan format energi yang nyata dan tidak nyata. Performans akan bertempat di dalam ruang galeri; footage akan diproyeksikan di dinding luar galeri sehingga para pengunjung di luar dapat menikmati. Masing-masing seniman akan melakukan eksperimennya di dalam ruang galeri yang tertutup, para pengunjung akan diajak memasuki ruang ketika performans mendekati akhir, para pengunjung akan ditinggalkan dalam keadaan tertentu sehingga mereka dapat merasakan telah tertinggal. Kehampaan ini akan diakhiri ketika para seniman muncul kembali.

Apa yang tertinggal dari performans ini adalah sebuah meja kosong dengan beberapa aksi yang baru saja dilakukan. Residu ini menyampaikan tidak hanya proses kerjasama yang natural di dalamnya namun keintiman dari gerakan kreatif yang tercipta; kreativitas dan penemuan kadang terjadi pada sebuah tempat yang terisolasi, ini hanya merupakan salah satu dari konsep-konsep yang dihasilkan dan hasilnya dapat dinikmati oleh publik lebih luas. Di sini, artefak, peralatan ilmiah, objek, teks, notasi skema dan lain sebagainya, disisakan di atas meja sehingga memungkinkan para penonton untuk bereksplorasi, ataupun berkontribusi.

MACHINE No. #6.

Sound: the invisible, pervasive energy source.

Sound surrounds us in entirety; it connects us through communication, it settles around us when we are still. It forms the basis and sound-scape to all of our sensorial experiences. We communicate through it; and eventually we realise that tone and emphasis belie the overemphasised importance of words and meanings.

In the village the sounds of daily life would travel across the valley – the seemingly random elements constructed a routine and a sense of place for each of us. In the afternoons when the fog rolled slowly up into the valley like ships, it internalised the landscape; dark silhouettes bordered the periphery; light bleeding through windows and surrounding buildings cut beams through the clouds and transformed our nightly escapades into nervous but jubilant journeys. We were too loud – a brazen cavalcade of pilgrims searching for a destination that was swallowed by the immensity of the deafening; dampening fog.

Still – it connected us – blind creatures banding together with our feeble light; our insistent voices.

Our voices have a tendency to drown out those other less obvious rhythms. It is only in the stillness and the contemplation that we are able to receive sound; to be the receptor for those patterns of energy that are so easy to overlook.

Machine no.#6 is an attempt to amplify the voice and energy of nature.

Here then we reconfigure the water circuit that formed the basis of daily life in the village; a thin, tenuous thread to connect household to household, body to body, land to land.

Water is everywhere; in our bodies, our landscape, our atmosphere – in the thick damp fog that enveloped us in the village. The waves and structure of it resonate within our bodily selves. It adapts and transforms to its environment – as we do.  Water is universal – it crosses cultures, geography. We are comforted by the sound of it, we are replenished by the consumption of it, in the future we might well fight wars over it – it is so important to our continuing existence.

Yogyakarta.

We land.

We are taken on the backs of motorcycles through streets of interweaving traffic. Everything gives here – the molecules of space between moving objects are almost visible as vehicles give way with seamless intuition. A procession of conversational car horns accompanies the traffic; like sonar’s signalling the boundary of the available passage.

Together we gather and discuss the possibilities of constructions. Amongst the organic development of this city it seems appropriate to be working together to consolidate the structure. These streets have evolved to fill all the available spaces. We are saturated by the city-scape. We push and pull the ideas and polish them between languages like precious stones.  What comes out surprises us all in its refinement: a simple circuit; performing a simple task: Water, working with and against gravity; and the means to amplify the energy inherent in this natural resource.

We will pipe its pathways, direct its current through the space like arterial flow; replenishing itself in a continuous stream. Bamboo hollowed by hand forms the encapsulating strata; a form to replicate the natural terrain of falling water. It rests – almost ad-hoc upon tenuous structures of iron, attached at points by pressure sensors that track and trace the sound of the water energy and convert it first into sound waves, and then into an orchestra of abstract sound. There are no effects – it is magnifying only what exists – the essence of the energy contained within the water-circuit, giving it a voice to be heard

The Long Table experiment.

Many hands make light work? Too many cooks spoil the broth?

Collaborative practice is a balancing act that offers opportunities to beg, borrow and exchange skills and ideas with other artists.  In this instance – the chance to exchange ideas between cultures is inestimable. We have very different backgrounds, media, experiences and knowledge – an impressive bank of information from which to collectively draw. We come together with our threads of this knowledge to weave the greater concept; like the interconnected water pipes in the village, like the seamless uninterrupted traffic we combine our independent thoughts into one cohesive voice.

We perform alone – pairs and singulars amongst the group to investigate our personal connections to water, and its inherent elemental diversity by studying the effects of clouds, morphic resonance, colour theories, wave generation, communication. These things all play a part within the experiment, and allow singular momentum to develop once again within the collective outcome.

We use the circuit board as an extended metaphor of collaboration and life itself. All component parts play their separate important functions – the circuit would cease to exist without the contribution of each aspect – similarly the collaborative dynamic relies on open and transparent communication; the transmission of ideas and knowledge, and the absolute necessity of a non-hierarchical equality-system within the collaborative structure.

MACHINE No. #6 and The Long Table experiment is:

A collaborative performance-installation between Tasmanian artists Six_a (Mish Meijers, Amanda Shone, Astrid Woods-Joyce and Tricky Walsh) and Yogyakarta artist collective Six needle Six (Ipo Synthetic, Robet Kan, Fahla Fadhillah Lotan and R. Bonar Diat). The artists were introduced through HONF and spent a week in a small Indonesian village an hour out of Yogyakarta together developing the basis for the installation.

The collaborative process between these two vastly different groups called for a simplistic form that could cohesively represent the ideas and vision of 8 artists. Collaborating with local artists provided the visiting artists with insight and knowledge into the workings of Indonesian culture right down to the most simplistic tasks, it was this local knowledge that influenced the outcome for this show. Through the shared experience at the village both groups agreed that the everyday dealings with water struck them as poignant.

Discussions started to emerge about the possibilities about creating a water driven device, and the collaboration turned to the solutions witnessed in the village; utilising locally sourced materials (mainly bamboo) in order to filter and distribute water throughout the valley. Sourcing bamboo was ‘affordable’ and easy to find for the local artists and was also a new and exciting material that the Tasmanian artists had yet to use. Bamboo became the key component in the discussions firstly for its flexibility and its utilitarian simplicity and elegance.

The performative element of the exhibition takes place on a long table where each artist will conduct an experiment using water taken from the circuit. This ‘energised’ water serves as the basis for each stream of investigation by the participating artists. Here, performance will convey playful and imaginative scientific processes of investigation through real and unreal forms of energy, and expose each artist’s relationship with the installation. The performance will take place inside the gallery space; the footage will be projected on the outside wall of the gallery for the audience outside. Each individual artist completes their experiment in the closed gallery space, the audience is led up the stairs as the last experiment comes to an end, the audience is left with the sense that its missed something. The liveness finished with the artist absent again.

All that remains from the performance is an empty table with the residue of the action that has just taken place. This residue conveys the not only the inclusive nature of collaboration, but the intimacy of the creative act itself; creativity and invention often occur in isolation, it is only once these concepts have been resolved that the outcome is made available for public scrutiny. Here, the remnants; scientific equipment, objects, text, schematic notations etc, are left on the table for the audience to explore, and possibly contribute to

About Artist

six A
Six_a  provides a supportive environment for artists to take risks and experiment within their practice, and to receive constructive technical and curatorial assistance in their attainment of conceptual resolution. Six_a  encourages its raw, fresh, process-driven vision by encouraging artists to engage with evolutionary development between the stages of initial conception through to installation and exhibition. Six_a  supports an inclusive art culture that incorporates a cross pollination of art, music, film, writing, sound and performance, and whenever possible, offers a platform for these different media to co-exist in dialogue, and without hierarchy.

six needles six
Seni membuat boneka dan toys tampaknya tidak ada habisnya untuk dieksplor.Kali ini oleh kelompok yang terdiri dari enam seniman akan menggelar karya dalam bentuk boneka dan toys. Kelompok tersebut adalah six needles six, yang terdiri dari ipo, sasta, dilla,arya, otong, dan Robert.
Visi six needles six
Six needles six akan bersama-sama mengeksplor dan memperkenalkan karya boneka dan toys secara visual konsep dan teknis, dengan berbagai material atau mix art media dan menggunakan alat Bantu menjahit berupa needles atau jarum.

Sebagai wadah komunikasi antara individu serta komunitas pecinta boneka dan toys.

Display karya MACHINE #6

Opening MACHINE #6

 





 

Patterns of Belonging by Sandy Infield @Sangkring Art Space

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Solo visual art exhibition by Sandy Infield to take place in Bali and Java.

Patterns of belonging: homage to Java
Sangkring Art Space (22 May – 6 June 2011)
Opening day (Sunday 22 May 2011) events:
10:00 – 13:00 Artist Workshop Landscape as expression
14:00 – 15:30 Open Discussion Is Contemporary Batik Art or Craft?
19:00 – 21:00 Opening Exhibition hosted by Putu Sutawijaya

Patterns of being: home in Bali

Danu Gallery @ Lakeview (26 May – 18 June 2011)

Penelokan, Kintamani

Patterns of belonging
Identity is present in the threads man weaves into being on nature’s canvas. It is memory, however, that endows magical powers to this union between human endeavour and nature’s forces, giving birth to a longing that binds man not only to place and culture, but also to an ongoing process of identification. The landscapes unique to Java and Bali, of terraced paddy fields hugging the feet of cloud-draped majestic volcanoes, are evoked in batik motifs by Sandy Infield in a tribute that pays homage to the threads that tie the Javanese and Balinese to their identity.

This tribute is an endeavour by the England-born artist to appreciate the meaning in such a belonging, although she does not clearly choose any allegiance to either culture or nature. The batik tradition she admires is her point of departure in appreciating the psychological impact of nature’s patterns that are recorded and continuously re-created in batik. The unique techniques she has developed are her in-kind contribution for her lessons here, for they have opened up new possibilities of imagery and signification to the treasure trove of traditional batik symbolism.

Sandy Infield’s exploration into batik was inspired by aerial views of the Javanese landscape glimpsed before landing at Yogyakarta’s Adisucipto airport in 2009, and her subsequent visits to batik ateliers. For almost three years, these memories have been goading her explorations at her studios in Sanur, Bali, while she mulls over the ideas and feelings that seize her about the identity she and the people around her wear. Whether these multifaceted identities are represented in the textiles of our clothes or the landscapes we shape or choose to call our home, these fragile works of art give insight on how the human psyche reflects its surroundings and projects hopes onto vast skies, the universal canvas of our imagination.
Curated by Kadek Krishna Adidharma


About the artist: A graduate of the Slade, UK, Sandy Infield painted in Italy on Boise scholarship for a year before sharing a London studio with Op artist Bridget Riley. Sandy’s early explorations turned traditional painting styles inside out with portraits of trapeze artists and textile-wrapped actors. After a decade of living in Asia, the artist’s solid grounding in portraiture, landscapes and still life, coupled with her ongoing passion for textiles, has led her to explore identities through batik-scapes.

Art work

Suasana Diskusi

Suasana Workshop

Suasana pembukaan pameran


SUMARAH by Doni Kabo @Sangkring Art Project

Pembukaan : Kamis, 12 Mei 2011, Jam 19.00 wib
Pameran dibuka oleh : Bob Six Yudhita
Performance : Pinx Cobra, Latex

Diskusi seni : Jumat, 13 Mei 2011, Jam 15.00
Pameran berlangsung : 12 – 20 Mei 2011

‘sumarah’ dan Liminalitas
Hendra Himawan*

Jarak dan Kerudung
Perempuan itu tampak begitu mencermati dot bayi (tempat minum susu bayi) di hadapannya, mengisyaratkan sebuah intensitas perhatian yang begitu kuat diantara keduanya. Namun mengapa mesti ada jarak diantaranya? Meminjam semiotika Barthes dalam second order semiotic, mungkinkah ada sesuatu yang terjadi antara perempuan dengan dot ini, antara seorang ibu muda dengan bayinya? Andaikan melihat atribut yang dikenakan, tentunya perempuan ini bukanlah perempuan yang biasa, atau ibu rumah tangga yang banyak menghabiskan waktu di sumur dan dapur. Gelang beruntaikan mutiara berikut jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, setidaknya mengisyaratkan sosok perempuan yang ‘berada’, mungkin juga seorang perempuan karier.
Dilema perempuan seakan tertangkap lugas dalam karya-karya ini. Problematika diri ketika dihadapkan pada pilihan antara bekerja dan mengurus buah hati, dihadirkan dalam kadar yang sangat kuat. Bagaimana jarak yang hadir diantara dua objek (figur perempuan dan dot) tersebut, memicu perhatian kita untuk melihat dilema itu sebagai sebuah realita yang nyata hadir, sebuah pilihan yang begitu berat tentunya. Disatu sisi ia harus bekerja mencari sekaleng susu, di sisi lain buah hatinya ‘menuntut’ tanggung jawab seorang ibu. Dualisme peran inilah yang memungkinkan lahirnya gesture maupun atribut yang mencerminkan identitas tertentu. Singlemother, mungkin adalah identitas yang dapat kita sematkan pada figur perempuan dalam karya-karya ini.
Di tengah kegamangan dan dilema yang begitu kuat, pasrah dan menyerah terkadang menjadi sebuah jalan ringkas yang kemudian dipilih. Berpasrah diri pada kenyataan yang ada, sedikit mencoba bangkit, kemudian berlari mencari sandaran. Hal ini adalah upaya-upaya untuk memahami wilayah kesadaran diri dan eksistensi lain diluar dirinya, maka dikenakanlah kerudungnya. Kerudung dimaknai sebagai sebuah penghormatan akan eksistensi Ketuhanan, sebuah kesadaran akan adanya dimensi lain yang mengatur manusia.  Kerudung telah menjadi simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua agama menggunakan dan menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung, meski tidak semua menetapkannya sebagai kewajiban.
Membaca gerak dan narasi emotic yang dihadirkan ataupun sebagaimana yang dipaparkan diatas, keberadaan kerudung yang dikenakan sang perempuan sesungguhnya merupakan bentuk ke’sumarah’an dirinya. Sumarah (bahasa jawa) berarti kepasrahan, menyerah. Meminjam istilah Umar Kayam dalam Sri Sumarah dan Bawuk (1975:12), “sumarah” adalah menyerah pasra, tetapi “sumarah” (menyerah) tidak berarti diam saja. Menyerah disini berarti mengerti dan terbuka, tetapi tidak menolak. Dalam karya-karya ini, kerudung sekan menegaskan dirinya menjadi simbol kepasrahan diri perempuan, yakni bersandar pada atribut keagamaan.

Ambang
Memandang semua karya Doni Kabo dalam Pameran Tunggalnya yang bertajuk “Sumarah” di Sangkring Art Project, kita akan di ajak untuk menyelami dunia ambang. Figur perempuan yang dihadirkan  oleh Kabo merupakan individu yang , dalam istilah Victor Turner (1967), berada dalam wilayah liminal dari dua dunia yang mereka geluti, baik dunia kultural maupun dunia sosial. Liminalitas dihadirkan Kabo dalam tensi yang begitu kuat. Bagaimana ambiguitas “sumarah” dan paradoks antara ibu yang mungkin seorang perempuan karier dengan bayinya (yang disubtitusikannya dengan dot) dipaparkannya dalam narasi yang bisa berarti ”neither living nor dead from one aspect, and both living and dead from another“.
Beragam atribut yang disematkan dalam figur perempuan dalam karyanya,  pun, menyiratkan wajah dunia liminal. Gelang mutiara, jam tangan dan dot bayi, menunjukkan tegangan peran dan intensitas emosi tersendiri. Hadirnya kerudung yang tidak terpasang dengan baik menyiratkan asumsi dua kutub yang berlainan, budaya santri (religi) dan budaya ‘bukan santri’ (tadisi). Dari sinilah lahir  dunia ‘abangan’, sebuah dunia abu-abu, tidak hitam, pun putih. Visualitas karya yang monokromatik yang mengesankan labilitas dan keraguan, merupakan citra yang kuat akan liminalitasnya. Dunia yang kelabu, dunia ambang, dunia betwixt and between, sebuah dunia yang tanpa struktur.
Meski ranah liminal dihadirkan Kabo dengan tensi yang kuat, andai kita memandang secara keseluruhan karya-karya yang dipamerkan kita akan merasakan bahwa struktur narasi kehidupan yang membuat peristiwa dibelakangnya  terkesan rumit, menjadi  dapat dipahami karena dalam tataran dan bingkai simbolis, narasi ini dapat dirangkai mengikuti garis-garis penalaran yang berada pada tataran nirsadar sekalipun.
Dalam perspektif nalar jawa (Javanese Mind) -perkenankan penulis menggunakannya- melihat karya-karya ini tampak sebuah konsepsi atau cara nalar “orang Jawa” menampilkan kelenturan, tatanan (order) serta pandangan bahwa segala sesuatu harus temata (tertata). Dan ketertataan ini mempunyai tiga komponen yaitu kesatuan (unity), kesinambungan (continuity) dan keselarasan (harmony), dan inilah yang ingin diungkapkan oleh Kabo lewat karya-karyanya. Bagaimana kesatuan tematik hadir dalam masing-masing karya, kesinambungan narasi yang diusung, dan keselarasan makna hidup yang menjadi landasan spiritual tergelarnya pameran “sumarah” kali ini.

*Penulis adalah rekan seniman di kampus Pascasarjana ISI Yogyakarta, tinggal dan bekerja di Yogyakarta.

Image karya

Super Semar by Yaksa Agus @ Sangkring Art Project

Pembukaan : Jumat, 18 Maret 2011, Jam 19.00 wib di Sangkring Art Project
Pameran di buka oleh : Bapak Ridwan Mulyosudarmo
Performance : Tauzi’ah Budaya Oleh Nasirun; Goro-goro oleh Jatilan Conthong


SUPER SEMAR
Yaksa Agus.

Bukanlah Super Semar  yang merupakan kepanjangan dari ‘Surat Perintah Sebelas Maret’, yang  45 tahun silam hingga kini tetap menjadi mistri dan kontroversi.

Tetapi Super Semar di sini adalah bagaimana saya mencoba memaknai ‘Rakyat yang Super’. Jadi Super Semar adalah Super Rakyat atau Rakyat yang Super.

Setiap Rakyat pada hakikatnya adalah juga perwira pembela tanah air, karena setiap Rakyat mempunyai kewajiban untuk membela tanah air.

Konon sejarah Super Semar ; surat perintah sebelas maret yang akhirnya mengantar soeharto menjadi Presiden Indonesia . dan bahkan hingga berkuasa selama 32 tahun.

Bahkan Super Semarpun menjadi propaganda selama pemerintahan soeharto, dengan mendirikan yayasan super semar , yang memberikan Beasiwa Super Semar  bagi siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang berprestasi. Walaupun  sejarah Super Semar ini sangat kontrofersi , super semar tetaplah telah memberikan  andil besar dengan mengantar para siswa dan mahasiswa yang super dalam menempuh pendidikan.

Bahkan Beasiswa Supersemar tetaplah akan menjadi kebanggaan bagi para penerimanya.

Dan Bea siswa supersemar itupun menghilang setelah lengsernya soeharto di tahun 1998.

Sesungguhnya  jika kita  Soeharto di tahun 1966 adalah seorang rakyat yang super , yang mendadak seolah memberi solusi sebuah perubahan, walaupun lambat laun dari periode ke periode berikutnya Soeharto pun    tergoda oleh naluri primitive  hagemoni kekuasaan. Walaupun sebenarnya naluri primitive itu tumbuh subur selama 32 tahun karena di pupuk oleh lingkungan,kroni, dan jaringan yang mengkondisikan.

Dan hingga di Tahun 1998 munculah Rakyat- rakyat yang Super bagaikan SEMAR yang mampu menggulingkan soeharto dari tahta kepemimpinan. Dan naluri primitive kekuasaan itupun terulang dan terulang lagi hingga saat ini, dan bahkan di rayakan dan di syukuri bersama.

Pada karya-karya lukisan saya  seri super semar yang saya pamerkan di Sangkring Art Project pada 11 maret-11 april 2011 ini adalah  gambaran tentang Rakyat yang Super, yang memiliki kekuatan dan keberanian untuk tampil  memberi kontribusi pada lingkungannya. Dan saya meminjam bentuk visual perangko untuk menterjemahkan  karya –karya saya tersebut.

Kenapa Perangko? Karena perangko adalah salah satu alat penghubung atau alat penghantar  komunikasi  dari kota yang satu ke kota yang lain , serta dari negara yang satu ke negara yang lain. Dan ketika sebuah surat atau benda yang lain akan dikirim via post , tentunya akan ditentukan harganya dengan perangko, yang sekaligus akan masuk dalam ruang deteksi sensor sebelum dikirim ke alamat yang di tuju.

Dan sesungguhnya gambar-gambar visual perangko adalah salah satu dokumentasi visual  sebuah sejarah,budaya,peristiwa hingga kekayaan alam yang di miliki oleh suatu negara.

Perangko pun saat ini nyaris tinggal kenangan, karena komunikasi saat ini sudah di wakili oleh alat-alat yang lebih cepat dan murah dengan munculnya  Handphone dengan vasilitas SMSnya, internet dengan Email hingga Face book.

Bercermin pada falsafah Semar, Semar adalah  gambaran sosok  seorang  Rakyat dalam  pewayangan : seorang Rakyat yang mempunyai keberanian untuk mengungkapkan suara kebenaran , dan berani untuk menyampaikan suara kebenaran di kala para pemimpin telah salah langkah.

Banyak orang yang sering menyuarakan kebenaran, bersikap dan bertingkah seolah-olah jelmaan Sang Semar, mengkritik sikap penguasa dengan kerasnya dan rajin mencari kelemahan sang penguasa.

Mereka bersikap seolah-olah menjadi penyambung lidah Rakyat dan kalimat-kalimat kerakyatan menjadi komoditi bagi dirinya sendiri. Akan tetapi jika telah nyaris ada hasil dari yang diperjuangkan, sering lupa diri dan melupakan apa yang pernah diperjuangkan. Egoisme akan kekuasaan telah membayanginya dan sikap yang bagai Semar pelan-pelan menghilang.

Teriakan yang berdalih Kerakyatan itu hanyalah Slogan kepura-puraan, dan hanya untuk membungkus naluri primitive. Dan naluri primitive yang semula ditertawai akhirnya di nikmati seolah sebagai pahala dari sebuah perjuangan.

Image karya SUPERSEMAR

GESTICULATION by PUTU SUTAWIJAYA

GESTICULATION
oleh PUTU SUTAWIJAYA

Pembukaan : Minggu, 20 Februari 2011 Jam 19.00
Penulis : Kris Budiman, Karim Raslan
Pameran berlangsung 20 Februari – 10 Maret 2011

Kris Budiman, esais dan kritikus

Sudah semenjak awal karier kesenimanannya Putu Sutawijaya terus terobsesi dan bersitekun menyodorkan tubuh sebagai tanda-tanda melalui karya-karyanya. Tubuh-tubuh itu direpresentasikan dalam formasi tertentu, bergerak mengisi dan memenuhi ruang, yang kadang memperlihatkan pola tertentu, meskipun lebih sering menunjukkan kecenderungan acak. Kial atau gestur (gesture) menjadi salah sebuah komponen ekspresif utama Putu. Ia menjadi semacam kosakata, di samping postur, pose, gerak, arah, dan irama. Ketika representasi tubuh-tubuh itu keluar dari kanvas, masuk dan melintas ke dalam ruang tiga-dimensional, mereka seperti terlempar untuk mencari konteks-konteks pemaknaan yang berbeda, menggestikulasi diri tidak semata-mata mengikuti perubahan karakteristik materialnya.

Proses dan praktik badani memproduksi tanda-tanda melalui gestur bisa dengan jelas dianalogikan dengan tindakan memproduksi tanda-tanda lingual-akustik melalui seperangkat alat ucap. Jika yang terakhir ini biasa disebut sebagai artikulasi, maka yang sebelumnya dapat dinamakan sebagai gestikulasi (gesticulation). Di dalam gestikulasi segenap anggota badan –bukan hanya tangan, lengan, dan jemari– berubah menjadi wahana makna (vehicle of meanings), instrumen signifikasi. Para penari, aktor, dan pelaku-pelaku seni pertunjukan lainnya, niscaya menyadari hal ini ketika mereka berkomunikasi dengan dan mengekspresikan pesan tertentu kepada audiens melalui berbagai tanda gestural. Begitu pula di dalam ritual-ritual, entah yang bersifat keagamaan, kenegaraan, maupun praktik hidup sehari-hari dengan bermacam konteks situasional dan sosialnya.

Putu Sutawijaya, dengan karya-karya tiga-dimensional (patung dan instalasi) terbarunya, tetap bertahan dengan representasi tubuh dan gestikulasi, meskipun kali ini dia menawarkan konteks yang berbeda-beda demi mencapai pengucapan tertentu yang diinginkannya. “Agar tubuh-tubuh itu dapat berkisah,” ujarnya. Maka dari itu, gestukulasi tubuh-tubuh di dalam serangkaian karyanya ini menjadi lebih variatif dengan lontaran-lontaran gagasan di sekitar tegangan dan ketaksaan (ambiguity) yang menyelubungi proses-proses sejarah, kontinuitas dan diskontinuitas, tradisi dan perubahan, kepatuhan dan resistensi, juga masalah pendefinisian-ulang atas identitas-identitas kultural yang mapan. Putu Sutawijaya menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritisnya dengan kecenderungan gestikulasi yang keras namun rawan.

Karim Raslan, kolumnis

Tanggal 1 Desember 2005, kakek dari Putu Sutawijaya – figur pengayom keluarganya – berpulang. Ketut Mutri adalah sosok yang sangat dicintai dan dihormati di masyarakat, sekaligus orang yang begitu berpengaruh dalam hidup Putu. Setelah mengalami jatuh dan patah kaki, Ketut yang tadinya selalu aktif terpaksa diam di tempat tidur. Karena tidak terbiasa dengan keadaan ini, dalam waktu singkat kondisi Ketut Mutri merosot dan akhirnya meninggal dunia.

Untungnya, Putu (yang baru saja menyelesaikan pameran tunggalnya di Kuala Lumpur) masih sempat terbang ke Bali dan menghabiskan waktu bersama kakeknya.

Tapi, baik Putu maupun istrinya, Jenni, yang berkebangsaan Malaysia, tidak menyadari seberapa besar pengaruh kematian kakeknya ini – dan juga kremasi yang berlangsung lima belas hari kemudian – bagi kehidupan mereka, dan tentunya bagi karya-karya Putu.

Lahir dan besar di keluarga yang sangat nyaman dan berkecukupan – kedua orangtuanya adalah petani yang makmur – Putu tidak pernah terpikir untuk mempertanyakan masyarakat Bali dan segala kompleksitasnya. Seperti yang Putu sendiri bilang, “Saya ingat waktu kecil dulu suka berlari melewati lapak-lapak yang didirikan untuk upacara di kampung. Waktu orang-orang tahu siapa saya, para pemilik lapak bilang, “Dia bisa ambil apa saja yang dia mau. Keluarganya bisa bayar. Orangtua saya orang terhormat.”

Dalam dua minggu setelah kematian kakeknya, Putu merasakan hebatnya tekanan dan ketegangan dalam masyarakat Bali, ketika komunitasnya memilih untuk tidak ikut campur ketika keluarganya mempersiapkan upacara kremasi yang sangat penting .

Terasing dan terkucil, pengalaman ini mengejutkan Putu dan menariknya keluar dari sikapnya yang tak pernah mempertanyakan masyarakat Bali. Sejak itu, kepahitan di masa-masa tersebut tertuang dalam karyanya. Dalam pameran patung dan instalasinya di Bentara Budaya Jakarta, mencuat ketegangan antara ekspresi individual dan kebebasan personal di satu sisi, dengan identitas komunal yang kuat dan didukung secara penuh oleh banjar.

Karya Gesticulation

Opening GESTICULATION@ Sangkring ARt Space